Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

MORBUS HANSEN

PEMBIMBING :
dr. DIDI SUPRIADI, Sp.KK

DISUSUN OLEH :
NIDYA FEBRINA
1102010206

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN
RSUD SUBANG
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penyusun dapat menyelesaikan refrat
yang berjudul Morbus Hansen. Tinjauan pustaka ini disusun dalam rangka
memenuhi persyaratan dalam kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
pada bagian Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD Subang.
Penyusun menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna, oleh karena
itu penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
demi kesempurnaan tinjauan pustaka ini.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing atas segala
bimbingan, motivasi, serta ilmu yang diberikan sehingga penyususn dapat
menyelesaiakan tugas pustaka ini. Besar harapan penyusun semoga tinjauan pustaka
ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.
Subang, Februari 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan
penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra
merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India,
kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 18742.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran
pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh
dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai
diperkenalkan, kusta dapat di diagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun
telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik
yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari.
Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.3
Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta,
pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus
diteliti.3

BAB II
3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, dan organorgan lain kecuali susunan saraf pusat.1,3
2.2 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8
m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini memunyai afinitas terhadap
makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated
immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan
di perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson.3
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak
dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik
pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior
chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat
(aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung1.
2.3 Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan target
resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan
subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia,
India, Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak
dimulai adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta
terdaftar di Indonesia sebanyak 207.042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya. Penyebaran penyakit kusta mungkin disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terifeksi penyakit tersebut2,3
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan
2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi.
4

Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra
dalam darah, dan kemiskinan (malnutrisi). 1
2.4 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit lepra
yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline

bentuk yang labil

BL: borderline lepromatous


Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%.
Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara
tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa.
BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipetipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun
LL2.
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB).
Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks biposi (IB), ditemukan bakteri
lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping. Pausibasilar
mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I klasifikasi RidleyJoping3.
2.5 Patogenesis
Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari anggapan klasik
yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara
inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa hari didalam droplet. Masa tunasnya sangat
bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3,5 tahun.

Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan karena respon imun yang berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Kerusakan jaringan tergantung pada sistem simunitas selular, tipe penyebaran bakeri,
adanya komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas pada sel Schwann, mycobacteria
berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang ditemukan di saraf perifer di lamina
basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan respon sistem imunitas selular yang
menyebabkan reaksi inflamasi, yang menyebabkan pembengkakan perineureum, iskemia,
fibrosis, dan kematian akson.
Pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman bermultiplikasi dengan bebas
dan merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis, makrofag
berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Massa
epiteloid dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.3
Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan pasien mungkin
mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50% pasien tertentu. Spektrum
granuloma lepra terdiri dari 1) a high-resistance tuberculoid response (TT), 2) a low- or
absent-resistance lepromatous pole (LL), 3) a dimorphic or borderline region (BB), 4)
borderline lepromatous (BL), dan 5) borderline tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang paling
tinggi resistensinya hingga ke yang paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL1.
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi yang
berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and reversal reactions),
atau reaksi non-nodular terjadi pada tipe borderline ( Li, BL, BB, BT, B ), inflamasi terjadi
diantara lesi kulit yang sudah ada. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau
seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat. Gejala neuritis akut paling penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian
obat kortikosteroid, sebab tanpa neuritis, pemberian kortikosteroid fakultatif. Reaksi tipe 2
(Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian individu dengan LL, biasanya
6

timbul setelah pemberian terapi antilepra. Gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala
seperti idiosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan
proteinuria. Dapat disertai gejala konstitusi dari riingan sampai berat bergantung status
imunologik.
Terdapat juga raksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa
non-nodular difus, yang disebut fenomena Lucio. Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi
pada individu dengan LL yang meluas. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus,
berwarna merah muda, berbentuk tidak teratur dan nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura,
dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan akhirna terbentuk jaringan parut. 1,3
2.6 Dasar Diagnosis
Diagnosis penyakit

kusta

didasarkan

atas

gambaran

klinis,

bakterioskopis,

histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, daignosis klinis yang terpenting. Antara
diagnosis secara klinis dan histopatologik, terdapat kemungkinan persamaan maupun
perbedaan tipe. Oleh karena itu, diagnosa klinis harus didasarkan hasil pemeriksaan
kelainan klinis selluruh tubuh orang tersebut. Bentuk diagnosis klinis dimuali dengan
inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana seperti
jarum, kapas, tabung reaksi berisi air panas dang dingn, dan lain sebagainya.
2.6.1

Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik


Pada kusta, didapatkan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah
cukup

untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang

anestesi , penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai bakteriologis


positif.

Masa inkubasinya 2 40 tahun (rata-rata 5 7 tahun). Onset terjadinya

perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer
dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala
klinis. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik
yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. 90% pasien biasanya mengalami keluhan
pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat
membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama
7

dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada
ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah
daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan
lutut. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya makula saja,
infiltrat saja, atau keduanya. Disebut juga sebagai the greatest imitator banyak penyakit
kulit lain yang serupa.3
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom, perhatikan ada
tidaknya dehidrasi pada daerah lesi dengan cara menggores lesi dengan tinta (Tanda
Gunawan), dengan menggoresnya dari tengah lesi ke arah kulit normal, akan terlihat
goresan pada kulit normal lebih tebal. Dapat juga diperhatikan alopesia pada daerah
lesi. Gangguan fungsi motoris dapat dinilai dengan Voluntary Musle Test (VMT).
Untuk mengetahui gengguan pada saraf perifeer, perhatikan apakah terdapat
pembesaran, konsistensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan / nyeri tekan. Terdapat
beberapa saraf superfisial yang perlu diperiksa, yaitu :
a. N. Ulnaris
- Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis.
- Clawing pada kelingking dan jari manis.
- Atrofi hiptenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
b. N. Medianus
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
- Tidak mampu adduksi jari.
- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
- Ibu jari kontraktur.
- Atrofi tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
c. N. Radialis
- Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.
- Tangan gantung (wrist drop).
- Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
d. N. Poplitea Lateralis
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
- Kaki gantung (foot drop).
- Kelemahan otot peroneus.
e. N. Tibialis posterior
- Aneestesia telapak kaki.
- Claw toes.
- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
f. N. Fasialis
- Cabang temporal dan zigomatik : langoftalmus.

2.6.2

Cabang bukal, mandibulaar, dan servikal : Kehilangan ekspresi wajah dan

kegagalan mengatup bibir.


g. N. Trigeminus
- Anestesi kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata.
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
Pemeriksaan fisik
1. Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit maupun
saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plak, dan pada
bagian tengah dapat ditemukam lesi yang regresi atau central clearing. Permukaan
lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai penebalan saraf tepi
yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda terdapatnya respon
imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT, tidak dapat sembuh spontan,
Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi
dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau
skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf tidak berat dan asimetris.
2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga
bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan lepromatous. Terdiri
dari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas, jumlah banyak melebihi
tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat perbentuk punch out yang
khas.. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya keringat.
3. Lepromatous Leprosy
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dengan
cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya. Distribusi lesi
hampir seimetris. Lesi infiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan
saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan
hilangnya rambut lebih cepat muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat
predileksi. Tipe LL, jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada
stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul eritem. Distribusi lesi khas pada
wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Pada stadium lanjut tampak
penebalan kulit yang progresif membentuk facies leonine. Kerusakan saraf
menyebabkan gejalan stocking and glove anesthesia.1
4. Kusta Histoid
9

Merupakan variasi lesi tipe lepromatosa yang pertama. Gambaran klinis berupa
nodus yang berbatas tegas, dapatberbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisten.
5. Kusta tipe neural
Kusta tipe neural murni memiliki tanda sebagai berikut :
- Tidak ada atau tidak pernah ada lesi kulit.
- Ada satu atau lebih pembesaran saraf.
- Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang
-

disarafinya.
Bakterioskopik negatif.
Tes mitsuda positif.
Lakukan pemeriksaan histopatologik saraf untuk menentukan tipe (biasanya
tipe tuberkuloid, borderline, atau nonspesifik).

10

Tabel 2.1 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Multibasile (MB)


SIFAT
Lesi
Bentuk

LL
Makula, Infiltrat

BL
Makula, Plakat, Papul

Difus, Papul, Nodul


Jumlah

BB
Plakat, Dome Shaped
(Kubah), Punched Out

Tidak terhitung,

Sukar dihitung, masih

Dapat dihitung, kulit

praktis tidak ada kulit

ada kulit sehat

sehat jelas ada

sehat

Hampir simetris

Asimetris

Halus Berkilat

Agak Kasar/berkilat

Distribusi

Simetris

Agak Jelas

Agak Jelas

Permukaan

Halus Berkilat

Tak Jelas

Lebih Jelas

Batas

Tidak Jelas

Anestesia
BTA

Biasanya Tak Jelas

Lesi kulit

Banyak (ada globus)

Banyak

Agak Banyak

Sekret hidung
Tes

Banyak (ada globus)


Negatif

Biasanya Negatif
Negatif

Negatif
Biasanya negatif

Lepromin
Tabel 2.2 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
SIFAT
Lesi
Bentuk

TT
Makula saja, makula

BT

Makula dibatasi infiltrat Hanya makula

dibatasi infiltrat
Jumlah

Satu, dapat beberapa

Beberapa, atau satu

Satu atau beberapa

dengan satelit
Distribusi

asimetris

Masih asimetris

variasi

Permukaan

kering bersisik

Kering bersisik

halus agak berkilat

Batas

Jelas

Jelas

jelas/tidak

Anestesia

Biasanya Tak Jelas

Tak Jelas

tidak ada sampai tidak


jelas

BTA
Lesi kulit

Negatif

Negatif/positif 1

Biasanya negatif
11

Sekret hidung
Tes

Banyak (ada globus)


Positif kuat (3+)

Biasanya Negatif
Positif lemah

Lepromin

Negatif
Positi lemah sampai
negatif

2.6.2 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan
mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSEN.
Bakteriokopik negatif bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M.
Leprae. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping
telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa
dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya
lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae3.
M. Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Dibedakan
bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).
Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan fragmented dan granular kuman mati.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1
LP
Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah
tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear
zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat

12

campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae
sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR.
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez)
atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan
eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon
imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis3.
2.7 Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, ptiriasis versikolor,
ptiriasis alba, Tinea korporis. Pada lesi papul, granuloma annulare, lichen planus. Pada
lesi plak, tinea korporis, ptiriasis rosea, psoriasis. Pada lesi nodul, acne vulgaris,
neurofibromatosis. Pada lesi saraf, amyloidosis, diabetes, trachoma3.
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya kecacatan,
untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini
dan pengobatan penderita.4
Untuk mencegah resistensi, pengobatan kusta menggunakan multi drug treatment
(MDT).

Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati

resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai


penularan.
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
PB dengan lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin).
Pemberian obat sekali saja langsung RFT = Release From Treatment. Obat diminum di
13

depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum
tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal
dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel 2.3 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI

Dewasa

Rifampicin

Ofloxacin

Minocyclin

600 mg

400 mg

100 mg

300 mg

200 mg

50 mg

(50-70 kg)
Anak
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Tabel 2.4 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3

Rifampicin

Dewasa

600 mg/bulan

Dapson

100 mg/hr diminum di rumah

Diminum di depan petugas kesehatan


Anak-anak 450 mg/bulan
(10-14 th)

50 mg/hari diminum di rumah

Diminum di depan petugas kesehatan

14

MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5, ama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease
From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Tabel 2.5 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)2,3

Rifampicin

Dewasa

Dapson

Lamprene

600 mg/bulan diminum di 100 mg/hari diminum 300 mg/bulan diminum di


depan petugas kesehatan

di rumah

depan petugas kesehatan


dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah

Anak-anak

450 mg/bulan diminum di 50 mg/hari diminum di 150 mg/bulan diminum di


depan petugas

(10-14 th)

rumah

depan petugas kesehatan


dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari diminum di
rumah

Pengobatan Reaksi Kusta


1. ENL
-

Prednison tablet 15-30 mg/hari.


Bila reaksi ringan, tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosis

diturunkan secara bertahap.


Talidomid
Obat pilihan pertama. Kontra indikasi pada orang hamil atau masa subur,

karena bersifat teratogenik. Obat ini tidak terdapat di indonesia.


Klofazimin
Digunakan dengan dosis yang lebih tinggi, 300 mg/hari. Diberikan selama 2-3
bulan. Bila ada perbaikan, diturunkan menjadi 200 mg/hari selamaa 2-3 bulan.
Jika ada perbaikan, diturunkan menjadi 100 mg/hari selama 2-3 bulan, dan

15

selanjutnya kembali ke dosiss klofazimin semula, 50mg/hari. Pada saat yang


sama, dosis prednison diturunkan secara bertahap.
2. Reaksi reversal
- Tanpa neuritis : tidak perlu pengobatan tambahan.
- Dengan neuritis akut : Prednison tablet 40mg/hari, diturunkan perlahan.
Pengobatan harus dimulai secepatnya untuk menghindari kerusakan saraf
secara mendadak. Anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan.
2.9 Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun2.

16

BAB III
KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun.
Berdasarakan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT,Ti,BT,BB,BI,Li,LL, dan
menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta dilakukan
berdasarkam pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Penatalksanaan kusta
dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan untuk mencegah kemungkinan
timbul resistensi.

17

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671
2. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine
7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796
3. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88.
4. Lewis, Felisa S. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview, 21
Februari 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai