Anda di halaman 1dari 6

ADIL

Adil berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur, lurus, dan tulus.
Secara terminologis adil bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi, ketidakjujuran.
Dengan demikian orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan standar hukum baik hukum
agama, hukum positif (hukum negara), maupun hukum sosial (hukum adat) yang berlaku. Dalam
Al Quran, kata adl disebut juga dengan qisth (QS Al Hujurat 49:9).
Dengan demikian, orang yang adil selalu bersikap imparsial, suatu sikap yang tidak
memihak kecuali kepada kebenaran. Bukan berpihak karena pertemanan, persamaan suku, bangsa
maupun agama. Keberpihakan karena faktor-faktor terakhirbukan berdasarkan pada
kebenaran dalam Al Quran disebut sebagai keberpihakan yang mengikuti hawa nafsu dan itu
dilarang keras (QS An Nisa 4:135). Dengan sangat jelas Allah menegaskan bahwa kebencian
terhadap suatu golongan, atau individu, janganlah menjadi pendorong untuk bertindak tidak adil
(QS Al Maidah 5:8).
Mengapa Islam menganggap sikap adil itu penting? Salah satu tujuan utama Islam adalah
membentuk masyarakat yang menyelamatkan; yang membawah rahmat pada seluruh alam
rahmatan lil alamin (QS Al Anbiya 21:107). Ayat ini memiliki sejumlah konsekuensi bagi
seorang muslim:
Pertama, seorang muslim harus bersikap adil dan jujur pada diri sendiri, kerabat dekat ,
kaya dan miskin. Hal ini terutama terkait dengan masalah hukum (QS An Nisa 4:135).
Penilaian, kesaksian dan keputusan hukum hendaknya berdasar pada kebenaran walaupun kepada
diri sendiri, saat di mana berperilaku adil terasa berat dan sulit.
Kedua, keadilan adalah milik seluruh umat manusia tanpa memandang suku, agama,
status jabatan ataupun strata sosial. Oleh karena itu, seorang muslim wajib menegakkan keadilan
hukum dalam posisi apapun dia berada; baik sebagai hakim, jaksa, polisi maupun saksi.
Ketiga, di bidang yang selain persoalan hukum, keadilan bermakna bahwa seorang
muslim harus dapat membuat penilaian obyektif dan kritis kepada siapapun. Mengakui adanya
kebenaran, kebaikan dan hal-hal positif yang dimiliki kalangan lain yang berbeda agama, suku
dan bangsa dan dengan lapang dada membuka diri untuk belajar (QS Yusuf 16:109) serta dengan
bijaksana memandang kelemahan dan sisi-sisi negatif mereka. Pada saat yang sama, seorang
muslim dengan tanpa ragu mengkritisi tradisi atau perilaku negatif yang dilakukan umat
Islam.Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa seorang individu muslim yang berperilaku
adil akan memiliki citra dan reputasi yang baik serta integritas yang tinggi di hadapan manusia
dan Tuhan-nya. Karena, sifat dan perilaku adil merupakan salah satu perintah Allah (Qs Asy
Syuro 42:15) dan secara explisit mendapat pujian (QS Al Araf 7:159).
Perilaku adil, sebagaimana disinggung di muka, merupakan salah satu tiket untuk
mendapat kepercayaan orang; untuk mendapatkan reputasi yang baik. Karena dengan reputasi
1

yang baik itulah kita akan memiliki otoritas untuk berbagi dan menyampaikan nilai-nilai
kebaikan dan kebenaran dengan orang lain (QS Ali Imran 3:104). Tanpa itu, kebaikan apapun
yang kita bagi dan sampaikan hanya akan masuk ke telinga kiri dan keluar melalui telinga kanan.
Karena, perilaku adil itu identik dengan konsistensi antara perilaku dan perkataan (QS As Saff
61:3).
Jika

kita

perhatikan

alam

raya

sekitar

kita,

maka

akan

kita

dapatkan

prinsip adil/keseimbangan itu menjadi ciri utama keberlangsungan dunia. Malam dan siang, gelap
dan terang, panas dan dingin, basah dan kering, bahkan udara tersusun dalam susunan
keseimbangan yang masing-masing pihak tidak ada yang mengambil/mengurangi hak sisi
lain.Adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam memberikan
hukum. Selain itu, adil juga sering diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan dalam
memberikan hak orang lain, tanpa ada yang.
Pada masa modern ini sikap adil sangatlah kita perlukan kembali agar manusia mampu
memberikan hak kepada diri sendiri dan orang lain sesuai dengan perannya dan tidak melanggar
Hak Asasi Manusia. Seperti yang dijelaskan Al Quran dalam surah Ar-Rahman / 55:7-9.Dan
Allah telah meninggikan langit-langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan
melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan dengan adil dan janganlah
kamu mengurangi neraca itu Sikap adil/moderat akan menjamin kelangsungan sebuah konsep.
Sebab sikap berlebihan yang meskipun dibutuhkan suatu saat ia tidak akan tahan lama. Kita harus
menyadari bahwa sikap adil ini akan memberikan keistimewaan dan keuntungan pada diri kita
sendiri, keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

RIDA
Kata rida berasal dari bahAsa Arab yang artinya rela dan menerima denga suci hati.
Menurut istilah rida berarti menerima dengan rasa senang apa yang diberikan oleh Allah baik
berupa pertauran,huKum, ataupun qada dan qadar atau ketentuan nasib. Mengacu pada
pengertian rida menurut istilah seperti tersebut di atas, rida dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu:
1. Rida terhadap hukum (peraturan) Allah SWT. Orang yang rida terhadap hukum Allah SWT
tentu akan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-NYA, dilandasi
dengan niat ikhlas karena Allah SWT dan rasa senang, tidak merasa terpaksa atau dipaksa
(Detailnya pada A.S At-Taubah 9: 59)
2. Rida terhadap qada dan qadar Allah SWT yang berkaitan dengan nasib.Orang beriman yang
bijaksana akan menerima qada dan qadar Allah SWT yang berupa kenikmatan dengan rasa
syukur, dan yang berupa kemalangan dengan sabar dan tawakal.
Kejahatan yang disebabkan oleh tertekannya ekonomi dan cobaan-cobaan Allah lainnya tak
akan terjadi apabila sesorang berbuat rida, karena orang tersebut akan menerima ujian
tersebut dengan ikhlas. Kemudian hal yang akan mereka lakukan adalah berusaha dan
bertawakal kepada Allah SWT.
Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang masih berhubungan
dengan sikap kepasrahan seseorang di hadapan kekasih-Nya. Sikap ini merupakan wujud dari
rasa cinta pada Allah dengan menerima apa saja yang telah dikehendaki oleh-Nya tanpa ada
paksaan dalam menjalaninya. Dengan kata lain, ridha lebih memfokuskan perhatian yang
ditujukan kepada upaya mengembangkan emosi ridha dalam hati calon sufi kepada Tuhan. Maka
janganlah kita berharap memperoleh ridha Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh
dengan subur emosi ridha kepada-Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada tidaknya, atau
besar kecilnya ridha Tuhan pada seseorang tergantung pada ada tidaknya atau besar kecilnya
ridha hatinya kepada Tuhan.
Syekh Maulana Jalaluddin al-Rumi menggambarkan para sufi yang berhati ridha kepada Allah,
antara lain sebagai berikut : Aku perkenalkan para wali, yang mulutnya tidaklah berkomatkamit dengan lafadz doa; mereka adalah orang-orang mulia yang tunduk dengan hati ridha.
Mereka memandang haram permohonan untuk menolak qadha. Mereka melihat bahwa pada
qadha dan qadar Tuhan itu ada rasa nikmat yang khas, dan memandang kufur upaya memohon
kelepasan dari-Nya. Berprasangka baik telah membuka dan memenuhi hati mereka, sehingga
tidaklah mereka memakai pakaian biru karena sedih. Apa saja yang datang kepada mereka,
menggembirakan hati mereka; ia akan berubah menjadi api kehidupan, kendati ia yang datang itu
api; racun yang berada di kerongkongan mereka, mereka pandang seperti gula; dan batu di
jalanan seperti permata; sama bagi mereka yang baik dengan yang buruk. Semua sikap ini
berkembang dari husnuzzan, prasangka baik mereka. Berdoa bagi mereka suatu kekufuran,
karena bila mereka melakukannya itu berarti mereka mengatakan: Ya Tuhan kami, rubahlah
qadha ini sehingga menjauh dari kami, atau rubahlah qadha ini sehingga dapat membawa
keuntungan untuk kami. Bagaimanakah jadinya dunia ini, bila ia harus berjalan menurut
keinginan manusia, bukan menurut qadha dan qadar-Nya? Demikianlah antara lain sikap sufi
yang hatinya dipenuhi ridha kepada Tuhan. Walaupun berdoa di syariatkan oleh agama, mereka

karena mencapai taraf kerohanian yang tinggi, tidak merasa pantas lagi meminta ini dan itu
kepada Allah.
Seperti dalam Hadith Qudsi:


:


Artinya:
Allah berfirman kepada rasul SAW: Barangsiapa yang tidak ridha atas segala hukum perintah,
larangan, janji qadha dan qadar-Ku, dan tidak bersyukur atas segala nikmat-nikmat-Ku, serta
tidak sabar atas segala cobaan-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau
jadikan sebagai atapmu, dan carilah Tuhan lain selain diri-Ku (Allah).
Dalam surat at-Taubah ayat 32:

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan
mereka), dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orangorang yang kafir tidak menyukai.

AMAL SALEH
Menurut pengertian kebahasaan amal berarti perbuatan dan saleh berarti baik. Jadi amal
saleh berarti perbuatan yang baik baik perbuatan lahir dan batin. Amal saleh ini merupakan suatu
kata yang memiliki arti yang sangat luas. Pada masa modern ini, kita haruslah berproduktif dalam
amal saleh kita agar terhindar dari godaan syetan dan keburukan-keburukan.
Beberapa riwayat menjelaskan sababul-wurud hadis ini. Muhammad bin Ziyad
meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. berkhutbah seraya mengatakan, Wahai
manusia, telah diwajibkan kepada kalian haji. Seseorang bertanya, Apakah tiap tahun, wahai
Rasulullah? Rasulullah saw. berdiam tidak menjawab sampai orang itu mengatakannya hingga
tiga kali, lalu beliau bersabda, Kalau aku katakan ya tentu akan menjadi wajib (haji tiap tahun)
dan kalian tidak akan mampu melakukannya. Beliau melanjutkan, Biarkanlah aku (jangan
ditanya) tentang apa yang aku tinggalkan (tidak aku jelaskan). Karena sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian binasa karena banyak bertanya dan menyalahi para nabi mereka. Jika aku
memerintahkan sesuatu maka kerjakanlah seoptimal kemampuan kalian dan jika aku melarang
kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah.
Dari hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah r.a. dan sababul wurud-nya ini, kita
dapat menarik arahan bahwa Islam menghendaki umatnya menjadi manusia produktif dengan
amal saleh. Umat saat ini diliputi permasalahan yang amat kompleks. Dari mulai korupsi yang
semakin menggila, kemaksiatan yang semakin demonstratif, pengangguran yang semakin
membengkak, dan belum lagi problem-problem yang dicurahkan oleh pihak asing ke dalam
negeri kita. Ini semua menuntut penyelesaian yang serius dan penanganan yang penuh kesabaran.
Apabila amal saleh itu dikerjakan dengan niat dan ikhlas karena Allah, sesuai dengan ketentuan
ajaran dan ilmunya, tentu akan mendatangkan kebaikan-kebaikan baik bagi kehidupan di alam
dunia maupun di akhirat nanti, sedangkan orang yang berbuat perilaku-perilaku tercela itu akan
mendapatkan balasannya dari Allah SWT yang berupa api neraka.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Adil
http://id.wikipedia.org/wiki/rida
http://id.wikipedia.org/wiki/amalsaleh
http://awan965.wordpress.com/
http://www.geocities.com/

Anda mungkin juga menyukai