Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Gangguan somatisasi merupakan salah satu bentuk gangguan somatoform, yang
sumber gangguannya adalah kecemasan yang dimanifestasikan dalam keluhan fisik, sehingga
orang lain tidak akan mengerti jika individu tidak mengeluh. Somatisasi juga merupakan
suatu bentuk gangguan yang ditunjukkan dengan satu atau beberapa macam keluhan fisik
akan tetapi secara medis tidak mempunyai dasar yang jelas.
Pada gangguan ini sering kali terlihat adanya perilaku mencari perhatian (histrionik),
terutama pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk dokternya untuk menerima
bahwa keluhannya memang penyakit fisik dan bahwa perlu adanya pemeriksaan fisik yang
lebih lanjut.
Sejauh ini gangguan somatisasi hampir selalu ada pada pelayanan primer. Maka dari
itu makalah ini membahas mengenai pengenalan gangguan somatisasi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang dicirikan
dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan
pemeriksaan fisik maupun laboraturium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpah
berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan
nyeri. Gangguan ini bersifat kronis, berkaitan dengan stresor psikologis yang bermakna,
menimbulkan hendaya di bidang sosial dan okupasi, serta adanya perilaku mencari
pertolongan medis yang berlebihan. Dikenal juga sebagai Briquets syndrome.

Prevalensi sepanjang hidup 0,2-2% pada wanita dan 0,2% pada pria. Wanita lebih
banyak menderita gangguan somatisasi dibandingkan pria dengan rasio 5 berbanding 1.
Awitan gangguan ini sebelum usia 30 tahun dan biasanya dimulai ketika usia remaja. 1

2.2 EPIDEMIOLOGI
Prevalensi seumur hidup gangguan somatisasi dalam populasi umum diperkirakan 0,1
sampai 0,2 persen walaupun beberapa kelompok riset yakin bahwa angka sebenarnya dapat
lebih mendekati 0,5 persen. Perempuan dengan gangguan somatisasi jumlahnya melebihi
laki-laki 5- 20 kali tetapi perkiraan tertinggi dapat disebabkan adanya tendensi dini tidak
mendiagnosis gangguan somatisasi pada pasien laki-laki. Gangguan ini yang lazim
ditemukan. Perbandingan perempuan dan laki-laki adalah 5:1. Diantara pasien di praktik
umum dan dokter keluarga, sebanyak 5- 10% dapat memenuhi kriteria diagnostik gangguan
somatisasi. Gangguan somatisasi didefinisikan dimulai sebelum usia 30 tahun; dan paling
sering dimulai selama masa remaja.2

2.3 ETIOLOGI
Pendapat mengatakan bahwa para pasien penderita gangguan somatisasi lebih sensitif
terhadap sensasi fisik, memberikan perhatian berlebihan terhadap sensasi tersebut atau
2

menginterprestasikannya sebagai suatu yang membahayakan. Kemungkinan yang lain adalah


mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dibanding orang lain. Sebuah pandangan
perilaku mengenai gangguan somatisasi menyatakan bahwa berbagai macam rasa sakit dan
nyeri, rasa tidak nyaman, dan disfungsi merupakan manifestasi kecemasan yang tidak
realistis dalam sistem-sistem tubuh. Sejalan dengan pemikiran bahwa terdapat faktor
kecemasan yang tinggi, pasien penderita gangguan somatisasi memiliki kadar kortisol tinggi,
suatu indikasi bahwa mereka berada dibawah tekanan. Mungkin ketegangan ekstrim yang
dimiliki individu berpusat pada otot-otot perut, mengakibatkan rasa mual atau muntah. Bila
keberfungsian normal terganggu, pola maladiaptif akan menguat karena menghasilkan
perhatian dan alasan untuk menghindari sesuatu.3,4
1. Faktor psikososial

Penyebab gangguan somatisasi tidak diketahui. Secara psikososial, gejala


gangguan ini merupakan bentuk komunikasi sosial yang bertujuan untuk menghindari
kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan perasaan.
Aspek pengajaran pada anak untuk menggunakan somatisasi. Faktor sosial,
kultur dan etnik juga ikut terlibat dalam pengembangan gejala-gejala somatisasi. 1
2. Faktor biologis dan genetik
Sejumlah studi mengemukan bahwa pasien memiliki perhatian yang khas dan
hendaya kognitif yang menghasilkan persepsi penilaian input somatosensorik yang
salah. Ketidakmampuan menghabituasi stimulus berulang, pengelompokan konstruksi
kognitif dengan dasar impresionistik, hubungan parsial dan sirkumstansial , serta
kurangnya xelektivitas, seperti yang ditunjukkan sejumlah studi potensial bangkitan.
Sejumlah studi pencitraan otak melaporkan adanya penurunan metabolisme lobus
frontalis dan hemisfer nondominan.2
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan
somatisasi. Terjadi pada saudara laki-lakinya cenderung menjadi penyalahguna zat
dan gangguan kepribadian antisosial. Pada kembar monozigot terjadi 29% dan dizigot
10%.1
Penelitian sitokin, suatu area baru studi ilmu neurologi dasar, dapat relevam
dengan gangguan somatisasi dan gangguan somatoform lain. Sitokin adalah molekul
pembawa.2
3

3. Faktor pencetus
Termasuk peristiwa-peristiwa kehidupan dan menimbulkan stres (misal
penyakit dan konflik antar pribadi.3
4. Faktor penunjang
Termasuk interaksi-interaksi antar pasien, keluarga dan dokter dan sistem
sosial. Keuntungan finansial dan bentuk-bentuk lain keuntungan sekunder
memperkuat somatisasi, demikian pula faktor-faktor iantrogenik seperti pengujian
yang tidak perlu, efek samping obat, dan komplikasi pemeriksaan invasif.3

2.4 GAMBARAN KLINIS


Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat
medik yang panjang dan rumit. Gejala-gejala umum yang sering dikeluhkan adalah mual,
muntah (bukan karena kehamilan), sulit menelan, sakit pada lengan dan tungkai nafas pendek
(bukan karena olahraga), amnesia, komplikasi kehamilan dan menstruasi. Seringkali pasien
beranggapan dirinya menderita sakit sepanjang hidupnya.1
Gejala pseudoneurologik sering dianggap gangguan neurologik namun tidak
patognomonik. Misalnya gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis atau kelemahan
lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan di tenggorokan, afonia, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi raba atau sakit, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan, atau
hilangnya kesadaran bukan karena pingsan. 1
Penderitaan psikologik dan masalah interpersonal menonjol, dengan cemas dan
depresi merupakan gejala psikiatri yang paling sering dilakukan, namun bunuh diri aktual
sangat jarang. Biasanya pasien mengungkapkan keluhannya secara dramatik, dengan muatan
emosi dan berlebihan. Pasien-pasien ini biasanya tampak mandiri, terpusat pada dirinya, haus
penghargaan dan pujian, dan manipulatif.1

2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR memberi syarat awitan gejala sebelum
usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, keluhan pasien harus memenuhi minimal 4
4

gejala nyeri, 2 gejala gastrointestinal, 1 gejala seksual, dan 1 gejala pseudoneurologik, serta
tak satupun dapat dijelaskan melalui pemeriksaan fisik dan laboratorik. Berikut kriteria
diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IIV-TR:
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama
periode lebih dari beberapa tahun dan menyebabkan pencarian pengobatan atau
hendaya dalam fungsi sosoal, pekerjaan dan fungsi penting lainnya.
B. Tiap kriteria berikut harus memenuhi, dengan gejala individual yang terjadi kapan
pun selama perjalanan dari gangguan :
1. Empat gejala nyeri : riawayat nyeri berkaitan dengan sedikitnya 4 tempat atau
fungsi yang berbeda (mis: kepala abdomen, punggung, sendi, ekstremitas, dada,
rektum, selama menstruasi, selama berhubungan seksual, atau selama buang air
kecil)
2. Dua gejala gastrointestinal: sedikitnya 2 riwayat gejala gastrointestinal selain
nyeri (mis: mual, kembung, muntah bukan karena kehamilan, diare, atau
intoleransi beberapa makanan berbeda)
3. Satu gejala seksual : sedikitnya 1 riwayat gejala seksual atau reproduktif selain
nyeri (mis: indiferens seksual, disfungsi ereksi atau ejakulasi, haid tidak teratur,
pendarahan haid berlebihan, muntah sepanjang kehamilan)
4. Satu gejala pseudoneurologik: sekurangnya 1 riwayat gejala atau defisit
pseudoneurologik yang memberikan kesan adanya kondisi neurologik tak terbatas
pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan,
paralisis atau kelemahan lokal, sulit menelan atau merasa ada gumpalan
tenggorokan afonia, retensi urin, halusinansi, kehilangan sensasi rasa sakit dan
raba, penglihatan kabur, buta, tuli, bangkitan; gejala disosiatif seperti amnesia,
hilang kesadaran bukan karena pingsan )
C. Salah satu dari 1) atau 2)
1. Setelah penelusuran yang sesuai tiap gejala pada kriteria B tak dapat sepenuhnya
dijelaskan sebagai akibat kondisi medik umum atau merupakan efek langsung dari
zat (mis: penyalahgunaan zat, karena medikasi)

2. Apabila terdapat kondisi medik umum yang terkait, keluhan fisik atau hendaya
sosial atau pekerjaan yang diakibatkannya melebihi daripada yang diharapkan
berdasarkan riwayat, penemuan fisik dan laboraturium
D. Gejala-gejalanya tidak dibuat secara sengaja atau berpura-pura (seperti pada
gangguan buatan atau berpura-pura).

Diagnosis pasti gangguan somatisasi berdasarkan PPDGJ III:4


a. Ada banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat
dijelaskan atas dasarnya adanya kelainan fisik yang sudah berlangsung sekitar 2
tahun;

b. tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada
kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhan-keluhannya;

c. terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang berkaitan


dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampaak daari perilakunya.

2.6 DIAGNOSA BANDING


Klinis selalu menyingkirkan keadaan medis nonpsikiatri yang dapat menjelaskan gejala
pasien. Sejumlah gangguan medis sering menunjukkan kelainan yang sementara dan
nosspesifik pada kelompok usia yang sama. Gangguan medis ini mencakup sklerosis multipel
(MS), miastenia gravis, systemic lupus erythematosus (SLE), acquired immune deficiency
syndrome (AIDS), porfiria akut intermiten, hiperparatiroidisme, hipertiroidisme, dan infeksi
sistemik kronik. Awitan berbagai gejala somatik pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun
harus dianggap disebabkan oleh keadaan medis nonpsikiatri sampai pemeriksaan medis yang
mendalam telah dilengkapi. 2
Banyak gangguan jiwa dipertimbangkan dalam diagnosis banding, yang dipersulit
pengamatan bahwa sedikitnya 50% pasien dengan gangguan somatisasi juga memiliki
gangguan jiwa lain bersamaan. Pasien dengan gangguan depresif berat, gangguan ansietas
menyeluruh, dan skizifrenia semuanya dapat memiliki keluhan awal yang berpusat pada
gejala somatik. Meskipun demikian pada semua gangguan ini, gejala depresi, ansietas atau
6

psikosis akhirnya mendominasi keluhan somatik. Walaupun pasien dengan gangguan panik
dapat mengeluhkan banyak gejala somatik yang berkaitan dengan serangan paniknya, mereka
tidak terganggu oleh gejala somatik di antara serangan panik.
Di antara semua gangguan somatoform, hipokondriasis, ganggguan konversi, dan
gangguan somatisasi nyeri, pasien dengan hipokondriasis memiliki keyakinan salah bahwa
mereka memiliki penyakit tertentu, sedangkan pasien dengan gangguan somatisasi
mengkhawatirkan banyak gejala. Gejala gangguan konversi terbatas pada satu atau dua
sistem neurologis bukannya gejala gangguan somatisasi yang sangat beragam. Gangguan
nyeri terbatas pada satu atau dua keluhan gejala nyeri.2

2.7 PERJALANAN GANGGUAN DAN PROGNOSIS


Gangguan somatisasi adalah gangguan bersifat kronik. Diagnosis biasanya ditegakkan
sebelum usia 25 tahun, namun gejala awal sudah dimulai saat remaja. Masalah menstruasi
biasanya merupakan keluhan paling dini yang muncul pada wanita. Keluhan seksual
seringkali berkaitan dengan perselisihan dalam perkawinan. Periode keluhan yang ringan
berlangsung 9-12 bulan, sedangkan gejala yang berat dan pengembangan dari keluhankeluhan baru berlangsung selama 6-9 bulan. Sebelum setahun biasanya pasien sudah mencari
pertolongan medis. Adanya peningkatan tekanan kehidupan mengakibatkan eksaserbasi
gejala-gejala somatik. Sering terdapat hubungan antara periode meningkatnya stres dan
memberatnya gejala somatiknya.1,2

2.8 TERAPI
Penanganan sebaiknya dengan satu orang dokter, sebab apabila dengan beberapa dokter
pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan somatiknya.
Interval pertemuan sebulan sekali. Meskipun pemeriksaan fisik tetap harus dilakukan untuk
setiap keluhan somatik yang baru, dokter atau terapis harus mendengarkan keluhan somatik
sebagai ekspresi emosional dan bukan sebagai keluhan medik. 1 Meskipun demikian, pasien
dengan gangguan somatisasi juga dapat memiliki penyakit fisik yang sesungguhnya, oleh
sebab itu, dokter harus selalu menilai gejala mana yang harus diperiksa dan sampai seberapa
jauh. Strategi jangka panjang yang yang beralasan untuk dokter di tempat pelayanan primer
yang merawat pasien dengan gangguan somatisasi adalah meningkatnya kesadaran pasien
7

akan kemungkinan bahwa faktor psikologis terlibat dalam gejala sampai pasien mampu
menemui klinisi kesehatan jiwa. Pada kasus yang rumit dengan banyak tampilan medism
psikiater lebih mampu menilai apakah harus mencari konsultasi medis atau eperasi
berdasarkan kemampuan medisnya; meskipun demikian profesional kesehatan jiwa nonmedis
juga dapat menggali hal psikologis sebelumnya dengan dokter. 2
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran dana
perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit. Psikoterapi membantu
pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengeskpresikan emosi yang mendasari dan
mengembangkan sretegi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya. 1
Terapi psikofarmakologi dianjurkan apabila terdapat gangguan lain (komorbid).
Pengawasan ketat terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien dengan gangguan
somatisasi cenderung menggunakan obat-obatan berganti-ganti dan tidak rasional.1
Berikut adalah penanganan pada gangguan somatisasi.5,6
1. Farmakoterapi
Tidak ada percobaan klinis terapi obat yang adekuat untuk somatisasi primer. Obatobat yang yang efektif dalam situasi-situasi sebagai berikut :
a. Gejala-gejala spesifik yang sulit disembuhkan seperti nyeri kepala, mialgia, dan
bentuk-bentuk penyakit kronik lainnya dapat hilang dengan antidepresan trisiklik.
Demikian pula pasien-pasien cemas dengan terapi aprazolam, benzodiazepin, atau
beta-bloker. Walaupun pasien-pasien tersebut tidak memnuhi kriteria gangguan panik
atau kecemasan.
b. Obat-obat simtomatik murni (misal: analgetik, antasida) Konsultasi psikiatrik
2. Konsultasi psikiatrik
Kita harus merujuk pasien pada suatu pelayanan hubungan konsultasi atau kepada
seorang dokter ahli jiwa. Konsultasi mengakibatkan intervensi psikiatrik jangka
pendek selain strategi-strategi penatalaksanaan yang dianjurkan oleh dokter di
perawatan primer. Pasien dengan somatisasi kronik berat mungkin mendapatkan
perbaikan dengan program-program terapi rawat inap.
3. Strategi penatalaksanaan
Terapi perilaku kognitif (CBT, cognitive behavior therapy) akan bermanfaat jika
diadaptasi untuk keluhan somatisasi utama. Pasien mungkin perlu dibantu untuk
mengenali dan mengatasi stresor sosial yang dialami.4 Terapi kognitif-behavioral,
untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien. Teknik behavioral,
terapis bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform,
membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan cara
8

yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang terdistorsi
mengenai

penampilan

fisiknya

dengan

cara

menyemangati

mereka

untuk

mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Terapi ini dapat berfokus
pada menghilangkan sumber-sumber reinforcement sekunder (keuntungan sekunder),
memperbaiki perkembangan keterampilan untuk menangani stress, dan memperbaiki
keyakinan yang berlebihan atau terdistorsi mengenai kesehatan atau penampilan
seseorang. Terapi ini berusaha untuk membantu individu melakukan perubahanperubahan, tidak hanya pada perilaku nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan
dan sikap yang mendasarinya.
Strategi dan teknik farmakologikal dan fisik :
1

Diberikan hanya bila indikasinya jelas

Hindari obat-obatan yang bersifat adiksi

Anti anxietas dan antidepresan

Obat harus diawasi karena pasien dengan gangguan somatisasi cenderung


menggunakan obatnya dengan tidak teratur dan tidak dipercaya. Pada pasien tanpa
gangguan jiwa lain, sedikit data yang tersedia menunjukan bahwa terapi farmakologis
efektif bagi mereka.2

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Gangguan somatisasi adalah salah satu gangguan somatoform spesifik yang dicirikan
dengan gejala-gejala somatik yang banyak yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan
pemeriksaan fisik maupun laboraturium. Keluhan yang diutarakan pasien sangat melimpah
berbagai sistem organ seperti gastrointestinal, seksual, saraf, dan bercampur dengan keluhan
nyeri.
Ciri utama gangguan somatisasi adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacammacam (multiple), berulang dan sering berubah-ubah, biasanya sudah berlangsung sedikitnya
2 tahun, dan menyebabkan disabilitas individu tersebut di masyarahat dan keluarga.
Gangguan somatisasi merupakan gangguan yang bersifat kronik dan progresif umumnya
sedang sampai buruk.
Terapi gangguan somatisasi adalah dengan psikoterapi dan terapi psikofarmakologis.
Psikoterapi baik yang individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran dana
perawatan kesehatannya terutama untuk rawat inap di rumah sakit. Psikoterapi membantu
pasien untuk mengatasi gejala-gejalanya, mengeskpresikan emosi yang mendasari dan
mengembangkan sretegi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya.

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar Psikiatri. Jakarta: Penerbit FKUI; 2010.h. 287-90.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks synopsis of Psychiatry. 10 th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.h.268-70.

3. Mangel MB. Dkk, Referensi Manual Kedokteran Keluarga, Editor edisi bahasa
Indonesia, perpustakaan Nasional, Jakarta:2001 .h.701-709.
4. Maslim R. Buku Saku diagnosis gangguan jiwa: Rujukan ringkasan dari PPDGJ III
dan DSM-5: Jakarta; 2001.h.84.
5. Maramis, WF. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa cetakan kesembilan. Airlangga
University Press : Surabaya.
6. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current diagnosis and treatment in Psychiatry

[Serial Online]. McGraw-Hill; 2008.

11

Anda mungkin juga menyukai