Sebagai seorang ibu, sebenarnya ia merasakan gundah manakala dihadapkan pada pilihan yang
sangat membingungkan. Di satu sisi ia enggan, bahkan teramat sayang bila melepas karier yang
sudah dirintisnya sejak lajang. Di pihak lain, ia pun tidak menginginkan anaknya nganggur dirumah
bersama seorang pengasuh (baby sitter). Ada niat untuk mendaftarkannya ke Playgroup, tapi
lokasinya yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. Sepintas telah terpikir tentang TPA (Tempat
Penitipan Anak), Apakah ini merupakan pilihan yang tepat?
Ada hal yang perlu dipertimbangkan sebelum seorang ibu memutuskan untuk menitipkan anak ke
TPA.
teras sambil melihat pemandangan seperti rumput, bunga dan sebagainya. Boleh saja
sesekali menghadirkan suasana seperti piknik dengan menghamparkan kain di teras. Lalu
semua anak menikmati makan bersama. Kebersamaan ini juga merupakan kegiatan positif
bagi anak. Ruang tidur tidak wajib menggunakan tempat tidur. Boleh-boleh saja
menggunakan busa tebal yang cukup empuk yang dihamparkan di lantai parquet yang jauh
lebih aman bagi anak.
Sebelum membuka sebuat Tempat Penitipan Anak, maka pendiri TPA harus memperhatikan
kenyamanan dan keamanan TPA.
Agar anak bisa homy, tenaga pengelola harus betul-betul dipersiapkan dengan matang.
Setidaknya ada koordinator, ada fasilitator maupun ko-fasilitator yang terjun langsung
menangani keseharian anak. Semua perkembangan setiap anak dari hari ke hari dicatat
secara tertib yang nantinya dijadikan semacam rapor untuk disampaikan pada orangtua
bagaimana perkembangan anaknya selama di TPA.
Sebelum terjun ke Tempat Penitipan Anak, tenaga pengasuh harusnya menjalani tes
kesehatan agar mereka tidak menjadi sumber penularan penyakit terhadap anak-anak yang
tentu masih amat rentan daya tahan tubuhnya. Ini semata-mata agar orangtua tidak perlu
merasa was-was menitipkan anaknya disana.
Para fasilitator ini perlu mendapat pelantikan terlebih dahulu, khususnya bagaimana cara
menangani anak. Selama pelatihan dan magang akan diamati apakah mereka sudah
memenuhi syarat. Diantaranya terampil membujuk anak, menstimulasi anak dengan
menggunkan program yang ada dan bagaimana pendekatannya pada anak karena masingmasing anak, kan, butuh pendekatan yang berbeda-beda. Bagaimana cara dia dalam
menyampaikan bentuk stimulasi ke anak A tentu tidak sama dengan penyampaian ke anak
B.
Para fasilitator minimal berpendidikan S1 dari berbagai disiplin ilmu. Artinya, lulusan ilmu
keguruan belum tentu menjamin yang bersangkutan siap mendedikasikan diri di tempat
semacam ini. Bisa jadi karena sistem pendidikan di sini kurang menghargai profesi guru.
Padahal menjadi guru berarti harus lebih banyak ikhlasnya karena yang dihadapi bukan
benda mati dan belum tentu selalu dalam posisi yang manis mau mengikuti apa yang kita
katakan.
Yang pasti harus punya hati dan cinta anak sehingga mampu memperlakukan anak yang
dititipkan seperti memperlakukan anak sendiri , penuh dengan kasih sayang. Selewat 3
bulan masa percobaan biasanya anak akan terlihat karakter asli sang calon SDM. Apakah
ikhlas untuk mendedikasikan dirinya untuk urusan anak atau tidak.
Setiap hari, sebaiknya TPA hanya menerima 10-15 anak. Rasio fasilitator dengan anak
idealnya 1:3 atau maksimal 1:4 unuk anak-anak yang sudah agak besar (4-5 tahun).
Sedangkan untuk anak yang lebih kecil atau yang sedang sangat rewel mau tidak mau harus
1:1.
Daya tampungnya tidak missal. Kalaupun ada banyak anak yang perlu ditampung, buatlah
penyekat agar suasana nya tidak padat yang jelas-jelas tidak akan efektif saat fasilitator
menyampaikan materi stimulasi. Hasilnya pun tidak akan optimal. Niat dasarnya apa lagi
kalau bukan agar anak mendapat perhatian yang cukup dari setiap fasilitator.
Harus diingat, setiap anak memiliki tugas perkembangan sendiri-sendiri. Nah, pemilihan
permainannya juga ahrus disesuaikan dengan tugas perkembangan ini. Anak 1-2 tahun dan
anak usia 4-5 tahun dapat diberi stimulasi yang sama hanya saja tingkat kesulitannya yang
berbeda.
Meski ada orangtua yang menyiapkan makanan khusus untuk anaknya, TPA mestinya
menyediakan makan siang anak-anak yang dititipkan. Apa pun, kebersamaan saat makan
merupakan pembelajaran tersendiri bagi anak-anak usia ini. Itulah mengapa variasi dan
kecukupan gizi makanan yang disajikan untuk anak harus betul-betul mendapat perhatian.
Sangat tidak bertanggung jawab bila anak hanya disuguhi mi instan.
Masing-masing kebiasaan anak dicatat. Ada yang harus minum susu terlebih dahulu
sebelum tidur, ada yang wajib dininabobokan dengan dongengan ataupun lagu tertentu
setiap kali mau tidur dan sebagainya. Menjelang pulang, setiap anak harus disiapkan untuk
mandi sehingga ketika orangtua datang menjemput mereka sudah bersih dan rapi.
Sedangkan ganti baju sebaiknya dilakukan setiap kali baju anak sudah basah oleh keringat
atau kotor karena bermain.
Jarak tempuh TPA dengan lokasi rumah anak sebaiknya jangan lebih dari 30 menit. Terlalu
jauh hanya akan membuat anak letih dalam perjalanan sehingga program pembelajaran
yang disampaikan di TPA sama sekali tidak efektif. Menurut Romi, sangat tidak manusiawi
kalau anak harus bangun rata-rata jam 4 pagi setiap hari hanya agar bisa berangkat
bersama orangtuanya ke kantor. Atau terpaksa dibopong ke mobil selagi masih terlelap
kemudiap dilap dengan waslap dan disuapi selama perjalanan.
Peran orangtua dalam hal ini tidak bisa diabaikan. Itulah mengapa harus ada kerja sama
yang baik antara TPA dengan orangtua, semisal melalui program parenting class/seminar
minimal setiap 3 bulan sekali. Dalam kesempatan ini semua sisi harus terwakili, termasuk
pembahasan aspek kesehatan. Selain itu, pengasuh anak juga berhak mendapat
pembelajaran, tidak hanya orangtua, terutama bila bukan orangtua langsung berinteraksi
dengan anak.
Harus ada kebijakan tentang para pengasuh yang ikut mengantarkan anak ke TPA. Mereka
sebaiknya tidak diperbolehkan mendampingi anak-anak selama berada di TPA agar anak
mampu lebih mandiri dengan tahap perkembangannya. Para pengasuh ini bisa dikumpulkan
di satu ruang khusus yang tidak mungkin terlihat anak, mereka diberi kegiatan positif, seperti
membaca buku pengasuhan atau mendapat keterampilan yang mendukung tugas mereka.
Orangtua mendapat semacam rapor setiap 3 bulan sekali, meski di luar waktu itu orangtua
boleh-boleh saja datang berkonsultasi/bertanya langsung mengenai anaknya pada
coordinator yang berprofesi sebagai psikolog.
Pengertian orangtua amat diharapkan. Anak yang kurang fit, untuk sementara waktu harus
ditinggal di rumah dulu. Langkah pencegahan inin diperlukan karena TPA umumnya tidak
memiliki ruang isolasi atau sejenisnya. Keterbatasan seperti ini tentu akan mempercepat
penyebaran kuman penyakit.
Para fasilitor dituntut untuk kreatif dalam memberikan informasi dan stimulasi. Tidak usah
mengada-ada, kenalkan saja hal yang dekat dengan keseharian anak.
Harus ada hubungan timbale balik yang positif antara orangtua dan pihak TPA. Orangtua
wajib menyampaikan apa yang terjadi di rumah kepada pengelola. Carilah TPA yang bisa
mengakomodasi keinginana orangtua. Kalau memang tidak sesuai dengan misi dan visi
salah satu TPA, jangan memaksakan dirir menitipkan anak di TPA tersebut.
Orangtua jangan malas belajar karena cara merawat dan mengasuh anak yang ditempuh
selama ini belum tentu sesuatu yang terbaik buat anak. Ada yang baik, tetapi tidak cocok.
Harus mengambil cara yang bisa cocok dan bermanfaat agar anak terstimulasi hingga
kemampuannya meningkat.
http://tips-tutorial.com/tips-menitipkan-anak-di-tpa/