Anda di halaman 1dari 8

PENYAKIT NEONATAL PADA ANJING

DISTEMPER ANJING, PARVOVIRUS, PARAINFLUENZA

Inriyani Sari 1, Chandra Arsandi2, Try agustianingsih3, Janne Lorens4, Andi


Husnul Khatimah5
Bagian Bedah & Radiologi. Departemen Klinik, Reproduksi & Patologi
Program Studi Kedokteran Hewan (PSKH), Universitas Hasanuddin
(UNHAS)
Korespondensi penulis: indrianisari34@yahoo.co.id
Abstrak
Tujuan praktikum ini adalah memaparkan kasus penyakit neonatal
pada Anjing, yaitu Distemper Anjing, Parvovirus, dan Parainfluenza.
Namun pada saat praktikum Anjing yang digunakan tidak memiliki gejala
yang merujuk pada salah satu dari ketiga penyakit neonatal tersebut.
Seekor hewan dengan anamneses temperatur tubuhnya 38,7 C, frekuensi
nafas 112 x/menit, frekuensi nadi 108 x/menit, frekuensi jantung 152
x/menit. Hasil pemeriksaan klinis, Anjing tidak memiliki kelainan yang
serius, Posisi tegak telinga asimetris, Posisi kepala selalu disandarkan
dimeja, pertumbuhan badannya termasuk kategori sedang, sikap berdiri
normal, kedua palpebrae dan membrane nictitans terlihat normal, pada
bagian mulut dan rongga mulut semua terlihat normal, bau dan posisi
telinga normal, pada permukaan daun telinga sebelah kiri dan kanan
terlihat kotor, pemeriksaan pada leher yang meliputi perototan, trachea
dan esophagus normal pada saat inspeksi sistem pernafasan didapatkan
hasil bahwa intensitas pernafasannya normal, pada saat palpasi
intercostalis tidak didapatkan sesuatu yang tidak normal pada bagian
intercostalis, pada saat auskultasi didapatkan suara pernafasan normal,
pada saat dicoba untuk auskultasi jantung dapat didengarkan suara detak
jantungnya, dan pada saat palpasi lymphonodus tidak ditemukan
lymphonodus yang membengkak ataupun asimetris. Tidak dilakukan
pemeriksaan lanjutan (lab) karena Anjing terlihat sehat dan tidak ada
gejala yang mengarah ke penyakit yang serius. Terapi yang dilakukan
yaitu hanya pemberian Vitamin. Kesimpulan, Anjing tersebut tidak
memiliki penyakit neonatal, baik penyakit Distemper Anjing, Parvovirus,
Maupun Parainfluenza.
Kata kunci: anjing, Distemper, Parvovirus, Parainfluenza, penyakit
neonatal, vitamin
Pendahuluan

Distemper adalah salah satu


penyakit
menular
yang
menyerang
anjing.
Penyakit
tersebut disebabkan oleh virus
dalam genus Morbillivirus dari
famili
Paramyxoviridae
dan
mempunyai
hubungan
dekat
dengan
virus
measles
dan
rinderpest (Frisk et al., 1999;
Mochizuki et al., 1999; Rudd et
al., 2006). Virus distemper dapat
menyerang
famili
Canidae,
Mustelidae,
dan
Procyonidae
(Headley dan Graca, 2000).
Kasus distemper pada anjing
telah menurun secara signifikan
sejak dilancarkan upaya vaksinasi
dengan menggunakan vaksin
hidup (modified live vaccine)
sejak tahun 1960 (Dharmojono,
2001).
Infeksi Canine Parvovirus
(CPV), atau yang dikenal dengan
penyakit Muntaber pada anjing,
mulai mencuat sekitar tahun
1980-an di mana kasus muntah
dan mencret berdarah banyak
dijumpai di kalangan praktisi
dunia kedokteran hewan di
Indonesia. Di Indonesia, kasus
infeksi CPV dapat terjadi
pada segala umur, terutama
anjing muda. Penyakit muntaber
pada anjing disebabkan oleh virus
canine parvovirus (CPV). Virus ini
termasuk
dalam
famili
Parvoviridae (MATTHEWS, 1979).
Parainfluenza adalah virus
yang
menyerang
saluran
pernapasan.
CPIV
menyebar
dengan
cepat
tampak
dari
presentase anjing yang terinfeksi
tinggi dalam waktu yang singkat.
Pada tahun 1960, era sebelum
adanya vaksinasi CPIV. Penelitian
yang dilakukan oleh Binn, dan
Lazar, prevalensi antibody CPIV
anjing
militer
yang
baru
didatangkan dan dimasukkan ke

dalam kandang adalah 3%, 6


minggu
kemudian
meningkat
menjadi
72%.
Penelitian
sebelumnya mengatakan bahwa
CPIV umumnya menyerang anjing
muda dengan infeksi 3 minggu
atau 10 minggu (Jhon.A.Ellis,
2012).
Tinjauan Pustaka
A. Distemper
Etiologi. Disebabkan oleh
virus dalam genus Morbillivirus
dari famili Paramyxoviridae dan
mempunyai
hubungan
dekat
dengan
virus
measles
dan
rinderpest (Frisk et al., 1999;
Mochizuki et al., 1999; Rudd et
al., 2006). Virus distemper dapat
menyerang famili
Canidae,
Mustelidae,
dan Procyonidae
(Headley dan Graca, 2000).
Gejala Klinis. Pada temuan
pemeriksaan
klinis
biasanya
terdapat
gejala-gejala
seperti
berikut :
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Demam
Lemah
Tremor
Nasal discharge
Diare berdarah
Feses berwarna gelap
Keratinasi pada foot pad
Lethargi
Anoreksia
Pustula dibagian inguinal
Dehidrasi

Diagnosa. Diagnosa
didasarkan
pada
anamnesa,
gejala klinis yang ditemukan dan
pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan
darah,
PCR,
immunofluororesensi,
isolasi
virus, analisa ciran serebrospinal,

serologi dan tes ELISA untuk


antibodi spesifik distemper.
Diagnosa Banding.
Caninde
parvovirus
memiliki
gejala klinis yang sangat mirip
dengan beberapa penyakit seperti
parvovirus, parainfluenza, dan
penyakit helmeintiasis, salah satu
contohnya ialah ancylostomiasis.
Pemeriksaan Lanjutan.
Penyakit canine distemper dapat di
diagnosa
dengan
pemeriksaan
laboratorium (cek darah dan test kit
distemper).
Juga
dapat
dianalisa
berdasarkan gejala klinis, isolasi dan
identifikasi
etiologinya.
Dengan
pemeriksaan laboratorium atas spesimen
hewan yang menderita yaitu dengan
pemeriksaan umum didapatkan gejala
klinisnya,
pemeriksaan
fisik
yaitu
contohnya ditemukan muntah dan diare,
Pengambilan spesimen seperti cotton swab
dimasukkan
kedalam
anus
untuk
mendapatkan fesesnya
lalu spesimen
tersebut ditanam pada media selama 24
jam dan diperiksa dibawah mikroskop.
(Race, 2015)
Pencegahan dan
Pengobatan. Tidak ada obat
spesifik yang dapat digunakan
untuk
menyembuhkan
hewan
yang terserang virus distemper
yang sudah menginfeksi salah
satu contohnya ialah
anjing.
Tindakan yang dapat dilakukan
ialah untuk mencegah infeksi
sekunder,
mengendalikan
muntah, diare dan gejala syaraf
yang muncul, menangani kondis
dehidrasi dengan memberikan
cairan
infus.
Anjing
yang
terinfeksi distemper harus dijaga
supaya
tetap
hangat,
mendapatkan nutrisi yang cukup
serta dipisahkan dari anjinganjing lainnya.
Vaksinasi dan menghindari
kontak (karantina) dengan hewan
terinfeksi distemper adalah satusatunya cara untuk mencegah

tertularnya
seekor
anjing
terhadap virus ini. Vaksinasi
sangat penting. Anak-anak anjing
sangat rentan terinfeksi virus
distemper,
terutama
jika
kekebalan
alami
yang
diperolehnya dari induk sudah
menghilang sebelum anak anjing
tersebut
mampu
membentuk
kekebalan
tubuhnya
sendiri.
Untuk melindungi anjing dewasa,
pemilik hewan harus memberikan
vaksin secara berkala sehingga
anjing tersebut mempunyai titer
antibodi yg cukup untuk melawan
virus
tersebut.
Pencegahan
merupakan tindakan terpenting
dalam penanganan kasus ini.
B. Parvovirus
Etiologi. Penyakit muntaber
pada anjing disebabkan oleh virus
canine parvovirus (CPV). Virus ini
termasuk
dalam
famili
Parvoviridae
(M ATTHEWS ,
1979).
Diameter virus CPV berkisar
20 nm, termasuk virus single
stranded DNA, dan virionnya
berbentuk partikel ikosahedral
serta
tidak
beramplop,
dan
perkembang- biakan virus ini
sangat tergantung pada sel inang
yang sedang aktif membelah (MC.
CARTHY , 1980).
Dalam gradien CsCl, CPV
mempunyai kepadatan gradien
1,43 g/ml. CPV terdiri dari 3
protein virus yaitu VP1, VP2, dan
VP3 dengan berat molekul 82.500
sampai 63.500.
Gejala Klinis. Pada temuan
pemeriksaan
klinis
biasanya
terdapat
gejala-gejala
seperti
berikut :
12
Demam
13
Depresi
14
Tremor
15
Nasal discharge
16
Diare berdarah

17

Feses
bau
menyengat
(anyir)
18
Anoreksia
19
Lethargi
20
Dehidrasi berat
Prognosa. Pada anjing
dengan infeksi ringan, terutama
pada anjing yang telah divaksin,
progonosanya buruk tetapi bila
anjing tidak memiliki antibodi
yang baik serta belum pernah
divaksin maka prognosanya buruk
sampai infausta.
Diagnosa. Diagnosis infeksi
CPV
ditegakkan
berdasarkan
sejarah penyakit, gejala klinis,
perubahan
PA/HP,
dan
pemeriksaan
laboratorium
termasuk uji serologis dan isolasi
virus.
Leukopenia
umumnya
terjadi pada awal infeksi (APPEL
et al., 1978).
Pemeriksaan serologis
meliputi
uji
single
radial
haemolysis, ELISA, uji HI, dan uji
serum netralisasi (FASTIER, 1981).
Akhir-akhir ini uji ELISA untuk
mendeteksi
antibodi
mulai
diterapkan
terutama
menggunakan
antibodi
monoklonal
yang
spesifik
terhadap CPV, sehingga hasil
yang diperoleh lebih sensitif dan
spesifik (MATHYS et al., 1983).
Pemeriksaan virologis
meliputi isolasi virus, dan deteksi
antigen/partikel CPV seperti uji
ELISA, Fluoresence antibodi teknik
(FAT), atau elektron mikroskop
yang merupakan teknik diagnosis
yang paling baik untuk diterapkan
(EUGSTER et al., 1978).
Meskipun CPV belum tentu
dapat diisolasi dari kasus CPV
yang
klasik,
isolasi
dapat
dilakukan
dan
diinokulasikan
dalam biakan jaringan. Tetapi
tidak jarang virus berbiak pada
biakan jaringan tanpa disertai

CPE.
Untuk
kasus
tersebut,
deteksi
virus
pada
biakan
tersebut
perlu
dilengkapi
misalnya dengan uji HA, HI atau
FAT (CARMICHAEL et al., 1980).
Diagnosa Banding. Canine
parvovirus memiliki gejala klinis
yang
sangat
mirip
dengan
beberapa penyakit seperti feline
panleukopenia,
minute
virus
enteritis,
canine
distemper,
koksidiosis, ancylostomiasis.
Pencegahan dan
Pengobatan. Penanganan secara
spesifik untuk menghilangkan
virusnya seperti penggunaan obat
antiviral
belum
tersedia.
Penanganan suportif dilakukan
untuk membantu menjaga kondisi
umum
anjing.
Penanganan
meliputi pemberian terapi cairan
(infus) baik melalui subcutan
(dibawah kulit) ataupun melalui
intravena
(melalui
pembuluh
darah)
untuk
menjaga
keseimbangan
cairan
dan
elektrolit yang hilang karena
muntah dan diare. Penanganan
lainnya
melalui
pemberian
antimuntah,
antibiotik
dan
pemberian
injeksi
suplemen
protein dan nutrisi. Perawatan
rata-rata membutuhkan waktu 12 minggu.
Pencegahan dilakukan
melalui tindakan vaksinasi yang
teratur dan melakukan karantina
pada
hewan
yang
dicurigai
terpapar parvovirus. Peralatan
dan lingkungan yang tercemar
virus
parvo
didesinfeksi
menggunakan larutan pemutih
pakaian yang di encerkan dengan
air dengan perbandingan 1:30
karena virus ini cukup tahan di
lingkungan dan cairan desinfeksi
lainnya.
Anjing
yang
telah
sembuh dari parvo harus tetap
diisolasikan sekitar 1-2 minggu

dan dimandikan dahulu sebelum


digabung dengan anjing lainnya
untuk mencegah penularan virus.
C. Parainfluenza
Etiologi. Canine parainfluenza virus
(CPIV) merupakan virus respiratori yang
penularannya sangat tinggi dan merupakan
satu dari pathogen paling umum dari
infeksi tracheobronchitis, yang disebut
juga canine cough. Canine parainfluenza
virus (CPIV) diekskresi dari saluran
respirasi dari hewan terinfeksi sampai 2
minggu setelah infeksi dan biasanya
ditransmisikan melalui udara. Virus
menyebar dengan cepat pada kennel atau
shelter dimana anjing dalam jumlah bersar
berkumpul. Penyakit parainfluenza tipe 3
(PI-3) disebabkan oleh virus PI-3, yang
termasuk dalam kelompok paramyxo, dari
famili paramyxoviridae. Hingga saat ini
ada 4 serotipe virus parainfluenza telah
diidentifikasi. Namun virus parainfluenza
tipe 3 (PI-3) merupakan yang paling
patogen dapat menimbulkan penyakit
sehingga merugikan. Penyakit ini termasuk
zoonosis karena manusia dapat terinfeksi
oleh virus PI-3. Selain itu, kera, rusa,
anjing, kucing, guinea-pig dan tikus dapat
juga terinfeksi oleh virus PI-3.
Gejala Klinis
21
22
23
24
25
26

Anoreksia
Lemah
Demam
Nafsu makan berkurang
Nasal discharge
Tremor
Diagnosa. Diagnosa didasarkan pada
anamnesa,gejala klinis yang ditemukan
dan pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaan
darah
PCR,
immunofluororesensi, isolasi virus, analisa
ciran serebrospinal, serologi dan tes
ELISA.

Diagnosa banding. Diagnosa banding


dari
penyakit
parainfluenza
yaitu
Bronchitis dan Pneumonia.
Pencegahan dan Pengobatan.
Pilihan
pengobatan
untuk
virus
parainfluenza berbeda didasarkan pada
sejumlah pilihan. Salah satu faktor yang
paling penting adalah mengandung virus
dan
mengobatinya
sebelum
dapat
menyebar ke anjing lain. Banyak anjing
dapat pulih dari virus ini secara alami,
tetapi mereka tetap menular dan virus
dapat dengan mudah menyebar melalui
sekresi pernapasan dan melalui udara.
Untuk alasan ini, virus ini biasanya diobati
secara agresif dengan antibiotik dan obat
antivirus. Jika perlu, penekan batuk dapat
digunakan. Cairan intravena dapat
membantu untuk menjaga anjing terhidrasi
dan memperkuat sistem kekebalan tubuh,
mencegah infeksi bakteri sekunder atau
komplikasi lain.
Ini tidak dianjurkan untuk mengobati
virus parainfluenza pada anjing, tetapi tips
berikut dapat membantu. Anda dapat
menemukan informasi ini bermanfaat bagi
perawatan dan pengobatan untuk virus:
Batasi latihan anjing dan bermain
atau beristirahat dengan tenang. Jauhkan
anjing dari anjing lain selama pengobatan
dan selama setidaknya satu minggu
berikutnya. Makan makanan lunak jika
iritasi tenggorokan hadir. Mendorong
asupan cairan yang cukup dengan
menyediakan air yang cukup setiap saat.
Hindari paparan suara keras, polusi atau
peristiwa lain yang dapat menyebabkan
stres yang tidak semestinya.
Hasil Praktikum
Data dalam bentuk tabel rekam
medis pasien (Dilampirkan)
Diskusi
Distemper adalah salah satu penyakit
menular yang menyerang anjing. Penyakit
tersebut disebabkan oleh virus dalam
genus
Morbillivirus
dari
famili
Paramyxoviridae (Erawan, 2009).

Penyakit distemper pada anjing


merupakan penyakit viral yang bersifat
multisistemik
diantaranya
sistem
pernafasan, pencernaan, urinaria, saraf
pusat dan sistem lainnya. Penyakit
distemper memiliki angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi terutama pada
populasi anjing yang tidak divaksinasi.
Anjing yang terserang penyakit distemper
biasanya yang berumur muda, terutama
anak anjing yang tidak divaksin secara
lengkap. Anjing yang diserang umumnya
berumur kurang dari satu tahun (Sitepu,
2013).
Anjing terinfeksi distemper dapat
mengeluarkan virus dalam beberapa bulan.
Virus
distemper
menyerang
dan
menimbulkan gejala ataulesi pada mata,
saluran
respirasi,
gastrointestinal,
urogenital, sistem saraf, dan kulit. Gejala
klinik yang ditimbulkan sangat bervariasi.
Gejala dapat terjadi beratatau ringan, tanpa
atau dengan memperlihatkan gejala-gejala
saraf. Diagnosis tentatif untuk penyakit
distemper umumnya dilakukan dengan
melihat gejala klinis yang muncul pada
penderita. Pencegahan penyakit distemper
dapat
dilakukan
dengan
vaksinasi
(Erawan, 2009).
Penyakit muntaber pada anjing
disebabkan oleh Canine Parvovirus (CPV)
termasuk
family
Parvoviridae.
Di
Indonesia, kasus infeksi CPV dapat terjadi
pada semua umur terutama anjing muda.
Vaksinasi dapat dilakukan sebagai langkah
pencegahan penyakit. Berdasarkan gejala
klinis yang ditimbulkan, infeksi CPV
terbagi menjadi dua tipe, yaitu tipe
miokarditis dan tipe enteritis (Sendow,
2003).
Kasus CPV pada tipe miokarditis
lebih banyak ditemukan pada anak anjing
berumur di bawah 4 minggu, yang ditandai
dengan kematian anak anjing mendadak,
tanpa menimbulkan gejala klinis muntaber.
Anak anjing tumbuh normal dan pada
pemeriksaan
umum,
anjing
tidak
menunjukkan adanya kelainan pada
jantung dan paru-paru, tetapi beberapa jam
sebelum mati anak anjing tersebut terlihat

lemas, sesak napas, menangis,kadangkadang muntah dan selaput lendir pucat.


Mortalitas tipe miokarditis berkisar antara
20hingga 100%. Pada tipe miokarditis
yang akut, umumnya anak anjing tersebut
tidak mempunyai kekebalan bawaan dari
induk, sehingga vaksinasi induk yang akan
dikawinkan sangat dianjurkan. Pada anak
anjing berumur lebih dari 5 bulan, gejala
klinis yang tampak tidak nyata, tetapi
padainfeksi yang akut, ritme puls femoral
iregular, jantung terdengar murmur dan
aritmia (Sendow, 2003).
Tipe enteritis, sering juga disebut
Canine parvovirus enteritis, infectious
hemorrhagic
enteritis,
epidemic
gastroenteritis atau canine panleucopenia.
Di Indonesia tipe ini dikenal dengan istilah
muntaber. Tipe enteritis merupakan tipe
CPV yang paling sering ditemukan dan
menyerang semua usia dengan gejala
klinis yang khas yaitu muntah dan diare
berdarah, dengan aroma yang sangat khas.
Masa inkubasi tipe enteritis 714 hari
dengan gejala awal adalah muntah yang
diikuti demam, tidak napsu makan, lesu
dan diare mulai dari mencret berwarna
kekuningan, abu-abu dengan bau yang
khas hingga berdarah berwarna kehitaman
seperti warna aspal. Pada anak anjing,
apabila diare berdarah telah terjadi
umumnya hanya bertahan 13 hari. Sejalan
dengan
terjadi.
Morbiditas
CPV
tipeenteritis berkisar antara 20% hingga
100% dan mortalitasnya mencapai 50%,
sedangkan pada anak anjing yang masih
muda dan belum divaksinasi,mortalitasnya
dapat mencapai 100%(Sendow, 2003).
Penyakit
infeksi
oleh
virus
Parainfluenza biasanya hanya berupa
sebagai gangguan pernafasan ringan, yang
meskipun tidak mematikan secara
langsung, akan tetapi cukup menggangu
penderita, dan lama-lama menyebabkan
penurunan
kondisi
umum.
Virus
Parainfluenza yang biasa menyerang
anjing adalah Simian Virus 5 (SV-5), yang
termasuk virus Paramyxo.Virus seringkali
diisolasi dari penyakit saluran pernafasan,
disebarkan secara aerogen dari anjing

penderita
ke
anjing
lainnya.Virus
menyerang epitel permukaan saluran
pernafasan atas dan bawah. Adanya
makrofag di paru-paru dapat mencegah
penyebaran virus ke organ lainnya. Anjing
yang tertular selama 8-9 hari akan menjadi
penyebar virus, dan setelah itu aan bersifat
laten. Penderita biasanya memperlihatkan
gejala ringan dari gangguan pernafasan
(Subronto, 2010).
Kesimpulan
Distemper merupakan penyakit pada
anjing yang disebabkan oleh Canine
Distemper Virus dari genus Morbillivirus
dan famili Paramyxoviridae. Gejala klinik
yang ditimbulkan sangat bervariasi
tergantung
organ
yang
diserang.
Penceghannya dengan vaksinasi dan
pengobatannya dengan fluid terapi,
antibiotik dan pemberian vitamin. Parvo
merupakan penyakit pada anjing yang
disebabkan oleh virus yang dinamakan
Canine Parvovirus atau Parvoviral
Enteritis sangat rentang terhadap anjing
yang masih mudah, Pengobatannya yaitu
dengan fluid terapi, antibiotik untuk
infeksi sekunder seperti gentamicin,
antiemetik dan terapi suporatif. Sedangkan
Parainfluenza
adalah
virus
yang
menyerang
saluran
pernapasan.
Pengobatannya dengan pemberian vitamin,
antibiotik untuk infeksi sekunder, terapi
suportif. Berdasarkan hasil praktikum,
puppies yang diperiksa tidak mengidap
penyakit yang spesifik (sehat).
Pustaka Acuan
APPEL , M. and C.R. P ARRISH . 1987.
Canine parvovirus type 2. In: Virus
infections of carnivores. M. A PPEL
. (Ed.) Elseviers, Science Publisher.
Pp. 6992.
APPEL , M.J.G., B.J. C OOPER , H.H. G
REISEN and L.E.C ARMICHAEL .
1978. Status report: Canine viral
enteritis. J. Am. Vet. Med. Ass. 173:
15161518.

Dharmojono, H., 2001, Kapita Selecta


Kedokteran Veteriner, Edisi I,
Pustaka Popular Obor, Jakarta, hal
16-20.
EUGSTER , A.K., R.A. B ANDELE and
L.P. JONES. 1978. Parvovirus
infection in dog. J. Am. Vet. Med..
Ass.173:13401341.
FASTIER , L.B. 1981. A single radial
haemolysis test for measuring
canine parvovirus antibody. Vet.
Rec. 108: 299301.
Frisk AL, Konig M, Moritz A,
Baumgartner W. 1999. Detection of
canine distemper virus nucleoprotein
RNA by reverse transcription-PCR
using serum, whole blood, and
cerebrospinal fluid from dogs with
distemper. J Clin Micro 37: 3634- 3643.
Headley SA, Graca DL. 2000. Canine
distemper: epidemiological finding of
250 cases. Brazilian J Vet Res Anim Sci
37.
MATTHEWS , R.E.F. 1979. Classification
and nomenclature of viruses. 3 rd
report
of
the
International
Committee on Taxonomy of viruses.
Ed. S. Karger. Basel, London. Pp.
189190.
Mochizuki M, Hashimoto M, Hagiwara S,
Ishiguro S. 1999. Genotypes of canine
distemper virus determined by an
hemagglutinin genes of recent isolates
from dogs in Japan. J Clin Microbiol
37: 2936-2942
Sendow, Indrawati.
2003.
Canine
Parvovirus
pada
Anjing.WARTAZOA Vol. 13 No. 2.
Sitepu, Y.V., et al. 2013. Gambaran
Histopatologi Penyakit Distemper pada
Anjing Umur 2 sampai 12 Bulan.
Indonesia Medicus Veterinus, 2 (5) :
528-537. ISSN : 2301-7848.
Subronto. 2010. Penyakit Infeksi Parasit
dan Mikroba pada Anjing dan
Kucing.Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.

Anda mungkin juga menyukai