MORBUS HANSEN
PEMBIMBING :
dr. DIDI SUPRIADI, Sp.KK
DISUSUN OLEH :
NIDYA FEBRINA
1102010206
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN
RSUD SUBANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penyusun dapat menyelesaikan refrat
yang berjudul Morbus Hansen. Tinjauan pustaka ini disusun dalam rangka
memenuhi persyaratan dalam kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
pada bagian Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD Subang.
Penyusun menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna, oleh karena
itu penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
demi kesempurnaan tinjauan pustaka ini.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing atas segala
bimbingan, motivasi, serta ilmu yang diberikan sehingga penyususn dapat
menyelesaiakan tugas pustaka ini. Besar harapan penyusun semoga tinjauan pustaka
ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.
Subang, Februari 2015
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen merupakan
penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu. Kata lepra
merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari bahasa India,
kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 18742.
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran
pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat sembuh
dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment (MDT) mulai
diperkenalkan, kusta dapat di diagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi sayangnya meskipun
telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi kerusakan sensorik dan motorik
yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga gejala tangan lunglai, mutilasi jari.
Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma terhadap penyakit kusta.3
Meskipun 25 tahun terakhir banyak yang telah dikembangkan mengenai kusta,
pengetahuan mengenai patogenesis, penyebab, pengobatan, dan pencegahan lepra masih terus
diteliti.3
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama,
namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, dan organorgan lain kecuali susunan saraf pusat.1,3
2.2 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 8
m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol2. Kuman ini memunyai afinitas terhadap
makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated
immune response, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan
di perineurium, dapat ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson.3
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak
dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik
pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior
chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat
(aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung1.
2.3 Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan target
resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan
subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia,
India, Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak
dimulai adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta
terdaftar di Indonesia sebanyak 207.042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya. Penyebaran penyakit kusta mungkin disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terifeksi penyakit tersebut2,3
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan
2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi.
4
Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra
dalam darah, dan kemiskinan (malnutrisi). 1
2.4 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit lepra
yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan karena respon imun yang berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik.
Kerusakan jaringan tergantung pada sistem simunitas selular, tipe penyebaran bakeri,
adanya komplikasi reaksi lepra, dan kerusakan saraf. Afinitas pada sel Schwann, mycobacteria
berikatan dengan Domain G rantai alpha laminin 2 yang ditemukan di saraf perifer di lamina
basal. Replikasi di dalam sel ini menyebabkan respon sistem imunitas selular yang
menyebabkan reaksi inflamasi, yang menyebabkan pembengkakan perineureum, iskemia,
fibrosis, dan kematian akson.
Pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman bermultiplikasi dengan bebas
dan merusak jaringan.
Pada kusta tipe TT terjadi sebaliknya, kemampuan imunitas selular tinggi, sehingga
makrofag mampu menghancurkan kuman. Namun setelah kuman difagositosis, makrofag
berubah menjadi sel epiteloid dan kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Massa
epiteloid dapat menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.3
Munculnya gejala kusta terjadi karena perkembangan granuloma, dan pasien mungkin
mengalami reactional state, yang dapat terjadi pada sekitar >50% pasien tertentu. Spektrum
granuloma lepra terdiri dari 1) a high-resistance tuberculoid response (TT), 2) a low- or
absent-resistance lepromatous pole (LL), 3) a dimorphic or borderline region (BB), 4)
borderline lepromatous (BL), dan 5) borderline tuberculoid (BT). Berdasarkan dari yang paling
tinggi resistensinya hingga ke yang paling rendah resistensinya, yaitu TT, BT, BB, BL, LL1.
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi yang
berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and reversal reactions),
atau reaksi non-nodular terjadi pada tipe borderline ( Li, BL, BB, BT, B ), inflamasi terjadi
diantara lesi kulit yang sudah ada. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau
seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat. Gejala neuritis akut paling penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian
obat kortikosteroid, sebab tanpa neuritis, pemberian kortikosteroid fakultatif. Reaksi tipe 2
(Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian individu dengan LL, biasanya
6
timbul setelah pemberian terapi antilepra. Gejala klinis berupa nodus eritema, dan nyeri dengan
tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala
seperti idiosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan
proteinuria. Dapat disertai gejala konstitusi dari riingan sampai berat bergantung status
imunologik.
Terdapat juga raksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa
non-nodular difus, yang disebut fenomena Lucio. Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi
pada individu dengan LL yang meluas. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus,
berwarna merah muda, berbentuk tidak teratur dan nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura,
dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan akhirna terbentuk jaringan parut. 1,3
2.6 Dasar Diagnosis
Diagnosis penyakit
kusta
didasarkan
atas
gambaran
klinis,
bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, daignosis klinis yang terpenting. Antara
diagnosis secara klinis dan histopatologik, terdapat kemungkinan persamaan maupun
perbedaan tipe. Oleh karena itu, diagnosa klinis harus didasarkan hasil pemeriksaan
kelainan klinis selluruh tubuh orang tersebut. Bentuk diagnosis klinis dimuali dengan
inspeksi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat sederhana seperti
jarum, kapas, tabung reaksi berisi air panas dang dingn, dan lain sebagainya.
2.6.1
untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni : Lesi kulit yang
perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai sistem saraf perifer
dengan parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat adanya gejala
klinis. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot, atrofi otot, nyeri neuritik
yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki. 90% pasien biasanya mengalami keluhan
pada pertama kalinya adalah rasa baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat
membedakan panas dengan dingin. Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama
7
dialami pada tangan dan kaki, sehingga dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada
ekstremitas yang baal tersebut. Bagian tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah
daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis, dagu, cuping hidung, daun telinga, dan
lutut. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya makula saja,
infiltrat saja, atau keduanya. Disebut juga sebagai the greatest imitator banyak penyakit
kulit lain yang serupa.3
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom, perhatikan ada
tidaknya dehidrasi pada daerah lesi dengan cara menggores lesi dengan tinta (Tanda
Gunawan), dengan menggoresnya dari tengah lesi ke arah kulit normal, akan terlihat
goresan pada kulit normal lebih tebal. Dapat juga diperhatikan alopesia pada daerah
lesi. Gangguan fungsi motoris dapat dinilai dengan Voluntary Musle Test (VMT).
Untuk mengetahui gengguan pada saraf perifeer, perhatikan apakah terdapat
pembesaran, konsistensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan / nyeri tekan. Terdapat
beberapa saraf superfisial yang perlu diperiksa, yaitu :
a. N. Ulnaris
- Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis.
- Clawing pada kelingking dan jari manis.
- Atrofi hiptenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
b. N. Medianus
- Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
- Tidak mampu adduksi jari.
- Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.
- Ibu jari kontraktur.
- Atrofi tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
c. N. Radialis
- Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk.
- Tangan gantung (wrist drop).
- Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
d. N. Poplitea Lateralis
- Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
- Kaki gantung (foot drop).
- Kelemahan otot peroneus.
e. N. Tibialis posterior
- Aneestesia telapak kaki.
- Claw toes.
- Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
f. N. Fasialis
- Cabang temporal dan zigomatik : langoftalmus.
2.6.2
Merupakan variasi lesi tipe lepromatosa yang pertama. Gambaran klinis berupa
nodus yang berbatas tegas, dapatberbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi.
Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisten.
5. Kusta tipe neural
Kusta tipe neural murni memiliki tanda sebagai berikut :
- Tidak ada atau tidak pernah ada lesi kulit.
- Ada satu atau lebih pembesaran saraf.
- Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang
-
disarafinya.
Bakterioskopik negatif.
Tes mitsuda positif.
Lakukan pemeriksaan histopatologik saraf untuk menentukan tipe (biasanya
tipe tuberkuloid, borderline, atau nonspesifik).
10
LL
Makula, Infiltrat
BL
Makula, Plakat, Papul
BB
Plakat, Dome Shaped
(Kubah), Punched Out
Tidak terhitung,
sehat
Hampir simetris
Asimetris
Halus Berkilat
Agak Kasar/berkilat
Distribusi
Simetris
Agak Jelas
Agak Jelas
Permukaan
Halus Berkilat
Tak Jelas
Lebih Jelas
Batas
Tidak Jelas
Anestesia
BTA
Lesi kulit
Banyak
Agak Banyak
Sekret hidung
Tes
Biasanya Negatif
Negatif
Negatif
Biasanya negatif
Lepromin
Tabel 2.2 Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta Pausibasiler (PB)
SIFAT
Lesi
Bentuk
TT
Makula saja, makula
BT
dibatasi infiltrat
Jumlah
dengan satelit
Distribusi
asimetris
Masih asimetris
variasi
Permukaan
kering bersisik
Kering bersisik
Batas
Jelas
Jelas
jelas/tidak
Anestesia
Tak Jelas
BTA
Lesi kulit
Negatif
Negatif/positif 1
Biasanya negatif
11
Sekret hidung
Tes
Biasanya Negatif
Positif lemah
Lepromin
Negatif
Positi lemah sampai
negatif
12
campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M. leprae
sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick, PCR.
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez)
atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan
eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon
imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis3.
2.7 Diagnosis Banding
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, ptiriasis versikolor,
ptiriasis alba, Tinea korporis. Pada lesi papul, granuloma annulare, lichen planus. Pada
lesi plak, tinea korporis, ptiriasis rosea, psoriasis. Pada lesi nodul, acne vulgaris,
neurofibromatosis. Pada lesi saraf, amyloidosis, diabetes, trachoma3.
2.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya kecacatan,
untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini
dan pengobatan penderita.4
Untuk mencegah resistensi, pengobatan kusta menggunakan multi drug treatment
(MDT).
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum
tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal
dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel 2.3 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut
WHO/DEPKES RI
Dewasa
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
600 mg
400 mg
100 mg
300 mg
200 mg
50 mg
(50-70 kg)
Anak
(5-14 th)
PB dengan lesi 2 5. Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9)
bulan. Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti
minum obat.
Tabel 2.4 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)2,3
Rifampicin
Dewasa
600 mg/bulan
Dapson
14
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5, ama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan
selama 12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease
From Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara
pasif untuktipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Tabel 2.5 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)2,3
Rifampicin
Dewasa
Dapson
Lamprene
di rumah
Anak-anak
(10-14 th)
rumah
15
16
BAB III
KESIMPULAN
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun.
Berdasarakan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT,Ti,BT,BB,BI,Li,LL, dan
menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta dilakukan
berdasarkam pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Penatalksanaan kusta
dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan untuk mencegah kemungkinan
timbul resistensi.
17
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas and
Synopsis of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671
2. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine
7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796
3. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88.
4. Lewis, Felisa S. Leprosy. http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview, 21
Februari 2011.
18