Anda di halaman 1dari 15

.

Valen : Bahas persoalan PBI, premi baik premi yang harus dibayar dan gaji para
pelaku kesehatan. Thapan pembayaran iuran bagi non pbi

Pendahuluan
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Nomor 101 Tahun 2012 tentang
Penerima Bantuan Iuran (PBI) pada penghujung tahun 2012 lalu. Peraturan itu
pada intinya mengatur tentang siapa saja yang berhak menerima bantuan
pembayaran iuran jaminan kesehatan dari pemerintah yang diambil dari APBN.
Jaminan Kesehatan ini sudah diberlakukan pada 1 Januari 2014.

Penerima Bantuan Iuran (PBI)


Penerima Bantuan Iuran atau PBI berdasarkan yang diamanatkan Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), iuran PBI akan dibayarkan oleh pemerintah
sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Sebagaimana diatur dalam UUD
1945 pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar dipelihara oleh negara. Sementara Peserta PBI ini adalah fakir
miskin yang di tetapkan oleh pemerintah dan diatur melalui peraturan
pemerintah dalam PP No 101 / 2012 BAB I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (4)
yang menetapkan bahwa penerima PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin
dan orang tidak mampu sebagai peserta program jaminan kesehatan. Fakir
miskin berdasarkan PP No 101 / 2012 BAB I Ketentuan Umum pasal 1 ayat (5)
adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian
dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya
dan/atau keluarganya. Orang tidak mampu berdasarkan PP No 101 / 2012 BAB I
Ketentuan Umum pasal 1 ayat (6) adalah orang yang mempunyai sumber mata
pencaharian, gaji, upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang
layak namun tidak mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya.
Prosedur pendaftaran peserta terdiri dari : pemerintah mendaftarkan PBI
Jaminan Kesehatan sebagai Peserta kepada BPJS Kesehata, pemberi kerja
mendaftarkan pekerjanya atau pekerja dapat mendaftarkan diri sebagai peserta
kepada BPJS Kesehatan, bukan pekerja dan peserta lainnya wajib mendaftarkan
diri dan keluarganya sebagai pesrta kepada BPJS Kesehatan. Hal ini diatur dalam
PP No 101 / 2012 BAB IV Pendaftaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan pasal (7) dan pasal (8) serta diatur pula dalam Pasal 14 ayat (3) dan
Pasal 17 ayat (6) UU SJSN. Peserta berhak memperoleh identitas peserta dan
memperoleh manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Seperti yang diatur dalam UUD 1945 pasal
28H ayat (1) bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Peserta juga memiliki
kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu wajib membayar iuran dan melaporkan

data kepersetaannya kepada BPJS Kesehatan dengan menunjukan identitas


peserta pada saat pindah domisili atau pindah kerja. Kepesertaan PBI ini selama
peserta membayar iuran sesuai dengan kelompok peserta, dan status
kepesertaan ini akan hilang jika peserta tidak membayar iuran atau meninggal.

Pembayar, Pembayaran Iuran dan Fasilitas yang Diperoleh


Premi atau Iuran Jaminan Kesehatan adalah sejumlah uang yang
dibayarkan secara teratur oleh Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah
untuk program Jaminan Kesehatan yang telah diatur dalam pasal 16 Pepres
Nomor 12 / 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Peserta adalah setiap orang,
termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia,
yang telah membayar Iuran. Pekerja adalah setiap orang, termasuk orang asing
yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain.
Pekerja Penerima Upah adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja
dengan menerima gaji atau upah. Pekerja Bukan Penerima Upah adalah setiap
orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri. Pemberi Kerja adalah
perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan lainnya yang
mempekerjakan tenaga kerja, atau penyelenggara negara yang mempekerjakan
pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk
lainnya.
Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan
berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja penerima upah) atau suatu
jumlah nominal tertentu (bukan penerima upah dan PBI). Penentuan besaran
Iuran dan siapa yang menanggung Iuran ini diatur dalam Pepres Nomor 12 Tahun
2013. Pembayar iuran bagi peserta PBI, iuran akan dibayar oleh Pemerintah
diatur dalam Pepres Nomor 12 Tahun 2013 BAB IV tentang Iuran Bagian Kesatu
Besaran Iuran Pasal 16 ayat (1) . Pembayar iuran bagi Peserta Pekerja Penerima
Upah, Iurannya dibayar oleh Pemberi Kerja dan Pekerja diatur dalam Pepres
Nomor 12 Tahun 2013 BAB IV tentang Iuran Bagian Kesatu Besaran Iuran Pasal
16 ayat (2). Pembayar Iuran bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan
Peserta Bukan Pekerja iuran dibayar oleh Peserta yang bersangkutan diatur
dalam Pepres Nomor 12 Tahun 2013 BAB IV tentang Iuran Bagian Kesatu Besaran
Iuran Pasal 16 ayat (3). Besarnya Iuran Jaminan Kesehatan Nasional ditetapkan
melalui Peraturan Presiden dan ditinjau ulang secara berkala sesuai dengan
perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
Iuran untuk karyawan, PNS, TNI/POLRI, pedagang, investor, pemilik usaha
atau perusahaan atau pihak yang bukan Penerima Bantuan Iuran (PBI) telah
diatur dalam Peraturan Presiden nomor 111 tahun 2013, disini telah dijelaskan
jenis iuran yang terbagi menjadi (a) Iuran Jaminan Kesehatan bagi penduduk
yang di daftarkan oleh Pemerintah daerah dibayar oleh Pemerintah Daerah
(orang miskin dan tidak mampu),(b) Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta
Pekerja Penerima Upah (PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai
pemerintah non pegawai negeri dan pegawai swasta) dibayar oleh Pemberi Kerja
yang dipotong langsung dari gaji bulanan yang diterimanya, (c) Pekerja Bukan

Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri) dan
Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun, veteran, perintis
kemerdekaan, janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis
kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang bersangkutan. Untuk jumlah iuran
Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerim Upah yang terdiri dari PNS,
Anggot TNI, Anggota POLRI, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non
Pegawai Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau Upah per bulan,
dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2 persen dibayar
oleh peserta. Tapi iuran ini tidak dipotong secara sekaligus. Karena secara
bertahap akan dilakukan dari 1 Januari 2014 30 Juni 2015 adalah pemotongan
4% dari Gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4% dibayar oleh
Pemberi Kerja dan 0,5% dibayar oleh Peserta. Namun, mulai 1 Juli 2015
pembayaran iuran 5% dari Gaji atau Upah per bulan itu menjadi 4% dibayar oleh
Pemberi Kerja dan 1% oleh Peserta. Sementara bagi peserta perorangan akan
membayar iuran sebesar kemampuan dan kebutuhannya. Setiap Pemberi Kerja
wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang
menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan secara berkala paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja
berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administrasi
sebesar 2% perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi
Kerja diatur dalam Pepres Nomor 12 Tahun 2013 BAB IV tentang Iuran Bagian
Kedua Pembayaran Iuran Pasal 17 ayat (4). Peserta Pekerja Bukan Penerima
Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan
yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 setiap bulan kepada BPJS Kesehatan.
Serta Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan dapat dilakyukan diawal untuk lebih
dari satu bulan. BPJS Kesehatan akan menghitung kelebihan atau kekurangan
iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terajdi kelebihdan
atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara
tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 hari kerja sejak
diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan
dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya. Dalam hal keterlambatan
pembayaran lunas iuran jaminan kesehatan disebabkan karena kesalahan
pemberi kerja, maka pemberi kerja wajib membayar pelayanan kesehatan
pekerjanya sebelum dilakukan pelunasan pembayaran iuran oleh pemberi kerja.
Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan
apabila ada keterlambatan akan dikenakan denda administratif sebersar 2 % dari
total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 bulan dan besaran
Iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling lama dua tahun sekali yang ditetapkan
dengan Peraturan Presiden.
Fasilitas yang akan diterima peserta PBI untuk pekerja penerima upah
(PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non Pegawai
Negeri dan Pegawai Swasta) akan mendapatkan pelayanan kelas I dan kelas
II. Untuk pekerja bukan penerima upah (Pekerja di luar hubungan kerja atau
pekerja mandiri, karyawan swasta) akan mendapatkkan pelayanan kelas I, II,
III sesuai dengan premi dan kelas perawatan yang dipilih. Untuk bukan

pekerja (Investor, pemberi kerja, penerima pensiun, veteran, perintis


kemerdekaan serta janda, duda, anak yatim piatu dari veterab atau perintis
kemerdekaan. Termasuk juga wirausahawan, petani, nelayan, pembantu rumah
tangga, pedagang keliling dan sebagainya) bisa mendapatkan kelas layanan
kesehatan I, II, III sesuai dengan premii dan kelas perawatan yang
dipilih. Orang yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu yang dibayarkan
preminya oleh pemerintas mendapatkan layanan kesehatan kelas III. Untuk
saat ini sudah ditetapkan bahwa untuk mendapat fasilitas kelas I dikenai iuran
Rp 59.500 per orang per bulan, untuk mendapat fasilitas kelas II dikenai iuran Rp
42.500 per orang per bulan, dan untuk mendapat fasilitas kelas III dikenai iuran
Rp 25.500 per orang per bulan.

Premi Para Pelaku Kesehatan


INA CBGs adalah singkatan dari Indonesia Case Based Groups. INA CBGs
ini merupakan sistem pembayaran dengan sistem PAKET, berdasarkan
penyakit yang di derita pasien. Arti dari Case Based Groups (CBGs) sendiri
adalah cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis
atau kasus-kasus yang relatif sama. Rumah Sakit akan mendapatkan
pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk suatu
kelompok diagnosis. Contoh, apabila ada seorang pasien menderita demam
berdarah. Dengan demikian sistem INA CBGs ini sudah menghitung layanan
apa saja yang akan diterima pasien tersebut, termasuk pengobatannya sampai
pasien dinyatakan sembuh. INA CBGs ini merupakan kelanjutan dari aplikasi
Indonesia Diagnosis Related Groups (INA DRGs) yang lisensinya telah berakhir
tanggal 30 September 2010.
Perbaikan mekanisme pembayaran biaya pelayanan kesehatan yang
dilakukan pemerintah itu, khususnya INA-CBGs sudah memperhatikan masukan
dari berbagai pihak seperti organisasi profesi, penyedia pelayanan kesehatan
dan BPJS Kesehatan. Ada peningkatan di pembayaran kapitasi dan INA-CBGs.
Kapitasi ini diberikan kepada fasilitas kesehatan primer berdasarkan jumlah
peserta yang dilayani dalam sebuah wilayah. Kapitasi dibayar BPJS Kesehatan
mengacu beberapa hal seperti berapa banyak dokter yang bertugas pada satu
fasilitas kesehatan primer. Kemudian bentuknya berupa klinik atau Puskesmas.
Jasa untuk layanan prime ini Rp 3.000,00 Rp 6.000,00 Jasa tarif pelayanan
dokter spesialis di poliklinik Rp 10.000,00. Apabila sudah dipotong pajak maka
dokter akan menerima Rp 8.500,00 tiap melayani satu pasien. Jasa untuk praktik
dokter gigi mandiri Rp 2.000,00. Tarif INA CBGs yang di berlakukan di Jakarta
sebesar Rp 23.000,00 sedangkan premi nasional sebesar Rp 19.000,00. Melalui
sistem kapitasi, fasilitas kesehatan primer dituntut bukan hanya mengobati
peserta BPJS Kesehatan tapi juga memberikan pelayanan promotif, dan preventif.

Korelasi INA CBGs dengan Premi Bagi Penerima Bantuan Iuran dan
Pelayan Kesehatan

Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 101 / 2012


tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PP PBI JK) pada tanggal 3
Desember 2012, karena PP PBI JK merupakan pelaksanan Pasal ayat (4) dan
Pasal 17 ayat (6) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU SJSN). Penandatanganan UU SJSN yang sesungguhnya
disetujui rapat Pleno DPR pada tanggal 28 September 2004 satu hari sebelum
Megawati meninggalkan Istana Kepresidenan, dengan mengundang MenteriMenteri dan anggota Tim SJSN secara simbolik mempunyai arti pentingnya UU
SJSN di mata Presiden. Penduduk miskin, tak ayal lagi akan terbebas dari
belenggu kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan.
JKN ini akan dimulai dari tanggal 1 Januari 2014. Jaminan kesehatan ini
merupakan bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. JKN yang dikembangkan
di Indonesia merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang
diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial
yang bersifat wajib (mandatory). Hal ini berdasarkan Undang-undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang SJSN dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan masyarakat yang layak.
Namun tetap INA CBGs ini harus tetap diberlakukan. Karena kalau tidak
dikasih ketetapanbisa jebol anggaran, tegas Menko Kesra HR. Agung Laksono
seraya mengatakan, kapitasi akan dievaluasi rutin pertiga bulan, serta bersifat
dinamis mengikuti kebutuhan pasien. Menko Kesra melanjutkan untuk
mengantisipasi lonjakan pasien di rumah sakit penyelenggara, dalam waktu
dekat ini akan dikeluarkan Peraturan Presiden mengenai pembayaran langsung.
Artinya, uang yang masuk ke Puskesmas bisa langsung di kelola sendiri tanpa
masuk terlebih dahulu ke APBD.
Namun dari pihak yang memberikan pengobatan medis sendiri menolak
premi yang telah ditetapkan untuk peserta PBI. Menurut kajian Ikatan Dokter
Indonesia, besaran premi yang pantas yakni Rp 38.000,00 atau minimal Rp
27.000,00 seperti yang diusulkan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Ketua Umum
Pengurus Harian IDI Zainal Abidin mengatakan dengan premi sebesar itu, warga
penerima manfaat jaminan sosial akan mendapatkan akses pelayanan kesehatan
yang optimal. Menurutnya pelayanan kesehatan tak bisa diberikan setengahsetengah kepada masyarakat.
Nilai premi PBI untuk warga miskin perserta BPJS Kesehatan sebaiknya
minimal Rp 22.000,00 per orang per bulan. Nilai itu merupakan titik minimal dan
sudah mempertimbangkan kondisi fiskal Pemerintah Indonesia. Jika kemudian
Kementrian Keuangan menurunkan ke Rp 15.000,00 per orang per bulan, kok
rasanya sangat lucu, dr. Ribka Tjiptaning, kata Ketua Komisi IX DPR RI, di
Jakarta. Ribka sebagai seorang dokter dirinya menilai bahwa nilai ideal PBI di Rp
50.000,00 per orang per bulan. Tapi itu sulit terwujub mengingat kondisi fiskal
Pemerintah Indonesia. Maka, titik tengah yang harus diambil yaitu sekitar Rp
27.000,00 per orang per bulan. Paling kecil ya Rp 22.000,00 yang diusulkan
Kementrian Kesehatan, ucap beliau.

Alasan Pemerintah Tidak Memberikan Premi Sesuai Kemauan IDI


Pemerintah menetapkan premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
sebesar Rp 19.225,00 per orang per bulan. Angka itu lebih besar dibandingan
rencana sebelumnya yang hanya Rp 15.500,00 per orang per bulan. Nilai tersebu
diputuskan dalam rapat yang dipimpin Wapres Boediono, Kamis (18/7)
Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan pemerintah memutuskan
akan mengajukan Rp 19.225,00 sebagai premi BPJS dalan RAPBN 2014. Selama
ini belum ditetapkan. Sekarang ditetapkan di angka Rp 19.000,00 itu, katanya,
Jumat (19/7). Menurutnya, besaran premi pada awalnya diusulkan pada kisaran
Rp 15.000,00 Rp 22.000,00. Kemudian, pada perkembangannya dihitung lagi
dengan data yang ada. Akhirnya, besaran Rp 19.000,00 dianggap paling pas.
Dulu baru excercise, dulu Rp 15.000,00 sampai Rp 22.000,00. Lalu dihitung lagi
selama ini, kira-kira itu Rp 19.000,00 adalah angka yang pas, katanya.
Premi tersebut merupakan sumbangan wajib atas jaminan kesehatan
universal yang diberikan pemerintah melalui BPJS Kesehatan. Jaminan kesehatan
itu diberikan sebagai salah satu program Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2004.
Tidak terpenuhinya premi sebesar Rp 27.000,00 ini dikarenakan Menteri
Keuangan selalu berasalan premi yang terlalu besar tidak sesuai dengan
kapasitas fiskal, dan Rp 15.500,00 adalah angka yang sesuai dengan kapasitas
fiskal Negara. Dikatakan, alokasi premi Rp 15.500,00 per orang per bulan ini
menunjukkan pengikaran pemerintah terhadap tanggung jawab konstitusinya
kepada rakyat miskin yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 34 Ayat (1) yang
menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Zainal
mengatakan, menurut PB IDI besaran premi yang pantas adalah menggunakan
best practice PT Askes untuk golongan I dan II dengan premi Rp 38.231 per
orang per bulan atau setidaknya dengan batas minimal usulan DJSN sebesar Rp
27.000,00. Menurutnya ketika pemerintah untuk melaksanakan sistem jaminan
kesehatan secara nasional, sepantasnya semua pihak yang terlibat dalam sisten
itu dapat tersenyum dan jangan sampai saat sistem ini berjalan ada yang
merasa dirugikan, baik itu dokter, perawat, bidan, penyedia layanan kesehatan
lainnya, maupun masyarakat. Semua pihak haruslah diuntungkan.
Ketua Panitia Kerja Jaminan Kesehatan DPR, Soepriyanto mengatakan
pemerintah seharusnya mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk
meningkatkan anggaran premi jaminan kesehatan (JAMKES). Menurutnya dengan
akan dikuranginya subsidi BBM, seharusnya pemerintah dapat menghitung ulang
kemampuan fiskla Indonesia, yang kemudian menaikkan premi PBI jaminan
kesehatan yang semula direncanakan Rp 15.500,00 per orang per bulan. Dengan
adanya rencana kenaikan harga BBM, pemerintah seharusnya dapat
menggunakan surplus yang ada untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, Panja
Jaminan Kesehatan DPR belum menyetujui besaran premi PBI yang diusulkan
Kementrian Keuangan tersebut. Bila dengan premi PBI Rp 15.500,00 itu, saya

kira pemerintah lebih baik datang ke DPR dan bilang tidak sanggup menjalankan
BPJS daripada negara ini kacau.
Sebelumnya, sistem pembayaran menggunakan INA CBGs dinilai sebagai
salah satu penyebab mundurnya Rumah Sakit Swasta yang mengaku
menanggung kerugian. Sistem pembayaran yang baru diberlakukan sejak April
lalu ini membuat klaim rumah sakit jauh dibawah ketentuan tarif yang
diberlakukan. Rata-rata klaim untuk rawat inap hanya dipenuhi 59%, sementara
untuk klaim rawat jalan diklaim 50%. Besaran tarif premi yang hanya Rp
23.000,00 juga dianggap terlalu kecil, dan tidak mampu menutupi biaya yang
dikeluarkan oleh rumah sakit. Basuki selaku wakil gubernur Jakarta mengakui
besaran premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang hanya Rp
23.000,00 per orang per bulan pun tidak cukup, Ia bahkan sudah memprediksi
minimnya premi ini akan membuat banyak rumah sakit swasta keberatan.

Kemampuan dan Keuntungan JKN bagi PBI dan Masyarakat Luas


Jika terlaksana sesuai target, tepat pada 1 Januari 2014 seluruh rakyat
Indonesia sudah memiliki jaminan kesehatan nasional (JKN) seperti halnya di
Amerika, Jerman, dan Singapura. Apa kelebihan JKN dibanding asuransi lain? Prof
Hasbullah Thabrany dari Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia memberikan rincian keuntungan diberlakukannya JKN yang wajib
diikuti seluruh warga negara Indonesia termasuk warga asing yang tinggal di
Indonesia lebih dari 6 bulan. Kelebihan JKN ini dibanding Askes antara lain jumlah
anak yang dijamin naik dari 2 menjadi 3 anak. Pegawai negeri bisa
mengasuransikan orangtuanya dengan cara memotong gaji sebesar 1% untuk
satu orang. Keuntungan lainnya bagi masyarakat adalah pilihan rumah sakit
lebih banyak, karena rumah sakit swasta tidak bisa lagi tidak ikut.
Kelebihan JKN dibanding Jamsostek adalah Layanan kesehatannya menjadi
lebih luas, termasuk untuk penyakit jantung, kanker, hingga gagal ginjal. Untuk
pegawai swasta, misalnya terkena PHK, akan tetap mendapat jaminan selama 6
bulan. Kalau sekarang sudah tidak jadi pegawai, Jamsostek langsung putus.
Nantinya diberi waktu 6 bulan untuk mencari kerja. Dengan JKN, kelas rawat inap
juga menjadi lebih bervariasi, tidak hanya kelas 2 dan kelas 3 seperti sekarang,
jelas Prof Hasbullah yang menjadi pembicara di seminar nasional tentang SJSN di
Bali yang berlangsung 5-6 Juli 2012.
Jaminan kesehatan sangat diperlukan saat seseorang jatuh sakit. Bisa
dibayangkan jika ada anggota keluarga yang terkena serangan jantung dan
harus masuk ICU dimana biayanya tidaklah murah. Dalam kondisi tersebut, tidak
semua orang bisa menyiapkan dana darurat sebesar yang dibutuhkan. Terutama
bagi masyarakat yang penghasilannya minim tentu kebingungan pun menerpa.
Namun dengan keikutsertaan di JKN, hal seoerti ini dapat diminimalisir. Kondisi
seoerti itu tidak akan terjadi lagi, jika semua rakyat Indonesia sudah menjadi
peserta JKN karena biaya kesehatan sudah teratasi, demikian menurut
keterangan rilis dari Pusat Komunikasi Publik Kementrian Kesehatan RI.

Kelebihan dan Kekurangan Pemberlakuan Sistem JKN Bagi PBI


Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mempunyai multi manfaat secara medis
maupun non medis. JKN ini mempunyai manfaat secara kemprehensive yakni
pelayanan yang diberikan bersifat paripurna mulai dari preventif, promotif,
kuratif, dan rehabilitatif. Seluruh pelayanan tersebut tidak dipengaruhi oleh
besarnya biaya iuran bagi peserta. Pelayanan yang dibatasi meliputi kaca mata,
alat bantu dengar, alat bantu gerak. Pelayanan yang tidak di jamin : tidak sesuai
prosedur, pelayanan diluar Faskes yang bekerjasama dengan BPJS, pelayanan
bertujuan kosmetik, general check up, pengobatan alternatif, pengobatan untuk
mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi, pelayanan kesehatan pada saat
berencana dan pasien bunuh diri/penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk
menyiksa diri sendiri/bunuh diri/narkoba. Manfaat pelayanan bagi PBI, yang
dijamin oleh pemerintah sebagai contoh : Cancer, Chemotherapi, Thalasemia,
Hemodialisa, Fraktur yang membutuhkan tindakan operasi (ORIF), TACI (Trans
Arterial Chemo Infusion), Sectio Caesar, ICCU, ICU dan masih banyak lagi. Kasus
yang telah disebutkan tadi membutuhkan biaya yang besar tetapi di gratiskan
oleh pemerintah untuk pasien PBI. Meskipun manfaat yang saya sebutkan
mengeyampingkan banyaknya keluhan penolakan dan perlakuan berbeda dari
pasien umum. Sebagian masyarakat Jatim mulai merasakan manfaat dari
layanan BPJS Kesehatan karena tidak membayar sama sekali biaya melahirkan
secara operasi (caesar) dan hanya perlu membayar biaya administrasi sekitar Rp
100.000,00.
Tak hanya manfaat namun sejumlah persoalan muncul dalam pelaksanaan
Jaminan Kesehatan Nasional dan Badan Pelaksana Jaminan Sosial Kesehatan.
Padahal program sosial ini baru saja bergulir sejak awal Januari 2014.
Permasalahan ini masih di dominasi dengan ketidaksiapan dari pemerintah dan
BPJS Kesehatan yang sebelumnya bernama PT Askes (Persero) dalam
menyelenggarakan jaminan sosial bagi masyarakat. Diantaranya keterlambatan
pembuatan regulasi operasional seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Keputusan Presiden, dan Peraturan Menteri Kesehatan berkontribusi,
sehingga menimbulkan masalah di lapangan. Sebagai contoh, sampai saat ini
masih banyak pengusaha yang tidak mengetahui berapa iuran yang harus
dibayarkan, manfaat, serta fasilitas apa yang akan di dapat oleh pekerja.
Menurut para pekerja, bagi mereka pemegang kartu JPK Jamsostek merasa
dirugikan karena BPJS Kesehatan hanya mengcover biaya sebatas RP 250.000,00
sementara biaya rumah sakit yang harus dikeluarkan Rp 1.600.000,00.
Keputusan pemerintah menetapkan Penerima Bantuan Iuran sebesar Rp
19.225,00 perbulan per orang dan penetapan biaya kapiyasi ke Pelaksana
Pelayanan Kesehatan yang relatif rendah menyebabkan proter para dokter dari
berbagai rumah sakit. Belum lagi peserta KJS yang juga otomatis sebagai peserta
BPJS Kesehatan kerap kali diharuskan membeli obat sendiri sehingga
memberatkan pasien KJS. Selain itu regulasi tentang harga obat sampai saat ini
juga belum jelas adanya. Masalah lainnya, transformasi JPK Jamsostek ke BPJS
Kesehatan meninggalkan peserta JPK Pekerja Mandiri yang tidak otomatis

menjadi peserta BPJS Kesehatan. Padahal sesuai UU 24/2011 tentang BPJS


sangat jelas dinyatakan peserta JPK Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS
Kesehatan. Selain itu pada saat di Jamsostek, program JPK Perkara Mandiri
melingkupi keluarga tetapi saat ini peserta Pekerja Mandiri di BPJS Kesehatan
merupakan peserta Individual saja. Permasalahan pendaftaran menajdi peserta
BPJS juga dikeluhkan masyarakat, karena banyak lokasi pendaftaran hanya ada
di lokasi-lokasi tertentu saja sehingga terjadi penumpukan calon pendaftar.
Padahal seharusnya pendaftaran BPJS Kesehatan dapat dilakukan di Puskesmas
atau Rumah Sakit yang mudah diakses masyarakat.

Sosialisai BPJS Mengenai Pemberlakuan JKN bagi PBI dan Premi Pelayan
Kesehatan
Peserta PBI adalah orang yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu,
yang preminya akan dibayar oleh pemerintah. Sedangkan yang tergolong bukan
PBI yaitu pekerja penerima upah (pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI,
pejabat negara, pegawai pemerintah non-pegawai negeri, dan pegawai swasta),
pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja (investor, pemberi kerja,
pensiunan, veteran, janda veteran, dan anak veteran). Kementrian Kesehatan
telah berupaya rutin melaksanakan sosialisasi kepada rumah sakit maupun
masyarakat agar tepat pada tanggal 01 Januari 2014 nanti JKN bisa berjalan
maksimal, diantaranya sosialisasi yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan kepada Rumah Sakit se-Jabodetabek dengan mengangkat
tema Sukseskan JKN pada pertemuan Forum Huma Rumah Sakit 2013 (3/07).
Telah dilakukan sosialisai juga melalui iklan di TV, koran, youtube ataupun media
lainnya.
Berikut tata cara pendaftaran pekerja penerima upah non-pegawai pemerintah
menjadi peserta BPJS :
1. Perusahaan mendaftar ke BPJS Kesehatan
2. BPJS Kesehatan melakukan proses registrasi kepesertaan dan memberikan
informasi tentang virtual account untuk perusahaan (di mana satu virtual
account berlaku untuk satu perusahaan)
3. Perusahaan membayar ke bank dengan virtual account yang sudah
diberikan BPJS Kesehatan
4. Perusahaan mengkonfirmasikan pembayaran ke BPJS Kesehatan
5. BPJS Kesehatan memberikan kartu BPJS Kesehatan kepada perusahaan.
Berikut tata cara pendaftaran pekerja penerima upah dan bukan pekerja
menjadi peserta BPJS :
1. Calon peserta melakukan pendaftaran ke BPJS Kesehatan dengan mengisi
formulir daftar isian peserta dan menunjukkan kartu identitas (KTP, SIM,
KK atau Paspor)
2. BPJS Kesehatan memberikan informasi tentang virtual accoint calon
peserta. Virtual account berlaku untuk masing-masing individu calon
peserta

3. Kemudian calon peserta melakukan pembayaran ke bank dengan virtual


account yang sudah diberikan BPJS Kesehatan
4. Peserta melakukan konfirmasi pembayaran iuran pertama ke BPJS
Kesehatan
5. BPJS Kesehatan memberikan kartu BPJS Kesehatan kepada peserta.
Ketika berobat ke Puskesmas ataupun ke Rumah Sakit, peserta BPJS ini
harus membawa kartu kesehatannya, namun apabila ia memiliki kartu
JAMKESMAS. Kartu ini masih dapat digunakan.
Dalam realisasinya, meskipun Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah
berjalan sebulan lamannya, rupanya sosialisasi yang dilakukan BPJS Kesehatan
dinilai oleh beberapa pihak masih kurang. Hal ini ditandai oleh masih banyaknya
warga yang belum paham betul regulasi JKN. Sosialisasi butuh waktu, ibaratnya
kalau kuliah mungkin buruh 2 sks atau sekitar 6 bulan untuk bisa membuat
orang lain paham. Jadi wajar kalau masih banyak yang belum paham karena ini
memang kompleks, ujar Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof Ali Ghufron Mukti,
ditemui di sela-sela acara silahturahim sosial : Implementasi Jaminan Kesehatan
Bagi Seluruh Rakyat Tanpa Batasan, yang diselenggarakan di Wisma Antara,
Jakarta, Selasa (4/2/2014). Kurangnya pemahaman akan JKN ini sendiri tak hanya
terjadi pada masyarakat sebagai peserta, tetapi juga oleh pihak rumah sakit dan
puskesmas.
Oleh sebab itu, sempat diajukan usul agar BPJS menyiapkan satu orang
staf khusus yang bertugas mengurus atau sekadar memberikan informasi terkait
regulasi JKN di setiap puskesmas atau rumah sakit. Usulan ini ditanggapi positif
oleh Ali saat disampaikan, menurutnya itu merupakan salah satu cara yang baik
untuk membantu memperbaiki kurangnya sosialisasi di masyarakat. Sebelumnya
dr. Supriyantoro, Sekertaris Jendral Kemenkes RI, juga menyebutkan bahwa
sosialisasi sebenarnya sudah dilakukan sejak lama. Hanya saja karena luasnya
kondisi geografis di Indonesia maka masih ada beberapa daerah yang dirasa
belum paham. Contohnya saja sosialisasi Program Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) di Kota Batu, masih jauh bisa dimengerti oleh masyarakat. Fakta itu
dapat ditemukan di wilayah Kecamatan Bumiaji, warga merasa kesulitan yang
imbasnya membatalkan diri mengikuti program tersebut. Hal tersebut berbeda
bagi masyarakat yang sudah tergabung dalam Jamkesmas, Askes maupun dan
Jamsostek, yang secara otomatis langsung masuk BJPJS.

Evaluasi Efektifitas Kinerja JKN dalam Sistem BPJS


Pemberlakuan BPJS Kesehatan sejak tanggal 1 Januari 2014 telah
menimbulkan kekhawatiran bagi tenaga kesehatan mengenai metode
pembayaran jasa mereka dengan menggunakan sistem kapitasi INA CBGs.
Zaenal Abidin Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara terang-terangan
mengatakan sistem kapitasi yang hendak diterapkan bagi para dokter di layanan
kesehatan primer (puskesmas) bisa membuat para dokter tekor (rugi) atau
berkurang pendapatannya akibat bertambahnya jumlah pasien.

Biaya kapitasi dan INA CBGs yang terlalu kecil beresiko menyebabkan
dokter tekor. Kalau sudah begitu dokter tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
sehari-hari, kata Zaenal.
Tarif kapitasi dihitung berdasarkan jumlah peserta terdaftar tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Pemerintah menetapkan tarif kapitasi untuk layanan primer (puskesmas) sebesar
Rp3-6 ribu, untuk layanan klinik pratama dan praktek dokter sebesar Rp8-10 ribu
serta Rp2 ribu untuk praktek dokter gigi mandiri namun Zaenal mengatakan
jumlah tersebut masih sangat kurang apalagi jika jumlah masyarakat yang
terdaftar sangat sedikit misalnya didaerah.
Yang saya tahu setelah satu minggu ini berlangsung, animo masyarakat
meningkat, beban kerja tenaga kesehatan berta,bah. Itu perlu kita ketahui persis
apakah ada keluhan dengan penambahan atau tidak terhadahp pendapatan.
Sekarang ada keluhan dokter di puskesmas gaji hanya Rp 2,5 juta gak ada
tambahan yang lain, kata Zenal.
Sistem kapitasi yang diberlakukan untuk dokter layanan primer yang
menandatangi kontrak dengan BPJS Kesehatan saat ini membuat pendapatan
para dokter tersebut akan bergantung pada sisa biaya kapitasi yang diberikan.
Jika masyarakat yang sakit banyak, maka biaya kapitasi tersebut akan banyak
digunakan untuk melakukan pengobatan sehingga sisanya yang bisa diberikan
untuk jasa medik dokter makin sedikit.
"Jika kapitasi cukup, Rp5-7 ribu per pasien, saya pikir akan lebih longgar
mengatur dananya, tapi jika penduduk yang 'diberikan' (ditangani dokter) kecil,
hanya 1.000 orang, maka itu kurang," kata Zaenal.
IDI kemudian mengusulkan agar pemerintah juga memberikan insentif
tambahan tetap kepada para dokter layanan primer tersebut sebesar Rp2-3 juta
perbulannya
untuk
menghindarkan
kekhawatiran
para
tenaga
kesehatan. Masalah kekhawatiran pendapatan tersebut bukan hanya ditingkat
layanan primer, lanjut Zaenal tapi juga ditingkat rumah sakit.
"Saat ini yang perlu dibahas adalah pembagian renumerasi antara rumah
sakit dan tenaga kesehatan. BPJS menurunkan dana, tapi itu ke RS, berapa
sampai ke tenaga kesehatan, kita tidak tahu. Perlu diatur berapa yang diberi ke
tenaga kesehatan, biar mereka tidak mengira-ngira," kata Zaenal.
Selain itu, sistem Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs) yang diterapkan
disebut Zaenal masih memiliki kelemahan antara lain ada beberapa layanan
yang belum tercantum.
"Ada beberapa spesialis, penunjang terutama, yang tidak masuk dalam
INA-CBGs. Tindakannya tidak disebutkan disitu atau ada tapi biayanya tidak
cukup. Misal dia melakukan tindakan tapi biayanya hhanya cukup untuk
membayar bahan yang dipakai, tidak ada untuk membayar dokternya," papar
Zaenal.

Kekhawatiran para tenaga kesehatan tersebut akhirnya berbuah kepada


pembentukan. Satuan Tugas Profesi untuk Jaminan Kesehatan Nasional (Satgas
Profesi JKN) yang terdiri atas lima organisasi profesi yaitu Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia
(PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Ikatan Apoteker
Indonesia
(IAI).
Selain melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan di
daerah, Zaenal mengatakan tugas Satgas tersebut juga termasuk
mengumpulkan data yang dibutuhkan terkait kesejahteraan para tenaga
kesehatan.
"Kami tidak ingin mendesak pemerintah untuk melakukan terobosan tanpa
menyiapkan data-data yang dibutuhkan. Rekan-rekan di daerah akan diminta
melakukan pemantauan dan nanti kita laporkan ke pemerintah di rapat
koordinasi yang dipimpin Menko Kesra," kata Zaenal.
Satgas juga disebut Zaenal akan memberikan bimbingan kepada para
dokter layanan primer untuk lebih pintar mengatur dana kapitasi yang diterima.
"Jadi bagaimana agar dokter tidak rugi, kita ajarkan untuk melakukan
promotif/preventif. Jika anda tidak melakukan tindakan promotif/preventif maka
anda tidak bisa menabung," ujarnya.
Satgas disebutnya akan memantau ketat bagaimana para tenaga
kesehatan dapat menjalankan paradigma sehat kepada masyarakat sehingga
jumlah tindakan dan obat yang diberikan diminimalisir dan mengurangi biaya
kesehatan.
"Kita pantau ketat bagaimana agar paradigma sehat dapat dilakukan,
tidak menunggu masyarakat sakit. Kalau datang sakit, harus dikasih obat, kalau
datang konsultasi saja, tidak perlu obat. Berarti jika paradigma sehat
diberlakukan, biaya obat bisa diminimalisir sehingga biaya obat menjadi jatah
dokter dan timnya," papar Zaenal.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menanggapi dingin
keluhan para dokter tersebut dan mengingatkan bahwa tarif kapitasi telah
ditetapkan berdasarkan perhitungan yang dilakukan bersama.
"Semua semua berdasarkan asumsi, itu sudah dihitung. Kita sudah
tingkatkan kapitasi berdasarkan perhitungan itu. Di puskesmas juga sudah
ditingkatkan 3-6 kali lipat, dari Rp1.000 menjadi Rp3.000-6.000. Kalau di kota
ditingkatkan 8-10 kali. Ini berbeda karena di puskesmas kan obat dan lain-lain
masih dari kita (pemerintah)," kata Menkes.
Selain itu, Menkes juga menekankan bahwa sistem tersebut baru dimulai
dan telah disepakati juga untuk melakukan evaluasi dalam waktu tiga bulan dan
enam bulan setelah pelaksanaan. "Kita sudah panggil (IDI), kita sudah sepakat.
Kita lihat dulu, kita tinjau dalalm enam bulan ini. Kalau memang betul tekor
(rugi) ya kita tinjau. Kita sudah rapat. Kita sudah sepakat kok," kata Menkes
tegas.

Sebelumnya, perhitungan aktuaria menghasilkan tiga opsi pembiayaan


BPJS Kesehatan yaitu mulai dari Rp19 ribu, Rp22 ribu dan Rp27 ribu. "Kami telah
mengusulkan yang Rp22 ribu tapi pemerintah mengatakan kita mulai dari Rp19
ribu
dulu,"
kata
Menkes
seperti
dilansir Antara.
Pertimbangan pemerintah memilih premi bagi penerima bantuan iuran sebesar
Rp19.225 perorang perbulan tersebut adalah pertimbangan kemampuan
anggaran.
Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan Rp19,9 triliun pada APBN
untuk membayar premi BPJS Kesehatan bagi 86,4 juta warga miskin dan kurang
mampu. Jika ditambah lebih dari 35 juta jiwa PNS, aparat kepolisian dan pegawai
BUMN yang telah tergabung dalam program tersebut maka total terdapat 121,6
juta jiwa yang bergabung dan masih sekitar 125 juta jiwa yang belum masuk
dalam program BPJS.
Dalam realisasinya masih banyak pihak Rumah Sakit yang kesulitan
melayani pasien Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program JKN yang mulai
diberlakukan per 1 Januari 2014 belum sepenuhnya siap. Terutama untuk
pelaksanaan di daerah. Seperti apa yang terjadi di Denpasar. Buktinya, obatobatan yang diperuntukan bagi pasien JKN masih ada yang kosong. Artinya stok
beberapa jenis obat masih nihil, sebagaimana yang diatur dalam daftar
Formularium.Hal ini ditegaskan Dirut BLU RSUD Wangaya dr. Setiawati Hartawan,
kemarin. Akibatnya, rumah sakit kesulitan untuk memberikan pelayanan secara
maksimal kepada pasien JKN. Dikatakan, pasien yang menggunakan JKN
tersebut adalah peserta eks Jamkesmas dan eks Askes. Tidak ada perbedaan
antara pelayanan yang diberikan pasien JKN dan jaminan kesehatan lainnya,
sebab RS Wangaya sudah memiliki SOP penanganan pasien. Sesuai dengan
ketentuan, pelayanan pasien JKN akan dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) menjadi satu paket dengan obat-obatannya. Sesuai dengan
Keputusan Menteri Kesehatan RI No 328 tahun 2013 tentang Formularium
Nasional, obat-obatan yang digunakan pada pasien JKN diatur pada Formularium
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat. BPJS yang menjadi penyelenggara JKN
pun tidak mau bertanggung jawab atas harga yang timbul di luar ketentuan. Hal
itulah yang menjadi kendala RS Wangaya dalam memberikan pelayanan JKN.
Sebenarnya dengan adanya formularium ini sangat bagus untuk menekan
mahalnya obat-obatan. Tapi keberadaan obat-obatan tersebut sangat sulit
ditemukan, bebernya.Jika kesulitan dalam mendapatkan obat yang sesuai
dengan Formularium Nasional terus terjadi, malah akan membebankan keuangan
rumah sakit.
Menurut saya pribadi, Sistem BPJS ini terkesan seperti belum siap, karena
masih banyak daerah yang belum mendapatkan penyuluhan atau sosialisasi
mengenai JKN yang telah diselenggarakan oleh BPJS ini khususnya di daerah
terpencil.
Persoalan JKN ini dikatakan tidak partisipatif karena dalam
menentukan premi, Pemerintah tidak mendengarkan dan melibatkan IDI dalam
penetapan premi sebesar Rp 27.000,00 dan malah menetapkan premi sebesar
Rp 19.225,00 . Seharusnya Pemerintah mendengarkan apa yang dikatakan IDI
karena IDI telah mewakilkan pikiran dari sejumlah tenaga kesehatan di Indonesia

khususnya para dokter. JKN ini juga tidak transparant karena apabila sudah
transparant, tidak akan ada IDI ataupun tenaga kesehatan lain yang memprotes
berlakunya sistem JKN yang dinaungi oleh BPJS. Persoalan mendasar lainnya
adalah JKN akan dikelola oleh BPJS Kesehatan yang bersifat sentralistik melalui
dukungan anggaran yang jauh lebih besar, sedangkan SKN diselenggarakan oleh
Pemerintah yang bersifat desentralistik melalui Otonomi Daerah (Otda) dan
tugas perbantuan. Ini sangat kontradiktif yang menunjukkan kebijakan
JKN sudah terlepas dari kebijakan SKN. PerPres No. 72/2012 menegaskan
bahwa penyelenggaraan SKN memerlukan prinsip koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan sinergisme yang dinamis, baik antar pelaku, antar subsistem
SKN, maupun dengan subsistem di luar SKN. Ini tidak akan terjadi karena dengan
JKN yang sangat superior dibandingkan kebijakan SKN.
BPJS memiliki kewenangan yang sangat besar sebagaimana diatur di
dalam UU BPJS. BPJS Kesehatan bertugas bukan hanya mengumpulkan,
menerima, serta mengelola dana dan data peserta BPJS, tapi melakukan kontrak
kerja terhadap seluruh pemilik fasilitas kesehatan (pemerintah maupun swasta).
Atas dasar ketidakmerataan tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
kesehatan, maka BPJS memberikan beberapa pilihan kontrak kerja kepada
pemilik kesehatan secara sepihak jika ingin melayani pasien peserta BPJS. Begitu
juga terhadap peserta bukan PBI, pilihan-pilihan skala besaran iuran akan
menempatkan BPJS sebagai Majikan Baru bagi kesehatan bangsa.
Pemerintah pusat sebagai pemilik fasilitas kesehatan pusat dan
pemerintah daerah sebagai pemilik fasilitas kesehatan daerah diharuskan
menandatangani kontrak kerja dan diwajibkan membayar iuran PBI dan nonPBI (yang selama ini ditangani PT. ASKES) kepada BPJS Kesehatan. Sementara
di sisi lain pemerintah lalai dalam kewajibannya memenuhi pelayanan
kesehatan yang adil, merata, dan merdeka bagi rakyat Indonesia.
Apalagi kebanyakan pemerintah daerah yang hanya menjadikan isu
kesehatan sebagai pencitraan politik tanpa melakukan aksi nyata bagi
masyarakatnya. Mungkin
tidak
satupun
pemerintah
daerah
yang
mengalokasikan APBD nya sebesar minimal 10% untuk belanja kesehatan.
Rakyat diberikan informasi oleh media-media (baik cetak dan
elektronik) yang seakan-akan BPJS menjadi penyelamat atas buruknya
pelayanan kesehatan yang selama ini terjadi. Kebijakan JKN diopinikan
sebagai kebijakan pengobatan gratis yang berlaku di seluruh Indonesia.
Apakah rakyat Indonesia mengerti bahwa program JKN ini dibiayai negara?
Apakah sebagian rakyat Indonesia telah memahami bahwa untuk
terselenggaranya JKN, diperlukan sistem-sistem kesehatan lainnya? Apakah
sudah ada standar pelayanan kesehatan? Apakah tenaga kesehatan
berkompeten telah mencukupi sesuai rasio penduduk? Apakah fasilitas
pelayanan kesehatan yang telah dibangun sesuai kebutuhan masyarakat secara
merata dan terjangkau? Apakah pelayanan kesehatan yang diberikan akan adil
dan bermutu?
Bagi tenaga medis yang peduli terhadap nasib kesehatan bangsanya, BPJS
kesehatan merupakan penjajah baru dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dasar ditidurkan oleh informasi akan
mendapat jasa yang besar jika jumlah orang sakit yang berobat sedikit.
Sedangkan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan semakin dihantui

atas kekhawatiran banyaknya pasien rujukan. Seperti candaan Menteri


Kesehatan Nafsiah Mboi, ini namanya tenaga kesehatan dibunuh pelanpelan. Sewaktu-waktu BPJS boleh saja memutuskan kontrak kerja
secara sepihak dengan tenaga kesehatan. Kontrak kerja ini sama saja
seperti penjara besar. Tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dll) dipaksa
untuk bekerja optimal dengan fasilitas kesehatan yang masih banyak belum
layak.
Tenaga medis melalui organisasi profesinya (IDI, PDGI, IBI, dan PPNI) yang
seharusnya menjadi lokomotif pelayanan kesehatan bangsa, namun peran ini
dikecilkan oleh pemerintah melalui program SJSN bidang kesehatan. Tuntutan
organisasi profesi untuk menaikkan anggaran kesehatan hanya mampu
mengeluarkan sedikit kotoran telinga pemerintah, tapi tak mampu
memberikan advokasi yang kuat untuk merubah kebijakan pemerintah
tersebut. Pemerintah tak bergeming ketika ada protes tentang anggaran
belanja kesehatan yang jauh lebih kecil dari angka 5%. Pemerintah telah meninabobok-kan seluruh organisasi profesi bahwa ibu tiri yang bernama BPJS itu
akan mampu mengatasi masalah anggaran belanja kesehatan yang sangat
rendah tersebut.
Solusi yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah mengikuti usul yang
telah ditanggapi positif oleh Ali untuk menyiapkan satu orang staf khusus yang
bertugas mengukur atau sekadar memberikan informasi terkait regulasi JKN di
setiap puskesmas atau rumah sakit karena ini merupakan salah satu cara untuk
memperbaiki kurangnya sosialisasi di masyarakat khususnya dikalangan
terpencil. Lalu untuk masalah premi sebaiknya Pemerintah juga mendengarkan
usul yang mengatakan bahwa seharusnya Pemerintah mengalihkan subsidi
bahan bakar minyak (BBM) untuk meningkatkan anggaran premi jaminan
kesehatan (JAMKES), seperti apa yang telah dikatakan oleh Ketua Panitia Kerja
Jaminan Kesehatan DPR, Soepriyanto karena dengan akan dikuranginya subsidi
BBM, seharusnya pemerintah dapat menghitung ulang kemampuan fiskal
Indonesia, yang kemudian menaikkan premi PBI jaminan kesehatan yang semula
direncanakan Rp 15.500,00 per orang per bulan. Dengan adanya rencana
kenaikan harga BBM, pemerintah seharusnya dapat menggunakan surplus yang
ada untuk kesejahteraan rakyat. Karena itu, Panja Jaminan Kesehatan DPR belum
menyetujui besaran premi PBI yang diusulkan Kementrian Keuangan tersebut.
Bila dengan premi PBI Rp 15.500,00 itu, menurut Soepriyanto pemerintah lebih
baik datang ke DPR dan bilang tidak sanggup menjalankan BPJS daripada negara
ini kacau.

Anda mungkin juga menyukai