Valen : Bahas persoalan PBI, premi baik premi yang harus dibayar dan gaji para
pelaku kesehatan. Thapan pembayaran iuran bagi non pbi
Pendahuluan
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Nomor 101 Tahun 2012 tentang
Penerima Bantuan Iuran (PBI) pada penghujung tahun 2012 lalu. Peraturan itu
pada intinya mengatur tentang siapa saja yang berhak menerima bantuan
pembayaran iuran jaminan kesehatan dari pemerintah yang diambil dari APBN.
Jaminan Kesehatan ini sudah diberlakukan pada 1 Januari 2014.
Penerima Upah (pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri) dan
Peserta bukan Pekerja (investor, perusahaan, penerima pensiun, veteran, perintis
kemerdekaan, janda, duda, anak yatim piatu dari veteran atau perintis
kemerdekaan) dibayar oleh Peserta yang bersangkutan. Untuk jumlah iuran
Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerim Upah yang terdiri dari PNS,
Anggot TNI, Anggota POLRI, Pejabat Negara, dan Pegawai Pemerintah Non
Pegawai Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau Upah per bulan,
dengan ketentuan 3 persen dibayar oleh pemberi kerja, dan 2 persen dibayar
oleh peserta. Tapi iuran ini tidak dipotong secara sekaligus. Karena secara
bertahap akan dilakukan dari 1 Januari 2014 30 Juni 2015 adalah pemotongan
4% dari Gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4% dibayar oleh
Pemberi Kerja dan 0,5% dibayar oleh Peserta. Namun, mulai 1 Juli 2015
pembayaran iuran 5% dari Gaji atau Upah per bulan itu menjadi 4% dibayar oleh
Pemberi Kerja dan 1% oleh Peserta. Sementara bagi peserta perorangan akan
membayar iuran sebesar kemampuan dan kebutuhannya. Setiap Pemberi Kerja
wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang
menjadi tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap bulan
kepada BPJS Kesehatan secara berkala paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
Apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja
berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan denda administrasi
sebesar 2% perbulan dari total iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi
Kerja diatur dalam Pepres Nomor 12 Tahun 2013 BAB IV tentang Iuran Bagian
Kedua Pembayaran Iuran Pasal 17 ayat (4). Peserta Pekerja Bukan Penerima
Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar iuran JKN pada setiap bulan
yang dibayarkan paling lambat tanggal 10 setiap bulan kepada BPJS Kesehatan.
Serta Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan dapat dilakyukan diawal untuk lebih
dari satu bulan. BPJS Kesehatan akan menghitung kelebihan atau kekurangan
iuran JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta. Dalam hal terajdi kelebihdan
atau kekurangan pembayaran iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara
tertulis kepada Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 hari kerja sejak
diterimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan pembayaran iuran diperhitungkan
dengan pembayaran Iuran bulan berikutnya. Dalam hal keterlambatan
pembayaran lunas iuran jaminan kesehatan disebabkan karena kesalahan
pemberi kerja, maka pemberi kerja wajib membayar pelayanan kesehatan
pekerjanya sebelum dilakukan pelunasan pembayaran iuran oleh pemberi kerja.
Pembayaran iuran ini dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan
apabila ada keterlambatan akan dikenakan denda administratif sebersar 2 % dari
total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 bulan dan besaran
Iuran Jaminan Kesehatan ditinjau paling lama dua tahun sekali yang ditetapkan
dengan Peraturan Presiden.
Fasilitas yang akan diterima peserta PBI untuk pekerja penerima upah
(PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non Pegawai
Negeri dan Pegawai Swasta) akan mendapatkan pelayanan kelas I dan kelas
II. Untuk pekerja bukan penerima upah (Pekerja di luar hubungan kerja atau
pekerja mandiri, karyawan swasta) akan mendapatkkan pelayanan kelas I, II,
III sesuai dengan premi dan kelas perawatan yang dipilih. Untuk bukan
Korelasi INA CBGs dengan Premi Bagi Penerima Bantuan Iuran dan
Pelayan Kesehatan
kira pemerintah lebih baik datang ke DPR dan bilang tidak sanggup menjalankan
BPJS daripada negara ini kacau.
Sebelumnya, sistem pembayaran menggunakan INA CBGs dinilai sebagai
salah satu penyebab mundurnya Rumah Sakit Swasta yang mengaku
menanggung kerugian. Sistem pembayaran yang baru diberlakukan sejak April
lalu ini membuat klaim rumah sakit jauh dibawah ketentuan tarif yang
diberlakukan. Rata-rata klaim untuk rawat inap hanya dipenuhi 59%, sementara
untuk klaim rawat jalan diklaim 50%. Besaran tarif premi yang hanya Rp
23.000,00 juga dianggap terlalu kecil, dan tidak mampu menutupi biaya yang
dikeluarkan oleh rumah sakit. Basuki selaku wakil gubernur Jakarta mengakui
besaran premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang hanya Rp
23.000,00 per orang per bulan pun tidak cukup, Ia bahkan sudah memprediksi
minimnya premi ini akan membuat banyak rumah sakit swasta keberatan.
Sosialisai BPJS Mengenai Pemberlakuan JKN bagi PBI dan Premi Pelayan
Kesehatan
Peserta PBI adalah orang yang tergolong fakir miskin dan tidak mampu,
yang preminya akan dibayar oleh pemerintah. Sedangkan yang tergolong bukan
PBI yaitu pekerja penerima upah (pegawai negeri sipil, anggota TNI/POLRI,
pejabat negara, pegawai pemerintah non-pegawai negeri, dan pegawai swasta),
pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja (investor, pemberi kerja,
pensiunan, veteran, janda veteran, dan anak veteran). Kementrian Kesehatan
telah berupaya rutin melaksanakan sosialisasi kepada rumah sakit maupun
masyarakat agar tepat pada tanggal 01 Januari 2014 nanti JKN bisa berjalan
maksimal, diantaranya sosialisasi yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Bina
Upaya Kesehatan kepada Rumah Sakit se-Jabodetabek dengan mengangkat
tema Sukseskan JKN pada pertemuan Forum Huma Rumah Sakit 2013 (3/07).
Telah dilakukan sosialisai juga melalui iklan di TV, koran, youtube ataupun media
lainnya.
Berikut tata cara pendaftaran pekerja penerima upah non-pegawai pemerintah
menjadi peserta BPJS :
1. Perusahaan mendaftar ke BPJS Kesehatan
2. BPJS Kesehatan melakukan proses registrasi kepesertaan dan memberikan
informasi tentang virtual account untuk perusahaan (di mana satu virtual
account berlaku untuk satu perusahaan)
3. Perusahaan membayar ke bank dengan virtual account yang sudah
diberikan BPJS Kesehatan
4. Perusahaan mengkonfirmasikan pembayaran ke BPJS Kesehatan
5. BPJS Kesehatan memberikan kartu BPJS Kesehatan kepada perusahaan.
Berikut tata cara pendaftaran pekerja penerima upah dan bukan pekerja
menjadi peserta BPJS :
1. Calon peserta melakukan pendaftaran ke BPJS Kesehatan dengan mengisi
formulir daftar isian peserta dan menunjukkan kartu identitas (KTP, SIM,
KK atau Paspor)
2. BPJS Kesehatan memberikan informasi tentang virtual accoint calon
peserta. Virtual account berlaku untuk masing-masing individu calon
peserta
Biaya kapitasi dan INA CBGs yang terlalu kecil beresiko menyebabkan
dokter tekor. Kalau sudah begitu dokter tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan
sehari-hari, kata Zaenal.
Tarif kapitasi dihitung berdasarkan jumlah peserta terdaftar tanpa
memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Pemerintah menetapkan tarif kapitasi untuk layanan primer (puskesmas) sebesar
Rp3-6 ribu, untuk layanan klinik pratama dan praktek dokter sebesar Rp8-10 ribu
serta Rp2 ribu untuk praktek dokter gigi mandiri namun Zaenal mengatakan
jumlah tersebut masih sangat kurang apalagi jika jumlah masyarakat yang
terdaftar sangat sedikit misalnya didaerah.
Yang saya tahu setelah satu minggu ini berlangsung, animo masyarakat
meningkat, beban kerja tenaga kesehatan berta,bah. Itu perlu kita ketahui persis
apakah ada keluhan dengan penambahan atau tidak terhadahp pendapatan.
Sekarang ada keluhan dokter di puskesmas gaji hanya Rp 2,5 juta gak ada
tambahan yang lain, kata Zenal.
Sistem kapitasi yang diberlakukan untuk dokter layanan primer yang
menandatangi kontrak dengan BPJS Kesehatan saat ini membuat pendapatan
para dokter tersebut akan bergantung pada sisa biaya kapitasi yang diberikan.
Jika masyarakat yang sakit banyak, maka biaya kapitasi tersebut akan banyak
digunakan untuk melakukan pengobatan sehingga sisanya yang bisa diberikan
untuk jasa medik dokter makin sedikit.
"Jika kapitasi cukup, Rp5-7 ribu per pasien, saya pikir akan lebih longgar
mengatur dananya, tapi jika penduduk yang 'diberikan' (ditangani dokter) kecil,
hanya 1.000 orang, maka itu kurang," kata Zaenal.
IDI kemudian mengusulkan agar pemerintah juga memberikan insentif
tambahan tetap kepada para dokter layanan primer tersebut sebesar Rp2-3 juta
perbulannya
untuk
menghindarkan
kekhawatiran
para
tenaga
kesehatan. Masalah kekhawatiran pendapatan tersebut bukan hanya ditingkat
layanan primer, lanjut Zaenal tapi juga ditingkat rumah sakit.
"Saat ini yang perlu dibahas adalah pembagian renumerasi antara rumah
sakit dan tenaga kesehatan. BPJS menurunkan dana, tapi itu ke RS, berapa
sampai ke tenaga kesehatan, kita tidak tahu. Perlu diatur berapa yang diberi ke
tenaga kesehatan, biar mereka tidak mengira-ngira," kata Zaenal.
Selain itu, sistem Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs) yang diterapkan
disebut Zaenal masih memiliki kelemahan antara lain ada beberapa layanan
yang belum tercantum.
"Ada beberapa spesialis, penunjang terutama, yang tidak masuk dalam
INA-CBGs. Tindakannya tidak disebutkan disitu atau ada tapi biayanya tidak
cukup. Misal dia melakukan tindakan tapi biayanya hhanya cukup untuk
membayar bahan yang dipakai, tidak ada untuk membayar dokternya," papar
Zaenal.
khususnya para dokter. JKN ini juga tidak transparant karena apabila sudah
transparant, tidak akan ada IDI ataupun tenaga kesehatan lain yang memprotes
berlakunya sistem JKN yang dinaungi oleh BPJS. Persoalan mendasar lainnya
adalah JKN akan dikelola oleh BPJS Kesehatan yang bersifat sentralistik melalui
dukungan anggaran yang jauh lebih besar, sedangkan SKN diselenggarakan oleh
Pemerintah yang bersifat desentralistik melalui Otonomi Daerah (Otda) dan
tugas perbantuan. Ini sangat kontradiktif yang menunjukkan kebijakan
JKN sudah terlepas dari kebijakan SKN. PerPres No. 72/2012 menegaskan
bahwa penyelenggaraan SKN memerlukan prinsip koordinasi, integrasi,
sinkronisasi dan sinergisme yang dinamis, baik antar pelaku, antar subsistem
SKN, maupun dengan subsistem di luar SKN. Ini tidak akan terjadi karena dengan
JKN yang sangat superior dibandingkan kebijakan SKN.
BPJS memiliki kewenangan yang sangat besar sebagaimana diatur di
dalam UU BPJS. BPJS Kesehatan bertugas bukan hanya mengumpulkan,
menerima, serta mengelola dana dan data peserta BPJS, tapi melakukan kontrak
kerja terhadap seluruh pemilik fasilitas kesehatan (pemerintah maupun swasta).
Atas dasar ketidakmerataan tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
kesehatan, maka BPJS memberikan beberapa pilihan kontrak kerja kepada
pemilik kesehatan secara sepihak jika ingin melayani pasien peserta BPJS. Begitu
juga terhadap peserta bukan PBI, pilihan-pilihan skala besaran iuran akan
menempatkan BPJS sebagai Majikan Baru bagi kesehatan bangsa.
Pemerintah pusat sebagai pemilik fasilitas kesehatan pusat dan
pemerintah daerah sebagai pemilik fasilitas kesehatan daerah diharuskan
menandatangani kontrak kerja dan diwajibkan membayar iuran PBI dan nonPBI (yang selama ini ditangani PT. ASKES) kepada BPJS Kesehatan. Sementara
di sisi lain pemerintah lalai dalam kewajibannya memenuhi pelayanan
kesehatan yang adil, merata, dan merdeka bagi rakyat Indonesia.
Apalagi kebanyakan pemerintah daerah yang hanya menjadikan isu
kesehatan sebagai pencitraan politik tanpa melakukan aksi nyata bagi
masyarakatnya. Mungkin
tidak
satupun
pemerintah
daerah
yang
mengalokasikan APBD nya sebesar minimal 10% untuk belanja kesehatan.
Rakyat diberikan informasi oleh media-media (baik cetak dan
elektronik) yang seakan-akan BPJS menjadi penyelamat atas buruknya
pelayanan kesehatan yang selama ini terjadi. Kebijakan JKN diopinikan
sebagai kebijakan pengobatan gratis yang berlaku di seluruh Indonesia.
Apakah rakyat Indonesia mengerti bahwa program JKN ini dibiayai negara?
Apakah sebagian rakyat Indonesia telah memahami bahwa untuk
terselenggaranya JKN, diperlukan sistem-sistem kesehatan lainnya? Apakah
sudah ada standar pelayanan kesehatan? Apakah tenaga kesehatan
berkompeten telah mencukupi sesuai rasio penduduk? Apakah fasilitas
pelayanan kesehatan yang telah dibangun sesuai kebutuhan masyarakat secara
merata dan terjangkau? Apakah pelayanan kesehatan yang diberikan akan adil
dan bermutu?
Bagi tenaga medis yang peduli terhadap nasib kesehatan bangsanya, BPJS
kesehatan merupakan penjajah baru dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan dasar ditidurkan oleh informasi akan
mendapat jasa yang besar jika jumlah orang sakit yang berobat sedikit.
Sedangkan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan rujukan semakin dihantui