Anda di halaman 1dari 20

PENDAHULUAN

Abses paru merupakan akibat dari infeksi parenkim paru, dapat akut maupun
kronis.1 Penyebab tersering adalah bakteri anaerob mulut dan komplikasi pneumoni
aspirasi.2,3 Tahun 1920 David Smith berpendapat aspirasi bakteri dari mulut
merupakan mekanisme terjadinya infeksi. Hal ini karena ditemukannya jenis bakteri
pada dinding abses sama dengan bakteri pada celah ginggiva. 4-6 Beberapa faktor
predisposisi

seperti

penyakit

pada

rongga

mulut,

penurunan

kesadaran,

immunocompromised, penyakit esophagus dan obstruksi bronkus akan meningkatkan


insiden abses paru.1
Amerika, Chidi dan Mandelson ( 1974 ) memperkirakan 4 sampai 5,5 tiap
10.000 pasien yang dirawat di rumah sakit tiap tahunnya mempunyai abses paru.
Estera (1980) melaporkan insidensi abses paru primer ada 11 kasus pertahun.
Sedangkan Hagan dan Hardy ( 1983 ) melaporkan kasus selama 22 tahun dengan
rata-rata 8 kasusnya pertahun. 7
Sebelum era antibiotik abses paru merupakan

penyakit yang berbahaya

dimana sepertiga penderita meninggal dunia, sepertiga akan sembuh dan sisanya
meninggalkan bekas seperti abses berulang, empiema kronik dan bronkiektasis.
Dahulu angka kematian berkisar antara 32% -34% tanpa terapi antibiotik. 6 Permulaan
periode antibiotik, golongan sulfonamid belum mampu memberikan hasil yang
menggembirakan sampai akhirnya ditemukan golongan penicilin dan tetrasikin. 5 Saat
ini angka kematian karena abses paru antara 15-20%, tapi survival rate tinggi pada
pasien tanpa kondisi komorbid yang mendasari.

7,8

Dalam penelitian Hsu AH dkk

menyimpulkan bahwa menemukan bakteri patogen penyebab abses untuk


menentukan antibiotik yang sesuai dan tindakan drainase sedini mungkin dapat
menurunkan angka kematian. 8

DEFINISI

Abses paru didefinisikan sebagai nekrosis jaringan paru dan membentuk


rongga berisi jaringan nekrotik atau cairan karena infeksi mikroba. 5 Beberapa klinisi
menyebut pembentukan abses multipel dengan diameter rongga < 2 cm dengan
necrotizing pneumonia atau lung gangrene .4,5,9
Abses paru dikelompokan berdasarkan lama gejala dan etiologi. Abses akut
jika durasi kurang dari 1 bulan, sedangkan abses kronis jika lebih dari 1 bulan. 10
Abses paru primer merupakan akibat dari infeksi, aspirasi atau pneumonia pada
individu normal, sedangkan abses sekunder disebabkan karena kondisi yang ada
sebelumnya seperti obstruksi, penyebaran extrapulmoner, bronkiektasis dan
immunocompromised.5,10

ETIOLOGI
Abses paru disebabkan oleh bakteri piogenik, mikobakterium, jamur, parasit
dan komplikasi penyakit paru lain seperti keganasan.9 Abses paru karena bakteri
anaerob ini kebanyakan disebabkan karena aspirasi pada pasien dengan ginggivitis
dan oral higine yang buruk. Bakteri anaerob ditemukan pada 89% kasus, separuh
adalah murni anaerob dan sisanya merupakan campuran dengan bakteri aerob. Dari
kultur sputum pasien Barlett dkk menemukan 46% murni bakteri anaerob dan 43%
adalah campuran dengan baktreri aerob.4,5
Saat ini dilaporkan bakteri aerob cenderung meningkat yaitu pada komplikasi
pasien dengan pemakaian steroid yang lama, keganasan, transplantasi organ dan
infeksi human immunodeficiency virus ( HIV ).8 Bakteri anaerob gram positIp
tersering adalah Peptostreptococcus ssp dan Microaerophylic spp, sedangkan gram
negatip adalah Bacterioides spp dan Fusobacterium spp.1,2 Adapun bakteri aerob
antara lain seperti terlihat pada tabel (1).1,2

Tabel 1. Bakteri aerob penyebab abses paru.

Gram positip
Staphylococus aureus
Streptococcus pyogenes
Streptococcus pneumoniae
Nocardia spp
Actinomyces spp

Gram negatip
Haemophylus influenza
Pseudomonas aeroginosa
Klebsiella pneumonia
Proteus mirabilis
Pasturella multocida
Burkholderia cepacia
Burkholderia pseudomallei
Dikutip dari (1, 2).

Mikroorganisme lain penyebab abses paru antara lain :


1. Mikobakterium ( terutama tuberkulosis )
2. Jamur ( Aspergillus, Cryptococcus, Histoplasma, Blastomyces, Coccidiodes )
3. Parasit ( Entamoeba histolytica, Paragonimus )
Komplikasi penyakit lain seperti keganasan juga bisa menyebabkan abses paru.
Kanker paru jenis karsinoma sel skuamosa menjadi penyebab neoplasma yang
tersering dimana 5% cenderung membentuk kavitas.5,11

FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposi terjadinya abses paru antara lain pada keadaan sebagai berikut :1,2
1. Penyakit pada rongga mulut ( penyakit periodontal, ginggivitis )
2. Penurunan kesadaran ( alkoholisme, koma, drug abuse, anasthesia, kejang )
3. Penyakit esophagus ( akalasia, reflux disease, depresi refleks batuk dan
muntah, obstruksi esophagus )
4. Immunocompromised ( steroid, kemoterapi, malnutrisi, trauma multipel )
5. Obstruksi bronkus ( tumor, benda asing )
Kondisi lain yang berisiko terbentuk abses paru yaitu : pasien dengan gangguan paru
primer seperti emboli septik yang berasal dari endokarditis trikuspidal, penyakit kistik

paru, keganasan paru dengan kavitas, gangguan vaskulitis, dan pemasangan intubasi
yang lama.1,10

PATOGENESIS
Ada beberapa mekanisme terjadi infeksi piogenik pada abses paru, yang
paling sering adalah aspirasi dari bahan-bahan orofaring. 2 Bakteri yang tumbuh pada
rongga mulut akan masuk ke saluran napas bawah kemudian karena gagalnya
mekanisme bersihan. Selanjutnya akan terjadi pneumoni aspirasi, dalam 24-48 jam
terjadi area dengan hasil inflamasi seperti eksudat, darah dan jaringan nekrotik.
Dalam 4-7 hari berikutnya akan berkembang menjadi nekrosis, sehingga terbentuk
abses paru.1,5
Pada kondisi penurunan kesadaran karena berbagai hal, bahan-bahan dari
lambung dengan pH rendah dapat teraspirasi dan menyebabkan pneumoni yang
merupakan predisposisi terjadi infeksi bakteri. Proses yang sama juga terjadi pada
gangguan esofagus. Ekstraksi gigi dan gusi terinfeksi dengan anastesi umum
meningkatkan kemungkinan terjadi pneumoni aspirasi dan abses paru.2
Lokasi terbentuk abses dipengaruhi oleh pengaruh gravitasi dan posisi tubuh
saat terjadinya aspirasi. Aspirasi lebih sering terjadi pada paru kanan. Jika posisi
telentang

abses terjadi pada lobus bawah segmen apical dan jika posisi lateral

dekubitus kanan akan mengenai lobus atas segmen posterior dan lateral seperti
terlihat dalam gambar 1.2 Mekanisme terjadinya abses karena aspirasi dipengaruhi
oleh jumlah bakteri, pH bahan aspirasi dan pertahanan paru pasien. Pertahanan paru
termasuk mekanisme bersihan dan sistem imunitas, sehingga pasien dengan gangguan
imunitas akan lebih mudah terjadi abses paru.2
Mekanisme infeksi lain yang jarang terjadi antara lain penyebaran hematogen
bakteri dari infeksi saluran kemih, abdomen, rongga pelvis, Lemierre diseases,
emboli septik paru ( endokarditis katup trikuspidal, trombophlebitis pada vena-vena
bagian kaki dan pelvis ).2,12 Gangguan bersihan sekresi seperti pada tumor paru,

bronkiektasis dan inhalasi benda asing juga memungkinkan terjadi abses paru. Infeksi
juga dapat terjadi pada kista paru, kavitas karena kanker paru dan daerah infark paru
serta penyebaran transdiafragma abses hepar .2,13

Gambar 1. Kaitan antara posisi dan fokal infeksi (a) Posisi terlentang dan (b) lateral
dekubitus.
Dikutip dari ( 2 )

DIAGNOSIS
Gejala klinis
Manifestasi klinis abses paru mungkin serupa dengan gejala awal pneumonia
dan penyakit dasar yang lain. Kecurigaan abses paru jika pasien mempunyai berbagai
faktor predisposisi.4 Sebagian besar pasien dengan diagnosis abses paru dengan gejala
paling tidak 2 minggu.1,14
Gejala klinis abses paru dapat bervariasi, berhubungan dengan proses
penyakit yang mendasari ( misalnya obstruksi bronkus karena kanker, akalasia,
endokarditis) juga dipengaruhi oleh proses terjadinya abses. Gejala yang menonjol
biasanya batuk dengan sputum yang purulen, demam ( kadang disertai menggigil atau
kejang ), sesak napas dan nyeri dada yang dapat berupa nyeri pleuritik seperti terlihat

pada tabel 2.7 Hemoptisis dapat dijumpai berupa blood streak, meskipun dapat juga
masif dan merupakan indikasi operasi.2,7
Bakteri anaerob biasanya menimbulkan gejala setelah 7-14 hari. Gejala khas
abses paru karena bakteri anaerob adalah napas dan sputum yang berbau busuk ( 50%
-60 % pasien ) akibat pengikisan bronkus yang berdekatan sehingga terjadi nekrosis
dan isi abses akan dialirkan ( abses terbuka ) sehingga terjadi ekspektorasi. 5 Onset
yang subakut mungkin ditemukan pada pasien penyalahgunaan obat secara
intravena.2 Infeksi oleh kuman anaerob menimbulkan gejala yang lambat, beberapa
minggu sampai beberapa bulan.5,14 Bila penyebabnya jamur, Nocardia species dan
Mycobacterium species perjalanan penyakit juga cenderung lambat.5
Tabel 2. Gambaran klinis abses paru .
Gambaran klinis

Frekuensi

Batuk produktif

75%-94%

Demam

46%-88%

Pleuritic pain

25%-88%

Sesak napas

30%-44%

Hemoptysis

17%-37%

Penurunan berat badan

6%-64%

Malaise
Jari tabuh

22%
4%-12%
Dikutip dari (7)

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abses paru ditemukan tanda yang tergantung dari penyakit
sekunder yang mendasari seperti pneumonia dan efusi pleura. Hasil pemeriksaan fisik
juga tergantung dari kuman penyebabnya, berat penyakit, perluasan penyakit serta
kondisi komorbid yang ada. Kenaikan suhu tubuh relatif rendah pada abses karena
kuman anaerob dan lebih tinggi ( > 38,5o C ) pada abses karena infeksi lain .5

Temuan klinis dapat berupa konsolidasi ditandai dengan suara napas bronkus
dan ronki saat inspirasi. Jika lokasi abses besar dan dekat pada permukaan paru akan
ditemukan suara napas yang menurun dan perkusi paru redup. 2,5 Suara napas amforik
dapat ditemukan pada kaviti yang terbentuk tapi jarang didapatkan. Jari tabuh
mungkin didapatkan pada kasus kronis, misalnya jika pemberian terapi tidak adekuat
dalam beberapa minggu.2
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada abses paru ditemukan netrofil lekositosis,
peningkatan laju endap darah dan pergeseran hitung jenis kekiri meskipun kondisi ini
tidak selalu ditemukan.

2,5

Jika penyakit sudah berlangsung lama bisa ditemukan

anemia normokrom normositik.2 Leukopeni sering didapatkan jika penyebabnya


adalah methicillin resistant Staphylococcus aureus ( MRSA ).15.
Mikrobiologi
Diagnosis kuman penyebab abses paru dilakukan dengan pemeriksaan
mikrobiologi. Pasien dengan kecurigaan abses paru karena kuman anaerob dapat dari
spesimen dahak yang purulen dan berbau busuk serta banyak mengandung bakteri
gram positif dan negatif.1,5,9 Pemeriksaan sputum mikroorganisme dilakukan dengan
pewarnaan gram dan kultur bakteri gram positif,
bakteri

tahan asam

(BTA)

dan jamur.2

gram negatif serta pewarnaan

Kultur sputum yang dibatukkan

kemungkinan sudah terkontaminasi kuman gram negatif dan Staphylococcus aureus


yang berkolonisasi di orofaring sehingga tidak dapat dipercaya dalam menentukan
penyebab abses paru. Hasil kultur mikroorganisme darah atau cairan pleura dapat
membantu menegakan diagnosis.9
Pada hasil pemeriksaan kultur mikroorganisme negatif, untuk mendapatkan
sediaan yang bebas kontaminaasi diperlukan tindakan invasif dengan kurasan
bronkoalveolar ( bronchoalveolar lavage = BAL ), protected specimens broncoscopy
( PSB ), transthoracal aspiration ( TTA ), percutaneus lung aspiration, percutaneus

trans tracheal aspiration .1,4 Pemeriksaan invasif jarang dilakukan karena sebagian
besar pasien dengan infeksi bakteri anaerob telah diberikan terapi antibiotik empiris
tanpa dilakukan bronkoskopi atau transtrakeal aspiration sebelumnya5
Pemeriksaan Radiologi
Diagnosis terbanyak dibuat berdasarkan pemeriksaan foto toraks. Gambaran
foto toraks secara klasik memperlihatkan kavitas dengan dinding utuh yang
mengelilingi daerah lusen dan air fluid level dalam suatu daerah pneumonia seperti
terlihat pada gambar ( 2 ).1,4,5,14

Gambar 2. Foto toraks PA dan lateral multipel abses dengan air-fluid level.
Dikutip dari ( 11 )
Gambaran khas air-fluid level abses paru didapatkan jika posisi tegak atau
lateral dekubitus.1 Gambaran radiologis ini sulit dibedakan dengan adanya cairan
pada kista atau bleb. 8
Pemeriksaan Computed tomography scan ( CT-Scan ) torak diperlukan untuk
membedakan abses paru yang terletak di perifer dengan empiema yang terlokalisir.
Abses paru digambarkan sebagai lesi hipodens bulat dengan dinding tebal dan tepi
ireguler, terletak dalam parenkim paru seperti terlihat pada gambar 3. Pemeriksaan
CT-Scan torak juga berguna untuk menentukan ketebalan dan keteraturan dinding
abses pada daerah konsolidasi, menentukan posisi yang tepat terhadap dinding dada

dan bronkus dan mengevaluasi keterlibatan bronkus proksimal atau distal terhadap
keterlibatan abses.2

Gambar 3. Hasil CT-scan torak multipel abses. Tampak kavitas dengan gambaran air
fluid-level.
Dikutip dari (5).
Bronkoskopi
Pemeriksaan dengan serat optik bronkoskopi diperlukan jika diduga ada
sumbatan bronkus seperti pada karsinoma bronkogenik. Bronkoskopi juga digunakan
untuk pengambilan spesimen mikrobiologik dengan cara sikatan bronkus guna
menghindari kontaminasi dari kuman kuman saluran napas atas. 2 Pemeriksaan ini
dapat berbahaya jika diameter abses > 4 cm karena forsep biopsi atau sikatan dapat
menyebabkan pecahnya abses dan pus mengalir ke endobronkus. Kriteria
bronkoskopi pada pasien dengan kavitas paru antara lain demam yang rendah ( < 100o

F/ 37,780C ), leukosit < 11.000 mm 3, keluhan sistemik yang minimal dan tidak ada
faktor predisposisi terjadi aspirasi. 16

DIAGNOSIS BANDING
Gambaran radiologi abses paru dibagi dalam dua kelompok yaitu : infeksi dan
non infeksi. Kelompok pertama antara lain infeksi bakteri, mikobakterium ( sering
multifokal), jamur, parasit, bula terinfeksi, empiema dengan air-fluid level dan septic
emboli ( endokarditis). Sedangkan kelompok non infeksi antara lain caviting
carcinoma, limfoma, Wegener granulomatosis, sindroma Goodpasture, bronkiektasis
sakular, infark paru, lesi kistik berisi cairan dan rhematoid nodule.4
Lesi kavitas parenkim paru mempunyai beberapa sebab, akan tetapi pasien
dengan kondisi sakit akut dan didapatkan air fluid level pada gambaran radiologisnya
maka harus dipikirkan adanya abses paru. Lesi kistik pada parenkim serta bula
dengan infeksi sekunder memberikan gambaran yang sulit dibedakan dengan abses
paru. Riwayat penyakit dan gambaran radiologis lama serta adanya gambaran lokasi
segmental yang khas pada abses paru diperlukan untuk menentukan diagnosis.1
Lesi kaviti karsinoma sel skuamosa terkadang sulit dibedakan dengan abses
paru. Dindingnya terdiri dari jaringan tumor dan bukan jaringan granulasi, lebih tebal
dan bentuk lebih tidak teratur. Pemberian antibiotik relatif tidak berespons
dibandingkan dengan abses paru. Juga tidak didapatkan tanda-tanda demam dan
sputum yang berbau .1

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan abses paru meliputi pemberian serta pemilihan antibiotik
yang sesuai dengan kuman penyebab. Fisioterapi dada antara lain meliputi drainase
postural ditujukan untuk mengeluarkan pus, sehingga pertukaran gas di sistem
pernapasan akan lebih baik. Drainase perkutan dan bronkus diperlukan untuk aspirasi

10

abses. Tindakan bedah merupakan alternatif terutama jika terjadi kondisi hemoptis
masif.13
Pemberian antibiotik
Antibiotik yang tepat merupakan terapi utama..2 Angka kesembuhan sebagian
besar penderita abses paru primer dengan antibiotik yang sesuai adalah 90%-95%. 5
Berbagai penelitian menganjurkan bahwa terapi akan lebih efektif bila saat awal
pemilihan antibiotik empirik terutama ditujukan untuk melawan bakteri anaerob
sebagai penyebab terbesar abses paru.5
Penyebab terbanyak abses paru berkaitan dengan aspirasi dan disebabkan
bakteri anaerob. Dahulu penisilin parenteral atau oral dosis tinggi merupakan standar
terapi abses anaerob, namun peningkatan resistensi terhadap strain Streptococcus
pneumonia dan 40%-50% terhadap Fusobacterium dan Provetela melaninogenica
sebagai bakteri gram negatif anaerob maka mulai dipertimbangkan terapi empirik.4
Penelitian oleh Levinson (1983) dan Gudiol (1990) menunjukan klindamisin
lebih unggul dibanding penicillin dari segi kegagalan terapi, kekambuhan,
menurunnya demam dan hilangnya sputum yang berbau .4 Beberapa kepustakaan
menganjurkan pilihan utama adalah klindamisin dan kombinasi ampisilin sulbaktam
yang dilanjutkan pemberian oral amoksilin klavulanat atau klindamisin

dengan

alternatif berbagai antibiotik lain seperti terlihat pada (tabel 3).5,15


Regimen alternatif lain dengan amoxicillin-clavulanat dan penicillin
dikombinasikan dengan metronidazole. Beberapa antibiotik yang juga bermanfaat
pada infeksi anaerob atau aerob-anaerob antara lain kombinasi betalaktam dengan
betalaktamase inhibitor, chloramphenicol, imipenem atau meropenem dan generasi II
cephalosporin ( cefoxitin dan cefotetan ). Golongan makrolide memberikan respon
yang baik melawan kebanyakan bakteri kecuali Fusobacteria. Secara in vitro
tetrasiklin menunjukan hanya sedikit aktif melawan bakteri anaerob, sedangkan
vankomisin hanya aktif terhadap bakteri anaerob gram positf. 4 Vankomisin dan
linkomisin dianjurkan jika MRSA merupakan bakteri penyebab.15

11

Pemberian flucloxacillin dan gentamycin pada abses paru komplikasi dari


endokarditis katup trikuspidalis karena Staphylococcus aureus memperlihatkan
resolusi yang cepat pada gambaran CT-Scan seperti terlihat pada gambar ( 4).17
Tabel 3. Antibiotik pada abses paru
Antibiotik
Klindamisin
Penisilin G
Metronidazol

Cefoxitin
Ampicillin + sulbactam

Piperacilin+ Tazobactam

Imipenem

Linezolide
Vancomycin

Dosis
600 mg IV tiap 8 jam dilanjutkan peroral (PO) 300 mg
4 kali sehari.
2 juta unit IV tiap 4 jam
Loading dose: 15 mg/kg IV dalam 1 jam
Dosis rumatan: 6 jam setelah loading dose 7,5 mg/kg
IV dalam 1 jam, tiap 6-8jam, maksimal 4 gr/hari
2 gr IV tiap 6-8jam.
1.5 gm IV tiap 6 jam
dilanjutkan amoxicilin+ clavulanate 875 mg PO 2X1
atau Klindamisin 300 mg PO 4x1
3.37 mg IV tiap 6 jam
dilanjutkan amoxicilin+ clavulanate 875 mg PO 2X1
atau Klindamisin 300 mg PO 4x1
0.5 - 1 gr IV tiap 6 - 8 jam atau meropenem/ doripenem
dilanjutkan Klindamisin 300 mg PO 4x1 atau
amoxicilin+ clavulanate 875 mg PO 2X1
600 mg IV tiap 12 jam
15 mg/kg BB IV tiap 12 jam
Dikutip dari (5,15)

Lama terapi bergantung respons klinis dan radiologis pasien. 4,5 Antibiotik
diberikan hingga mendapatkan perbaikan klinis dan radiologis.3,5 Stadium awal
diberikan terapi antibiotik intravena sampai pasien tidak demam dan menunjukkan
perbaikan klinis (umumnya 3-4 hari, kadang 7-10 hari) diikuti terapi oral 4-6 minggu
sampai 3 bulan. Demam yang menetap lebih dari waktu tersebut merupakan indikasi
kegagalan terapi sehingga perlu dicari lebih lanjut penyebabnya. 5 Keberhasilan terapi
antibiotik dapat dinilai dari menghilangnya gejala tanpa bukti radiologis atau

12

perbaikan menipisnya dinding kaviti ( < 2 cm setelah terapi 4-6 minggu). Perbaikan
radiologis

ditandai infiltrat pneumonia menghilang diikuti dengan abses yang

mengecil, biasanya memerlukan waktu 2 sampai 3 bulan tergantung besarnya abses.1,2

Gambar 4. Hasil CT scan dada dari atas ke bawah menunjukan lesi noduler dengan
kavitas yang masif dan bilateral saat masuk rumah sakit ( A,B,C). Setelah
14 hari perawatan dengan pemberian antibiotik ( D, E,F ) dan resolusi
setelah 4 minggu ( G,H,I ).
Dikutip dari (17).
Antibiotik jarang berhasil jika diberikan setelah adanya gejala lebih dari 12
minggu atau kavitas lebih besar dari 4 cm. 1 Pasien dengan respons buruk terhadap

13

terapi antibiotik perlu dipertimbangkan penyebab lain misalnya obstruksi oleh benda
asing, keganasan, infeksi dengan bakteri resisten, mikobakteria, parasit atau jamur.4
Fisioterapi
Fisioterapi merupakan salah satu aspek penting dalam penatalaksanaan abses
paru. Fisioterapi dada terdiri atas latihan sistem pernapasan, batuk, perkusi dada dan
drainase postural .18 Drainase postural dapat dilakukan bila disertai terapi antibiotik
yang sesuai dan posisi abses yang tepat untuk mencegah penyebaran infeksi. 19
Fisioterapi dengan drainase postural bertujuan untuk membantu pasien membersihkan
materi purulen sehingga mengatasi gejala dan memperbaiki pertukaran gas dengan
teknik pengaturan napas. Jika pasien sukar atau tidak dapat batuk, dapat dibantu
dengan alat mekanik biasanya nasotracheal suctioning.7 Fisioterapi tidak dilakukan
pada pasien dengan hemoptisis.18
Drainase
Drainase dilakukan jika pasien yang tidak respons terhadap antibiotik dan
fisioterapi .7 Tindakan ini biasanya hanya dilakukan pada 11-21% pasien yang tidak
respons terhadap terapi konserfatif. Drainase Abses paru dapat dilakukan melalui
bronkoskopi ( endoscopic drainage ) atau perkutan ( percutaneus drainage ) dengan
menggunakan kateter.20 Kateter 17-14 F dipakai untuk drainase perkutan kebanyakan
abses paru. Kateter flexible pigtail dipasang melingkar pada bagian dalam kavitas.
Kateter drainase dihubungkan dengan negative waterseal aspiration. Abses paru
mempunyai dinding tebal dan tidak akan segera kolaps setelah diaspirasi. Komplikasi
drainase perkutan jarang terjadi, antara lain empiema, perdarahan dan bronkofistula,
tetapi fistula yang terjadi biasanya akan menutup spontan bersama resolusi abses.21
Drainase dengan bronkoskopi dipertimbangkan pada pasien koagulopati,
obstruksi saluran napas atau letak abses disentral. 21 Bronkoskopi dapat memfasilitasi
drainase abses dengan cara aspirasi pada bagian bronkus yang tepat disebut drainase
transbronkus. Drainase transbronkus merupakan tindakan yang kurang nyaman

14

dibandingkan dengan drainase perkutan. Prosedur drainase transbronkus dcngan


menggunakan kateter dapat dipandu dengan CT-Scan toraks dan dipantau dengan
fluoroskopi.20 Drainase dengan bronkoskopi dapat memberikan komplikasi pelepasan
sejumlah besar materi purulen dari segmen paru yang terkena ke bagian paru lain
sehingga dapat mencetuskan gagal napas akut dan acute respiratory distress
syndrome (ARDS).1
Pembedahan
Saat ini intervensi bedah pada abses paru jarang dilakukan dan hanya berkisar
l0%.2,14 Cara pembedahan berupa reseksi, segmentektomi atau lobektemi adalah bila
hemoptisis masif, tidak respon dengan terapi antimikroba yang sesuai ( 4-6 minggu ),
keganasan, ukuran abses yang besar ( lebih dari 6 cm ), sisa jaringan parut luas yang
menggangu faal paru dan adanya komplikasi abses ( empiema, bronkofistula ). 1,2,4,22
Saat pembedahan biasanya digunakan pipa endotrakeal lumen ganda untuk mencegah
komplikasi kontaminasi sekret kontralateral paru.1,2,4

KOMPLIKASI
Komplikasi paling signifikan dari abses paru adalah perdarahan yang dapat
menjadi masif dan mengancam jiwa karena syok hipovolemik dan anoksia akibat
obstruksi paru kontralateral, maka diperlukan intervensi bedah. Pengikisan abses
yang mengenai vena-vena pulmonalis dapat menyebabkan penyebaran infeksi
misalnya metastasis menjadi abses sereberal, menyebar ke paru kontralateral dan
rongga pleura. Sedangkan empiema dan fistula bronkopleura jarang terjadi. 7

PROGNOSIS

15

Prognosis pasien abses paru bergantung pada penyakit dasar, faktor


predisposisi dan kecepatan pemberian terapi yang tepat. Dengan terapi antibiotik
yang sesuai umumnya prognosis abses paru karena bakteri umumnya baik. Prognosis
relatif buruk didapatkan pada kavitas yang besar ( > 6 cm ), bakteri aerob, abses yang
multipel, obstruksi bronkus, pasien usia lanjut dan immunocompromised.1,4

KESIMPULAN

16

1. Abses paru adalah infeksi akut atau kronik pada paru ditandai dengan adanya
inflamasi, destruksi jaringan dan pengumpulan pus yang terlokalisir.
2. Abses paru paling sering terjadi karena komplikasi aspirasi pneumonia oleh
bakteri anaerob dari rongga mulut.
3. Diagnosis abses paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik ,
pemeriksaan laboratorium, gambaran foto toraks, CT-scan torak dan
pemeriksaan mikrobiologi untuk mencari kuman penyebab.
4. Penatalaksanaan abses paru meliputi pemberian antibiotik yang sesuai dan
adekuat, fisioterapi, drainase dan pembedahan.
5. Penderita abses paru bisa menimbulkan komplikasi hemoptisis, abses otak,
empiema dan fistula bronko-pleura.
6. Prognosis abses paru dipengaruhi oleh penyakit lain yang mendasari, faktor
resiko, terapi, cepat dan adekuat.

DAFTAR PUSTAKA

17

1. Bhimji

S.

Lung

abscess,

Surgical

perspective.

http://emedicine.medscape.com/article/428135-overview.

Available
Accessed

at

:
on

September 20th, 2009.


2. Seaton D. Lung Abscess. In Seaton A, Seaton D, Crofton SJ, Leitch AG,
editors. Crofton and Douglass respiratory disease. Paris: Willey Blackwell;
2000.p.460-73.
3. Koegelenberg C. Lung abscess. SA Fam Pract 2007; 49(5): 50-2.
4. Fishman JA. Aspiration, empyema, lung abscesses and anaerobic infection. In
Fishman AP, Elias JA, Fisman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM, editors.
Fishmans manual of pulmonary disease and disorder. 4 th Edition . New York :
Mc. Graw-Hill Companies; 2008.p.2141-60.
5. Kamangar N,

Sather C C, Sharma S. Lung abscess. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/299425-overview.

Accessed

on

October 4th, 2009


6. Bartlett JG. The role of anaerobic bacteria in lung abscess. Clinical Infectious
Disease 2005; 40: 923-5.
7. Davies CWH, Gleeson FV, Davies RJO. Lung abscess. In: Marrie TJ, editor.
Community-acquired pneumonia. New York: Kluwer Academic/ Plenum
Publishers; 2001.p.362-84.
8. Hsu AH, Lee JJ, Yang GG. Prognostic factors predicting mortality in lung
abscess, 154 cases analysis. Tzu Chi Med J 2005; 17: 11-6
9. Goetz MB, Rhew DC, Torres A. Pyogenic bacterial pneumonia, lung abscess
and empyema In Murray JF, Nadle JA, Mason RJ, Broadus VC, editors.
Murray & Nadels textbook of respiratory

medicine. 4th Edition.

Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005.p.945-59


10. Sethi S, Tolan RW. Multiple lung abscesses in a toddler. Hospital physician
2008: 17-22.

18

11. Dorsunoglu N, Baser S , Evyapan F, Kiter. G, Ozkurt S, Polat B et al. A


squamous cell lung carcinoma with abscess-like distant metastasis.
Tuberkuloz ve Toraks Dergisi 2007; 55(1): 99-102.
12. Venkateswaran. A case of Lemierres syndrome presenting with multiple
pulmonary abscess associated with a tension hydropneumothorax resulting in
mediastenal shift. Ann Acad Med Singapore 2005; 34: 450-3.
13. Bourke SJ. Bronciectasis and lung abscess. In: Bourke SJ, editor. Respiratory
medicine 7th edition. London: Blackwell publishing; 2007.p.89-90.
14. Moreira JDS, Camargo JDJP, Felicetti JC, Goldenfun PR, Morera ALS, Porto
NDS. Lung abscess: analysis of 252 consecutive cases diagnosed between
1968 and 2004. J Bras Pneumol 2006; 32(2): 136-43.
15. Bartlett

GA.

Lung

abscess

Available

at

http://hopkins-

abxguide.org/diagnosis/respiratory/lung_abscess.html?
contentIntendId=255329. Acceseed on November 22th 2009.
16. Geppert EF. Lung abscess and other subacute pulmonary infections In
Niederman MS, Sarosi GA, Glassroth J, editors. Raspiratory infections, a
scientific basic for managemant. Phildelpia: W.B. Saunders Company;
1994.p.291-303.
17. Que YA, Muller O, Liaudet L. Rapid resolution of massive lung abscesses
complicating tricuspid-valve endocarditis. Circulation 2006; 114: 523-4.
18. Rachma N. Peran dan manajemen fisioterapi pada penyakit Paru In
Proceeding of Pertemuan Ilmiah Respirologi (PIR ); Surakarta 2007.
19. Hogh A. Physiotherapy in respiratory care: An evidence base approach to
respiratory and cardiac management 3th edition. United Kingdom: Nelson
Thornes Ltd; 2001.p.108.
20. Herth F, Ernst A, Becker HD. Endoscopic drainage of lung abscesses. Chest
2005; 127: 1378-81.

19

21. Tchuisse CN, Ghate R, Dondelinger RF. Imaging and treatment of thoraxic
fluid and gas collections. In Marincek B, Dondelinger RF, editors. Emergency
radiology: Imaging and intervention. Berlin: Spinger-Verlag; 2007.p. 391-401.
22. Alsagaff H, Mukty A. Infeksi In Alsagaff H, Mukty A, editors. Dasar-dasar
ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University Press; 2005.p.136-141.

Komentator

Korektor

Dr. Juli Purnomo

Dr. Moh. Irphan

20

Anda mungkin juga menyukai