Anda di halaman 1dari 15

Introduction to Commercial & Private Law

PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM DIREKSI DALAM


PENGURUSAN BUMN
Kasus Penyelewengan Kredit kepada PT Cipta Guna Nusantara

Disusun oleh:
Abed Nego Tobing

1901525575 (LJ53)

Ajie Ayu Hanna Purnama

1901522900 (LJ53)

Albertin Theodora Beata.S

1901473533 (LJ53)

Alifah Nur Hanifati

1901520795 (LJ53)

ABSTRAK
Pada akhir- akhir ini pengurusan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) banyak mendapat
sorotan dari public karena dinilai tidak professional, tidak efisien,. dan tidak transparan sehingga
menambah beban biaya yang dikeluarkan oleh negara/ pemerintah untuk mempertahankan
keberadaannya.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diinformasikan bahwa tidak ada aturan ketat dalam
peraturan BUMN yang mengacu pada posisi, peran dan tanggung jawab direksi dalam mengelola
BUMN. Peraturan hanya menjelaskan mengenai tugas dan kewajiban yang mengarah pada tanggung
jawab hukum direksi baik berdasarkan hukum perdata atau pidana apakah mereka terbukti melakukan
penyimpangan dari aturan standar dalam menangani bisnis yang dapat membuat perusahaan
mengalami kerugian. Di sisi lain, direksi juga dapat membuat perlindungan terhadap diri mereka
sendiri berdasarkan Business Judgment Rule dengan membuktikan bahwa dalam melakukan tugas dan
kewajibannya, para direktur tidak membuat penyimpangan dari peraturan dan ketetapan perusahaan,
dan setiap hal yang dilakukan oleh direksi adalah berdasarkan niat baik dan jujur. Jadi jika perusahaan
menderita kerugian, kerugian tidak disebabkan dari kecerobohan dan kesalahan dari direksi sendiri.

DAFTAR ISI

Halaman Judul................................................................................................................................1
Abstrak ..........................................................................................................................................2
Daftar Isi.........................................................................................................................................3
Bab I. Pendahuluan.........................................................................................................................4
A. Latar Belakang...................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan Makalah.................................................................................................5
Bab II. Pembahasan........................................................................................................................6
A. Kedudukan dan peran Direksi menurut UU Perseroan Terbatas.....................................6
B. Kedudukan dan peran Direksi menurut UU BUMN...........................................................9
C. Tanggung Jawab Hukum Direksi dalam pengurusan BUMN...........................................10
D. Studi Kasus Bank Mandiri...............................................................................................10
1. Abstraksi kasus Bank Mandiri.........................................................................................10
2. Analisa kasus Bank Mandiri............................................................................................11
Bab III. Kesimpulan dan Saran ....................................................................................................14
Daftar Pustaka...............................................................................................................................15

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi
dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi dan mempunyai peranan
penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.
Pada negara berkembang seperti Indonesia memiliki beberapa alasan untuk
mengadakan BUMN, diantaranya adalah untuk menyeimbangkan atau menggantikan posisi
swasta yang lemah. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan rasio investasi, alih teknologi,
meningkatkan sector ketenagakerjaan, dan memproduksi barang- barang dengan harga
terjangkau.Akan tetapi masih banyak BUMN yang secara ekonomi tidak berjalan efisien.
Kondisi yang seperti ini menyebabkan besar kemungkinan bahwa BUMN akan menjadi
penyebab persoalan besarnya beban yang ditanggung langsung oleh negara dalam upaya
mempertahankan pengelolaannya. untuk mengoptimalkan peran BUMN, pengurusan dan
pengawasannya harus dilakukan secara professional.
Pada makalah ini akan membahas yang menyangkut BUMN khususnya yang
berbentuk Perseroan Terbatas (Persero) sehingga dapat diartikan sebagai suatu badan usaha
yang melakukan kegiatan usaha yang modalnya 51% dimiliki oleh negara. Pengaturan tentang
Perseroan terbatas (PT) sebagai suatu badan hukum telah ada dalam Undang- undang Nomer
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut UUPT. Didalam UUPT
tersebut terdapat ketentuan mengenai tanggung jawab direksi atas pengurusan perseroan. Hal
ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa direksi
menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan. dan sesuai dengan maksud
dan tujuan perseroan.Disebutkan juga dalam ketentuan Pasal 98 ayat(1) UUPT yang
menyatakan bahwa direksi mewakili perseroan baik didalam maupun di luar pengadilan.
Tanggung jawab pengurusan ini mengandung makna bahwa direksi ditugaskan dan
berwenang unutk mengatur atau mengelola kegiatan- kegiatan perseroan terbatas; dan
mewakili perseroan terbatas di dalam dan di luar pengadilan.
Pengaturan mengenai pegurusan BUMN diatur dalam Undang- Undang Nomer 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang menyatakan bahwa:
1. Pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi
2. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan
tujuan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN, baik di
dalam maupun di luar pengadilan.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi anggaran dasar
BUMN dan peraturan perundang- undangan serta wajib melaksanakan prinsipprinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban serta kewajaran.
4

Pada dasarnya ketentuan antara undang- undang tanggung jawab direksi perseroan
dan undang undang yang mengatur mengenai pengurusan BUMN tidak memiliki perbedaan.
Hanya dalam misi, maksud, dan tujuan serta ditegaskannya pelaksanaan prinsip- prinsip tata
kelola perusahaan yang baik sebagaimana ditegaskan dalam pasal 5 ayat(3) UU BUMN
tersebut kepada direksi yang berbeda antara perseroan terbatas swasta dengan BUMN.
Namun yang menjadi pemikiran adalah adanya perbedaan mengenai harta kekayaan
atau asset dimana harta kekayaan BUMN persero tidak jelas statusnya karena dimasukkan
sebagai harta kekayaan negara.
Sebagai contoh fenomena yang terjadi mengenai kepengurusan direksi BUMN adalah
adanya tindakan penyimpangan yang dilakukan direksi. Contoh kasusnya yaitu kasus korupsi
yang menimpa direktur Utama Bank Mandiri dan kawan- kawan yang diajukan ke pengadilan
pidana korupsi dalam kasus kredit macet.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah Pertanggung jawaban
hukum direksi dalam pengurusan BUMN adalah sebagai berikut:
1. Bagaimnana kedudukan dan peran direksi dalam pengurusan BUMN
2. Bagaimana tanggung jawab hukum direksi dalam pengurusan BUMN
3. Bagaimana penerapan Bussiness judgement rule
C. Tujuan Penulisan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan tadi, maka tujuan yang ingin dicapai
dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui kedudukan dan peran direksi dalam pengurusan BUMN
2. Untuk mengetahui tanggung jawab hokum direksi dalam pengurusan BUMN
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan business Judgement Rule

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan dan Peran Direksi Menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas


Mengenai kedudukan dan peran direksi tidak diatur secara tegas dan jelas dalam
ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas maupun Undang-Undang BUMN. Tetapi
sebagai organ yang diberi tugas dan tanggung jawab dalam pengurusan perseroan, maka
kedudukan dan peranan direksi dapat dikatakan sangat penting dan vital karena tanpa organ
ini, suatu perseroan tidak mungkin menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Sama
halnya dengan organisasi non komersial seperti yayasan misalnya tanpa pengurus, suatu
yayasan tidak mungkin dapat mencapai maksud dan tujuannya. Demikian halnya suatu
perseroan tanpa keberadaan direksi, suatu perseroan tidak mungkin dapat dikelola dan
diurus dengan baik.
Kewenangan pengurus perseroan diberikan oleh Undang-Undang kepada direksi untk
melakukan tindakan-tindakan hukum yang diperlukan atau kewenangan kepengurusan
dipercayakan kepada direksi dengan itikad baik senantiasa bertindak semata-mata demi
kepentingan, maksud dan tujuan perseroan. Direksi sebagai organ perseroan terbatas adalah
mewakili kepentingan perseroan selaku subjek hukum mandiri. Hal ini dikarenakan
keberadaan perseroan terbatas adalah sebab keberadaannya direksi, karena apabila tidak ada
perseroan terbatas, direksi juga tidak akan pernah ada. Ini yang menjadi alasan bahwa
direksi harus selamanya mengabdi kepada kepentingan perseroan terbatas.
Dalam hal direksi melakukan kesalahan atau kelalaian dalam mengurus perseroan
yang berakibat menimbulkan kerugian bagi perseroan, pemegang saham yang memiliki
minimal 10% jumlah saham perseroan dengan hak suara yang sah berhak mengajukan
gugatan kepada pengadilan atas tindakan direksi yang merugikan perseroan. Doktrin
business judgement rule merupakan salah satu kriteria terhadap pantas tidaknya pihak luar,
termasuk pengadilan untuk mencampuri urusan perusahaan, khususnya urusan yang
dilakukan oleh direksi.
Prinsip-prinsip kepengurusan direksi berdasarkan ketentuan baik yang diatur dalam
ketentuan UUPT maupun UU BUMN tidaklah berbeda, yaitu :
a. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penu atas kepengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di

dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 92 ayat
(1), Pasal 97 ayat (1), dan Pasal 98 ayat (1) UUPT).
b. Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab penuh atas kepengurusan BUMN
untuk kepentinagn dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di
luar pengadilan (Pasal 5 UU BUMN).
c. Kewengan kepengurusan direksi tidak dapat dibagi dengan organ lainnya (komisaris)
sehingga setiap tindakan direksi yang dijalankan dengan itikad baik tidak perlu diikat
dengan adanya persetujuan komisaris.
Hal ini berarti direksi memiliki kekuasaan dan kemandirian dalam menjalankan tugas
pengurusan BUMN. Oleh karena itu, organ lain (RUPS dan komisaris) dan/atau
instansi/lembaga pemerintah tidak boleh ikut campur tangan dalam pengurusan BUMN.
Tugas dan wewenang direksi menurut Pasal 92 ayat (1) UUPT, pengurusan perseroan
terbatas dipercayakan kepada direksi. Lebih jelasnya Pasal 97 ayat (1) dan Pasal 98 ayat (1)
UUPT menyatakan bahwa direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam maupun di luar
pengadilan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa direksi ditugaskan dan berwenang untuk
mengatur atau mengelola kegiatan-kegiatan perseroan terbatas, mengurus kekayaan
perseroan, serta mewakili perseroan di dalam maupun di luar pengadilan.
Pengelolaan perseroan terbatas ada pada perwujudan doktrin Fiduciary Duty dan
Business Judgement Rule. Sebagai organisasi yang mewadahi kegiatan ekonomi, organ
perusahaan (Direksi, Dekom, dan RUPS), utamanya Direksi yang ditugasi mengelola
perusahaan, harus melakukan terobosan, pembaharuan, serta upaya menangkap peluang
yang meski dilakukan dengan penuh perhitungan dalam menghadapi risiko usaha,
sebagaimana layaknya sebuah bisnis, bisa memberikan keuntungan dan bisa juga mengalami
kerugian.
Sebelum masuk pada pembahasan ada baiknya memperjelas apa yang dimaksud
dengan doktrin Fiduciary Duty dan Business Judgement Rule. Fiduciary Duty berasal dari
kata fiduciary yang berarti kepercayaan dan Duty yang bermakna tugas. Dengan demikian
fiduciary duty diartikan sebagai seseorang yang memegang amanah atas dasar kepercayaan
untuk kepentingan pihak lain, dalam hal ini, untuk kepentingan perseroan. Doktrin ini
dilengkapi dengan doktrin Piercing the Corporate Veil, yang maknanya pemegang saham,
direktur dan komisaris, jika tidak melaksanakan doktrin Fiduciary Duty yang kemudian
menyebabkan kerugian kepada perseroan, dimungkinkan dimintai pertanggung jawaban
sampai pada aset pribadi. Sedangkan yang dimaksud dengan Business Judgement Rule

adalah kewenangan untuk membuat kebijakan bisnis untuk semata-mata kepentingan


perseroan.
Pelaksanaan doktrin Fiduciary Duty bagi Direksi dan Dewan Komisaris perlu
diseimbangkan dengan pelaksanaan doktrin Business Judgement Rule, jika tidak, maka
tidak mungkin dapat melakukan kepengurusan bisnis perseroan dengan baik. Bayangkan
jika Direksi hanya memiliki tanggung jawab saja tanpa ada kewenangan dalam
menggunakan aset dan sumber daya perseroan untuk mengelola peluang bisnis, sudah dapat
dipastikan kegiatan bisnis perusahaan tidak akan berjalan.
Dalam konteks BUMN sebagai perseroan terbatas, sudah selayaknya juga
mendapatkan kewajiban dan hak yang berimbang dalam menjalankan doktrin Fiduciary
Duty dan Business Judgement Rule. Jika tidak berimbang, lebih besar kewajiban dalam
melaksanakan amanah dibanding kewenangan dalam membuat kebijakan, maka tentu tidak
akan ada terobosan untuk menggali peluang bisnis, karena selalu diliputi kekhawatiran dapat
digugat sampai aset pribadi.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
keuangan BUMN juga dinyatakan sebagai keuangan negara. Ini terlihat pada bunyi Pasal 2
huruf (g) yang menetapkan bahwa keuangan negara termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara dan atau perusahaan daerah. Selanjutnya, Pasal 2 huruf (i)
menentukan keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah. Demikian pula menurut Pasal 1 angka
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dinyatakan
bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan. Bahkan dalam Penjelasan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa
keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan. Namun, di sisi lain, Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebutkan, modal BUMN
merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Disini terjadi pertentangan
antar peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, Pasal 2 ayat g dan i Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 telah membatasi pelaksanaan doktrin Business Judgement Rule
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Ditinjau dari Hukum Perseroan, pengambilan keputusan bisnis Perseroan Terbatas
BUMN seharusnya mendasarkan pada doktrin Business Judgement Rule yang mengandung
resiko komersial terbatas pada BUMN yang bersangkutan, namun dengan adanya Pasal 2
8

ayat g dan i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, resiko tersebut menjadi resiko nonkommersial (public risk) yang ditanggung oleh masyarakat sebagaimana diterapkan dalam
pelaksanaan APBN. Dengan kata lain, Negara sebagai pemegang saham seharusnya hanya
menanggung kerugian perseroan sebatas saham yang disetor, namun dengan adanya public
risk negara akan menanggung resiko melebihi saham yang disetor dan akan berdampak
pada APBN (azas perseroan limited liability menjadi unlimited liability).
Guna memberikan solusi tuntas, sudah waktunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara ditinjau kembali, termasuk penjelasan dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Peninjauan bisa dilakukan melalui
proses Mahkamah Konstitusi (uji materi).
Semangat antikorupsi sudah seharusnya terus menerus didengungkan. Hanya saja,
jangan sampai seseorang harus mendekam di penjara semata-mata karena ada kerugian
negara, sementara tidak ada niat jahat untuk merugikan negara. Solusinya, perlu
menyeimbangkan pelaksanaan doktrin Fiduciary Duty dengan doktrin Business Judgement
Rule dengan cara menghilangkan faktor pembelenggunya melalui uji materi ke Mahkamah
Konstitusi yang sudah dimohonkan oleh Pusat Pengkajian Masalah Strategis, Universitas
Indonesia bersama Forum Divisi Hukum Kementerian BUMN. Lebih lanjut BUMN persero
perlu memastikan pelaksanaan Good Corporate Governance secara konsisten. Pendekatan
ini sesuai dengan formula bahwa korupsi terjadi karena kewenangan tidak disertai dengan
akuntabilitas atau lebih lengkap lagi tidak disertai pelaksanaan GCG yang sebanding,
sebagaimana diperkenalkan oleh Biegelman dan Barton dalam jurnalnya berjudul Ethics
and Moral Development: Core Ingredients of a Compliance. (Artikel ini dimuat di harian
Bisnis Indonesia dengan judul: Doktrin Bisnis pada BUMN, Perlu Ada Keseimbangan
Pelaksanaan).
B.

Kedudukan dan Peran Direksi Menurut Undang-Undang BUMN


Mengurus perseroan (BUMN) semata-mata adalah tugas direksi yang tidak dapat

dicampuri pihak manapun selain organ BUMN. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal
91 UU BUMN yang menyatakan Selain organ BUMN, pihak lain manapun dilarang campur
tangan dalam pengurusan BUMN. Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU BUMN menyatakan bahwa
pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi. Demikian pula Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat
(1), dan Pasal 98 ayat (1) UUPT mengatakan hal yang sama bahwa pengurusan perseroan
dilakukan oleh direksi. Pasal 26 ayat (1) dan (2) serta Pasal 27 ayat (1) dan (2) PP Nomor 45
Tahun 2005 yang mengatur lebih lanjut tugas wewenang direksi. Dengan demikian untuk
mengetahui lebih lanjut tugas dan wewenang direksi dapat dilihat pengaturannya lebih lanjut
9

dalam anggaran dasar masing-masing BUMN. Pada dasarnya setiap anggaran dasar perseroan
(BUMN) mengatur tentang batasan wewenang direksi dalam mengurus dan megelola
kegiatan perseroan. Adapun perbuatan direksi yang diatur dalam anggaran dasar masingmasing perseroan disesuaikan dengan bidang usahanya.

C.

Tanggung Jawab Hukum Direksi dalam Pengurusan BUMN


Anggota direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan itikad baik (in good faith) dan

dengan penuh tanggung jawab (and with full sense of resposibility). Selama hal tersebut
dijalankan, para anggota direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang
merupakan ciri utama dari suatu pereroan atau perseroan terbatas. Namun apabila hal tersebut
dilanggar, artinya anggota direksi yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan
tugasnya, yang bersangkutan bisa dikenakan tanggung jawab penuh secara pribadi. Sebab
apabila seorang direktur dapat membuktikan bahwa hal tersebut bukan merupakan
kesalahannya, ia bisa dibebaskan dari tanggung jawab pribadi. Hal ini dikarenakan seorang
direktur dalam melaksanakan tugasnya tidak hanay terikat pada apa yang secara tegas
dicantumkan dalam maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, tetapi dia juga dapat
mengambil prakarsa guna mewujudkan kepentingan perseroan dengan melakukan perbuatan
(sekunder) yang menunjang dan memperlancar tugas-tugasnya.
D.
Studi Kasus Bank Mandiri
1. Abstraksi Kasus Bank Mandiri
Pada tahun 2007, tiga mantan Direksi Bank Mandiri yaitu Edward Cornellis
William Neloe (Direktur Utama PT. Bank Mandiri ), I Wayan Pugeg (Direktur Risk
Management PT Bank Mandiri ), M.Sholeh Tasripan ( mantan EVP Coordinator
Corporate & Government PT. Bank Mandiri) ditetapkan sebagai tersangka oleh jaksa
penuntut umum atas kasus kredit yang diberikan Bank Mandiri kepada PT. Cipta Graha
Nusantara( PT CGN) yang menyebabkan kerugian negara.
Kasus ini bermula ketika PT CGN pada tanggal 23 Oktober 2002 mengajukan
kredit senilai Rp. 160,000,000,000,- (seratus enam puluh miliyar). Menurut Jaksa, para
terdakwa dinilai tidak berhati- hati pada saat pemberian kredit tersebut. Para terdakwa
selaku pemutus kredit, menyetujui pemberian kredit tidak didasarkan kepada penilaian
yang jujur, objektif, cermat, dan seksama. Fasilitas kredit yang tertuang dalam Nota
Analisa Kredit Bridging Loan No. CGR.CRM/314/2002 tanggal 23 Oktober 2002 atas
nama PT. CGN hanya dibuat dalam waktu sehari, dimana seharusnya membutuhkan
waktu seminggu hingga satu bulan agar data dan fakta dapat dianalisa secara cermat dan
tidak keliru, serta sesuai dengan prisip kehati- hatian.
Dalam pemeriksaan ditingkat Pengadilan Negri Jakarta Selatan, majelis hakim
memutuskan para terdakwa tidak bersalah sebagimana didakwakan dalam dakwaan
10

primair, susidiair, lebih subsidiair, lebih subsidiair lagi, sehingga ketiga terdakwa pada
akhirnya di bebaskan oleh Pegadilan Negri Jakarta Selatan.
Atas putusan bebas itu, Jaksa penuntut umum mendaftarkan kasasi atas putusan
bebas tersebut. Permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dikabulkan oleh majelis kasasi
Mahkamah Agung (MA). Putusan hakim kasasi Mahkamah Agung (MA) menyatakan
ketiga terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan
pidana korupsi secara bersama- sama sehingga hakim kasasi Mahkama Agung (MA)
menjatuhkan hukuman pidana penjara masing- masing selama 10 (sepuluh) tahun, dan
hukuman denda masing- masing Rp. 500,000,000,- (lima ratus juta rupiah), subsidiair
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan
2. Analisis Kasus
Mencermati kasus E.C.W. Neloe dkk pada Bank Mandiri sungguh menarik oleh
karena pihak-pihak yang terlibat menangani kasus hukum ini mengajukan berbagai
argumentasi hukum untuk memperkuat dalil-dalilnya. Berbagai peraturan perundangundangan dikemukakan. Dalam kasus ini tersirat bahwa Pengacara/Penasehat Hukum
E.C.W. Noloe dkk dari sudut pandangnya merasa proses hukum tidak dilakukan
dengan benar. Pemahaman tentang keadilan sangat sulit dikemukakan arti
sesungguhnya yang dapat diterima oleh semua kalangan, oleh karena adil bagi satu
orang belom tentu dirasakan adil bagi yang lain. Namun demikian, proses untuk
menemukan keadilan harus ada batas akhirnya untuk menjamin adanya kepastian
hukum.
Argumen-argumen hukum yang dikemukakan oleh pihak yang terlibat dalam proses
hukum E.C.W. Noloe dkk antara lain diajukan oleh:
a) Jaksa Penuntut Hukum mendakwa E.C.W. Noloe dkk atas dasar adanya kerugian
negara sebagaimana dirumuskan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak
ada yang sah. Perumusan pengertian keuangan negara dalam undang-undang
tersebut menganut paham pengertian keuangan negara yang luas, yaitu bahwa
penyertaan modal negara pada Bank Mandiri merupakan kekayaan negara.
Sehingga apabila Bank Mandiri selaku BUMN persero yang modalnya dari
pernyataan modal negara yang dipisahkan yang berasal dari APBN mengalami
kerugian dalam transaksi bisnisnya, maka disitu patut diduga adanya kerugian
negara.
b) Pengacara/Penasehat Hukum E.C.W. Noloe dkk mengajukan pembelaan dengan
menitikberatkan pada argumentasi hukukm bahwa yang dilakukan E.C.W. Noloe
dkk dengan Bank Mandiri sebagai subyek hukum yang mandiri melakukan
perbuatan hukum dalam ramah hukum privat yaitu melakukan pengikatan kredit
11

antara kreditur dan debitur dengan barang jaminan. Apabila dalam transaksi
bisnis anatara mereka terdapat salah satu pihak wanprestasi maka harus juga
diselesaikan dengan mekanisme hukum privat.
c) Majelis kasasi Mahkamah Agung yang diketuai MA Bagir Maman, dalam
putusan nomor 1144

K/Pid/2006 mengabulkan permohonan kasasi jaksa

penuntut umum kejaksaan negeri Jakarta selatan. Majelis menyatakan para


terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidan
korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Masing-masing dipidana penjara
selama 10 tahun dan denda 500 juta subsidiair 6 bulan kurungan.
Menjadi tugas direksi memimpin operasional perusahaan sehari-hari untuk mengejar
keuangan. Tidak seorang pun dapat memastikan dan menjamin setiap usaha akan selalu
mendapatkan keuntungan atau kalu di bidang jasa keuangan perbankan bahwa setiap
pemberian kredit kepada si berhutang akan selalu lancer pembeliannya.
Apakah direksi harus selalu bertanggung jawab ? direksi yang telah melaksanakn
tugas dengan baik, penuh dengan kehati-hatian , melaksanakn dengan professional dan
tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar perusahaan
aturan perusahaan apabila perusahaan tetap mengalami kerugian, maka direksi harus
dilindungi.
Memperhatikan hal tersebut menarik untuk menganalisis Keputusan Mahkamah
Agung mengabulkan kasasi Jaksa dan menghukum E.C.W. Neloe, I Wayan Pugeg, M Soleh
Tasripan selaku Direksi Bank Mandiri, karena terbukti berslah melakukan tindak pidana
korupsi pada Bank Mandiri. E.C.W. Noloe dalam kedudukannya selaku Direktur Utama Bnak
Mndiri berdasarkan UUPT adalah merupakan subyek hukum mandiri, penyandang hak dan
kewajiban yang diakui hukum sebagai layaknya manusia sebagai subyek hukum.
Pertimbangan hukum yang utama dari Hakim Agung yang memeriksa kasus H.C.W.
Noloe dkk menilai, bahwa direksi selaku pemutus kredit tidak bertindak hati-hati, jujur, dan
cermat dalam memutus pemberian kredit kepada PT CGN. Kredit diajukan oleh PT CGN
cukup besar senilai Rp. 100 miliar. Sementara itu Peraturan Bank Mandiri mengenai
penyaluran kredit sebagaimana diatur dalam artikel 520 Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri
Tahun 2000. Memastikan bahwa setiap kredit yang diberikan telah memenuhi norma-norma
umum perbankan dan telah memenuhi norma-norma umum perbankan dan telah sesuai
dengan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu:
a. Memastikan bahwa pelaksanaan pemberian kredit telah sesuai dengan ketentuan
dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kredit

12

b. Memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur,
objektif, cermat dan seksama serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang
berkepentinagn denagn pemohonan kredit.
c. Meyakini bahwa kredit yang akan diberikan dapat dilunasi pada waktunya dan tidak
akan berkembang menjadi kredit bermasalah.
E.C.W Noloe selaku Direksi Bank Mandiri merupak orang yang dipercaya oleh
pemegang saham untuk melakukan pengurusan untuk kepentingan dan tujuan Bank Mandiri
tetapi juga tugas representasi baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam kenyataannya
E.C.W. Noloe selaku pemutus kredit tidak melakukan itu. Memutus kredit dalam waktu yang
singkat, bertindak sembrono, dan tidak hati-hati. Dalam koteks pengucuran kredit dari Bank
Mandiri kepada PT. CGN, diharapkan para direksi dapat mengendalikan kegiatan perkreditan.
Terkait dengan penerapan GCG di lingkungan BUMN seharusnya E.C.W. Noloe selaku
Direksi Bank Mandiri meyakini bahwa melalui prinsip-prinsip GCG dengan melakukan
pengurusan persero sesuai dengan undang-undang, anggaran dasar, dan peraturan persero
yang ada merupakan hal yang mendasar untuk mendapatkan dan mempertahankan
kepercayaan para investor serta untuk mencapai sasaran perseroan denagn cara yang
berintegritas. Dari fakta-fakta yang terungkap di pengadilan hal itu tidak dilakukan, mantan
Direksi Bank itu selaku pemutus kredit tidak melaksanakan fungsinya sebagai seorang
pemegang amanah , dalam hukum korporasi dikenal dengan tidak melakukan standard of care
sehingga melanggar duty of care. Pelanggran terhadap prinsip duty of care direksi harus
bertanggung jawab pribadi secara tanggung renteng.

13

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
I.

Kesimpulan
1. Tidak ada rumusan yang jelas dan pasti mengenai kedudukan dan peranan direksi
dalam melakukan pengurusan BUMN. UU BUMN hanya menyebutkan bahwa
direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab penuh ata pengurusan BUMN
dan mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dari tugas dan
tanggung jawab tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa direksi mempunyai
kedudukan dan peranan dalam mengurus dan mengelola agar BUMN berhasil
mencapai tujuannya.
2. Tanggung jawab direksi dalam pengurusan BUMN meliputi tanggung jawab pidana
dan tanggung jawab perdata. Tanggung jawab pidana terjadi saat direksi melakukan
tindakan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya dalam melakukan pengurusan
BUMN, seperti melakukan korupsi yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi
perseroan maupun pihak ketiga. Tanggung jawab perdata terjadi saat direksi
melakukan kesalahan dan kelalaian yang mengakibatkan kerugian bagi pihak
perseroan maupun pihak ketiga.
3. Direksi yang telah menjalankan tugasnya melakukan pengurusan BUMN dengan
penuh ketelitian dan tanggung jawab, apabila mengalami kerugian dalam transaksi
bisnisnya dapat dilakukan pembelaan terhadap dirinya melalui doktrin business
judgement rule.

II.

Saran
1. Kedudukan dan peranan direksi dalam melakukan pengurusan BUMN harus diatur
secara tegas dalam UU BUMN, untuk itu UU BUMN harus direvisi agar tidak ada
campur tangan dari pihak lain dalam hal direksi menjalankan tugasnya. Setiap
anggota direksi hendaknya bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan kewajiban dan
wewenangnya yang telah diatur dalam undang-undang dan juga anggaran dasar
perusahaan.
2. Setiap perusahaan wajib menerapkan prinsip tata kelola perusahaan untuk
meningkatkan kinerja perusahaan dan mempertahankan kepercayaan masyarakat serta
untuk mencapai sasaran perusahaan dengan cara yang berintegritas. Dengan cara ini
diharapkan tidak lagi terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh direksi.
Direksi dapat menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan aturan yang berlaku

14

DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang- undangan
Undang- Undang Nomer 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang- Undang Nomer 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Peraturan Pemerintah Nomer 44 Tahun 2005 Tentang tata cara Penyertaan dan
Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan
Perseroan Terbatas
B. Jurnal Hukum dan Makalah
Nasution, Bismar, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan, Jurnal Hukum,
Volume01, Nomor 01, 2005
C. Artikel Online
Harian Suara Merdeka, ( online),
(http://www.suaramerdeka.com/harian/0602/01/nas01.htm) diakses pada tanggal 26
oktober 2015

15

Anda mungkin juga menyukai