Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Aktivitas penambangan dilakukan untuk mendapatkan bahan galian seperti logam,
mineral dan hidrokarbon yang memiliki nilai jual tinggi. Namun setelah aktivitas
penambangan terhenti, daerah bekas penggalian tersebut akan menimbulkan banyak kerugian
bagi lingkungan di daerah sekitar penambangan. Misalnya saja pencemaran lingkungan
akibat terakumulasinya logam berat di tanah dan sungai warga. Peristiwa pencemaran akibat
logam berat sisa hasil penambangan pernah terjadi di wilayah Picher, Oklohama dan debu
hasil penambangan pernah menyebabkan polusi udara yang terjadi di area bekas
penambangan tembaga di Siprus.
Pencemaran akibat logam berat dapat menimbulkan banyak penyakit yang diderita
warga seperti penyakit kulit, iritasi, bahkan kanker. Senyawa sisa hasil penambangan
memang berakibat buruk bagi kesehatan. Beberapa logam berat bersifat karsinogenik
sehingga memicu mutasi pada gen-gen makhluk hidup yang menimbulkan kanker jika
terpapar dalam jangka waktu tertentu. Terkadang keuntungan yang diperoleh dari hasil
penambangan tidak sebanding dengan risiko yang akan diderita oleh masyarakat yang tinggal
tidak jauh dari area penambangan jika tidak dibarengi dengan upaya untuk mengembalikan
daerah bekas penambangan menjadi ekosistem yang sehat seperti semula.
Selain menimbulkan penyakit, lahan sisa penambangan akan kehilangan nilai
estetikanya, Sungai yang semualanya jernih akan menjadi keruh kekuningan akibat
penambangan bauksit seperti yang telah terjadi di daerah Bintan, Kepri. Tanah yang
semulanya ditumbuhi pepohonan akan menjadi gundul dan gersang akibat pengalihfungsian
lahah dari hutan menjadi area penambangan. Hutan yang telah rusak tersebut akan
menimbulkan kerugian lebih lanjut seperti hilangnya keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, upaya pengembalian ekosistem yang sehat pada suatu daerah bekas
penambangan dianggap penting. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir dampak yang
merugikan dari aktivitas penambangan yang telah dilakukan sebelumnya. Salah satu upaya
untuk merestorasi ekosistem daerah bekas penambangan yaitu melalui program wanatani
(agroforestry). Program wanatani ini dapat mengembalikan ekosistem yang sehat di wilayah
1

bekas penambangan dengan melakukan kombinasi penananaman pohon dengan tanaman


komoditas pertanian atau perkebunan. Hal ini dianggap sangat menguntungkan dari berbagai
aspek. Selain dapat merestorasi ekosistem yang telah rusak, program wanatani yang
memadukan tanaman komoditas pertanian atau perkebunan dengan pepohonan dapat
mendorong masyarakat menjadi lebih aktif dalam upaya memelihara daerah wanatani.
Program wanatani juga dapat meningkatkan kesejahterahaan masyarakat di daerah bekas
tambang dengan adaanya usaha perkebunan ataupun pertanian di wilayah restorasi.
Seiring waktu daerah bekas tambang yang semula bersifat merugikan akan menjadi
wilayah yang menguntungkan dari segi lingkuangan maupun ekonomi. Wilayah tersebut akan
mulai didiami oleh hewan-hewan kecil seperti serangga, tupai, berbagai macam burung, dan
akan terus berkembang seiring waktu bila area tersebut dijaga dengan baik.
I. 2 Tujuan
Tujuan yang diharapkan dalam makalah ini yaitu Mewujudkan kesadaran dan
kepedulian bagi manusia untuk memelihara bumi yang sudah memberikan begitu banyak
manfaat bagi manusia dengan cara merestorasi beberapa daerah yang telah rusak seperti
daerah bekas tambang melalui program wanatani (agroforestry).
I. 3 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari makalah ini yaitu terwujudnya kesadaran dan
kepedulian manusia untuk menjaga dan tetap komitmen untuk memelihara bumi,
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah bekas tambang melalui program
wanatani.

BAB II
PEMBAHASAN

II. 1 Pentingnya Program Wanatani dalam Restorasi Ekologi


Program wanatani atau agroforestry merupakan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya
yang memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-kayuan dengan penanaman
tanaman komoditas atau tanaman jangka pendek, misalnya tanaman pertanian. Berdasarkan
sumber yang dilangsir, program wanatani mulai banyak diterapkan di Indonesia. Misalnya,
lembaga WWF Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan sistem wanatani sebagai solusi
untuk memperbaiki kawasan koridor Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman
Nasional Danau Sentarum (TNDS) di Kalimantan Barat. Hingga tahun 2005-2012, WWF
Indonesia telah menggiatkan upaya restorasi berbasis wanatani di enam desa yakni Desa
Mensiau, Labian Iraang, Labian, Sungai Ajung, Sungai Abau, dan Melemba yang
keseluruhannya terletak di Kecamatan Batang Lupar, Kabupaten Kapuas Hulu. Selama
rentang waktu 7 tahun tersebut, luas lahan yang dipetakan telah mencapai 356.347 Ha dan
lahan yang sudah ditanami seluas 266.438 Ha. Jumlah bibit yang sudah ditanami kelompok
dampingan sebanyak 85.909 batang. Kegiatan restorasi ini melibatkan 206 orang kepala
keluarga dengan berbagai macam kegiatan penanaman yang dilakukan seperti: menanam
pohon karet unggul, karet lokal (Landbouw), gaharu, belian dan meranti serta pohon buah
lainnya (Lasah, M. 2012).
Pengaplikasian program wanantani pada daerah bekas tambang dinilai tepat, karena
program ini dapat memberikan keuntungan dari dua segi sekaligus yaitu dari segi lingkungan
dan dari segi ekonomi. Tentunya wilayah tambang yang semula memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat sekitar akan menjadi tidak berguna setelah aktivitas penambangan berhenti.
Suprapto,SJ (2008) menyatakan bahwa masalah utama yang timbul pada wilayah bekas
tambang adalah perubahan lingkungan. Masyarakat akan semakin dirugikan akibat dampak
buruk yang ditimbulkanya. Oleh karena itu, program wanatani sangat penting untuk membuat
masyarakat tetap sejahtera dari segi ekonomi meskipun aktivitas penambangan telah terhenti.
Mayarakat dapat memperoleh keuntungan dari tanaman hasil perkebunan yang ditanam di
wilayah bekas tambang. Selain itu program ini juga memberikan peluang besar bagi
masyarakat untuk berkecimpung secara langsung untuk merawat wilayah restorasi sehingga
pemulihan ekosistem tersebut akan lebih cepat.
3

Restorasi suatu lahan bekas pertambangan harus dimulai dengan langkah penanaman
kembali pepohonan atau tanaman-tanaman lainnya yang berperan sebagai produsen utama
dalam suatu ekosistem. Hal ini dikarenakan produsen memiliki peranan penting untuk
memberikan ketersediaan energi bagi makhluk hidup lainnya seperti hewan dan manusia.
Selain ketersediaan energi, produsen juga memiliki peran utama dalam beberapa daur
biogeokimia misalnya saja daur karbon. Dalam hal ini produsen akan mengubah senyawa
karbondioksida di alam menjadi senyawa gula yang dapat dimanfaatkan.
Konsep wanatani dapat dilakukan pada situasi dan kondisi lahan tambang yang
berbentuk datar. Jika daerah bekas tambang berbentuk lubang besar seperti lahan tambang
milik PT. Freeport Indonesia di Timika, Papua, upaya untuk menerapkan sistem wanatani
akan lebih sulit karena membutuhkan dana yang besar untuk mereklamasi lahan tersebut.
Namun, untuk daerah bekas tambang yang tidak berbentuk lubang besar seperti lahan bekas
tambang minyak bumi di Riau, sehingga memungkinkan untuk proyek wanatani apabila
lahan tambang sudah tidak produktif lagi.
Selain itu, restorasi dengan sistem wanatani dapat diterapkan dalam situasi dimana
masyarakat yang tinggal di daerah bekas tambang sudah tidak memiliki sumber penghasilan
lain selain hasil dari aktivitas penambangan sehingga setelah aktivitas penambangan terhenti,
masyarakat dapat mengganti aktivitas yang semula menambang menjadi bertani. Situasi yang
tidak kalah pentingnya dalam penggunaan sistem wanatani untuk daerah bekas tambang
adalah mengenai konsentrasi kadar bahan berbahaya pada daerah tersebut. Jika kondisi logam
berat atau bahan pencemaran lainnya sudah berada di tingkatan yang tinggi maka sebaiknya
pemilihan tanaman komoditas untuk sistem wanantani perlu diperhatikan. Pemilihan tanaman
harus tertuju pada tanaman yang tahan terhadap kondisi tanah yang tercemar dan bukan
tanaman untuk konsumsi pangan karena dikhawatirkan kandungan logam berat yang dapat
terakumulasi pada tanaman tersebut. Tanaman seperti karet, tanaman jarak pagar (Jatropha
curcas), dan famili euphorbiaceae lainnya bisa dijadikan pilihan tanaman komoditas untuk
program wanatani pada situasi dan kondisi tersebut. Namun untuk mengantisipasi gagalnya
teknik ini karena tidak semua tanaman komoditas dapat tumbuh pada kondisi lahan yang
tercemar, maka penerapan teknik wanatani dapat dilakukan pada daerah bekas tambang yang
lahannya mengandung logam atau senyawa lainnya dengan jumlah yang masih
memungkinkan bagi tanaman tersebut untuk tumbuh. Jika lahan bekas tambang sudah
tercemar logam berat dengan konsentrasi yang sangat tinggi, sebaiknya lahan harus

disterilkan terlebih dahulu dengan melakukan remediasi, baik dengan reaksi kimia maupun
bioremediator seperti beberapa jenis mikroorganisme.
II. 2 Kelebihan dan Kekurangan Teknik Wanatani
Upaya dalam merestorasi suatu lahan bekas tambang dapat dilakukan dengan berbagai
macam metode, misalnya dengan menanam kembali lahan bekas tambang dengan agen
fitoremediator dan teknik wanatani itu sendiri. Namun konsep wanatani memiliki kelebihan
tersendiri ketimbang metode lain. Kelebihan dalam penggunaan teknik wanatani memang
cukup banyak dan teknik ini dinilai sangat cocok untuk merestorasi lahan bekas tambang.
Kelebihan utama mengapa wanatani lebih menguntungkan ketimbang metode lainnya adalah
program wanatani mendorong masyarakat yang tinggal di daerah sekitar proyek restorasi
untuk berperan secara aktif dalam pemeliharaan daerah yang direstorasi melalui teknik
wanantani. Masyarakat yang semulanya bekerja di daerah pertambangan kini dapat menjadi
petani di wilayah restorasi. Jika masyarakat ikut berperan serta dalam menjaga wilayah
restorasi tersebut hal ini dapat menghemat biaya perawatan yang harus dikeluarkan oleh
pihak yang bertanggung jawab terhadap aktivitas penambangan. Biaya yang semula dijadikan
untuk perawatan dapat dialihkan untuk menambah bibit tanaman komoditas dan tanaman
pepohonan yang dapat ditanam oleh masyarakat sekitar maupun pihak dari perusahaan
pertambangan. Sedangkan perawatan selanjutnya dapat diserahkan secara langsung kepada
masyarakat sekitar dan kegiatan monitoring dan pengamatan terhadap perkembangan wilayah
restorasi tersebut dapat dilakukan oleh pihak dari perusahan pertambangan dalam jangka
waktu tertentu.
Teknik wanatani pada umumnya menggunakan tanaman pohon berkayu yang
memiliki umur panjang dengan tanaman komoditas yang memiliki umur pendek. Namun
teknik wanatani dapat diaplikasikan dengan menggunakan tanaman komoditas yang berumur
panjang dan berkayu serta dapat tumbuh pada daerah miskin unsur hara misalnya pohon
karet. Pohon karet, mahoni, jati, tanaman jarak, dan tanaman komoditas lainnya memiliki
potensi biomasa yang besar. Artinya ketika pohon telah mati atau daun-daun pohon yang
gugur dapat menjadi serasah yang mempercepat perbaikan topsoil pada lahan bekas tambang.
Tanah akan menjadi lebih hitam dan basah akibat produksi serasah dari tanaman komoditas
berkayu yang tinggi. Hasilnya tanah akan menjadi cepat subur. Ketimbang menanam tanaman
bioremediator yang pada umumnya memiliki potensi biomasa yang kecil akibatnya perbaikan
topsoil akan berjalan lambat.
5

Walaupun demikian, pemilihan tanaman dalam program wanatani tidak berarti


tanaman tidak dapat mengurangi kandungan logam berat pada tanah. Tanaman karet memiliki
kemampuan dalam meyerap beberapa logam berat di dalam tanah. Menurut Kelly dalam
Surahmaidah (2008) tumbuhan dari famili euphorbiaceae sangat baik dalam menyerap logam
berat seperti nikel (Ni). Jarak pagar dapat meremediasi daerah tercemar timbal (Pb) dan
Cadmium (Cd) dengan tingkat konsentrasi dalam tanah mencapai 50 mg/kg (Surahmaidah,
2008). Sehingga selain berguna dalam mensejahterakan masyarakat di daerah sekitar bekas
tambang secara ekonomi, tanaman yang digunakan dalam program wanatani juga dapat
meremediasi tanah yang tercemar logam berat.
Sedangkan dari segi lingkungan, teknik wanatani dapat meberikan manfaat yang besar
dalam perbaikan ekosistem lahan bekas tambang. Pepohonan yang ditanam pada daerah
restorasi akan menjadi habitat bagi berbagai macam serangga, burung, dan mamalia kecil.
Seiring waktu daerah bekas tambang akan didiami berbagai macam makhluk hidup lainnya.
Hal ini sesuai dengan teori suksesi. Setelah tanaman komoditas pertanian ataupun perkebunan
dan pepohonan ditanam dan dibiarkan tumbuh subur, maka seiring waktu hewan-hewan akan
pindah ke wilayah baru tersebut. Hewan-hewan tersebut cenderung akan menyesuaikan
terhadap tanaman-tanaman pada wilayah tersebut sehingga akan terbentuk komunitas klimaks
atau ekosistem seimbang. Hal inilah yang ingain dicapai dari suatu upaya restorasi yaitu
ekosistem seimbang.
Namun disamping itu, teknik wanatani untuk daerah bekas pertambangan memiliki
beberapa kekurangan. Walaupun biaya perawatan dalam proyek wanatani bisa dikatakan
lebih murah, namun biaya untuk mereklamasi daerah tambang yang semulanya miskin unsur
hara menjadi lahan yang dapat ditanami bibit tanaman membutuhkan timbunan tanah yang
cukup banyak, apalagi bila daerah bekas tambang berbentung lubang yang besar seperti lahan
tambang miliki PT. Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, Indonesia.
Lahan tambang yang seperti itu akan membutuhkan dana yang cukup besar untuk proses
reklamasi lahan jika ingin dilakukan proyek wanatani.
Proyek wanatani juga masih belum bisa mengembalikan ekosistem alami daerah
bekas tambang sebelum aktivitas penambangan dibuka secara maksimal. Sehingga ancaman
hilangnya keanekaragaman hayati pada daerah bekas tambang tidak dapat dihindari meskipun
teknik wanatani telah diterapkan pada daerah tersebut. Proyek wanatani yang telah dijalankan

saat ini lebih mengutamakan keuntungan dari segi ekonomi daripada memperbaiki ekosistem
asli pada wilayah tersebut.
Selain itu proyek wanatani yang mengandalkan tanaman komoditas pada wilayah
bekas tambang akan mengalami kesulitan dalam hal adaptasi terhadap wilayah bekas
tambang. Selain karena wilayah yang miskin akan unsur hara, wilayah bekas tambang banyak
mengandung

zat-zat

yang

dapat

menghambat

perkembangan

tanaman.

Menurut

Arisoesilaningsih (1986) kandungan logam berat seperti timbal dan cadmium dapat
menimbulkan gejala keracunan pada tanaman seperti mempengaruhi pertumbuhan normal,
mengurangi konsentrasi klorofil pada daun atau klorosis, dan gejala lainnya.
II. 3 Pemulihan Topsoil
Topsoil (bunga tanah) merupakan lapisan tanah bagian atas. Topsoil merupakan suatu
campuran antara batu, organisme hidup, dan humus suatu residu bahan organik yang
dibusukkan secara bertahap (Campbell, dkk., 2003). Bagian ini kaya akan unsur hara,
mikroorganisme, bahan organik, dan pada bagian inilah aktivitas biologi terjadi.
Namun, lahan bekas penambangan akan kehilangan bagian ini karena proses
penggalian. Oleh karena itu untuk mengembalikan bagian ini, pada umumnya masih
diupayakan melalui teknik reklamasi lahan. Namun teknik ini memerlukan biaya yang tidak
sedikit. Penggunaan teknik wanatani bisa diaplikasikan setelah melalui proses reklamasi.
Teknik ini dapat memulihkan topsoil pada lahan bekas tambang. Tanaman wanatani yang
memiliki jumlah biomasa yang cukup besar akan menjadi serasah ketika dedaunan dari
pepohonan dan tanaman komoditas lainnya jatuh ke tanah. Dedaunan tersebut akan
mengalami pembusukan oleh mikroorganisme pengurai atau dekomposer dan terurai menjadi
senyawa organik. Senyawa organik ini sangat penting untuk mengembalikan kualitas topsoil.
Vegetasi yang cocok untuk lahan bekas tambang yaitu kombinasi antara tanaman
budidaya

berumur

panjang

dengan

beberapa

pepohonan.

Tanaman

yang

sangat

direkomendasikan untuk dikembangkan pada vegetasi tersebut adalah tanaman karet. Selain
karena menguntungkan dari segi ekonomi, pepohonan karet dapat membentuk suatu
ekosistem hutan yang alami. Pohon karet dapat menjadi habitat bagi berbagai jenis burung,
ular, dan katak. Apabila vegetasi hutan hujan tropis yang didominasi oleh pepohonan karet
terbentuk, maka dengan sendirinya hewan-hewan akan pindah ke vegetasi tersebut.

Tentunya selain tanaman, konsep wanatani atau agroforestry dapat diaplikasikan


dengan pemeliharaan hewan ternak pada daerah tersebut. Hewan ternak seperti sapi dan
kerbau sangat cocok untuk diaplikasikan pada daerah wanatani. Sapi dan kerbau mampu
menghasilkan kotoran atau feses yang mengandung mikroorganisme pembusukan. Menurut
Campbell (2003), humus adalah pembusukan bahan organik yang terbentuk oleh kerja bakteri
dan fungi pada organisme yang telah mati seperti feses, daun-daun yang gugur, dan buangan
organik lainnya.
Apabila mikroorganisme tersebut dapat hidup pada daerah bekas tambang yang sudah
ditanami tanaman budidaya, maka hal ini dapat mempercepat terbentuknya kualitas topsoil
yang bagus, karena mikroorganisme tersebut akan mempercepat pembusukan serasah pada
lahan bekas tambang mejadi bahan organik sederhana yang dapat menyuburkan tanah.
II. 4 Interaksi pada Ekosistem Wanatani
Teknik wanatani dilakukan dengan menanam kombinasi dari sejumlah bibIt tanaman
komoditas dengan tanaman pepohonan. Teknik wanatani ini diharapkan dapat memberikan
keuntungan bagi alam dan juga bagi masyarakat yang tinggal di sekitar daerah tersebut.
Tanaman yang ditanam akan berperan sebagai produsen dalam ekosistem yang akan
terbentuk.

Suatu ekosistem memiliki suatu struktur trofik (trophic structure) dari

hubungan makan-memakan. Tingkatan trofik yang mendasar akan mendukung yang lainnya
dalam suatu ekosistem terdiri dari organisme autotrof, atau produsen primer (primery
producer) ekosistem tersebut (Campbell, dkk., 2008). Maka dari itu, tanaman sangat berperan
penting sebagai sumber pangan bagi fauna sekitarnya.
Pengaplikasian hewan ternak dalam konsep wanatani sangat dianjurkan karena hewan
ternak dapat menghasilkan kotoran atau feses yang mengandung sejumlah bakteri pembusuk
yang dapat menguraikan serasah pada daerah tersebut. Sehingga lahan yang semulanya
miskin unsur hara lambat laun akan menjadi lahan yang subur. Faktor curah hujan juga
memberikan peranan yang cukup penting untuk mempercepat pelapukan serasah. Kita tahu
bahwa tanaman komoditas yang biasa digunakan dalam konsep wanatani memiliki sejumlah
biomasa yang besar dan umumnya tersimpan pada daun dan batang tanaman. Apabila
dedaunan ini jatuh ke tanah dan mengalami pembusukan maka akan memperkaya unsur hara
bagi tanah tersebut. Sisa kotoran ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing juga menambah
kesuburan tanah bekas tambang. Sejumlah hewan ternak akan memperoleh makanan dari
semak yang tumbuh disekitar wilayah wanatani. Selama proses perkembangan semak pada
8

lahan tersebut, hewan ternak dapat diberikan pakan dengan menggunakan semak dari lokasi
lain hingga lahan tersebut sudah bisa menumbuhkan rerumputan dan sejumlah tanaman
lainnya. Akibat adanya tanah yang subur, curah hujan yang tinggi, dan ketersediaan makanan
yang cukup pada lahan dengan konsep wanatani tersebut maka akan muncul sejumlah hewan
lain seperti burung, ular, katak, semut, lebah, dan masih banyak lagi. Sejumlah fauna akan
melakukan suatu interaksi seperti makan memakan atau predasi dan simbiosis. Pada peristiwa
makan memakan tersebut terjadi aliran energi dari produsen ke konsumen tingkat I, II, III,
dan dekomposer. Hubungan ini dapat dilihat meluai suatu rantai makanan, misalnya nyamuk
atau serangga kecil dimakan oleh katak, kemudian katak dimakan oleh ular, dan ular mati
hingga diuraikan oleh dekomposer. Selain itu ada pula hubungan simbiosis, misalnya apabila
pada daerah tersebut terdapat sarang lebah yang berada di atas pohon karet, maka disini lebah
memiliki peranan penting bagi penyerbukan sejumlah tanaman berbunga pada ekosistem
tersebut dan lebah mendapatkan nektar dari bunga tanaman tersebut.
Metode wanatani memiliki manfaat yang cukup besar bagi masyarakat, misalnya
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat akan memperoleh keuntungan dari hasil
perkebunan pada lahan wanatani. Selain itu masyarakat akan lebih mandiri dengan adanya
lahan dengan konsep wanatani ini. Sehingga diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan
bagi lingkungan sekitar daerah bekas pertambangan.
II. 5 Perancangan Konsep Restorasi Ekosistem dengan Teknik Wanatani
Restorasi suatu ekosistem dengan teknik wanatani yang direkomendasikan yaitu suatu
vegetasi hutan hujan tropis dengan pepohonan karet di dalamnya dan sejumlah tanaman
semak seperti pakis, gulma, atau ilalang. Menurut Jatna Supriatna (2008), ekologi hutan
tropis yang tidak boleh dilupakan agar restorasi dapat berjalan sebagaimana mestinya adalah :
suhu tinggi yang konstan (rata-rata 23-30C), panjang siang dan malam relatif sama,
presipitasi tinggi dan tersebar rata, kelembaban tinggi (rata-rata 77%-88%).
Pohon karet dinilai tahan terhadap kondisi tanah yang terkontaminasi sejumlah logam
berat. Menurut Firmansyah (2011), tanaman karet selain bermanfaat sebagai tanaman
perkebunan, juga dimanfaatkan potensinya sebagai tanaman hutan. Sebagai tanaman
perkebunan, karet mampu menjadi komoditas ekspor yang strategis, penghasil devisa serta
sumber penghidupan bagi berjuta-juta penduduk dunia. Sebagai tanaman hutan, karet dapat
efektif sebagai paru-paru dunia dan penambat CO2.

Getah tanaman dari famili euphorbiaceae ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi.
Getah karet dapat dijadikan komoditi ekspor karena konsumsi karet di dunia sangat tinggi.
Fauna yang dapat diaplikasikan pada lahan ini yaitu hewan ternak seperti sapi atau kerbau
dan serangga yang menguntungkan seperti lebah. Lebah dapat menghasilkan madu yang juga
bernilai jual tinggi. Selain itu lebah juga dapat menjadi agen polinisator pada hutan tersebut.
Apabila lahan bekas pertambangan tidak bisa direklamasi maka lahan tersebut dapat
dijadikan kolam dengan membudidayakan sejumlah ikan. Pada kolam tersebut bisa
ditambahkan eceng gondok yang dapat meyerap sejumlah senyawa berbahaya yang masih
tersisa pada kolam tersebut, namun penambahan eceng gondok harus dilakukan dengan
pengawasan terhadap perkembangan tanaman ini. Tanaman eceng gondok yang terlalu
banyak dapat menghalangi cahaya matahari untuk sampai ke dasar kolam, padahal cahaya
matahari merupakan faktor abiotik penting bagi makhluk hidup. Beberapa daerah bekas
tambang yang dinilai aman dan terbebas dari logam berat berbahaya, bisa ditanami tanaman
buah-buahan seperti nangka dan durian.
Disamping itu, pembinaan terhadap masyarakat di sekitar daerah restorasi juga sangat
diperlukan. Selain untuk menumbuhkan rasa kepedulian pada masyarakat untuk merawat dan
menjaga daerah tersebut, pembinaan dapat memberikan dasar bagi masyarakat sekitar
mengenai cara untuk menjaga daeraha wanatani. Pembinaan dapat berupa teknik pertanian
seperti dosis pupuk, pembuatan pupuk kompos dari sisa kotoran ternak,ataupun cara
memanen tanaman komoditas yang ditanam. Pembinaan mengenai pentingnya menjaga
lingkungan juga dapat disampaikan pada masyarakat sekitar.
Keberhasilan dari proyek yang dilakukan dapat diketahui melalui kegiatan monitoring
atau evaluasi. Keberhasilan dari suatu restorasi dapat dilihat dari keanekaragaman hayati
yang terbentuk pada daerah tersebut. Beberapa cara dapat dilakukan untuk menghitung
seberapa sukses teknik yang telah kita lakukan. Salah satunya adalah penghitungan indeks
keanekaragaman pada lahan tersebut. Langkah yang diaharuskan adalah pembuatan plot
sampel pada daerah bekas tambang yang sudah ditumbuhi sejumlah pepohonan dan tanaman
lainnya. Plot dapat berukuran 4m x 4m. Lalu dicatat jumlah spesies tanaman berbeda pada
plot tersebut dan jumlah individu yang didata. Misalkan pada plot 4m x 4m diperoleh 10
spesies tanaman berbeda dengan jumlah individu sebanyak 30 tanaman. Maka indeks
keanekaragaman tumbuhan pada lahan tersebut yaitu :

10

total spesies berbeda


jumlah individu

Maka indeks keanekaragaraman tumbuhan pada plot tersebut adalah sebesar =

10
30

atau sama dengan 0,33. Indeks keanekaragaman ini dapat pula dihitung untuk spesies fauna
yang terdapat pada plot tersebut. Plot dapat dibuat lebih dari satu dengan lokasi yang
terpencar namun masih dalam satu kawasan yang akan dihitung keanekaragamannya. Hasil
perubahan indeks keanekaragaman dapat dipantau dalam jangka waktu tertentu untuk melihat
perkembangannya. Semakin tinggi tingkat keanekaragaman dari daerah tersebut maka hal
tersebut mengindikasikan bahwa restorasi daerah bekas tambang berhasil.
Selain keanekaragaman, evaluasi terhadap kondisi tanaman yang sengaja ditanam
pada lahan tersebut juga sangat penting. Evaluasi pertumbuhan tanaman dapt dilihat dori
kondisi fisiknya seperti tinggi tanaman yang ditanam. Rata-rata pertumbuhan tanaman dapat
dimati dengan melakukan pengukuran tingggi terhadap sejumlah bibit tanaman yang telah
ditanam dalam rentang waktu tertentu misalnya lima bulan sekali. Maka rata-rata
pertumbuhan tanaman tersebut selam 5 bulan yaitu :
h(1)+ h(2)+ h (3)+ + h (n)
n
h
lima bulan

merupakan perubahan tinggi tanaman dari awal penanaman ke lahan hingga


penanaman. Sedangkan n merupakan jumlah total tanaman yang ditanam.

Sehingga rata-rata pertumbuhan tanaman tersebut yaitu jumlah perubahan tinggi seluruh
tanaman dan dibagi dengan total tanaman.

11

BAB III
PENUTUP
III. 1 Simpulan

Restorasi lahan bekas tambang perlu dilakukan untuk mengurangi dampak yang
merugikan bagi lingkungan dan masyarakat. Salah satu program yang dapat digunakan dalam
upaya ini adalah program wanatani atau agroforestry. Tanaman yang direkomendasikan untuk
program ini adalah tanaman yang tahan terhadap lingkungan yang miskin akan unsur hara
dan terkontaminasi logam berat, misalnya tanaman dari famili euphorbiaceae. Teknik
wanatani selain digunakan untuk memulihkan ekosistem yang telah rusak, diharapkan juga
untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar karena tanaman yang digunakan
dalam teknik ini merupakan kombinasi antara tanaman komoditas dengan tanaman
pepohonan.
III. 2 Saran
Penulis menyarankan supaya lahan bekas tambang dapat dimanfaatkan secara
maksimal, misalnya dengan prinsip wanatani. Beberapa daerah bekas tambang seperti
tambang bauksit di Bintan dan tambang timah di Bangka Belitung dapat diterapkan konsep
wanatani, sedangkan daerah tambang batu bara yang masih beroperasi seperti yang terdapat
di Sumatera Selatan dan Kalimantan sekiranya nanti dapat diterapkan program wantani
apabila tambang sudah tidak prduktif lagi. Penulis juga menyarankan supaya pembinaan
masyarakat sekitar mengenai program wanatani perlu ditingkatkan agar dapat menumbuhkan
rasa peduli bagi masyarakat sekitar karena terpeliharanya daerah restorasi lahan tambang
sangat bergantung dari penjagaan dan perhatian masyarakat sekitarnya. Hasil yang optimal
dapat tercapai secars maksimal apabila perkembangan daerah restorasi terus dipantau dalam
jangka waktu tertentu.

12

DAFTAR PUSTAKA

Arisoesilaningsih.1986. Pengaruh Timbal (Pb) dan Cadmium Terhadap Pertumbuhan


Tanaman Kacang Kedelai (Glicine Max (L.) Merr.),(Online),
(http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-s2-1986endangaris-1734, diakses 5 Desember 2013).
Campbell, Neil A.,2003. Biologi Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Firmansyah, A. 2011. Tanaman Karet dan Sawit Penyelamat Bumi, (Online),
(http://www.bumn.go.id/ptpn8/publikasi/tanaman-karet-dan-sawit-penyelamat-bumi/,
diakses 7 Desember 2013).
Lasah, M. 2012. Restorasi Berbasis Wanatani: Mendambakan kelestarian TNBK dan TNDS,
(Online), (http://www.wwf.or.id/berita_fakta/blog/?uNewsID=25603, diakses 5
Desember 2013).
Suprapto, SJ. 2008. Pupuk Organik Penyelamat Lahan Bekas Tambang, (Online).
(http://kaltim.litbang.deptan.go.id/ind/index.php/info-teknologi/26-lain/229-pupukorganik-penyelamat-lahan-bekas-tambang, diakses 7 Desember 2013).
Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Surahmaidah. 1998. Fitoremediasi Tanah Terecemar Logam Berat, (Online),
(http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-24116-1507100033-Chapter1.pdf,
diakses 5 Desember 2013).

13

14

Anda mungkin juga menyukai