Prof - Jenny B.
Prof - Jenny B.
Jenny Bashiruddin
Departemen Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Program Konservasi Pendengaran (PKP) adalah rangkaian kegiatan sistematis, yang
bertujuan untuk mencegah gangguan pendengaran pada pekerja terpajan kebisingan tinggi
dalam lingkungan industri. Nilai ambang batas yang diperkenankan secara Internasional oleh
Ocupational Safety Health Ascosiation (OSHA) adalah 85 dB untuk lama pajanan 8 jam perhari
atau 40 jam perminggu. Elemen PKP antara lain tinjauan awal daerah industri, evaluasi
kebisingan, pengendalian administrasi dan rekayasa engineering, evaluasi audiometri, alat
pelindung telinga, komunikasi, edukasi dan informasi serta pencatatan, pelaporan dan evaluasi.
Gangguan pendengaran akibat pajanan bising noise induced hearing loss/NIHL sering dijumpai
pada pekerja industri di negara maju maupun berkembang, terutama negara industri yang
belum menerapkan sistem perlindungan pendengaran dengan baik di Indonesia masih banyak
di jumpai masalah NIHL. Bising lingkungan kerja dapat berdampak buruk terhadap pekerja
dengan risiko gangguan pendengaran akibat bising sekitar 30%. PKP belum dapat
dilaksanakan dengan baik, karena keterbatasan kemampuan para petugas kesehatan kerja,
sehingga masih banyak pekerja terpajan bising yang mengalami NIHL.
Kata kunci: program konservasi pendengaran, gangguan pendengaran akibat bising.
14
Abstract: Hearing conservation program (HCP), is a method of preventing noise induced hearing
loss (NIHL) in the occupational environment. The threshold safety limit value (TLV) which has
been internationally used by Ocupational Safety Health Ascosiation (OSHA) is 85 dB in 8 working
hours a day or 40 working hours in week. An effective HCP element included monitoring hearing
hazard, engineering and administrative controls, periodic audiometric evaluation, hearing protection devices, worker educations and motivation, record keeping and program evaluation is
important. Indonesia still facing NIHL problem. Hearing loss at the workplace is still the main
occupational disease occured until now. The workers suffer from hearing disturbances are about
30%. NIHL is the common occupational illnesses and represents the majority of hearing loss
cases in the workplace. In Indonesia because of many limitation, HCP is not yet well implemented.
Difficulties in diagnosis NIHL as occupational diseases, others exposes out of job, others diseases
that cause Hearing disturbances, less audiogram as base line data, undisciplined using PPE are
some limitation that occure.
Key words: occupational, hearing loss, hearing conservation program
Pendahuluan
Sound Hearing 2030 adalah program yang bertujuan
menurunkan angka gangguan pendengaran sebesar 50%
pada tahun 2015, dan 90% pada tahun 2030 melalui
pengembangan sistem pemeliharaan kesehatan berkelanjutan. Departemen Kesehatan telah menyusun Renstranas
Penanggulangan Gangguan Pendengaran (PGP) dan
Ketulian dengan prioritas: empat penyebab gangguan
pendengaran yaitu tuli kongenital, otitis media kronis
supuratif (OMSK), gangguan pendengaran akibat bising
(NIHL) dan presbiakusis.
Konservasi pendengaran adalah program yang
bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan atau
kehilangan pendengaran tenaga kerja akibat kebisingan di
tempat kerja. Menurut American Occupational Medical Association (AOMA) salah satu fungsi penting dokter
kesehatan kerja adalah melakukan pengamatan tentang
kondisi lingkungan kerja diantaranya intensitas kebisingan,
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam
mengenal dan melakukan evaluasi tingkat kebisingan dalam
lingkungan kerja, serta mengkombinasikan dengan data klinis
berupa hasil pemeriksaan audiometrik.
Salah satu tujuan program konservasi pendengaran
adalah mengetahui status kesehatan pendengaran tenaga
kerja yang terpajan bising berdasarkan data.
Peraturan Perundangan
Peraturan Perundangan terkait Program Konservasi
Pendengaran (PKP) terdiri atas beberapa Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Kepres dan peraturan tingkat menteri
UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, terutama
pasal 9, yang menyatakan bahwa pemilik industri wajib
memberikan penerangan kepada pekerja yang menyangkut
bahaya di tempat kerja dan cara pengendalian yang dilakukan
oleh perusahaan. UU no 13 tahun 2003 tentang tenaga kerja
mewajibkan perusahaan memiliki sistem manajemen K3 (SMK3) terkait dengan sistem manajemen perusahaan. UU no 3
tahun 1992 tentang Jamsostek menetapkan ketulian akibat
kerja sebagai penyakit yang diberikan kompensasi berupa
uang. Kepres no 22 tahun 1993 tentang penyakit akibat
hubungan kerja dan ketulian akibat kerja termasuk di
dalamnya. Kepmenaker no 2 tahun 1980 yang mengatur
pemeriksaan kesehatan bagi karyawan. Kepmenaker no 3
tahun 1992 tentang pelayanan kesehatan kerja di perusahaan.
Kepmenaker no 51 tahun 1999 tentang nilai ambang batas
faktor fisik dalam lingkungan kerja, termasuk di dalamnya
kebisingan. Selain mengacu pada Peraturan Perundangan,
industri yang maju dapat pula mengacu pada beberapa praktik
terbaik program konservasi pendengaran yang diberikan oleh
beberapa lembaga seperti United State National Institute
Occupational Safety Health (US NIOSH), United State Oc-
15
pendengaran. Terdapat tiga jenis alat pelindung pendengaran yaitu earplugs, earmuffs dan helmet.
Tes Audiometri
Pemeriksaan audiometri pada program pencegahan
gangguan pendengaran akibat bising, sebaiknya mengikuti
peraturan yang telah ditetapkan. Perlu dilakukan kalibrasi
alat, kalibrasi sound proof room, persiapan pekerja yang
diperiksa, pemeriksa yang terlatih.
Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran, menggunakan audiometer nada murni karena mudah diukur, mudah
diterangkan dan mudah dikontrol. Dalam pemeriksaan ini,
penting diketahui besaran apakah yang ditunjukkan oleh
frekuensi dan intensitas. Pada tes audiometri tinggi rendahnya nada suatu bunyi disebut frekuensi dalam hertz (Hz),
sedangkan keras lemahnya suatu bunyi disebut intensitas
deciBell (dB). Terdapat tiga syarat untuk keabsahan
pemeriksaan audiometric yaitu alat audiometer yang baik,
lingkungan pemeriksaan yang tenang dan diperlukan
keterampilan pemeriksa yang cukup handal. Syarat pemeriksaan audiometri. Orang yang diperiksa kooperatif, tidak
sakit, mengerti instruksi, dapat mendengarkan bunyi di
telinga, sebaiknya bebas pajanan bising sebelumnya minimal 12-14 jam, alat audiometer terkalibrasi. Pemeriksa mengerti
cara penggunaannya, sabar dan telaten. Ruangan pemeriksaan sebaiknya memiliki kekedapan suara maksimal 40 dB
SPL Pemeriksaan audiometri yang tepat bila dilakukan pada
tingkat kebisingan latar belakang rendah. Pada umumnya
makin rendah frekwensi yang diuji, makin lebih mungkin
dipengaruhi oleh suara lingkungan. Pemeriksaan dilakukan
di ruang kedap suara.
Untuk menilai keabsahan hasil pemeriksaan audiometri,
dinilai dari cara pemeriksaan audiometri yang tidak dapat
dilaksanakan oleh seseorang yang tidak terlatih dan belum
berpengalaman. Untuk memperoleh hasil akurat untuk
informasi klinik yang berguna, pemeriksa harus memiliki
cukup pengetahuan yang memadai.
Pada prosedur pemeriksaan audiometri nada murni,
pemeriksa harus dapat memberikan instruksi dengan jelas
dan mudah dimengerti, misalnya dengan menganjurkan
mengangkat tangan/telunjuk bila mendengar bunyi nada atau
mengatakan ada/tidak ada bunyi, atau dengan menekan
tombol. Headphone dipasang pada orang yang akan
diperiksa dengan benar, tepat dan nyaman. Pasien duduk di
kursi, menghadap 300 dari pemeriksa sehingga tidak dapat
melihat pemeriksaannya. Pemberian sinyal dilakukan selama
1-2 detik. Pemeriksa harus mengerti gambaran audiogram dan
simbol-simbolnya, informasi yang terdapat dalam audiogram,
memahami jenis-jenis ketulian, memahami bone conduction
untuk menentukan jenis ketulian, serta mengerti prosedur
rujukan dan peran teknisi audiometrik. Persyaratan penilaian
audiogram anamnesis bising sebaiknya sudah lengkap,
otoskopi harus sudah dilakukan sebelumnya, bila ada
serumen harus sudah dibersihkan, melakukan evaluasi
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 1, Januari 2009
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
SS
19