03 011 021
03 011 022
03 011 025
03 011 026
03 011 027
03 011 028
Amydhea Garnetta
Anastasia Widha Sylviani
Andrian Valerius Chrono Dama
Andriany Chairunnisa
Andry Dimas Dwi Putra
Anggi Calapi
03 011 019
03 011 020
03 011 029
03 011 030
Anggi Saputri
Anggi Wulandari
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
Jakarta
Desember 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut
yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada
perforasi, perdarahan intraabdomen, infeksi, obstruksi dan strangulasi jalan cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi
ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau
dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi
kecil-kecilan); kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang
menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang
memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap
keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Ketepatan diagnosis
dan
penanggulangannya
tergantung
dari
kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Dalam penulisan makalah ini akan dibahas mengenai penanganan peritonitis.
Peritonitis selain disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen yang berupa inflamasi dan
penyulitnya, juga oleh ileus obstruktif, iskemia dan perdarahan. Sebagian kelainan
disebabkan oleh cidera langsung atau tidak langsung yang mengakibatkan perforasi saluran
cerna atau perdarahan.
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki berusia 55 tahun datang ke UGD dengan keluhan nyeri seluruh
perut. Penderita mengalami nyeri perut kanan atas 8 jam yang lalu dan mual. Penderita
kemudian berobat ke klinik dan mendapat obat mag, tetapi keluhan tidak berkurang. Nyeri
kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Sejak tiga jam yang lalu penderita merasakan
nyeri bertambah hebat dan meluas ke seluruh perut.
Penderita menderita DM sejak lima tahun yang lalu dan kurang teratur berobat.
Keadaan umum lemah, tampak kesakitan, dengan tanda-tanda dehidrasi. Pada
pemeriksaan fisik diagnostik ditemukan tanda-tanda rigiditas dan nyeri tekan seluruh tubuh.
BAB III
PEMBAHASAN
Identitas
Nama
:-
Usia
: 55 tahun
Kelamin
: Laki-laki
menduga
bahwa
pasien
menderita
kolesistitis,
kolangitis,
kolesistolitiasis,
seluruh perut, menandakan bahwa appendix yang kita curigai mengalami rupture sehingga
dapat menyebabkan peritonitis yang nyerinya ke seluruh abdomen
Selain itu pasien pernah mengalami DM dan kurang teratur berobat, menandakan
bahwa sistem imun pasien menurun, sehingga proses infeksi pada saluran cerna gampang
terjadi
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesan sakit : tampak kesakitan
Sikap : tampak lemah
Didapatkan tanda-tanda dehidrasi.
Abdomen
Ditemukan tanda-tanda rigiditas dan nyeri tekan seluruh abdomen. Tanda rigiditas
merupakan tanda kekakuan seluruh abdomen, sedangkan nyeri tekan menandakan adanya
gangguan pada dinding abdomen.
Pemeriksaan penunjang
1. USG
Memiliki tingkat sensitivitas sekitar 85% dan spesitifitas lebih dari 90% dalam mendiagnosa
apendisitis.
2. CT scan
Menunjukan distensi edematosa dan gas pada usus halus dan mendukung diagnosis.
3. Pemeriksaan x-ray
Ileus merupakan penemuan yang khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar berdilatasi.
Udara bebas dapat memperlihatkan di kasus-kasus perforasi.
4. Tes darah lengkap
- Leukositosis (>20.000)
- Hb = untuk menilai apakah terjadi syok
Diagnosis Kerja
Peritonitis Generalisata et causa Apendisitis Akut
Pasien tampak payah, sakit berat (toksis), perforasi menjalar ke seluruh abdomen, perut nyeri
dan tegang di seluruh abdomen walaupun punctum maximum mungkin di sebelah kanan.
Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi, lalu nyeri pindah
ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik McBurney,
nyeri tekan, nyeri lepas, dan defans muskuler.
Diagnosis Banding
1. Pankreatitis akut
Gejala yang ditimbulkan berawal dari nyeri pada ulu hati (midepigastrium) kemudian
menyebar ke seluruh abdomen sehingga pasien tidak dapat menentukan lokasinya. Hal ini
disebabkan oleh pankreas yang mengalami inflamasi dan menekan saraf-saraf disekitarnya
2. Kolesistitis akut
Gejala yang ditimbulkan adalah nyeri perut pada kuadran kanan bagian atas yang
tajam dan konstan. Nyeri dapat meyebar ke seluruh abdomen hingga ke punggung atau ujung
skapula.1
Penatalaksanaan
1.
2.
3.
4.
Prognosis
1. Ad vitam : ad bonam
Apabila ditangani dengan penatalaksanaan yang baik dan benar
2. Ad fungsionam : ad bonam
Dikarenakan organ masih dapat berfungsi
3. Ad sanasionam : ad bonam
Dikarenakan pasien tersebut tidak akan menderita penyakit yang sama setelah melakukan
pembedahan apendiks
4. Ad kosmetikum.: Dubia ad malam
Dikarenakan setelah dilakukan pembedahan akan terdapat bekas luka)2
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
ABDOMEN adalah rongga terbesar dalam tubuh. Bentuknya lonjong dan meluas dari atas
dari drafragma sampai pelvis di bawah. Batas-batas rongga abdomen adalah di bagian atas
diafragma, di bagian bawah pintu masuk panggul dari panggul besar, di depan dan di kedua
sisi otot-otot abdominal, tulang-tulang illiaka dan iga-iga sebelah bawah, di bagian belakang
tulang punggung dan otot psoas dan quadratus lumborum.
Abdomen dibagi menjadi 9 regio yang berisi sebagian besar dari saluran pencernaan
seperti pada gambar dibawah ini.
1. Lambung
Lambung terletak di sebelah atas kiri abdomen, sebagian terlindung di belakang igaiga sebelah bawah beserta tulang rawannya. Orifisium cardia terletak di belakang tulang
rawan iga ke tujuh kiri. Fundus lambung, mencapai ketinggian ruang interkostal (antar iga)
kelima kiri. Corpus, bagian terbesar letak di tengah. Pylorus, suatu kanalis yang
menghubungkan corpus dengan duodenum. Bagian corpus dekat dengan pylorus disebut
antrum pyloricum.
Fungsi lambung :
a. Tempat penyimpanan makanan sementara.
b. Mencampur makanan.
c. Melunakkan makanan.
d. Mendorong makanan ke distal.
e. Protein diubah menjadi pepton.
f. Susu dibekukan dan kasein dikeluarkan.
g. Faktor antianemi dibentuk.
h. Khime yaitu isi lambung yang cair disalurkan masuk duodenum
2. Usus Halus
Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar dua setengah meter panjang dalam
keadaan hidup. Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ileokolika tempat
bersambung dengan usus besar. Usus halus terletak di daerah umbilicus dan dikelilingi usus
besar.
Usus halus dapat dibagi menjadi beberapa bagian :
a. Duodenum adalah bagian pertama usus halus yang panjangnya 25 cm.
b. Yeyenum adalah menempati dua per lima sebelah atas dari usus halus.
c. Ileum adalah menempati tiga pertama akhir.
Fungsi usus halus adalah mencerna dan mengabsorpsi khime dari lambung isi duodenum.
3. Usus Besar
Usus halus adalah sambungan dari usus halus dan dimulai dari katup ileokolik yaitu tempat
sisa makanan. Panjang usus besar kira-kira satu setengah meter.
Fungsi usus besar adalah :
a. Absorpsi air, garam dan glukosa.
b. Sekresi musin oleh kelenjer di dalam lapisan dalam.
c. Penyiapan selulosa.
d. Defekasi (pembuangan air besar)
4. Hati
Hati adalah kelenjer terbesar di dalam tubuh yang terletak di bagian teratas dalam rongga
abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma.
Fungsi hati adalah :
a. Bersangkutan dengan metabolisme tubuh, khususnya mengenai pengaruhnya atas makanan
dan darah.
b. Hati merupakan pabrik kimia terbesar dalam tubuh/sebagai pengantar matabolisme.
7. Ginjal
Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen, terutama di daerah lumbal di sebelah kanan
dari kiri tulang belakang, di belakang peritoneum. Dapat diperkirakan dari belakang, mulai
dari ketinggian vertebre thoracalis sampai vertebre lumbalis ketiga ginjal kanan lebih rendah
dari kiri, karena hati menduduki ruang banyak di sebelah kanan. Panjang ginjal 6 sampai 7
centimeter. Pada orang dewasa berat kira-kira 140 gram.
Fungsi ginjal adalah :
a. Mengatur keseimbangan air.
b. Mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam basa darah.
c. Ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam.
8. Limpa
Terletak di regio hipokondrium kiri di dalam cavum abdomen diantara fundus ventrikuli dan
diafragma.
Fungsi limpa adalah :
a. Pada masa janin dan setelah lahir adalah penghasil eritrosit dan limposit.
b. Setelah dewasa adalah penghancur eritrosit tua dan pembentuk homoglobin dan zat besi
bebas.
Selain dibagi menjadi regio-regio, dinding abdomen juga dibagi menjadi kuadran-kuadran
yang ditentukan oleh dua garis:
Sehingga tercipta regio kanan atas, kanan bawah, kiri atas, dan kiri bawah. Kuadran-kuadran
ini digunakan secara klinis.
2. Submukosa
Terdiri atas jaringan penyambung jarang dengan banyak pembuluh darah dan limfe, pleksus
saraf submukosa (Meissner), dan kelenjar-kelenjar dan/atau jaringan limfoid.
3. Lapisan otot
a. Tersusun atas sel-sel otot polos, berdasarkan susunannya dibedakan menjadi 2 sublapisan
menurut arah utama sel-sel otot yaitu:
- sebelah dalam (dekat lumen), umumnya tersusun melingkar (sirkuler)
- sublapisan luar, umumnya memanjang (longitudinal).
b. Terdapat kumpulan saraf yaitu pleksus mienterik (Auerbach) yang terletak di antara 2
sublapisan otot dan berfungsi mengatur kontraksi otot
c. Terdapat pembuluh darah dan limfe.
4. Serosa
Lapisan tipis yang terdiri atas jaringan penyambung jarang, kaya akan pembuluh darah dan
jaringan adipose, dan epitel gepeng selapis (mesotel).
Proses Pencernaan Makanan
a. Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat
Karbohidrat berupa kanji dan glikogen dari makanan diubah menjadi disakarida
maltosa melalui kerja amilase liur dan pankreas. Maltosa dan disakarida diet, yaitu laktosa
dan sukrosa, diubah menjadi monosakarida masing-masing oleh disakaridase (maltase,
laktase, dan sukrase) yang terdapat di brush border sel epitel usus halus. Monosakarida
glukosa dan galaktosa diserap ke dalam interior sel dan sakarida fruktosa diserap ke dalam
darah melalui mekanisme difusi terfasilitasi pasif.
b. Pencernaan dan Penyerapan lemak
Karena tidak larut dalam air, lemak harus menjalani serangkaian transformasi agar
dapat dicerna dan diserap. Lemak dalam makanan yang berada dalam bentuk trigliserida
diemulsikan oleh efek deterjen garam-garam empedu. Emulsi lemak ini mencegah penyatuan
butir-butir lemak, sehingga luas permukaan yang dapat diserang oleh lipase pankreas
meningkat. Lipase menghidrolisis trigliserida menjadi monogliserida dan asam lemak bebas.
Produk-produk yang tidak larut air ini diangkut di dalam misel yang larut air, yang dibentuk
oleh gatam empedu dan konstituen-konstituen empedu lainnya, ke permukaan luminel sel
epitel usus halus. Setelah meninggalkan misel dan berdifusi secara pasif menembus membran
luminal, monogliserida dan asam lemak bebas disintesis ulang menjadi trigliserida di sel
epitel. Trigliserida-trigliserida ini menyatu dan dibungkus oleh satu lapisan lipoprotein untuk
membentuk kilomikron yang larut dalam air. Kilomikron kemudian dikeluarkan melalui
membran basal sel secara eksositosis. Kilomikron tidak mampu menembus membran basal
kapiler, sehingga mereka masuk ke dalam pembuluh limfe, yaitu lakteal pusat.
c. Pencernaan dan Penyerapan Protein
Anatomi Peritoneum
Peritoneum adalah suatu membrana serosa yang tipis, halus dan mengkilat, terletak
pada facies interna cavum abdominis. Secara umum, dibagi menjadi peritoneum parietale,
peritoneum viscerale, dan cavum peritonei. Peritoneum viscerale adalah yang membungkus
permukaan organ abdominal, peritoneum parietale adalah yang menutupi dinding abdomen
dari dalam rongga abdomen, sedangkan cavum peritonei adalah rongga yang terletak di
antara kedua lapisan tersebut dan mengandung cairan sereus.Peralihan peritoneum parietale
menjadi paritoneum viscerale (reflexi peritoneum) dapat berupa lipatan (plica), lembaran
(omentum), atau alat penggantung viscera.
Reflexi peritoneum yang berupa lipatan antara lain adalah plica rectouterina dan plica
umbilicalis lateralis. Reflexi peritoneum yang berpa lembaran adalah omentum majus dan
omentum minus. Dan reflexi peritonei yang berupa penggantung adalah mesenterium,
mesocolon transversum, ligamentum hepatogastricum, dan ligamentum falciforme hepatis.
Cavum
sereus,
yang
merupakan
ruangan
tertutup
pada
wanita terdapat
luar
melalui
Greater
sac.
merujuk kepada
peritoneum yang meliputi colon transversum, mesocolon transversum, dan peritoneum yang
meliputi struktur di bagian posterior cavum abdominis (pancreas, gld. suprarenalis sinistra).
Foramen epiploicum winslowi dibatasi oleh processus caudatus hepatis di sebelah
cranial, oleh ligamentum hepatoduodenale di bagian ventral, oleh pars superior duodeni di
bagian caudal, dan oleh peritoneum parietale yang menutupi vena cava inferior di sebelah
dorsal.
Reflexi peritoneum merupakan penggantung organ viscera yang merupakan lapisan
ganda di dalam peritoneum yang menghubungkan organ-organ peritoneum ke bagian dorsal
dan ventral dari dinding tubuh. Fungsinya adalah untuk memfiksasi organ, menyimpan
lemak, dan sebagai jalur bagi nervus dan pembuluh darah. Mesenterium yang terletak di
ventral menghubungkan organ ke dinding abdomen anterior yaitu ligemntum falciform dan
omentum minus. Reflexi peritoneum yang terletak di dorsal menghubungkan organ
peritoneum ke dinding posterior abdomen, yaitu omentum majus, mesenterium propria,
mesocolon transversum, dan mesocolon sigmoideum.
Perbedaan organ peritoneum dan organ retroperitoneum. Organ-organ peritoneum
dikelilingi oleh cavum peritoneal, yaitu hepar, gaster, ileum, jejunum, kolon transversum,
dan kolon sigmoid. Organ-organ retroperitoneum terletak di belakang peritoneum,
yaitu kolon asendens, kolon desendens, pancreas, rectum, dan duodenum.
Fungsi Peritoneum :
1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
2. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior
abdomen.
3. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap
infeksi.
4. Untuk mencegah terjadinya friksi satu organ dengan organ lain dan terhadap dinding
abdomen karena permukaan yang bebas dan selalu lembab, akibat keberadaan serum,
dan halus serta mengkilat.
5. Untuk membawa peredarah darah, limfatik, dan saraf ke organ.
Vaskularisasi dan Persarafan Peritoneum
2. dari bagian-bagian tepi diafragma lewat saraf interkostal dan subkostal (T7-12)
Rangsangan menyebabkan rasa nyeri yang dialihkan melalui saraf yang sama ke kulit dinding
perut;
3. dari peritoneum parietal lewat lagi saraf yang sama (T7-12) dan L1.
Rangsangan dengan tepat terlokasi pada titik rangsangan
4. mesenterium usus halus dan usus besar adalah sensitif mulai dari pangkalnya sampai di
dekat usus, sedangkan omentum mayus dan peritoneum viseral tidak sensitif terhadap
rangsang mekanik
Peritonitis
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel, dan pus
serta sering disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi,
muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada peritoneum.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara inokulasi kecilkecilan). Namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif, hal tersebut
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.5
Berdasarkan asal penyebabnya, peritonitis dibagi menjadi peritonitis primer dan
sekunder. Pada peritonitis primer tidak ada proses penyakit lain yang bertanggung jawab
terhadap kontaminasi bakteri. Infeksi terjadi akibat hematogen atau limfogen ke peritoneum
dari sumber tempat lain. Sedangkan pada peritonitis sekunder terdapat proses penyakit lain
dalam rongga peritoneum sebagai sumber infeksi/inflamasi. Berdasarkan
perluasannya,
muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik
usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah terjadi peritonitis
bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan penderita
tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritoneum dengan peritoneum. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis yang perlu ditanyakan
termasuk riwayat operasi abdomen, peristiwa sebelum peritonitis, penggunaan obat
immunosuppresif, dan adanya penyakit lain seperti IBD, diverticulitis, peptic ulcer dan lainlain yang mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis
organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran
klinis yang biasa terjadi pada peritonitis primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri
lepas tekan dan bising usus yang menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada
peritonitis sekunder yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan
pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh
bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula dikarenakan
penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi. Selain nyeri,
pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok
(hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan
rigiditas yang lokal, difus atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau
menghilang.
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien peritonitis antara
lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis metabolik. Pada peritonitis dilakukan
foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral). Gambaran radiologis pada
peritonitis yaitu adanya kekaburan pada kavum abdomen, prepetonial fat dan psoas line
menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada peritonitis antara lain gangguan keseimbangan
cairan, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, sepsis, abses peritoneal, gangguan respirasi
karena distensi abdomen dan ileus adhesi.
Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna
dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau
penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.
Terapi antibiotika harus diberikan segera setelah diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah
hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Laparotomi biasanya dilakukan melalui upper atau lower middle incision
bergantung pada dugaan lokasi patologis.
Tujuan dari laparotomi adalah mencari penyebab peritonitis, mengontrol sumber
sepsis dengan membuang organ yang meradang atau iskemik, dan melakukan pencucian
kavum peritoneum yang efektif.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan
larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal sefalosporin) atau antiseptik (misal
povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak
dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.6,7
Apendisitis
Appendisitis adalah penyakit radang pada appendiks vermiformis yang terjadi secara
akut. Apendiks atau umbai cacing hingga saat ini fungsinya belum diketahui dengan pasti,
namun sering menimbulkan keluhan yang mengganggu. Apendiks merupakan tabung
panjang, sempit (sekitar 6 9 cm), menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam
pengaliran lendir tersebut maka dapat mempermudah timbulnya apendisitis (radang pada
apendiks). Di dalam apendiks juga terdapat imunoglobulin, zat pelindung terhadap infeksi
dan yang banyak terdapat di dalamnya adalah Ig A. Selain itu pada apendiks terdapat arteria
apendikularis yang merupakan end-artery.
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang
terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing,
parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering
menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit
Terjadinya apendisitis akut umumnya karena bakteri. Namun, terdapat banyak sekali
faktor pencetus terjadinya hal itu. Tanda patogenetik primer diduga karena adanya timbunan
tinja yang keras (fekalit). Sumbatan dari lumen apendiks yang menghambat pengeluaran
mukus akan mengakibatkan pembengkakan, infeksi dan ulserasi. Tumor apendiks juga
dianggap memiliki andil terhadap munculnya apendisitis . Penelitian terakhir menemukan
bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal
terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan
lumen. Makanan rendah serat juga memiliki kemungkinan menimbulkan apendisitis. Tinja
yang keras pada akhirnya akan menyebabkan konstipasi yang akan meningkatkan tekanan
didalam sekum sehingga akan mempermudah timbulnya penyakit itu.
Mekanisme Apendisitis
1. Impuls nyeri yang berasal dari appendix akan melewati serabut-serabut nyeri viseral saraf
simpatik dan selanjutnya akan masuk ke medulla spinalis kira-kira setinggi thorakal X sampai
thorakal XI dan dialihkan ke daerah sekeliling umbilikus (menimbulkan rasa pegal dan kram)
2. Dimulai di peritoneum parietal tempat appendix meradang yang melekat pada dinding
abdomen. Ini menyebabkan nyeri tajam di peritoneum yang teriritasi di kuadran kanan bawah
abdomen.
Gejala
Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara samar (nyeri
tumpul) di daerah sekitar pusar. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang muntah,
kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan tanda-tanda yang khas pada
apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila
terjadi pergerakan seperti batuk, bernapas dalam, bersin, dan disentuh daerah yang sakit.
Nyeri yang bertambah saat terjadi pergerakan disebabkan karena adanya gesekan
antara visera yang meradang sehingga menimbulkan rangsangan peritonium. Selain nyeri,
gejala apendisitis akut lainnya adalah demam derajat rendah, mulas, konstipasi atau diare,
perut membengkak dan ketidakmampuan mengeluarkan gas. Gejala-gejala ini biasanya
memang menyertai apendisitis akut namun kehadiran gejala-gejala ini tidak terlalu penting
dalam menambah kemungkinan apendisitis dan begitu juga ketidakhadiran gejala-gejala ini
tidak akan mengurangi kemungkinan apendisitis.
Pada kasus apendisitis akut yang klasik, gejala-gejala permulaan antara lain rasa nyeri
atau perasaan tidak enak disekitar umbilikus (nyeri tumpul). Beberapa jam kemudian nyeri
itu akan berpindah ke perut kanan bawah dan mungkin terdapat nyeri tekan disekitar titik
McBurney. Rasa sakit semakin meningkat, sehingga pada saat berjalan pun penderita akan
merasakan sakit yang mengakibatkan badan akan mengambil sikap membungkuk pada saat
berjalan. Nyeri yang dirasakan tergantung juga pada letak apendiks, apakah di rongga
panggul atau menempel dikandung kemih sehingga frekuensi kencing menjadi meningkat.
Nyeri perut juga akan dirasakan bertambah oleh penderita bila bergerak, bernapas dalam,
berjalan, batuk, dan mengejan.
Nyeri saat batuk dapat terjadi karena peningkatan tekanan intra-abdomen. Muntah,
mual, dan tidak ada nafsu makan.Secara umum setiap radang yang terjadi pada sistem saluran
cerna akan menyebabkan perasaan mual sampai muntah. Meskipun pada kasus apendisitis
ini, tidak ditemukan mekanisme pasti mengapa dapat merangsang timbulnya muntah.Demam
ringan (37,5 C 38,5 C) dan terasa sangat lelah .Proses peradangan yang terjadi akan
menyebabkan timbulnya demam, terutama jika kausanya adalah bakteri. Inflamasi yang
terjadi mengenai seluruh lapisan dinding apendiks. Demam ini muncul jika radang tidak
segera mendapat pengobatan yang tepat. Peradangan pada apendiks dapat merangsang
peningkatan peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare.
Infeksi dari bakteri akan dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga
secara otomatis usus akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan
peristaltik. Selain itu, apendisitis dapat juga terjadi karena adanya feses yang keras ( fekolit ).
Pada keadaan ini justru dapat terjadi konstipasi. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit
didiagnosis sehingga dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang lebih parah.8
Patofisiologi Nyeri
1. Nyeri viseral:
Terjadi karena rangsangan pada peritoneum viseral. Nyeri dirasakan apabila terjadi
spasme otot polos, tarikan, dan regangan. Lokalisasi nyeri viseral sesuai dengan letak organ
di dalam rongga peritoneum dan asal organ secara embriologi sehingga pasien tidak dapat
menunjukan secara tepat lokalisasi nyeri atau digambarkan dengan memakai seluruh telapak
tangan.
a. Foregut: esofagus, lambung, duodenum, saluran empedu, pankreas
lokasi: epigastrium
b. Midgut: jejunum sampai kolon transversum
lokasi: periumbilikal
c. Hindgut: kolon distal
lokasi: infraumbilikal
d. Retroperitoneal: ginjal, ureter
lokasi: pinggang, lipat paha
e. Pelvis: adneksa
lokasi: di pinggang, suprapubik
2. Nyeri somatik
Terjadi karena rangsangan di peritoneum parietal yang di persarafi oleh saraf tepi
diteruskan ke susunan saraf pusat sehingga rasa nyeri dapat ditujukan dengan tepat oleh
pasien. Nyeri dirasakan apabila diraba, tekanan, proses peradangan. Pergeseran antara organ
viseral yang meradang dengan peritoneum parietal akan menim ulkan nyeri, baik karena
peradangannya maupun gesekan antara kedua peritoneum. Lokalisasi nyeri somatik biasanya
berasal dari organ di dekatnya, nyeri dapat lokal maupun merata pada seluruh perut.9
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik disimpulkan pasien menderita peritonitis
generalisata et causa appendicitis acute dengan perforasi dan tentunya diperlukan lagi
pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain untuk memperkuat diagnosis. Pasien ini harus
dirawat inap karena appendicitis yang dialaminya sudah menimbulkan komplikasi peritonitis
dan mendapatkan penanganan secepatnya. Sebagai dokter umum tindakan kita adalah
merujuk ke dokter bedah secepatnya. Selain itu, memasangkan infus untuk memasukkan
nutrisi, memberikan antibiotik, antipiretik, dan analgesik secara IV sebelum dilakukannya
laparatomi, dan memberikan pengarahan kepada pasien untuk berpuasa sebelum pembedahan
sebagai persiapan pre-operatif. Prognosis untuk pasien ini adalah dubia ad bonam apabila
segera ditangani dengan tindakan dan penatalaksanaan yang baik dan benar.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed.IV. Jakarta: FKUI; 2007. p. 477- 478
2. Snell R S. Clinical anatomy by sistem. 7th ed. New York: Lippincott Williams & Wilkins;
2003. p. 332
3. Junqeira, L.C. & Jose Carneiro. Basic Histology. California: Lange Medical Publications;
1980.
4. Standring, S. Grays Anatomy. USA: Elsevier Churchill Livingstone; 2005. p. 1127-38
5. Sjamsuhidajat R, Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Gawat Abdomen. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2011.
6. Schrock, T.R. Peritonitis dan Massa Abdominal. In: Lukmanto P, editor. Ilmu Bedah. Edisi
7. Jakarta: EGC; 2000.
7. Schwartz, S.J, Shires, S , Spencer F.C. Peritonitis dan Abses Intraabdomen. In: Laniyati,
editor. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2000.
8. Doenges, M. Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC; 2000.
9. Pusponegoro A, Kartono D, Hutagalung E, Sumardi R, Luthfia C, Ramli M, et al.
Abdomen Akut. In: Soelarto, editor. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Tangerang: Binarupa
Aksara; 1995. p. 52-4