Anda di halaman 1dari 16

1.

Pada Hewan
Gejala klinis pada hewan dibagi menjadi tiga stadium :
a. Stadium Prodromal
Keadaan ini merupakan tahapan awal gejala klinis yang dapat berlangsung antara 2-3
hari. Pada tahap ini akan terlihat adanya perubahan temperamen yang masih ringan.
Hewan mulai mencari tempat-tempat yang dingin/gelap, menyendiri, reflek kornea
berkurang, pupil melebar dan hewan terlihat acuh terhadap tuannya. Hewan menjadi
sangat perasa, mudah terkejut dan cepat berontak bila ada provokasi.Dalam keadaan ini
perubahan perilaku mulai diikuti oleh kenaikan suhu badan.
b. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada tahap prodromal, bahkan dapat
berlangsung selama 3-7 hari. Hewan mulai garang, menyerang hewan lain ataupun
manusia yang dijumpai dan hipersalivasi. Dalam keadaan tidak ada provokasi hewan
menjadi murung terkesan lelah dan selalu tampak seperti ketakutan. Hewan mengalami
fotopobi atau takut melihat sinar sehingga bila ada cahaya akan bereaksi secara
berlebihan dan tampak ketakutan.
c. Stadium Paralisis
Tahap paralisis ini dapat berlangsung secara singkat, sehingga sulit untuk dikenali atau
bahkan tidak terjadi dan langsung berlanjut pada kematian. Hewan mengalami kesulitan
menelan, suara parau, sempoyongan, akhirnya lumpuh dan mati.
2. Pada Manusia
Gejala klinis pada manusia dibagi menjadi empat stadium.
a. Stadium Prodromal
Gejala awal yang terjadi sewaktu virus menyerang susunan saraf pusat adalah
perasaan gelisah, demam, malaise, mual, sakit kepala, gatal, merasa seperti
terbakar, kedinginan, kondisi tubuh lemah dan rasa nyeri di tenggorokan selama
beberapa hari.

b. Stadium Sensoris Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada
tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi yang
berlebihan terhadap ransangan sensoris.
c. Stadium Eksitasi Tonus otot-otot akan aktivitas simpatik menjadi meninggi
dengan gejala berupa eksitasi atau ketakutan berlebihan, rasa haus, ketakutan
terhadap rangsangan cahaya, tiupan angin atau suara keras. Umumnya selalu
merintih sebelum kesadaran hilang. Penderita menjadi bingung, gelisah, rasa
tidak nyaman dan ketidak beraturan. Kebingungan menjadi semakin hebat dan
berkembang menjadi argresif, halusinasi, dan selalu ketakutan. Tubuh gemetar
atau kaku kejang.
d. Stadium Paralis Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
eksitasi. Kadang-kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala-gejala eksitasi,
melainkan paresisotot-otot yang bersifat progresif. Hal ini karena gangguan
sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala paresis otot-otot
pernafasan.

Pencegahan
a. Menempatkan hewan peliharaan dalam kandang yang baik dan sesuai dan senantiasa
memperhatikan kebersihan kandang dan sekitarnya.
b. Menjaga kesehatan hewan peliharaan dengan memberikan makanan yang baik,
pemeliharaan yang baik dan melaksanakan Vaksinasi Rabies secara teratur setiap tahun ke
Dinas Peternakan atau Dokter Hewan Praktek. Tindakan ini tidak hanya melindungi hewan
anda dari penyakit rabies tetapi juga melindungi diri anda sendiri dan keluarga anda.
c. Memasang rantai pada leher anjing bila anjing tidak dikandangkan atau sedang diajak
berjalan-jalan.
d. Selalu awasi binatang peliharaan anda. Kurangi kontak mereka dengan
hewan atau binatang liar. Jika binatang peliharaan anda digigit oleh hewan liar, segera ke
dokter hewan untuk diperiksa keadaannya.
e. Hubungi dinas peternakan setempat bila anda menjumpai ada binatang liar yang
mencurigakan di lingkungan tempat tinggal anda.
f. Hindari kontak dengan hewan liar yang tidak jelas asal usulnya.
g. Nikmati hewan liar seperti rakun, serigala dari tempat yang jauh. Jangan coba-coba
memberi mereka makan, membelai ataupun memelihara mereka di rumah walaupun
kelihatan sangat jinak. h. Cegah kelelawar memasukan rumah atau tempat anda beraktifitas.

i. Jika anda bepergian ke daerah yang terjangkit rabies, segeralah ke pusat pelayanan
kesehatan terdekat untuk mendapatkan vaksinasi rabies

Luka adalah suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh yang terjadi akibat kekerasan
(Mansjoer, 2000)
Jejas gigit (Bite Mark) dapat berupa luka lecet tekan berbentuk garis lengkung terputusputus hematoma tau luka robek dengan tepi rata, luka gigitan umumnya masih baik strukturnya
sampai 3 jam pasca trauma, setelah itu dapat beruba bentuk akibat elastisitas kulit
(Mansjoer,2000)
Vulnus morsum merupakan luka yang tercabik-cabik yang dapat berupa memar yang
disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia (Morison J,2003)
Luka gigitan dapat disebabkan oleh binatang : ular, anjing, manusia, serangga (labalaba,tawon,
kalajengking).
Luka gigitan penting untuk diperhatikan karena dapat menyebabkan:

Kerusakan jaringan secara umum

Pendarahan serius bila pembuluh darah besar terluka

Infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya, seperti rabies

Dapat mengandung racun seperti pada gigitan ular

Awal dari peradangan dan gatal-gatal

Epidemiologi

Di Indonesia sampai Agustus 2010 sudah 113 orang positif terinfeksi penyakit rabies.
Penyebaran virus rabies sulit dihentikan. Kecepatan penyebarannya tiga milimeter perjam.
Tidak mengherankan bila angka kematian akibat penyakit ini mencapai 100%. Ciri-ciri yang
terkena rabies korban akan merasa sakit di luka gigitan, setelah itu sakit kepala, takut
cahaya, takut air dan sesak napas. Penyakit ini, seperti dilansir dalam siaran pers
Kementerian Kesehatan, juga kerap menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Tahun 2005
KLB terjadi di provinsi Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan Barat, akhir tahun 2007,
KLB terjadi di Banten. November 2008, KLB terjadi di Kab. Badung, Bali.Di Pulau Nias,
Sumatera Utara sampai dengan Juli 2010 terjadi 857 gigitan hewan penular rabies (GHPR),
sekitar 815 diberi vaksin anti rabies, dan 23 diantaranya meninggal dunia. Di Bali, sejak
kasus ini menyebar tahun 2008 di Kab. Badung, sampai bulan Agustus 2010 terdata 53.418
kasus GPHR, 83 diantaranya meninggal (4 orang tahun 2008, 26 orang tahun 2009, dan 53
orang tahun 2010).
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan rata-rata di Asia ada 50.000 kasus
kematian akibat rabies pertahun. Kasus di negara Asia terbanyak ditemukan di India
(20.000-30.000 kasus pertahun), Vietnam (rata-rata 9.000 kasus pertahun), China (rata-rata
2.500 kasus pertahun), Filipina (200-300 kasus pertahun) dan Indonesia (rata-rata 125 kasus
pertahun). Di Indonesia rabies sebagian besar disebabkan gigitan anjing (98%) sementara
sebagian kecil diebabkan oleh gigitan kera dan kucing (2%). Forum Regional Zoonotic
Meeting SEARO yang berlangsung di Jakarta pada November 2007, menetapkan rabies
sebagai penyakit prioritas kedua setelah Avian Influenza. Penyakit Rabies atau anjing gila
merupakan penyakit mematikan yang ditularkan lewat gigitan anjing. Untuk menghindari
kematian, bila seseorang digigit hewan yang menderita rabies, tindakan pertama yang

dilakukan adalah cuci luka secepatnya dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama
10-15 menit. Kemudian luka diberi antiseptik/ alkohol 70%, setelah itu segera bawa ke
Rabies Center (Puskesmas atau Rumah Sakit) atau ke dokter untuk mendapatkan
pengobatan selanjutnya. (rdi). [4] Data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan menyebutkan, Indonesia merupakan
negara terbesar ke lima di Asia yang menjadi negara dengan jumlah korban rabies. Posisi
Indonesia terbesar setelah India, China, Filipina dan Vietnam. Data kasus kematian yang
disebabkan rabies (lyssa) di Indonesia tercatat sekitar 125 kasus per tahun. Wilayah di
Indonesia yang terinfeksi rabies juga tidak main-main. Sejak tahun 2004 hingga Desember
2009 lalu, penyebaran rabies tersebar di 24 Provinsi. Berarti hanya 9 Provinsi saja yang
bebas rabies. Selain sembilan Provinsi tersebut, semua terkena penyebaran rabies dan
berpotensi menambah jumlah korban meninggal akibat gigitan ataupun liur anjing liar yang
tertular rabies. Rita Kusriastuti, Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang,
Kementerian Kesehatan menyebutkan, sembilan Provinsi yang saat ini masih bebas dari
ancaman rabies tersebut adalah Bangka Belitung, Kepri, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa
Timur, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua. Sementara hingga
Juli tahun ini, tercatat sekitar 24 provinsi yang telah melaporkan terjadinya kasus rabies
berujung pada kematian. Sebanyak 24 Provinsi tersebut adalah Sumut, Sumbar, Riau, Jambi,
Sumsel, Bengkulu, Lampung, Banten, Jabar, Bali, NTT, Sulut, Gorontalo, Sulteng, Sultra,
Sulsel, Sulbar, Kalsel, Kaltim, Maluku, Malut dan Kalteng. Serta empat Provinsi lain yang
belum mengirimkan laporannya. Provinsi Bali merupakan yang paling tinggi dan
mengkhawtirkan. Kami sudah memikirkannya dan melakukan tindakan-tindakan agar pada
tahun-tahun

mendatang

Bali

bebas

rabies.

[5]

Copy and WIN : http://ow.ly/KNICZ

Menurut WHO, rabies tersebar secara luas di dunia. Lebih dari 150 negara terinfeksi oleh
penyakit zoonosis ini. Wilayah dengan kasus rabies terbanyak ialah Afrika, Asia, dan
Amerika Selatan.4 Jumlah kematian akibat rabies ini berbeda-beda tiap negara. Jumlah
kematian akibat rabies relatif lebih rendah di Eropa dan Amerika Utara, yaitu 0-20 kematian
per tahun. Negara-negara bebas rabies di dunia, antara lain Australia, Inggris, Hawai,
Jepang, New Zealand, Scandinavia, dan Taiwan.5
Laporan OIE (Organization International des Epizooties) menyatakan bahwa penyakit
Rabies di negara berkembang merupakan penyakit kedua yang paling ditakuti wisatawan
mancanegara setelah penyakit malaria. 3 Angka kematian rabies mencapai 100% dengan
menyerang pada semua umur dan jenis kelamin. Rabies menyebabkan 30.000-70.000
kematian pada manusia per tahun.5 Reservoir utama penyebab rabies di Eropa ialah rubah
dan anjing, yaitu 47-58% dan 18-24%. Berbeda dengan negara Canada dan Amerika Serikat
yang kasus rabiesnya lebih sering disebabkan sigung, rakun, dan rubah. 5 Selain itu, infeksi
binatang liar termasuk kelelawar dapat menularkan rabies pada manusia, namun jumlah
terbesar penyebab rabies sekaligus penyebab kematian terbanyak disebabkan oleh anjing.
Lebih dari 90% kasus rabies pada manusia di Asia dan Afrika disebabkan oleh anjing.4

Jumlah kasus kematian akibat rabies di dunia per tahun, yaitu : Asia 50.000 kematian per
tahun, India 20.000-30.000 kematian per tahun, China 2.500 kematian per tahun, Vietnam
9.000 kematian per tahun, Filipina 200-300 kematian per tahun. 6 Jumlah kematian akibat
rabies tersebut cenderung meningkat tiap tahunnya. Indonesia selama empat tahun terakhir
rata-rata kematian akibat rabies sebanyak 143 kematian per tahun. 6 Kasus rabies di
Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun. Dari tahun 2008 hingga 2010 di
Indonesia terjadi peningkatan kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR) dan kasus yang
divaksin dengan Vaksin Anti Rabies (VAR). GHPR yang berjumlah 21.245 kasus pada tahun
2008 meningkat menjadi 45.466 kasus pada tahun 2009, kemudian meningkat lebih tajam
lagi pada tahun 2010 sebanyak 78.203 kasus.7 Daerah tertular rabies di Indonesia adalah 24
propinsi dari 33 propinsi. Sembilan propinsi yang dinyatakan bebas rabies, yaitu Kepulauan
Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara
Barat, Kalimantan Barat, Papua Barat, dan Papua. 8 Daerah bebas rabies apabila tidak
dikendalikan dengan baik dapat tertular rabies. Propinsi Bali yang dulunya secara historis
belum pernah terjangkit kasus rabies, pada tahun 2008 dikejutkan dengan terjadinya empat
kasus kematian akibat rabies, sehingga dinyatakan sebagai daerah Kejadian Luar Biasa
(KLB) rabies oleh Pemerintah Propinsi Bali.9 Hal ini membuktikan bahwa setiap daerah
yang telah dinyatakan bebas rabies masih memiliki kemungkinan tertular rabies apabila
program pencegahan dan pemberantasan rabies tidak dilakukan secara berkesinambungan.
Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah tertular rabies dan berdasarkan data
yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat, setiap tahun ada laporan
kasus rabies baik pada hewan maupun manusia. Pada tahun 2008 dilaporkan jumlah GHPR
adalah 2.413 kasus, 1.686 kasus mendapatkan VAR, dan 211 kasus rabies pada manusia

dengan 8 orang kematian pada manusia. 10 Pada tahun 2009 di Sumatera Barat dilaporkan
jumlah GHPR adalah 2.545 kasus, 1.763 kasus mendapatkan VAR, dan 244 kasus rabies
pada manusia dengan 13 orang kematian manusia.11 Selanjutnya, pada tahun 2010 di
Sumatera Barat dilaporkan GHPR adalah 3.009 kasus, 1.774 kasus mendapatkan VAR, dan
289 kasus rabies pada manusia dengan 12 orang kematian pada manusia. 12 Hal ini
menunjukkan di Sumatera Barat selama tiga tahun terakhir terjadi peningkatan, yaitu kasus
gigitan anjing dan kasus yang mendapat VAR, serta angka kematian manusia akibat rabies
yang masih tinggi. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat, Kota
Padang merupakan kota di Sumatera Barat dengan kejadian rabies terbanyak setiap tahun
dibandingkan kota/kabupaten lainnya. Rabies di Kota Padang pada tahun 2008 terdapat 535
kasus GHPR dan sebanyak 468 kasus mendapatkan VAR. Sedangkan kasus positif rabies
terdapat 6 kasus tanpa kematian.13 Kasus Rabies di Kota Padang pada tahun 2009 terdapat
400 kasus GHPR dan sebanyak 297 kasus mendapatkan VAR. Sedangkan kasus positif
rabies terdapat 1 kasus dan menyebabkan kematian 1 kasus.14 Selanjutnya, kasus rabies
pada tahun 2010 terdapat 208 kasus GHPR dan sebanyak 93 kasus mendapatkan VAR.
Sedangkan kasus positif rabies sebanyak 2 kasus dan kedua kasus tersebut meninggal
dunia.15
Pada tahun 2011 di Kota Padang jumlah kasus GHPR adalah 398 kasus, 278 kasus di
antaranya mendapatkan VAR. Dari 7 spesimen yang diperiksa, terdapat 3 kasus yang
dinyatakan positif dan ketiga kasus tersebut meninggal.16 Hal ini menunjukkan di Kota
Padang dari tahun 2008 kasus GHPR mengalami penurunan pada tahun 2009 sebanyak 135
kasus gigitan dan tahun 2010 menurun kembali sebanyak 192 kasus gigitan, namun terjadi
peningkatan lagi pada tahun 2011, yaitu bertambah sebanyak 190 kasus. Data dari Dinas

Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Padang menyatakan bahwa pada
tahun 2011 jumlah populasi anjing di Kota Padang sebanyak 16.616 ekor.17 Penduduk di
daerah ini memiliki kegemaran untuk memelihara anjing sehingga besar kemungkinan untuk
mendapat gigitan dari anjing yang dipeliharanya atau gigitan dari anjing yang diliarkan dan
dibiarkan bebas berkeliaran. Situasi masyarakat yang demikian menyebabkan lalu lintas
anjing sangat sulit diawasi sehingga memiliki risiko tertular rabies dari anjing yang
menderita rabies. Menurut laporan dari Dinas Kesehatan Kota Padang, dari 11 kecamatan
yang ada, Kecamatan Pauh merupakan kecamatan dengan jumlah kasus rabies yang tinggi
dibandingkan kecamatan lainnya, baik kasus GHPR maupun kasus kematian akibat rabies
pada manusia. Pada tahun 2009 di Kecamatan Pauh, tepatnya di Wilayah Kerja Puskesmas
Pauh dilaporkan kasus GHPR sebanyak 20 kasus baru dan 15 kasus di antaranya mendapat
VAR.18 Pada tahun 2010 di Wilayah Kerja Puskesmas Pauh dilaporkan kasus GHPR
sebanyak 18 kasus baru, 8 kasus di antaranya mendapat VAR.19 Selanjutnya, pada tahun
2011, dilaporkan kasus GHPR sebanyak 41 kasus baru, 31 kasus di antaranya mendapat
VAR, dan terdapat satu kematian pada manusia.20 Bahkan pada awal tahun 6 2012, yaitu
bulan Januari sudah terdapat 2 kasus gigitan yang 1 di antaranya mendapatkan VAR. Hal ini
menunjukkan terjadinya peningkatan terus menerus kasus gigitan selama tiga tahun terakhir.
Berdasarkan hasil wawancara sebagai survei pendahuluan dengan Kepala Bidang Kesehatan
Hewan Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Padang, menyatakan
bahwa kegiatan pemberantasan rabies seperti vaksinasi, eliminasi, dan sterilisasi telah aktif
dilaksanakan, namun dirasakan masih kurangnya tindakan proaktif masyarakat untuk
berpartisipasi. Misalnya saja dalam kegiatan vaksinasi, masih banyak masyarakat yang tidak
mau datang memvaksin anjingnya ke posko vaksinasi atau membawa langsung anjing ke

Dinas Pertanian, Peternakan, Perkebunan, dan Kehutanan Kota Padang. Hal ini
menyebabkan rendahnya cakupan vaksinasi Hewan Penular Rabies (HPR). Begitu juga
dengan upaya pemeliharaan HPR yang belum sesuai, yaitu HPR yang dibiarkan bebas
berkeliaran di daerah pemukiman masyarakat tanpa menggunakan rantai, berangus, dan
tidak dikandangkan. Berdasarkan kondisi di wilayah kerja Puskesmas Pauh tersebut, maka
perlu dilakukan penelitian dan diharapkan mampu menjelaskan tentang faktor yang
berhubungan dengan tindakan pemilik dalam pemeliharaan anjing sebagai upaya
pencegahan rabies di Wilayah Kerja Puskesmas Pauh Kota Padang tahun 2012.
Gejala dan tanda rabies pada hewan ada 2 (dua) tipe yaitu :
a. Tipe ganas terdiri dari stadium prodromal, eksitasi dan paralise
1. Stadium prodromal (2-3 hari), gejala : malaise, tidak mau makan, agak <>, demam sub fibris,
reflek kornea menurun. Hewan mencari tempat dingin dan menyendiri , tetapi dapat menjadi
lebih agresif dan nervus, pupil mata melebar dan sikap tubuh kaku (tegang). Fase ini berlangsung
selama 1-3 hari . Setelah fase Prodormal dilanjutkan fase Eksitasi atau bisa langsung ke fase
Paralisa.
2. Stadium eksitasi (3-7 hari), gejala : reaktif dengan menyerang dan menggigit benda bergerak,
pica (memakan berbagai benda termasuk tinjanya sendiri), lupa pulang, strabismus, ejakulasi
spontan. Hewan menjadi ganas dan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan
barang yang aneh-aneh. Selanjutnya mata menjadi keruh dan selalu terbuka dan tubuh gemetaran
, selanjutnya masuk ke fase Paralisa.

3. Stadium paralisis, gejala : ekor jatuh, mandibula jatuh, lidah keluar, saliva (ludah)
berhamburan, kaki belakang terseret. Pada stadium ini sangat singkat dan biasanya diikuti
dengan kematian hewan tersebut.
b. Tipe Jinak (dumb), umumnya stadium ini muncul setelah stadium paralisis, anjing ini terlihat
diam, berpenampilan tenang namun akan ganas kalau didekati. Gejala dan tanda penderita rabies
pada manusia yaitu demam, mual, rasa nyeri di tenggorokan, keresahan, takut air (hydrophobia),
takut cahaya, liur yang berlebihan (hipersaliva).

1. Histopatologi - Negri bodies merupakan ciri khas virus rabies. Namun, Negri bodies
hanya hadir dalam 71% kasus.
2. Kultur virus - Cara yang paling definitif diagnosis adalah dengan budidaya virus dari
jaringan yang terinfeksi. Kultur jaringan , seperti WI-38, BHK-21, atau CER. Sejak virus
rabies menginduksi CPE minimal, jika secara rutin digunakan untuk mendeteksi
keberadaan Ag virus rabies dalam kultur jaringan. Metode yang lebih umum digunakan
untuk isolasi virus adalah dengan inokulasi air liur, jaringan kelenjar ludah dan jaringan
otak intracerebrally ke tikus bayi. Tikus harus mengalami kelumpuhan dan kematian
dalam waktu 28 hari. Setelah kematian, otak diperiksa untuk keberadaan virus dengan
imunofluoresensi.
3. Serologi - antibodi beredar dan muncul perlahan dalam perjalanan infeksi tetapi mereka
biasanya hadir pada saat timbulnya gejala klinis. Tes serologi yang paling sering
digunakan adalah uji netralisasi infeksi tikus (MNT) atau rapid fluorescent focus
inhibition test (RFFIT). Serologi telah dilaporkan menjadi metode yang paling berguna
untuk diagnosis rabies.

4.

Rapid Virus Antigen Detection - dalam beberapa tahun terakhir, deteksi virus antigen
banyak digunakan. Jaringan yang berpotensi terinfeksi diinkubasi dengan antibodi
berlabel fluorescein. Sel-sel diperiksa dengan mikroskop fluoresen untuk melihat inklusi
flourescent intrasitoplasma .

Tatalaksana Kasus Gigitan Hewan Resiko Menular Rabies


Setiap ada kasus gigitan hewan menular rabies harus ditangani dengan cepat dan
sesegera mungkin. Untuk mengurangi/mematikan virus rabies yang masuk pada luka
gigitan, usaha yang paling efektif ialah mencuci luka gigitan dengan air (sebaiknya
air mengalir) dan sabun atau deterjen selama 10-15 menit, kemudian diberi
antiseptik (alkohol 70 %, betadine, obat merah dan lain-lain). Meskipun pencucian
luka

menurut

keterangan

penderita

sudah

dilakukan,

namun

di

puskesmas

pembantu/puskesmas/ rumah sakit harus dilakukan kembali seperti di atas.


Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila memang
perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum Anti
Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di sekitar luka
sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra muskuler. Disamping itu
harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian serum/vaksin anti tetanus,
antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian analgetik.
Bila ada indikasi pengobatan :

1. Terhadap luka resiko rendah diberi Vaksin Anti Rabies (VAR) saja. Yang
termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka, garukan atau
lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan dan kaki.
2. Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang termasuk luka
berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu (muka, kepala,
leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka yang
banyak (multipel).
3. Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies atau
penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka
tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR.
4. Sedangkan apabila kontak dengan air liur pada kulit luka yang tidak berbahaya,
maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila kontak dengan
air liur pada luka berbahaya.

Dosis dan cara pemberian vaksin anti rabies :

Vaksin PVRV ( Purufied Vero Rabies Vaccine) terdiri dari vaksin kering dalam vial
dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.
a. Dosis dan cara pemberiannya sesudah digigit adalah ; Cara pemberiannya adalah
disuntikkan secara intra muskular (im) didaerah deltoideus / lengan atas kanan dan
kiri. Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu 0,5 ml dengan 4 kali pemberian yaitu

hari ke 0 (dua kali pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke
21 satu kali pemberian.
b. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah digigit ; cara
pemberiannya sama diatas. Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu Dasar 0,5 ml
dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian sekaligus), hari ke 7
satu kali pemberian dan hari ke 21 satu kali pemberian. Ulangan 0,5 ml sama pada
anak dan dewasa pada hari ke 90.

2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV) mempunyai kemasan yang terdiri dari dos
berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml dan Dos berisi 5 ampul @ 1
dosis intra kutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.
a.

Dosis dan cara pemberian susudah digigit adalah ; cara pemberian untuk

vaksinasi dasar disuntikkan secara subcutan (sc) disekitar pusar. Sedangkan untuk
vaksinasi ulangdisuntikkan secara intracutan (ic) dibagian fleksor lengan bawah.
Dosis untuk vaksinasi dasar pada anak adalah 1 ml, dewasa 2 ml diberikan 7 kali
pemberian setiap hari, untuk ulangan dosis pada anak 0,1 ml dan dewasa 0,25 ml
diberikan pada hari ke 11, 15, 30 dan hari ke 90.
b. Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit ; cara
pemberian sama dengan diatas. Dosis dasaruntuk anak 1 ml, dewasa 2 ml, diberikan
7 kali pemberian setiap hari, untuk ulangan dosis pada anak 0,1 ml dan dewasa 0,25
ml diberikan pada hari ke 11, 15, 25, 35 dan hari ke 90.

B.

Dosis dan cara pemberian Serum Anti Rabies ( SAR ).

1. Serum heterolog ( Kuda ), mempunyai kemasan bentuk vial 20 ml ( 1ml=100 IU).


Cara pemberian ; disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin,
sisanya disuntikkan intra muscular. Dosis 40 Iu/KgBB diberikan bersamaan dengan
pemberian VAR hari ke 0, dengan melakukan skin test terlebih dahulu.
2. Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml ( 1 ml= 150 IU). Cara
pemberian ; disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya
disuntikkan intra muscular. Dosis 20 Iu/kgBB diberikan bersamaan dengan
pemberian VAR hari ke 0, dengan sebelumnya dilakukan skin test.

C.

Dosis dan cara pemberian VAR untuk pengebalan sebelum digigit (Pre

Exposure Immunization).
Vaksin PVRV ( Purufied Vero Rabies Vaccine) terdiri dari vaksin kering dalam vial
dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe. Cara pemberian Pertama ; disuntikkan
secara intra muskular (im) didaerah deltoideus. Dosisnya ; dasar digunakan dua
dosis masing-masing 0,5 ml pemberian pada hari 0, kemudian hari ke 28 dengan
dosis 0,5 ml. Diberikan ulangan pada 1 tahun seteleh pemberian I dengan dosis 0,5
ml dan ulangan selanjutnya 0,5 ml tiap tiga tahun. Cara pemberian Kedua ;
disuntikkan secara intra kutan (dibagian fleksor lengan bawah) dengan dosis dasar,

0,1 ml pemberian hari ke 0, kemudian hari 7 dan hari ke 28 dengan dosis 0,1
ml. Ulangan diberikan tiap 6 bulan satu tahun dengan dosis 0,1 ml.
Vaksin SMBV ( Suckling Mice Brain Vaccine ), terdiri dari dus yang berisi 7 vial @
1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml, dus berisi 5 ampul @ 1 dosis intrakutan dan 5
ampula pelarut @ 0,4 ml. Cara pemberian ; disuntikkan secara intrakutan (ic) di
bagian fleksor lengan bawah. Dosis dasar 0,1 ml untuk anak dan 0,25 nl untuk
dewasa, pemberian hari 0, hari 21 dan hari 42. Untuk ulangan dosis 0,1 ml untuk
anak dan 0,25 untuk dewasa setiap 1 tahun.

Anda mungkin juga menyukai