Anda di halaman 1dari 40

Evolusi Bintang

Seperti manusia, bintang juga mengalami perubahan tahap kehidupan. Sebutannya adalah
evolusi. Mempelajari evolusi bintang sangat penting bagi manusia, terutama karena kehidupan
kita bergantung pada matahari. Matahari sebagai bintang terdekat harus kita kenali sifat-sifatnya
lebih jauh.
Dalam mempelajari evolusi bintang, kita tidak bisa mengikutinya sejak kelahiran sampai akhir
evolusinya. Usia manusia tidak akan cukup untuk mengamati bintang yang memiliki usia hingga
milyaran tahun. Jika demikian tentunya timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa menyimpulkan
tahap-tahap evolusi sebuah bintang?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan kembali menganalogikan bintang dengan manusia.
Jumlah manusia di bumi dan bintang di angkasa sangat banyak dengan usia yang berbeda-beda.
Kita bisa mengamati kondisi manusia dan bintang yang berada pada usia/tahapan evolusi yang
berbeda-beda. Ditambah dengan pemodelan, akhirnya kita bisa menyusun teori evolusi bintang
tanpa harus mengamati sebuah bintang sejak kelahiran hingga akhir evolusinya.
Kelahiran bintang
Bintang lahir dari sekumpulan awan gas dan debu yang kita sebut nebula. Ukuran awan ini
sangat besar (diameternya mencapai puluhan SA) tetapi kerapatannya sangat rendah. Awal dari
pembentukan bintang dimulai ketika ada gangguan gravitasi (misalnya, ada bintang
meledak/supernova), maka partikel-partikel dalam nebula tersebut akan bergerak merapat dan
memulai interaksi gravitasi di antara mereka setelah sebelumnya tetap dalam keadaan setimbang.
Akibatnya, partikel saling bertumbukan dan temperatur naik.

Eagle Nebula, tempat kelahiran bintang (Sumber: Hubblesite)


Semakin banyak partikel yang merapat berarti semakin besar gaya gravitasinya dan semakin
banyak lagi partikel yang ditarik. Pengerutan awan ini terus berlangsung hingga bagian intinya
semakin panas. Panas tersebut dapat mendorong awan di sekitarnya. Hal ini memicu terjadinya
proses pembentukan bintang di sekitarnya. Demikian seterusnya hingga terbentuk banyak
bintang dalam sebuah awan besar. Maka tidaklah heran jika kita mengamati sekelompok bintang
yang lahir pada waktu yang berdekatan di lokasi yang sama. Kelompok bintang inilah yang biasa
kita sebut dengan gugus.
Akibat pengerutan oleh gravitasi, temperatur dan tekanan di dalam awan naik sehingga
pengerutan melambat. Di tahap ini, bola gas yang terbentuk disebut dengan proto bintang.
Apabila massanya kurang dari 0,1 massa Matahari, maka proses pengerutan akan terus terjadi
hingga tekanan dari pusat bisa mengimbanginya. Pada saat tercapai kesetimbangan, temperatur
di bagian pusat awan itu tidak cukup panas untuk dimulainya proses pembakaran hidrogen.
Maksud dari pembakaran di sini adalah reaksi fusi atom hidrogen menjadi helium. Awan ini pun
gagal menjadi bintang dan disebut dengan katai gelap.
Jika massanya lebih dari 0,1 massa Matahari, bagian pusat proto bintang memiliki temperatur
yang cukup untuk memulai reaksi fusi saat dirinya setimbang. Reaksi ini akan terus terjadi
hingga helium yang sudah terbentuk mencapai 10 20 % massa bintang. Setelah itu pembakaran
akan terhenti, tekanan dari pusat menurun, dan bagian pusat ini runtuh dengan cepat. Akibatnya
temperatur inti naik dan bagian luar bintang mengembang. Saat ini, bintang menjadi raksasa dan
tahap pembakaran helium menjadi karbon pun dimulai. Di lapisan berikutnya, berlangsung
pembakaran hidrogen menjadi helium. Setelah ini kembali akan kita lihat bahwa evolusi bintang
sangat bergantung pada massa.

Untuk bintang bermassa kecil (0,1 0,5 massa Matahari), proses pembakaran hidrogen dan
helium akan terus berlangsung sampai akhirnya bintang itu menjadi katai putih. Sedangkan pada
bintang bermassa 0,5 6 massa Matahari, pembakaran karbon dimulai setelah helium di inti
bintang habis. Proses ini tidaklah stabil, akibatnya bintang berdenyut. Bagian luar bintang
mengembang dan mengerut secara periodik sebelum akhirnya terlontar membentuk planetary
nebula. Bagian bintang yang tersisa akan mengerut dan membentuk bintang katai putih.
Berikutnya adalah bintang bermassa besar (lebih dari 6 massa Matahari). Di bintang ini
pembakaran karbon berlanjut hingga terbentuk neon. Lalu neon pun mengalami fusi membentuk
oksigen. Begitu seterusnya hingga secara berturut-turut terbentuk silikon, nikel, dan terakhir
besi. Kita bisa lihat di diagram penampang bintang di bawah ini, bahwa reaksi fusi sebelumnya
tetap terjadi di luar lapisan inti. Sehingga ada banyak lapisan reaksi fusi yang terbentuk ketika di
bagian pusat bintang sedang terbentuk besi.

Lapisan-lapisan reaksi fusi (Sumber: Wikipedia)


Evolusi Lanjut
Setelah reaksi yang membentuk besi terhenti, tidak ada proses pembakaran selanjutnya.
Akibatnya, tekanan menurun dan bagian inti bintang memampat. Karena begitu padatnya, jarak
antara neutroon dan elektron pun mengecil sehingga elektron bergabung dengan neutron dan
proton. Peristiwa ini menghasilkan tekanan yang sangat besar dan mengakibatkan bagian luar
bintang dilontarkan dengan cepat. Inilah yang disebut dengan supernova.
Apa yang terjadi setelah supernova bergantung pada massa bagian inti bintang yang tadi
terbentuk. Apabila di bawah 5 massa Matahari (batas massa Schwarzchild), supernova
menyisakan bintang neutron. Disebut demikian karena partikel dalam bintang ini hanya neutron.
Bintang neutron biasanya terdeteksi sebagai pulsar (pulsating radio source, sumber gelombang
radio yang berputar). Pulsar adalah bintang yang berputar dengan sangat cepat, periodenya hanya
dalam orde detik. Putarannya itulah yang menyebabkan pulsasi pancaran gelombang radionya.

Diagram evolusi berbagai bintang (Sumber: Chandra Harvard)


Di atas 5 massa Matahari, gaya gravitasi di inti bintang begitu besarnya sehingga dirinya runtuh
dan kecepatan lepas partikelnya melebihi kecepatan cahaya. Objek seperti ini disebut dengan
lubang hitam. Tidak ada objek yang sanggup lepas dari pengaruh gravitasinya, termasuk cahaya
sekalipun. Makanya benda ini disebut lubang hitam, karena tidak memancarkan gelombang
elektromagnetik. Satu-satunya cara untuk mendeteksi keberadaan lubang hitam adalah dari
interaksi gravitasinya dengan benda-benda di sekitarnya. Pusat galaksi kita adalah salah satu
lokasi ditemukannya lubang hitam. Kesimpulan ini diambil karena bintang-bintang di pusat
galaksi bergerak dengan sangat cepat, dan kecepatannya itu hanya bisa ditimbulkan oleh gaya
gravitasi yang sangat kuat, yaitu oleh sebuah lubang hitam.
Hingga saat ini, pengamatan terhadap bintang-bintang masih terus dilakukan. Teori evolusi
bintang di atas bisa saja berubah kalau ada bukti-bukti baru. Tidak ada yang kekal dalam sains,
dan tidak ada kebenaran mutlak. Apa yang menjadi kebenaran saat ini bisa saja terbantahkan di
kemudian hari. Itulah uniknya sains: dinamis.

Matahari, Bintang Terbaik Yang Kita Miliki


Matahari kita adalah sebuah bintang, yaitu bola gas panas raksasa yang mengeluarkan energi dan
cahaya. Ukurannya begitu besar dibandingkan dengan Bumi dan planet-planet lainnya. Namun
sebenarnya, Matahari termasuk bintang yang ukurannya biasa saja. Masih banyak bintang lain
yang berukuran jauh lebih besar ataupun jauh lebih kecil darinya. Tetapi tetap saja Matahari
adalah satu bintang yang sangat istimewa bagi manusia, Bumi, dan tata surya kita.
Matahari memiliki diameter 1,4 juta km dan massa 1,9 x 10^30 kg. Di galaksi Bimasakti, ukuran
sebesar ini termasuk dalam 10% yang terbesar. Jauh lebih banyak bintang dengan ukuran dan
massa yang lebih kecil (yang terbanyak adalah bintang dengan massa setengah massa Matahari).

Matahari (Sumber: wikipedia)


Matahari adalah bintang deret utama dengan kelas G2. Materi penyusunnya adalah hidrogen
sebanyak 70%, helium 28%, dan sisanya unsur berat lain. Permukaannya (fotosfer) bersuhu
5.800 K, sedangkan di bagian pusat suhunya mencapai 15 juta K. Cahaya Matahari yang
berwarna putih kekuningan yang bisa kita lihat berasal dari lapisan fotosfer. Di lapisan ini
terdapat banyak kejadian menarik, di antaranya adalah bintik Matahari, granulasi, prominensa,
dan filamen. Di bagian luar terdapat atmosfer yang disebut korona yang temperaturnya mencapai
5 juta K. Tingginya temperatur korona ini diperkirakan berkaitan dengan aktivitas medan
magnetik Matahari yang sangat intensif. Karena terangnya fotosfer, kita tidak dapat mengamati
korona kecuali ketika terjadi gerhana Matahari total.
Sebagai sebuah bintang, Matahari memiliki pabrik pembangkit energi yang sangat aktif di bagian
pusatnya. Di bagian yang kerapatannya sangat tinggi ini (150 kali kerapatan air), atom-atom
hidrogen bereaksi membentuk helium dalam serangkaian reaksi. Reaksi penggabungan (fusi) ini
menghasilkan energi yang sangat besar, yaitu 386 miliar miliar juta watt. Setiap detiknya,
sebanyak 700 juta ton hidrogen diubah menjadi 695 juta ton helium dan 5 juta ton energi dalam
bentuk sinar gamma.

Korona Matahari terlihat ketika gerhana Matahari total (Sumber: wikipedia)


Bintik Matahari adalah suatu area gelap di fotosfer yang suhunya lebih rendah relatif terhadap
sekitarnya (3800 K berbanding 5800 K). Keberadaannya bergantung pada aktivitas medan
magnet di Matahari. Dan jumlahnya akan meningkat atau menurun secara periodik, setiap 11
tahun sekali. Jika jumlahnya sangat banyak, maka kita sebut Matahari sedang berada dalam masa
aktif. Diperkirakan puncak dari keaktifan Matahari yang berikutnya akan terjadi pada tahun 2013
nanti. Mungkin kita sering mendengar hal ini dari isu kiamat 2012, namun tentu saja keduanya
tidak berkaitan.

Diagram penampang Matahari (Sumber: wikipedia)


Sebagaimana manusia, bintang juga lahir, tumbuh besar, lalu mati. Semakin besar massa sebuah
bintang, maka kala hidupnya semakin singkat dan sebaliknya. Usia Matahari saat ini, atau sama
dengan usia tata surya kita, adalah sekitar 4,57 milyar tahun. Diperkirakan Matahari masih akan
terus seperti sekarang hingga 5 milyar tahun lagi. Setelah itu, Matahari akan memasuki fase

raksasa merah (red giant). Disebut demikian karena ukurannya akan membesar hingga 250 kali
lipat dan mungkin akan mencapai orbit Bumi (sejauh 150 juta km).

Diagram Evolusi Matahari (Sumber: wikipedia)


Evolusi seperti ini adalah hal yang biasa untuk bintang bermassa kecil dan menengah. Di akhir
kehidupannya, Matahari tidak akan menjadi supernova dan lubang hitam karena evolusi tersebut
hanya untuk bintang bermassa besar. Setelah tahap raksasa merah, kemudian Matahari akan
melontarkan lapisan luarnya hingga membentuk planetary nebula. Bagian yang tersisa dari
Matahari hanyalah intinya saja, yang disebut dengan bintang katai putih (white dwarf). Akhirnya
ia akan mendingin secara perlahan hingga milyaran tahun.
Peran penting Matahari bagi masyarakat sudah tampak dari berbagai peradaban kuno. Di jaman
Yunani kuno Matahari disebut dan dipuja sebagai dewa Helios. Sedangkan di jaman Romawi
Matahari diperlakukan sama dengan sebutan Sol. Matahari juga berperan penting di tata surya
kita. Massanya mencapai 99,86% dari massa total tata surya, begitu dominan sehingga titik pusat
massa tata surya kita ada di dalam Matahari itu sendiri. Akibatnya semua benda di tata surya
seolah-olah tampak bergerak mengeliingi Matahari (padahal mengelilingi pusat massa tata
surya). Matahari pun tidak tinggal diam di galaksi kita. Bersama seluruh tata surya, Matahari
mengajak kita mengelilingi pusat galaksi Bimasakti dengan periode sekitar 220 juta tahun.
Cahaya yang dipancarkan Matahari sangat membantu kita dalam banyak hal. Selain memberikan
panasnya di siang hari, informasi yang ada di dalam cahaya Matahari berperan besar dalam
pengetahuan yang kita miliki sekarang tentang bintang-bintang di alam semesta. Dalam jarak
yang tepat, cahayanya juga memberikan jaminan terhadap kebutuhan energi yang diperlukan
dalam kehidupan di Bumi.
Spektrum Matahari juga berjasa dalam banyak hal. Dahulu saat spektrum Matahari dipelajari
pertama kali, manusia menemukan unsur helium. Unsur ini dinamakan demikian karena saat itu
hanya ditemukan di Matahari. Dan dari spektrum inilah kita mengetahui bahwa Matahari dan
bintang adalah benda yang sejenis.
Singkat kata, Matahari adalah benda percobaan terdekat bagi astronom di laboratorium alam
semesta dalam meneliti bintang. Berbagai misi luar angkasa yang khusus meneliti Matahari telah
dan akan diluncurkan demi mengenal Matahari lebih dekat, seperti Pioneer, Helios, SOHO,
Genesis, Stereo, dan lain-lain.
Sejak tata surya terbentuk hingga sekarang, peran Matahari dalam mendukung kehidupan di
Bumi sangatlah besar. Namun tidak selamanya akan berjalan begitu, karena dalam evolusinya
Matahari akan memanas dan membesar. Saat itu, Matahari sudah tidak lagi mendukung
kehidupan. Bahkan ia akan menelan dan menghancurkan Merkurius, Venus, dan kemudian

mungkin juga Bumi. Akankah kehidupan di Bumi saat itu sudah berpindah ke planet lain? Atau
mungkin ke planet di bintang lain, galaksi lain? Tidak ada yang tahu memang, tetapi sebaiknya
begitu demi kelangsungan kehidupan di alam semesta.

Hujan Meteor Quadrantids


Hujan meteor Quadrantid adalah salah satu hujan meteor yang terbaik dalam setahun. Jumlah
meteor mencapai 100 buah per jam. Asal radian dari hujan meteor ini adalah di dekat rasi Bootes,
yang terletak di belahan langit utara.
Sedikit berbeda dengan penamaan hujan meteor lainnya, hujan meteor ini dinamakan sesuai
dengan rasi yang kini sudah tidak ada lagi. Rasi yang dimaksud adalah Quadran Muralis. Rasi
yang ditemukan oleh J. Lalande pada tahun 1795 ini terletak dekat ekor dari Ursa Major, di
antara Bootes dan Draco. Rasi ini menunjukkan alat mural quadrant, yang biasa digunakan untuk
menentukan posisi benda langit.

Rasi Quadran Muralis (Sumber: www.pa.msu.edu)


Hujan meteor ini terjadi pada pekan pertama Januari, dengan puncaknya berada pada tanggal 3
Januari. Rasi Bootes akan terbit sekitar pukul 2 dini hari, sehingga hujan meteor ini akan dapat
disaksikan dengan lebih baik sekitar pukul 3, setelah arah radiannya sudah cukup tinggi di langit
sebelah timur.

Mengamati hujan meteor Quadrantids (Sumber: science.nasa.gov)


Hujan meteor ini pertama kali diamati pada tahun 1825. Namun posisinya yang berada jauh di
utara menyebabkan hujan meteor ini sering tidak dapat diamati dengan baik. Karena di bulan
Januari, belahan bumi utara mengalami musim dingin, sehingga langit tidak terlalu bersahabat.
Selain itu juga karena puncak dari hujan meteor ini hanya berlangsung sekitar 2 jam saja.
Berbeda dengan kebanyakan hujan meteor lainnya, asal material hujan meteor ini tidak diketahui
dengan pasti. Dugaannya adalah komet yang menjadi sumber hujan meteor ini sudah hancur
sejak lama.

Aurora dan meteor-meteor Quadrantids (Sumber: APOD)

Gerhana Bulan Sebagian dan Gerhana


Matahari Cincin Di Awal Tahun 2010
Selamat tahun baru semuanya! Ya, tahun 2009 sudah diganti dengan tahun 2010. Walaupun
Tahun Astronomi Internasional sudah berakhir, janganlah bersedih terlalu lama karena di awal
tahun 2010 ini ada dua peristiwa astronomi yang menarik dan sayang untuk dilewatkan. Yang
satu sudah terlewati, yang satu lagi belum. Mari kita bersiap untuk mengamatinya.

Peristiwa spektakuler pertama di tahun 2010 ini adalah Gerhana Bulan Sebagian (GBS), yang
terjadi kurang dari 30 menit setelah pergantian tahun. Proses gerhana itu dimulai dengan
masuknya Bulan ke penumbra Bumi pada pukul 00.17 WIB. Namun dengan mata telanjang, kita
akan kesulitan melihat perbedaan kenampakan Bulan saat ini dengan sebelum gerhana terjadi.
Kita baru bisa melihat pemandangan yang membuat kita menahan nafas ketika waktu
menunjukkan pukul 01.53 WIB, yaitu saat Bulan mulai memasuki umbra Bumi. Bagian tepi
Bulan akan perlahan menghitam sedikit demi sedikit hingga mencapai puncaknya pada pukul
02.24 WIB dan kembali seperti semula pada pukul 02.53 WIB. Proses GBS ini berakhir
seluruhnya pada pukul 04.28 WIB. Di bawah ini adalah hasil pemotretan yang kami lakukan.

Gerhana Bulan Sebagian 1 Januari 2010


Apabila saat itu Anda tidak sempat menyaksikan GBS, peristiwa gerhana berikutnya mungkin
bisa Anda masukkan dalam jadwal sebagai salah satu peristiwa yang kami rekomendasikan untuk
diamati. Peristiwa yang kami maksud adalah Gerhana Matahari Cincin (GMC) pada tanggal 15
Januari 2010. Namun dari Indonesia, yang bisa kita amati hanyalah Gerhana Matahari Sebagian
(GMS) saja, karena tidak ada daerah di Indonesia yang dilalui oleh jalur totalitasnya, tidak
seperti GMC 26 Januari 2009 yang lalu.

Animasi Gerhana Matahari Total 100115


Daerah di Indonesia yang dapat menyaksikan gerhana nanti adalah seluruh Sumatra dan
Kalimantan, bagian barat pulau Jawa, dan bagian utara pulau Sulawesi. Meskipun begitu, proses
GMS akan bisa kita saksikan lebih baik apabila kita berada di wilayah barat Indonesia. Di sana

gerhana akan berlangsung lebih lama dan piringan Matahari yang tertutup oleh Bulan juga lebih
banyak dibandingkan dengan pengamatan di daerah timur.
Untuk pengamat yang berada di Banda Aceh, gerhana dimulai pada sekitar pukul 13.40 WIB dan
berakhir pada pukul 16.40 WIB. Luas daerah piringan Matahari yang tertutupi Bulan mencapai
46% pada saat maksimumnya, yaitu pada sekitar pukul 15.20 WIB. Jumlah tersebut jauh lebih
besar daripada hasil pengamatan di Manado yang hanya menutupi 0,3% daerah piringan
Matahari saja. Silakan lihat animasi kenampakan gerhana Matahari dari 4 kota di Indonesia,
yaitu Banda Aceh, Jakarta, Semarang, dan Manado (semuanya berumber dari eclipse.org.uk).
PERINGATAN. Satu hal penting yang HARUS DIPERHATIKAN ketika mengamati Matahari
adalah kita tidak boleh melihatnya secara langsung baik dengan mata telanjang ataupun dengan
alat optik seperti kamera, binokular, ataupun teleskop. Melakukan hal tersebut dapat
mengakibatkan KERUSAKAN MATA sementara ataupun permanen (KEBUTAAN). Amati
Matahari dengan menggunakan filter yang aman, dan jangan melihatnya secara terus menerus.
Amati paling lama 2 menit, kemudian berhenti dan baru amati lagi setelah 3 menit. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi kerusakan pada mata seandainya ada cacat pada filter yang kita
gunakan. Baca juga halaman ini. Selamat melakukan pengamatan.

Geosentris Dan Heliosentris Di Eropa (1)


Jika dilihat secara sepintas, benda-benda di langit tampak bergerak dari timur ke barat. Selama
satu hari satu malam, bintang-bintang, planet, Bulan, dan Matahari terbit dan tenggelam. Namun
sebenarnya bukan hanya gerakan terbit dan tenggelam saja yang terjadi pada benda-benda langit
tersebut. Ada yang bergerak dari ekuator ke utara, kembali ke ekuator, ke selatan, dan kembali
lagi ke ekuator dalam waktu satu bulan atau satu tahun, seperti Bulan atau Matahari. Ada objek
yang arah geraknya berubah-ubah dalam hitungan bulan. Awalnya bergerak dari barat ke timur
lalu berubah menjadi dari timur ke barat, lalu kembali lagi seperti semula, sebagaimana yang
terjadi dengan semua planet. Dan ada juga planet yang tidak pernah jauh dari Matahari, yang
hanya terlihat di barat setelah Matahari terbenam atau di timur sebelum Matahari terbit. Dari
gerakan benda-benda langit yang kompleks tersebut kemudian timbul pertanyaan besar, apa yang
sebenarnya terjadi di langit?
Pemikiran tentang gerak benda langit sudah dilakukan ratusan tahun sebelum masehi. Prosesnya
dimulai sejak Anaximander (611-546 SM) membuat model geosentris pertama dengan
mengungkapkan bahwa Bumi datar, tidak bergerak, dan dikelilingi oleh Matahari, Bulan, dan
bintang-bintang yang terletak pada kulit-kulit bola. Kemudian Phytagoras (569-475 SM), yang
mengajarkan bahwa bola adalah bentuk geometri yang paling sempurna, membuat perubahan
pada model sebelumnya dengan mengatakan bahwa bentuk Bumi adalah bulat. Tambahan
mendetil juga diberikan oleh Eudoxus (408 SM) tentang gerak benda langit yang melingkar.
Model geosentris ini terus disempurnakan oleh beberapa orang, misalnya Aristoteles (384-322
SM). Ia memiliki kelebihan dibanding orang-orang sebelumnya karena melakukan pengamatan
untuk memperjelas model geosentris ini. Dari salah satu hasil pengamatannya ia memberikan
bukti yang menunjukkan bahwa Bumi itu bulat. Kesimpulan itu didapatnya setelah mengamati

bayangan Bumi yang mengenai permukaan Bulan pada peristiwa gerhana Bulan berbentuk
lingkaran. Ia juga berpendapat bahwa ukuran Bumi yang sangat besar membuatnya tidak
mungkin untuk bergerak.

Pertentangan kemudian muncul ketika Aristarchus (310-230 SM) menolak model geosentris.
Dan ia pun menjadi orang yang untuk pertama kalinya mengusulkan ide bahwa sebenarnya
Mataharilah yang menjadi pusat alam semesta (heliosentris). Menurutnya, Bumi bergerak
mengelilingi Matahari sembari melakukan rotasi. Salah satu hal yang mendasari pernyataan
Aristarchus ini adalah perhitungannya terhadap ukuran Matahari. Matahari dikatakan lebih besar
daripada Bumi. Maka berdasarkan pernyataan Aristoteles, Matahari lebih tidak mungkin
bergerak daripada Bumi.
Gagasan Aristarchus ini kemudian tidak mendapat tanggapan dan dukungan dari masyarakat
sekitarnya saat itu. Terutama karena tidak ada orang yang dapat membuktikan bahwa Bumi
sedang bergerak melakukan rotasi ataupun mengelilingi Matahari. Salah satu bukti yang dicari
saat itu adalah paralaks akibat Bumi mengelilingi Matahari. Namun karena tidak ada yang dapat
mengamatinya maka disimpulkan bahwa Bumi memang tidak mengelilingi Matahari. Dan
mereka beranggapan bahwa jika Bumi berotasi, maka semua benda di udara akan tertinggal dan
menimbulkan angin besar. Tetapi karena hal itu tidak terjadi, maka disimpulkan bahwa Bumi
memang tidak berotasi.

Berbagai peningkatan akurasi model geosentris kemudian dilakukan oleh Hipparchus (190-120
SM), yang meletakkan Bumi tidak tepat di pusat sistem (melainkan di posisi eksentris) dan
mendefinisikan lingkaran episiklis dan deferen untuk planet-planet. Episiklis adalah lintasan
planet yang berbentuk lingkaran, yang titik pusatnya berada di deferen, yaitu sebuah lingkaran
yang titik pusatnya berada dekat dengan Bumi. Dalam perkembangannya, sebuah episiklis bisa
saja berada dalam episiklis lainnya. Jadi, dalam sistem ini semua planet bergerak mengelilingi
titik pusat episiklisnya, sementara titik pusat episiklisnya tersebut bergerak sepanjang deferen.
Perubahan dalam model geosentris baru ini diperlukan untuk menjelaskan gerak benda langit
yang memang cukup rumit. Episiklis diperlukan untuk menjelaskan gerak retrograde planet
sedangkan posisi Bumi yang tidak di pusat berfungsi untuk menjelaskan laju Matahari, Bulan
dan planet yang tidak konstan. Perubahan juga diperlukan untuk peningkatan akurasi karena
model ini dibuat dengan tujuan agar dapat digunakan dalam pengamatan selanjutnya, dengan
kata lain, posisi benda langit pada waktu apapun harus dapat diramalkan dengan akurat. Tujuan
ini menjadi berbeda dengan tujuan awal pembuatan model yang hanya berlandaskan kepentingan
filosofis saja.

Gerak retrograde Saturnus (Sumber: APOD).


Hipparchus membuat model geosentrisnya ini dengan menggunakan data dari pengamatannya
sendiri yang cukup akurat. Ini adalah salah satu kelebihannya. Model ini juga disebut-sebut
sebagai yang terbaik karena dapat menjelaskan gerak retrograde planet, kecerlangan maksimum
planet superior yang terjadi saat retrograde, laju orbit planet, Matahari dan Bulan yang tidak
konstan, serta karena model ini dapat diperbaiki akurasinya dengan penambahan episiklis.
Sampai saat ini, model geosentris dibuat dengan menempatkan Bumi di pusat sistem, kemudian
berturut-turut ke arah luar adalah Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, Saturnus,
dan bintang-bintang. Urutan tersebut dibuat berdasarkan laju yang diamati dari Bumi. Bulan
berada di posisi terdekat dari Bumi karena memiliki laju orbit yang paling tinggi. Semua bintang
dikatakan terletak pada jarak yang sama dari Bumi karena tidak terlihat adanya pergerakan
individu. Jumlah planet juga hanya lima karena pada saat itu Neptunus dan Uranus belum
ditemukan.

3 Planet Terdekat Dari Matahari


Untuk menjelaskan posisi Merkurius dan Venus yang tidak pernah jauh dari Matahari sehingga
hanya bisa diamati pada saat Matahari belum terbit atau saat Matahari sudah terbenam, model
geosentris ini membuat garis yang menghubungkan Bumi, titik pusat episiklis Merkurius dan
Venus, serta Matahari. Garis ini bermakna bahwa gerak Matahari akan selalu bersamaan dengan
titik pusat episiklis Merkurius serta Venus.
Apa yang dilakukan Ptolemy (85-165 M) kemudian adalah semakin menyempurnakan model
yang telah dibuat oleh Hipparchus. Ptolemy memperkenalkan equant, sebuah solusi geometris
untuk menjelaskan laju tak konstan objek yang mengelilingi Bumi dengan lebih baik. Dalam
modelnya ini, pergerakan episiklis di deferen konstan terhadap titik equant, bukan terhadap titik
pusat sebagaimana yang digunakan dalam model geosentris Hipparchus. Hal ini mengakibatkan
laju planet akan terlihat tidak konstan dari pengamat di Bumi.

Model alam semesta (tata surya) Ptolemy.


Model Ptolemy ini dikatakan cukup baik dalam memberikan penjelasan terhadap hasil
pengamatan dan sekaligus memprediksi posisi benda langit di masa depan. Model ini pun
digunakan sebagai panduan masyarakat dalam memahami alam semesta dan bertahan tanpa
tandingan hingga hampir 15 abad kemudian.

Materi Antar Bintang


Ketika sedang mengamati indahnya langit malam, pernahkah Anda bertanya-tanya tentang
kekosongan pada ruang antar bintang. Apakah sama sekali tidak ada apa-apa di sana? Benarkah
alam semesta seluas ini, dengan jarak antar bintang yang berkisar ribuan atau bahkan jutaan
tahun cahaya, hanya diisi ruang kosong? Kalau Anda pernah menanyakan hal tersebut, tahukah
Anda apa jawabannya?
Sebenarnya, ruang antar bintang itu tidak kosong. Materi antar bintang (interstellar matter)
adalah sebutan untuk pengisi kekosongan itu. Lalu, seberapa penting keberadaan materi antar
bintang (MAB)? Sebenarnya penting sekali, karena sifat materi penyusunnya mempengaruhi apa
yang kita pelajari dalam astronomi. Dengan mempelajari MAB, kita jadi tahu bagaimana MAB
meredupkan, memerahkan, atau bahkan menghalangi cahaya bintang. Selain itu MAB juga
memberikan petunjuk mengenai komposisi materi pembentukan bintang, karena bintang lahir
dari MAB ini.
Secara umum terdapat dua jenis penyusun materi antar bintang, yang pertama adalah debu antar
bintang dan yang kedua adalah gas. Masing-masing jenis materi ini memberikan pengaruh yang
berbeda ketika diamati.
A. Debu Antar Bintang
Materi ini jauh lebih kecil kelimpahannya dibandingkan dengan gas antar bintang, namun
pengaruhnya terhadap berkas cahaya visual lebih besar. Hal ini disebabkan ukuran partikelnya
yang besar (dalam orde 1/1000 mm), bandingkan dengan panjang gelombang cahaya tampak
(1/20000 mm), sehingga materi ini cenderung untuk menyerap dan menghamburkan berkas
cahaya. Debu antar bintang ini tersusun dari partikel-partikel es, karbon, atau silikat.
Karakteristik debu ini menghasilkan bermacam efek terhadap cahaya bintang, yang akan
dijelaskan sebagai berikut.
i. Nebula Gelap
Ada daerah tertentu di ruang antar bintang yang memiliki kepadatan debu yang sangat tinggi,
sehingga cukup untuk menjadi awan (nebula) yang kedap cahaya. Walaupun kepadatan
partikelnya masih jauh lebih rendah dari pada di Bumi, namun besarnya awan ini mengakibatkan
terhalangnya cahaya bintang. Celah gelap memanjang di daerah Cygnus dan Horsehead Nebulae
(Kepala Kuda) di Orion adalah contoh nebula gelap, yang menghalangi datangnya berkas cahaya
bintang ke arah pengamat.

Horsehead Nebula (Sumber: APOD)


ii. Efek Redupan
Sekumpulan debu dapat juga memberikan efek meredupnya cahaya bintang. Besarnya bervariasi,
misalnya 1 magnitudo setiap 1 kiloparsek yang ditempuh cahaya tersebut. Hal ini memunculkan
permasalahan ketika akan ditentukan jarak sebuah bintang. Karena dalam menentukan jarak,
diperlukan perbandingan antara magnitudo semu dan mutlak. Harga magnitudo semu yang
didapat akan mengalami kesalahan akibat dari efek redupan tersebut, sehingga menyebabkan
kesalahan pada nilai jarak bintang. Untuk mengatasinya, perlu diketahui terlebih dahulu seberapa
besar efek redupan yang dialami cahaya bintang tersebut.
iii. Efek Pemerahan
Penghamburan berkas cahaya tidak sama di semua panjang gelombang. Karena ukuran partikel
debu yang kecil, maka hanya gelombang elektromagnetik yang mempunyai panjang gelombang
yang pendek yang lebih terkena efek penghamburan ini. Artinya, hanya cahaya ungu dan biru
yang paling terkena efeknya. Sementara merah dan jingga tidak mengalami halangan yang
berarti ketika melintasi debu antar bintang. Akibat dari kekurangan cahaya ungu dan biru ini,
cahaya yang sampai di Bumi akan tampak merah. Hal inilah yang disebut sebagai efek
pemerahan.
iv. Nebula Pantulan

Trifid Nebula/M20 (Sumber: APOD)


Hamburan oleh debu antar bintang, terutama cahaya biru, terkadang menerangi daerah di
sekitarnya. Akibatnya, awan debu antar bintang ini akan tampak biru karena cahaya bintang di
belakangnya melintasi awan debu ini. Contoh dari nebula pantulan ini adalah gugus bintang
Pleiades di Taurus serta Nebula Trifid di Sagittarius.
B. Gas Antar Bintang
Materi utama penyusun gas antar bintang adalah hidrogen dengan sedikit helium. Kepadatan gas
dalam suatu ruang antar bintang biasanya mencapai 1 atom/cm kubik, sementara di beberapa
tempat, kepadatan partikel gas antar bintang dapat mencapai 10^5 atom/cm3 . Namun kerapatan
ini masih jauh lebih rendah daripada kepadatan gas di Bumi, 10^19 atom/cm3. Nebula gas ini
dibagi menjadi tiga jenis, yaitu daerah H II, H II, dan awan molekul.
i. Daerah H II, Nebula Emisi
Jika bintang muda dan panas (golongan B dan O) terletak dekat dengan nebula gas, maka
pancaran ultra ungu dari bintang tersebut akan mengionisasi gas hidrogen yang terkandung di
dalam nebula itu. Ketika inti atom hidrogen menangkap elektron yang lain, pada saat yang
bersamaan dipancarkan pula radiasi elektromagnetik dalam panjang gelombang cahaya tampak.
Akibatnya, cahaya dari bintang tersebut diubah menjadi cahaya tampak oleh nebula gas ini. Dan
jika dilihat spektrumnya, nebula ini memberikan garis emisi yang kuat. Contoh nebula jenis ini
adalah Nebula Orion di daerah pedang Orion, Nebula Lagoon dan Nebula Trifid di Sagittarius.

Great Orion Nebula (Sumber: APOD)


Ada dua macam lagi nebula emisi yang berbeda dengan yang disebut di atas. Kedua macam
nebula ini dibentuk dalam evolusi bintang. Yang pertama adalah planetary nebula, yaitu ketika
sebuah bintang bermassa kecil menjelang evolusi tahap akhirnya, melontarkan selubung gas
yang didorong dari bintang akibat tekanan dari dalamnya. Selama proses ini, gelombang UV dari
bintang meradiasi selubung tersebut, sehingga terjadi peristiwa yang sama seperti penjelasan
sebelumnya. Dan kita dapat melihat sebuah bintang di tengah-tengah awan gas tersebut. Contoh
planetary nebula jenis ini adalah Nebula Cincin (M57) di rasi Lyra.

Planetary Nebula bernama Ring Nebula/M57 (Sumber: APOD)

Yang kedua adalah sisa ledakan supernova. Supernova adalah peristiwa ledakan bintang
bermassa besar akibat tekanan yang sangat besar dari bagian pusat bintang. Gas yang tersisa
setelah ledakan tersebut menerima pancaran energi dari pusat nebula. Contohnya, Cygnus Loop.

Cygnus Loop (Sumber: APOD)


ii. Daerah H I, Awan Hidrogen Netral
Di daerah awan gas ini, tidak ada sumber gelombang UV yang dapat mengionisasi hidrogennya.
Awan ini gelap, dingin dan transparan. Pengamatan objek ini bergantung pada sifat yang dimiliki
oleh inti atom hidrogennya.
Diketahui bahwa pada elektron dan inti pada sebuah atom memiliki momentum spin. Keduanya
dapat memiliki spin yang searah atau berlawanan. Dalam keadaan spin searah, atom memiliki
tingkat energi yang lebih tinggi daripada spin berlawanan. Jika sebuah atom berada dalam
keadaan spin searah, maka setelah 10^6 tahun atom tersebut akan berubah ke tingkat energi yang
lebih rendah ( spin berlawanan ). Proses ini, disebut electron spin flop, akan menghasilkan
pancaran energi pada daerah panjang gelombang radio (sekitar 21 cm). Maka, pengamatan yang
telah dilakukan pun lebih banyak dilakukan oleh para astronom radio.
iii. Molekul antar bintang
Pengamatan radio telah menghasilkan penemuan sejumlah senyawa dalam sebuah awan gas. Hal
ini dapat diketahui dari sifat energi elektromagnetik yang dipancarkan maupun diserap oleh awan
gas tersebut. Diantara yang diketahui adalah molekul-molekul organik, molekul yang menjadi
dasar kehidupan.. Beberapa diantarnya adalah hidroksil radikal, amonia, air, metil alkohol, metil
sianida, formaldehid, hidrogen sianida, dan karbon monoksida. Kelimpahan molekul-molekul ini
jauh lebih kecil dari hidrogen.
Kini kita tahu bahwa ruang antar bintang tidaklah sehampa yang kita duga sebelumya. Selain
berperan dalam pembentukan bintang, awan gas dan debu antar bintang juga sangat dekat
hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari di planet Bumi ini. Karena disadari atau tidak,
semua unsur yang ada di Bumi dan tubuh kita berasal dari awan anta

Mengukur Jarak Bintang Dengan Paralaks

Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang diam dilihat
dari dua tempat yang berbeda. Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi dengan cara yang
sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di depan mata kita.
Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara mata kanan dan
mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah pandang dari mata
kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan latar belakangnya.
Perpindahan itulah yang menunjukkan adanya paralaks.
Paralaks juga terjadi pada bintang, setidaknya begitulah yang diharapkan oleh pemerhati dunia
astronomi ketika model heliosentris dikemukakan pertama kali oleh Aristarchus (310-230 SM).
Dalam model heliosentris itu, Bumi bergerak mengelilingi Matahari dalam orbit yang berbentuk
lingkaran. Akibatnya, sebuah bintang akan diamati dari tempat-tempat yang berbeda selama
Bumi mengorbit. Dan paralaks akan mencapai nilai maksimum apabila kita mengamati bintang
pada dua waktu yang berselang 6 bulan (setengah periode revolusi Bumi). Namun saat itu tidak
ada satu orangpun yang dapat mendeteksinya sehingga Bumi dianggap tidak bergerak (karena
paralaks dianggap tidak ada). Model heliosentris kemudian ditinggalkan orang dan model
geosentrislah yang lebih banyak digunakan untuk menjelaskan perilaku alam semesta.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh Friedrich
Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat (sejak Galileo
menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609). Bintang yang ia
amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki paralaks 0,29.
Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat kecil. Hanya
keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak mampu
mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta heliosentris
(yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan paralaks ini
menjadikan model tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan model geosentris
Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM.
Setelah paralaks bintang ditemukan, penghitungan jarak bintang pun dimulai. Lihat ilustrasi di
bawah ini untuk memberikan gambaran bagaimana paralaks bintang terjadi. Di posisi A, kita
melihat bintang X memiliki latar belakang XA. Sedangkan 6 bulan kemudian, yaitu ketika Bumi
berada di posisi B, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XB. Setengah dari jarak sudut
kedua posisi bintang X itulah yang disebut dengan sudut paralaks. Dari sudut inilah kita bisa
hitung jarak bintang asalkan kita mengetahui jarak Bumi-Matahari.

Dari geometri segitiga kita ketahui adanya hubungan antara sebuah sudut dan dua buah sisi.
Inilah landasan kita dalam menghitung jarak bintang dari sudut paralaks (lihat gambar di bawah).
Apabila jarak bintang adalah d, sudut paralaks adalah p, dan jarak Bumi-Matahari adalah 1 SA
(Satuan Astronomi = 150 juta kilometer), maka kita dapatkan persamaan sederhana
tan p = 1/d
atau d = 1/p, karena p adalah sudut yang sangat kecil sehingga tan p ~ p.

Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan detik busur
sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206.265 SA atau 3,09 x
10^13 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec, parsek), yaitu jarak
bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Pada kenyataannya, paralaks bintang yang
paling besar adalah 0,76 yang dimiliki oleh bintang terdekat dari tata surya, yaitu bintang
Proxima Centauri di rasi Centaurus yang berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar ini akan sama dengan
sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61
Cygni memiliki paralaks 0,29 dan jarak 1,36 tahun cahaya (1 tahun cahaya = jarak yang
ditempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,5 trilyun kilometer) atau sama dengan 3,45 pc.
Hingga tahun 1980-an, paralaks hanya bisa dideteksi dengan ketelitian 0,01 atau setara dengan
jarak maksimum 100 parsek. Jumlah bintangnya pun hanya ratusan buah. Peluncuran satelit
Hipparcos pada tahun 1989 kemudian membawa perubahan. Satelit tersebut mampu mengukur

paralaks hingga ketelitian 0,001, yang berarti mengukur jarak 100.000 bintang hingga 1000
parsek. Sebuah katalog dibuat untuk mengumpulkan data bintang yang diamati oleh satelit
Hipparcos ini. Katalog Hipparcos yang diterbitkan di akhir 1997 itu tentunya membawa
pengaruh yang sangat besar terhadap semua bidang astronomi yang bergantung pada ketelitian
jarak.

Mengukur Jarak Dengan Bintang Cepheid


Di tulisan terdahulu, kita dapat menentukan jarak bintang dengan menghitung paralaksnya.
Namun metode paralaks itu hanya dapat digunakan untuk bintang-bintang dekat saja karena
teknologi yang kita miliki belum dapat menghitung paralaks dengan ketelitian tinggi. Jarak
terjauh yang bisa diukur dengan metode paralaks hanya beberapa kiloparsek saja. Lalu
bagaimana kita menghitung jarak bintang-bintang yang lebih jauh? Atau bahkan menghitung
jarak galaksi-galaksi yang jauh? Salah satu caranya adalah dengan menggunakan hubungan
periode-luminositas bintang variabel Cepheid.
Sejarah metode penghitungan jarak ini berawal dari sebuah penelitian tentang hasil pengamatan
terhadap bintang variabel (bintang yang kecerlangannya berubah-ubah) yang ada di galaksi Awan
Magellan Besar dan Awan Magellan Kecil (LMC dan SMC). Saat itu Henrietta Leavitt, astronom
wanita asal Amerika Serikat, membuat katalog yang berisi 1777 bintang variabel dari penelitian
tersebut. Dari katalog yang ia buat diketahui bahwa terdapat beberapa bintang yang
menunjukkan hubungan antara kecerlangan dengan periode variabilitas. Bintang yang memiliki
kecerlangan lebih besar ternyata memiliki periode varibilitas yang lebih lama dan begitu pula
sebaliknya. Bentuk kurva cahaya bintang variabel jenis ini juga unik dan serupa, yang ditandai
dengan naiknya kecerlangan bintang secara cepat dan kemudian turun secara perlahan.
Bentuk kurva cahaya seperti itu ternyata sama dengan kurva cahaya bintang delta Cephei yang
diamati pada tahun 1784. Karena itulah bintang variabel jenis ini diberi nama bintang variabel
Cepheid. Penamaan ini tidak berubah walaupun belakangan ditemukan juga kurva cahaya yang
sama dari bintang Eta Aquilae yang diamati beberapa bulan sebelum pengamatan delta Cephei.

Kurva cahaya variabel Cepheid. Sumber: rpi.edu


Hubungan sederhana antara periode dan luminositas bintang variabel Cepheid ini bisa digunakan
dalam menentukan jarak karena astronom sudah mengetahui adanya hubungan antara
luminositas dengan kecerlangan/magnitudo semu bintang yang bergantung pada jarak. Dari
pengamatan bintang Cepheid kita bisa dapatkan periode variabilitas dan magnitudonya.
Kemudian periode yang kita peroleh bisa digunakan untuk menghitung luminositas/magnitudo
mutlak bintangnya dengan formula M = -2,81 log(P)-1,43. Karena luminositas/magnitudo mutlak
dan magnitudo semu berhubungan erat dalam formula Pogson (modulus jarak), maka pada
akhirnya kita bisa dapatkan nilai jarak untuk bintang tersebut.
Kunci penentu agar metode ini dapat digunakan adalah harus ada setidaknya satu bintang
variabel Cepheid yang jaraknya bisa ditentukan dengan cara lain, misalnya dari metode paralaks
trigonometri . Jarak bintang akan digunakan untuk menghitung luminositasnya dan selanjutnya
bisa digunakan sebagai pembanding untuk semua bintang Cepheid. Oleh karena itu, astronom
sampai sekarang masih terus berusaha agar proses kalibrasi ini dilakukan dengan ketelitian yang
tinggi supaya metode penentuan jarak ini memberikan hasil dengan akurasi tinggi pula.

Cepheid Di Galaksi M100. Sumber: Hubblesite


Menghitung jarak bintang variabel Cepheid menjadi sangat penting karena kita jadi bisa
menentukan jarak gugus bintang atau galaksi yang jauh asalkan di situ ada bintang Cepheid yang
masih bisa kita deteksi kurva cahayanya. Di sinilah keunggulan metode ini dibandingkan dengan
paralaks, yang hanya bisa digunakan untuk bintang-bintang dekat saja.
Lalu apa sebenarnya yang terjadi pada bintang Cepheid? Bintang ini mengalami perubahan
luminositas karena radiusnya berubah membesar dan mengecil. Proses ini terjadi pada salah satu
tahapan evolusi bintang, yaitu ketika sebuah bintang berada pada fase raksasa atau maharaksasa
merah. Jadi dengan mempelajari bintang variabel Cepheid kita bisa menghitung jarak sekaligus
mempelajari salah satu tahapan evolusi bintang.

Gerhana Bulan Sebagian 4 Juni 2012


Tak berapa lama setelah Gerhana Matahari Cincin 21 Mei lalu, kini kita akan dihadapkan pada
fenomena Gerhana Bulan Sebagian (GBS) tanggal 4 Juni 2012 nanti. Kabar baiknya adalah
gerhana ini dapat diamati dari seluruh wilayah Indonesia.

Diagram kenampakan GBS 4 Juni 2012 (Sumber: NASA Eclipse).


Waktu dimulainya gerhana adalah sejak sebelum Bulan terbit di Indonesia, yaitu pada pukul
15.48 WIB. Saat itu Bulan mulai masuk ke dalam penumbra Bumi. Kontak pertama Bulan
dengan umbra akan terjadi pada pukul 16.59 WIB. Artinya, para penduduk di wilayah barat
Indonesia masih belum bisa mengamati proses GBS ini. Puncak gerhana ini akan terjadi pada
pukul 18.03 WIB. Saat itu, hanya sebagian kecil dari Bulan yang berada di dalam umbra Bumi.
Sementara itu kontak terakhir Bulan dengan umbra terjadi pada pukul 19.06 WIB. Setelah itu
Bulan akan berada di dalam penumbra Bumi sampai pukul 20.18 WIB dan selesailah proses
gerhananya.
Melihat waktu terjadinya gerhana ini bisa kita simpulkan bahwa mereka yang tinggal di wilayah
timur Indonesia dapat menyaksikan GBS ini dalam waktu yang lebih panjang. Sedangkan kita
yang tinggal di wilayah barat Indonesia mendapatkan waktu pengamatan lebih pendek.
Bagaimanapun juga, semoga saja cuaca bersahabat dengan kita yang mengamatinya nanti, di
manapun kita berada .

Gerhana Bulan Sebagian 26 Juni 2010


Wahai rakyat Indonesia, bersiaplah melakukan pengamatan karena gerhana Bulan terjadi lagi.
Kali ini gerhana yang terjadi adalah gerhana Bulan sebagian. Gerhana ini dapat diamati dari
Indonesia di langit sebelah timur ketika Bulan terbit. Secara lengkap, jadwal terjadinya gerhana
Bulan sebagian nanti adalah sebagai berikut:
Awal gerhana penumbral
Awal gerhana sebagian
Puncak gerhana
Akhir gerhana sebagian

:
:
:
:

08:57:21
10:16:57
11:38:27
12:59:50

UT (WIB = UT+7, WITA = UT+8, WIT = UT+9)


UT
UT
UT

Akhir gerhana penumbral :

14:19:34 UT

Dari jadwal tersebut, dapat kita ketahui bahwa gerhana akan dimulai pada pukul 15.57 WIB
(17.57 WIT) dan berakhir pada pukul 21.19 WIB (23.19 WIT). Berarti, kesempatan kita untuk
mengamati gerhana ini lebih lama akan kita peroleh jika kita berada di wilayah Indonesia bagian
timur (Papua dan sekitarnya). Di Semarang misalnya, Bulan baru terbit pada pukul 17.27 WIB
(lihat halaman ini untuk mengetahui waktu terbit Bulan di seluruh dunia) sehingga gerhana
hanya dapat diamati selama kurang dari 2 jam saja. Sedangkan di Jayapura, Bulan terbit pukul
17.30 WIT sehingga ada waktu hingga lebih dari 3 jam. Untuk mengetahui daerah mana saja di
seluruh dunia yang dapat mengamati gerhana ini, lihat gambar di bawah.

Area Pengamatan GBS 20100626 (Sumber: NASA Eclipse)

Pada peristiwa gerhana Bulan sebagian ini, kita akan dapat mengamati Bulan purnama yang
secara perlahan berubah warna hingga separuhnya berwarna merah, seperti gambar di bawah.
Kenapa begitu? Hal tersebut disebabkan oleh adanya sebagian kecil dari cahaya Matahari yang
dipantulkan oleh Bulan, yaitu cahaya merah. Karena Bumi memiliki atmosfer yang tembus
cahaya, maka tidak seluruh cahaya Matahari terhalangi oleh Bumi. Sebagian besar cahayanya
terserap oleh atmosfer dan hanya menyisakan cahaya merah yang dapat menembus atmosfer
Bumi dan sampai ke permukaan Bulan.

Kenampakan Bulan pada saat GBS 20100626 (Sumber: NASA Eclipse)


Peristiwa ini jarang terjadi karena gerhana Bulan baru akan terjadi lagi pada bulan Desember
2010 nanti. Oleh karena itu segera persiapkan diri untuk melakukan pengamatan dan pemotretan.
Semoga sukses.

Langit Tampak Jingga Ketika Sore, Kenapa?

Jika sore telah tiba dan kebetulan hari cukup cerah,


tidak ada salahnya kalau kita mengarahkan pandangan ke ufuk barat. Sebuah pemandangan
indah sedang dipertontonkan Allah untuk setiap hamba-Nya, yakni langit yang berwarna jingga
kemerah-merahan. Sungguh sebuah pemandangan yang menakjubkan dan kerap kali membuat
kita semakin menyadari betapa luar biasa sang pencipta. Dialah yang menciptakan langit dan
bumi, siang dan malam dengan segala keindahan dan keistimewaan yang menyertainya. Namun
pernahkah kita bertanya, apakah ada penjelasan ilmiah mengapa langit berwarna jingga ketika
sore hari?
Setelah pada bagian sebelumnya kita mengkaji mengapa langit berwarna biru, kini kita akan
coba mengembangkan kajian tentang mengapa langit di ufuk barat nampak berwarna jingga
ketika sore hari menjelang magrib? Persoalan ini masih ada hubungannya dengan kajian langit
biru di siang hari.
Sebelum ini telah diketahui bahwa, pada siang hari ketika cahaya putih melewati atmosfer maka
cahaya putih tersebut akan mengalami hamburan. Yakni, cahaya biru dan ungu (karena memiliki
frekuensi paling tinggi di antara warna-warna yang lain) akan dihamburkan lebih banyak
daripada warna merah, jingga, dan kuning. Pertanyaannya, lalu apa yang terjadi dengan warna
merah, jingga dan kuning tersebut? Bagaimana nasibnya? Kemana ia pergi?
Nahjawaban dari pertanyaan ini akan membawa kita pada pemahaman mengapa langit di ufuk
barat tampak berwarna jingga pada sore hari menjelang magrib. Kenapa demikian? Yakarena
ketika warna biru dan ungu sudah lebih banyak dihamburkan, maka warna-warna dengan
frekuensi kecil seperti merah, jingga, dan kuning tetap bergerak lurus melewati atmosfer.
Akibatnya, pada belahan bumi yang lebih timur, orang sudah tidak lagi dapat melihat warna biru
dan ungu karena sudah dihamburkan. Saat itu, orang pada belahan bumi yang lebih timur hanya
akan melihat sisa warna yang belum terhamburkan. Siswa warna yang masih ada adalah
percampuran antara merah, jingga, dan kuning. Itulah sebabnya mengapa langit tampak berwarna
merah ketika sore hari.
Secara lebih deskriptif, Gmabar berikut barangkali akan lebih memperjelas pemahaman kita.

Gambar 1. Peristiwa Hamburan Cahaya


Sebagai permisalan ada dua orang A dan B. Masing-masing berada pada belahan bumi yang
berbeda. A sedang berada di suatu belahan bumi yang sedang mengalami siang hari, sedangkan B
berada lebih timur dari A dan oleh karenanya ia telah memasuki waktu sore hari.
Matahari akan meradiasikan cahaya putih dalam arah lurus seperti pada Gambar 1. Jarak antara
A dengan matahari lebih pendek jika dibandingkan B yang sudah masuk sore hari. Pada jarak
yang pendek tersebut cahaya putih dari matahari akan mengalami hamburan terutama untuk
warna biru dan ungu karena berfrekuensi tinggi. Peristiwa ini, seperti yang telah di bahas
sebelumnya, menyebabkan si A akan melihat bahwa langit berwarna biru. Namun pada jarak
yang lebih jauh, yakni bagi si B, ia sudah tidak lagi bisa melihat warna biru. Hal ini karena
sebagian besar warna biru telah dihamburkan di belahan bumi yang sedang siang hari. Oleh
karena itu, tinggal warna merah, jingga dan kuning saja yang masih diteruskan sampai ke mata si
B. Itulah sebabnya, kenapa sore hari langit cenderung berwarna jingga kemerah-merahan.
Tapi jangan lupa, setelah kita lihat indahnya ufuk barat di sore hari, segera ambil air wudlu,
datang ke masjid, kita agungkan kebesaran Allah. Semoga bermanfat..

Mengamati Planet Di Malam Hari


Dapatkah kita mengamati planet yang ada di tata surya kita? Mungkin di antara kita ada yang
bertanya seperti itu. Jawabannya adalah bisa, tetapi tidak semuanya. Lalu, planet mana saja yang
bisa kita amati?

Dari 7 planet (tidak termasuk Bumi), 2 planet akan sulit diamati dengan mata telanjang (Uranus
dan Neptunus) karena terlalu redup, 2 planet akan hanya dapat diamati di sekitar waktu matahari
terbit atau tenggelam (Merkurius dan Venus) karena kedua planet tersebut mengorbit matahari
pada jarak yang lebih dekat daripada bumi, dan 3 planet akan relatif lebih mudah diamati
sepanjang malam (Mars, Jupiter, dan Saturnus), walaupun belum tentu sepanjang tahun kita bisa
mengamatinya. Di antara kelima planet yang dapat diamati tersebut, kesempatan kita untuk
mengamati Merkurius paling kecil karena kita hanya dapat mengamatinya sebelum matahari
terbit atau sesudah matahari tenggelam dengan durasi tidak lebih dari 1,5 jam.
Setelah mengetahui besarnya peluang kita untuk dapat mengamati planet, tentunya sekarang kita
ingin tahu bagaimana menikmati keberadaan planet di antara banyaknya bintang pada suatu
malam dengan langit yang cerah. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa sebuah titik terang
tertentu di langit adalah planet? Cara untuk membedakannya relatif mudah setelah latihan yang
cukup, yaitu bintang akan tampak berkedip sementara planet tidak.
Sebagai contoh dan latihan, cobalah mengamati planet Jupiter yang akan tampak sebagai bintang
terang di sekitar rasi Sagittarius di beberapa malam ini. Dan karena Jupiter sangat terang
(magnitudo -2.7), Anda tidak perlu takut mengalami kesulitan dalam mencari objek ini. Planet ini
relatif mudah dikenali. Dan saya lampirkan peta langit untuk tanggal 16 Agustus 2008 pukul
19.30 WIB dengan lokasi di Semarang.

Semarang, 16 Agustus 2008 19.30 WIB


Setelah matahari tenggelam pandanglah arah timur, kemudian dengan ketinggian sekitar 40
derajat dari horison Anda akan menemukan bintang yang sangat terang. Itulah Jupiter. Untuk
memastikan bahwa yang Anda lihat adalah Jupiter, coba bandingkan bintang terang tersebut
dengan beberapa bintang lainnya. Misalnya di sebelah barat laut ada bintang merah Arcturus
(magnitudo -0.04), di sebelah timur laut ada Vega (0.03), di sebelah selatan ada 4 bintang yang
membentuk rasi Salib Selatan/Layang-Layang dan dua bintang yang menunjuk ke arahnya, yaitu
Alfa dan Beta Centauri. Jika sudah menemukan bintang-bintang tersebut, buktikan apa yang
sudah saya tulis di atas. Bintang-bintang akan nampak berkedip, sedangkan Jupiter tidak.
Bagaimana?

Mengenal Venus, Planet Yang Paling Terang

Venus adalah planet kedua terdekat dari Matahari. Planet ini sangat terang jika dilihat dari Bumi,
kecerlangannya hanya kalah dari Matahari dan Bulan. Karenanya Venus pun bisa disebut sebagai
bintang paling terang di langit. Dan mungkin karena itu planet ini dinamai Venus sang Dewi
Cinta dan Kecantikan, atau Aphrodite dalam peradaban Yunani kuno.

Citra Venus diambil oleh wahana Mariner 10 (Sumber: nunes, astrosurf.com)


Venus telah menjadi perhatian banyak kebudayaan sejak lama. Para penduduk suku Maya
menjadikan Venus sebagai penanda waktu dalam sistem kalendernya karena mereka dapat hitung
dan prediksikan kemunculannya yang periodik bergantian di langit timur dan barat. Seperti juga
Merkurius, Venus juga awalnya salah diidentifikasi oleh beberapa kebudayaan sebagai 2 objek
yang berbeda ketika ia muncul bergantian di timur dan di barat. Misalnya ada yang menyebutnya
Eosphorus ketika muncul di pagi hari (ada juga yang menyebutnya sebagai Lucifer) dan
Hesperus ketika muncul di sore hari.
Di tahun 1600-an ketika masyarakat ramai mencibir teori/model alam semesta heliosentris
(karena saat itu yang sedang populer adalah teori/model geosentris), Venus menjadi salah satu
objek kunci yang membantah geosentrisme. Pengamatan Galileo terhadap Venus menggunakan
teleskop menunjukkan bahwa Venus memiliki fase sebagaimana halnya Bulan. Fakta ini
menegaskan bahwa Venus mengelilingi Matahari, berbeda dengan pandangan Ptolemius dan
penganut geosentrisme yang mengira Venus dan Matahari mengelilingi Bumi. Karena apabila
begitu, Venus tidak akan menunjukkan perubahan fase. Ditambah dengan beberapa bukti
pengamatan lainnya di tahun-tahun sesudahnya, geosentrisme pun semakin tergeser.
Jaman semakin modern dan pengamatan Venus pun semakin banyak dilakukan. Pengetahuan kita
tentang planet ini juga bertambah. Awalnya Venus dikatakan planet yang paling mirip dengan
Bumi karena ukurannya hampir sama dengan Bumi dan atmosfernya yang cukup tebal. Tetapi
kemudian diketahui bahwa kondisi Venus sebenarnya terlalu ekstrim bagi kehidupan. Temperatur
rata-ratanya mencapai 460 derajat Celcius, rekor tertinggi di tata surya. Bahkan Merkurius yang
lebih dekat ke Matahari kalah panas dari Venus.
Jawaban dari misteri penyebab panasnya Venus adalah kandungan utama atmosfernya. Dominasi
karbondioksida di udara Venus (mencapai 95%) menyebabkan terjadinya efek rumah kaca yang
berkelanjutan. Panas Matahari yang diserap atmosfer kemudian dipantulkan oleh permukaan.
Tetapi panas hasil pantulan itu dipantulkan balik oleh awan karbondioksida yang tebal. Karena

tidak ada panas yang dapat keluar dari planet Venus, udara di Venus pun memanas secara
kontinu.

Fase Venus hanya bisa diamati dalam heliosentrisme (Sumber: telescope1609.com)


Rotasi Dan Revolusi
Periode rotasi Venus adalah 243 hari Bumi dan periode revolusinya 224 hari Bumi. Sekilas bisa
kita simpulkan bahwa satu hari di Venus lebih lama dari 1 tahunnya. Tetapi kenyataannya
tidaklah begitu karena periode rotasi tersebut bukanlah periode harinya. Satu hari di Venus hanya
116 hari, masih lebih cepat daripada Merkurius. Uniknya, putaran rotasi Venus berlawanan
dengan putaran rotasi Bumi. Jadi jika kita berada di Venus kita akan menyaksikan Matahari terbit
di barat dan terbenam di timur.
Arah rotasi Venus yang terbalik itu biasa disebut dengan istilah retrograde alias searah dengan
putaran jarum jam jika kita melihatnya dari kutub utara ekliptika. Namun kini diketahui bahwa
sebenarnya kutub rotasinyalah yang terbalik. Inklinasi kutub utara rotasi Venus terhadap kutub
utara ekliptika adalah 179 derajat, sangat besar dibandingkan Bumi yang hanya 23,5 derajat saja.
Penyebab inklinasi sebesar ini diduga adalah karena ada benda besar yang menabrak Venus di
awal pembentukannya dulu.
Pengamatan
Dan
Misi
Penerbangan
Tebalnya awan di Venus membuat pengamatan optik landas Bumi terhadap permukaannya tidak
dapat dilakukan. Pengamatan spektroskopi, radar, dan ultraviolet pun hanya memberikan sedikit
informasi tambahan. Menyadari hal ini, para peneliti kemudian merencanakan berbagai misi
penerbangan ke Venus untuk melakukan pengamatan dari dekat. Misi yang pertama adalah
pengiriman wahana Venera 1 oleh Uni Soviet di tahun 1961. Wahana tersebut direncanakan
untuk menumbuk Venus namun gagal 7 hari setelah peluncurannya.
Misi yang berhasil pertama kali dalam meneliti Venus adalah pengiriman wahana Mariner 2 oleh
Amerika Serikat di tahun 1962, setelah Mariner 1 gagal saat peluncuran. Wahana Mariner 2

tersebut melintas-dekat Venus dari jarak sekitar 34.000 km dan memberikan informasi berharga
tentang tingginya temperatur permukaan Venus, sekaligus memusnahkan harapan bagi manusia
untuk menggunakan Venus sebagai tempat tinggal kedua.
Setelah misi Mariner 2 itu, ada banyak misi lainnya yang meraih kesuksesan. Seperti Venera 3
yang menjadi wahana yang pertama kalinya masuk ke atmosfer planet lain, Venera 7 yang
berhasil mengirimkan data untuk pertama kalinya dari permukaan planet lain, dan Pioneer Venus
Orbiter yang mengorbit dan meneliti Venus selama 13 tahun sejak 1978.
Pengiriman wahana ke Venus itu sendiri menjadi salah satu tonggak penting dalam penjelajahan
tata surya. Keberhasilan terbang lintas-dekat Venus kemudian diikuti dengan keberhasilan yang
sama di Mars. Perlahan tapi pasti semua planet pun akhirnya berhasil diamati dari dekat.
Pendaratan wahana di Venus dan Mars juga menarik untuk ditunggu kelanjutannya, siapa tahu
salah satu atau bahkan keduanya bisa diubah menjadi planet yang ramah bagi kehidupan suatu
saat nanti.

Merkurius, Planet Terkecil, Terdekat, dan


Tercepat
Merkurius adalah planet terkecil di tata surya dan yang terdekat dari Matahari. Nama planet ini
diambil
dari
nama
dewa
pengantar
pesan
jaman
Romawi kuno. Ia diberi nama tersebut karena pergerakannya di langit yang sangat cepat.

Planet Merkurius (Sumber: Wikipedia)


Dari Bumi, Merkurius hanya bisa diamati secara visual pada jarak maksimum 28,3 derajat dari
Matahari. Artinya, planet ini hanya terlihat di langit timur sebelum Matahari terbit atau di barat
setelah Matahari terbenam. Dengan jarak sudut sekecil itu, kita hanya memiliki waktu
maksimum selama 1 jam 53 menit saja untuk mengamati planet ini, yaitu pada saat Merkurius
mencapai elongasi maksimalnya. Jadi, kita tidak akan pernah bisa melihat Merkurius berada di

zenith (lihat gambar di bawah). Planet ini mengalami dua konjungsi inferior dalam selang waktu
116 hari, sehingga kenampakannya secara bergantian di timur dan barat terjadi dalam selang
waktu sekitar 60 hari. Karena kemunculannya yang bergantian itulah planet ini sempat
diidentifikasi oleh masyarakat Yunani kuno sebagai 2 benda yang berbeda. Kala itu, Merkurius
yang muncul di langit timur diberi nama Apollo dan yang muncul di langit barat diberi nama
Hermes.
Keunikan
Merkurius
Jika kita berada di Merkurius, kita dapat menyaksikan Matahari bergerak retrograde di langit. Di
satu lokasi, setelah terbit di timur dan sebelum melintasi meridian, Matahari akan sedikit
bergerak mundur, berhenti, lalu kembali bergerak ke barat hingga terbenam. Silakan lihat sendiri
dengan menggunakan program simulasi langit (misalnya Stellarium). Penyebab gerak retrograde
Matahari itu adalah karena saat itu laju sudut revolusi Merkurius menjadi sama dengan laju sudut
rotasinya.
Merkurius mengelilingi Matahari selama 88 hari Bumi, sedangkan periode rotasinya adalah 58,7
hari Bumi. Kita bisa lihat bahwa perbandingan periode revolusi dan rotasinya adalah 2/3.
Artinya, planet ini menyelesaikan 2 kali revolusinya dalam waktu yang bersamaan dengan 3 kali
rotasi. Meskipun begitu, Merkurius membutuhkan 176 hari Bumi untuk mengalami sekali siangmalam. Berarti satu hari di Merkurius jauh lebih lama daripada satu tahunnya.

Planet dalam jika dilihat dari Bumi (Sumber: Wikipedia)


Hubungan antara periode rotasi dan revolusi tersebut (disebut juga dengan resonansi) adalah hal
yang unik di tata surya. Resonansi yang umum terdapat di tata surya adalah 1:1. Artinya, periode
rotasi sama dengan periode revolusi. Misalnya pada sistem Pluto dan Charon, yang keduanya
memiliki periode rotasi yang sama dengan periode revolusi Charon terhadap Pluto. Akibatnya,
Pluto dan Charon saling menunjukkan permukaan yang sama sepanjang waktu. Bulan juga
memiliki resonansi rotasi-revolusi 1:1 karena periode rotasinya sama dengan periodenya
mengelilingi Bumi, sehingga permukaan Bulan yang terlihat dari Bumi selalu tetap.

Ciri
fisik
Planet batuan ini hanya berdiameter sekitar 4800 km. Ukuran ini lebih kecil dari Ganymede dan
Titan (2 satelit terbesar di tata surya) tetapi Merkurius masih lebih masif dari keduanya. Dengan
kerapatan sebesar 5,43 g/cm^3, Merkurius pun menjadi benda dengan kerapatan tertinggi kedua
di tata surya setelah Bumi. Bagian inti planet ini diketahui lebih dominan relatif
terhadap ukurannya, mencapai 42% dari volume total dengan radius 1800 km.
Eksentrisitas orbit Merkurius adalah yang paling besar di antara semua planet, yaitu 0,21.
Jaraknya dari Matahari antara 46 juta km hingga 70 juta km. Sementara jaraknya dari Bumi
bervariasi antara 77 juta km dan 222 juta km dan kecerlangannya berkisar antara -2,3 (lebih
terang daripada bintang Sirius) dan 5,7.
Inklinasi orbit Merkurius terhadap ekliptika adalah 7 derajat. Sudut kemiringan sumbu rotasinya
terhadap sumbu revolusi mendekati nol, sekitar 0,027 derajat. Masih lebih kecil dari Jupiter yang
sebesar 3,1 derajat. Dengan sudut sekecil itu, tidak ada 4 musim di Merkurius belahan utara dan
selatan. Temperatur di permukaannya bervariasi antara 80 700 K.
Misi
Penerbangan
Ke
Merkurius
Merkurius adalah salah satu objek yang sulit diamati, sehingga tidak banyak informasi yang bisa
diperoleh darinya. Bahkan periode rotasi planet ini baru diketahui benar pada tahun 1965 setelah
Merkurius diamati dengan radar. Pengiriman wahana untuk meneliti Merkurius dari dekat pun
tidak mudah. Posisinya yang dekat dengan Matahari, ketiadaan atmosfer, dan perbedaan laju
orbit adalah beberapa hal yang menyulitkan. Alhasil, hingga kini baru ada 2 misi yang sukses
mengamati Merkurius, yaitu Mariner 10 dan Messenger.
Wahana Mariner 10 diluncurkan pada 3 November 1973. Proses keberangkatannya yang
memanfaatkan planet Venus (sebagai ketapel gravitasi) adalah yang pertama dilakukan dalam
sejarah penerbangan antariksa. Ketika melintas di dekat Venus, wahana ini mengambil rekaman
fotografi ultraungu dari planet itu. Walaupun Venus sudah pernah diamati dengan teleskop landas
Bumi sebelumnya, tetap saja foto Venus yang diberikan Mariner 10 ini mengundang kekaguman
para peneliti.
Wahana ini telah memberikan pengetahuan luar biasa tentang permukaan Merkurius dan
mendeteksi adanya medan magnet di Merkurius. Satu hal yang mengagetkan bagi peneliti adalah
planet ini memiliki rotasi yang lambat. Akhirnya, pada tahun 1975 Mariner 10 pun sudah tidak
berfungsi lagi setelah bahan bakarnya habis dan kontak dihentikan.

Mariner 10 (kiri) dan Messenger (Sumber: Wikipedia)


Baru pada tahun 1998, misi terbaru ke Merkurius mulai direncanakan. Wahana pada misi itu
dinamai Messenger, yang diluncurkan pada tanggal 3 Agustus 2004. Target misi ini adalah
mengorbit Merkurius pada tanggal 18 Maret 2011. Terdapat 6 pertanyaan yang harus dicari
jawabannya oleh Messenger: 1. Mengapa kerapatan Merkurius begitu tinggi?; 2. Bagaimana
riwayat sejarah geologis planet ini?; 3. Bagaimana sifat medan magnet Merkurius?; 4.
Bagaimana susunan internal Merkurius?; 5. Apa materi yang terdapat pada kutub-kutub
Merkurius?; dan 6. Bagaimana komposisi atmosfer Merkurius?
Di masa yang akan datang, sebuah misi lagi akan dijalankan. Namanya BepiColombo. Misi ini
akan melengkapi data yang didapat Messenger. Direncanakan untuk diluncurkan pada tahun
2013 dan mengorbit Merkurius pada tahun 2019, BepiColombo akan mengumpulkan data selama
1 atau 2 tahun. Para ilmuwan tentunya berharap kedua misi tersebut akan membawa manusia
semakin mengenal karakteristik planet kecil ini.
Sistem Klasifikasi Galaksi

Galaksi adalah bentuk pengelompokan bintang terbesar di alam semesta. Namun keberadaan
bintang-bintang sebagai penyusun sebuah galaksi tidak diketahui sampai tahun 1920an.
Sebelumnya, galaksi yang diamati menyerupai awan itu disebut nebulae, karena pengamatan
pada saat itu tidak dapat memberikan resolusi yang cukup untuk memisahkan bintang-bintang
penyusun galaksi. Dengan adanya kemajuan teknologi teleskop dan fotografi, bintang-bintang
dalam sebuah galaksi mulai dapat diamati.Salah seorang pengamat galaksi adalah Hubble, yang
dapat mengidentifikasi bintang-bintang variabel yang terdapat di galaksi Andromeda (M31).
Bintang-bintang tersebut ternyata bersifat sama dengan Cepheid yang ditemukan dalam galaksi
Bima Sakti. Kemudian dari hubungan periode luminositas, Hubble mendapatkan bahwa jarak
Andromeda dari Bima Sakti adalah tidak kurang dari 300 kpc, yang berarti bahwa Andromeda
berada di luar Galaksi Bima Sakti yang berukuran 50 kpc. Hal ini menjadi penting karena
sebelumnya semua nebulae diperkirakan sebagai bagian dari Bima Sakti. Sekarang telah
diketahui bahwa jarak Andromeda adalah sekitar 800 kpc.

Terdapat banyak bentuk galaksi di alam semesta ini. Untuk memudahkan dalam mengenali dan
membedakan jenis dan bentuk suatu galaksi dibandingkan galaksi lainnya, diperlukan sistem
identifikasi yang dapat dipakai di seluruh dunia. Pada tahun 1936, dalam buku The Realm of
Nebulae, Hubble membuat pengelompokan galaksi dengan sistem yang lebih dikenal sebagai
diagram garpu tala (tuning fork diagram). Sistem ini adalah yang pertama dibuat dan yang paling
umum dipakai hingga saat ini. Dalam penggolongan ini, secara umum terdapat empat kelas
galaksi, yaitu galaksi elips, lenticular, spiral, dan irregular untuk galaksi yang memiliki bentuk
tidak beraturan.

Diagram garpu tala (Sumber: wikipedia).


Galaksi elips memiliki bentuk bundar/elips dan tidak terlihat memiliki piringan pada strukturnya.
Menurut Hubble, galaksi elips ini dibagi dalam subkelas berdasarkan bentuknya. Penamaannya
menggunakan kode En, dengan E berarti elips, sedangkan n menunjukkan perbandingan antara
sumbu mayor (a) dan minor (b) galaksi dengan rumusan n = 10 [1 - (b/a)]. Artinya, galaksi elips
yang terlihat bundar dinamakan E0, sedangkan galaksi elips yang sumbu mayornya sebesar dua
kali sumbu minornya dinamakan E5, dan seterusnya semakin pipih hingga E7.

Galaksi elips NGC 1132 (Sumber: APOD)


Galaksi lenticular adalah galaksi berbentuk piringan yang merupakan peralihan antara elips dan
spiral. Galaksi ini diberi kode S0. Galaksi lenticular ini memiliki bagian inti yang elips dan

memperlihatkan adanya struktur piringan, namun pada bagian piringannya tidak terdapat lengan
spiral.
Kelas galaksi berikutnya adalah galaksi spiral, yaitu galaksi yang berbentuk piringan dan
mempunyai struktur lengan spiral. Kode penamaannya adalah S. Galaksi kelas lenticular dan
spiral ini terkadang memiliki struktur bar pada piringannya. Untuk itu Hubble memberikan
tambahan kode B pada penamaan masing-masing kelas galaksi yang memiliki bar: SB0 untuk
galaksi lenticular dan SB untuk galaksi spiral.

Galaksi lenticular NGC 4452 (Sumber: APOD)


Galaksi spiral normal (S) dan dengan bar (SB), terbagi lagi dalam subkelas a, b, dan c, yang
dibedakan menurut dua hal berikut: (1) perbandingan kecerlangan antara komponen bulge dan
piringan; dan (2) seberapa dekat jarak antar lengan spiral. Galaksi kelas Sa memiliki bulge lebih
besar dan lengan spiral yang lebih rapat jika dibandingkan dengan galaksi kelas Sb dan Sc. Hal
yang sama juga berlaku untuk galaksi spiral dengan bar (SB). Penamaan dalam subkelas ini
sebenarnya tidak dapat dipisahkan secara tegas. Sehingga, sebuah galaksi dapat termasuk dalam
kelas Sab, atau Sbc, dan seterusnya. Lalu bagaimana dengan Galaksi kita, Galaksi Bima Sakti?
Dalam penggolongan Hubble ini, Galaksi Bima Sakti ternyata tergolong kelas SBbc.

Ledakan Supernova di Galaksi Whirlpool


Posted by: Avivah Yamani Posted date: June 04, 2011 In: Astrofisika, Bintang, Observasi

Sebuah supernova baru tampak di langit malam dan mengejutkan para pengamat. Kejutan yang
menyenangkan bagi para astronom dan astronom amatir. Untuk kedua kalinya, sebuah bintang
meledak di Galaksi Whirlpool (Messier 51 / M51) dalam 6 tahun terakhir. Dan berita baiknya

para pengamat bisa menikmatinya dari halaman rumah anda dengan teleskop menengah maupun
yang besar
Petunjuk Supernova

Galaksi Whirlpool atau M51. Kredit : Jim Misti


Petunjuk pertama akan erupsi yang tampak di galaksi Whirlpool dimulai pada tanggal 31 Mei
saat astronom amatir dari Prancis Amde Riou mengenali hilangnya bintang dengan magnitudo
14 dalam citra CCD yang diambilnya dari galaksi tersebut. Riou kemudian melakukan
pengambilan citra yang sama keesokan hari.
Di tempat yang berbeda, pada tanggal 1 Juni, Thomas Griga juga berhasil mengidentifikasi
kejadian yang sama dari Schwerte, Jerman. Malam berikutnya, kehilangan itu diketahui
jawabannya oleh Tom Reiland dari Glenshaw, Pennsylvania dan pengamat dari Prancis Stphane
Lamotte Bailey yang berhasil mengenali keberadaan sinar terang pada citra dijital yang ia ambil
dengan teleskop 8 inchi. Sejak saat itu, si obyek terang ini sudah diamati juga oleh Palomar
Transient Factory dan para pemburu supernova di Galaxy Zoo.
Apa yang dilihat dan diabadikan oleh Stphane Lamotte Bailey dalam citra dijitalnya ternyata
supernova baru yang kemudian dinamai SN 2011 dh dan berada di galaksi Whirlpool. Bintang
yang meledak tersebut memang tidak tampak dalam citra galaksi Whirlpool yang diambil
beberapa malam sebelumnya dan membuat para pengamat kehilangan bintang asalnya di galaksi
tersebut.

Galaksi
Whirlpool
Supernova yang berada di Galaksi Whirlpool memang menarik perhatian para astronom amatir
karena galaksi yang juga dikenal sebagai M51 itu masuk dalam daftar obyek yang harus
dilihat. hal ini tak lain karena Whirlpool merupakan salah satu galaksi spiral yang berada dekat
Bima Sakti pada jarak 23 juta tahun cahaya. Sekitar 10 kali lebih jauh dari Galaksi Andromeda.
M51 ini jadi favorit karena ia cukup terang untuk dilihat dengan binokular dan teleskop dengan
diameter 6 inchi.
Galaksi Whirlpool atau Messier 51 atau M51 berada obyek urutan ke-51 dalam katalog deep sky
object yang dibuat Charles Messier pada abad ke-18. Galaksi ini berada tak jauh dari Rasi Ursa
Mayor atau Beruang Besar pada saat dilihat oleh Stphane Lamotte Bailey di pagi hari saat ia
menemukan SN 2011 dh. Galaksi Whirlpool juga merupakan galaksi yang terlukis indah di langit
serta yang pertama dikenali struktur spiralnya. Lord Rose (a.k.a William Parsons) yang membuat
sketsa indah M51 pada tahun 1845 dengan menggunakan teleskop reflektor 72 inchi.
Supernova Tipe II ?

Animasi pengamatan Stphane Lamotte Bailey yang menemukan supernova SN 2011 dh.
Kredit : Stphane Lamotte Bailey
Masih terlalu awal untuk menyatakan bahwa supernova yang tampak tersebut sedang dalam
proses semakin terang atau akan meredup. Yang pasti ia tidak tampak dalam citra yang diambil
Riou tanggal 10 Mei. Juga tidak tapak obyek yang lebih terang dari magnitud 19,5 pada citra
yang diambil oleh teleskop 10 inchi dari University of Ljubljana di Slovenia tanggal 30 Mei.
Weidong Li dari University of California, Barkeley, mengidentifikasi bintang pendahulu atau
bintang yang jadi cikal bakal SN 2011 dh dalam citra Hubble Heritage yang diambil bulan April
2005. Akan tetapi Weidong belum menentukan berapa kecerlangan si bintang.
Meskipun demikian, para astronom tampakya cukup yakin untuk menyatakan bahwa supernova
yang dilihat adalah Supernova Tipe II yang merupakan ledakan dari bintang tunggal dengan
massa setidaknya 8 massa Matahari saat bintang tersebut kehabisan bahan bakar nuklir di
intinya. Tanpa adanya dorongan keluar dri panas yang ada di inti untuk mengatasi tekanan

gravitasi, bintang pun runtuh dan menciptakan gelombang kejut yang kemudian meledak dalam
ledakan dasyat. Energi yang besar pun dilepaskan menyebabkan si bintang mengalami
peningkatan kecerlangan jutaan kali dalam sekejap.
Spektrum tanggal 2 Juni yang diambil teleskop Keck I saat mengikuti gerak M51 yang menjauh
dari kita pada kecepatan 600 km/detik, bagian dari ledakan itu tampaknya bergerak pada
mengarah ke Bumi pada kecepatan yang tinggi. Gelombang kejut tersebut mengandung materi
yang bergerak pada berbagai kecepatan yang berbeda. Dan hidrogen yang dilihat pengamat
bergerak menuju pengamat pada kecepatan 17600 km/detik.
Hal menarik lainnya, supernova yang juga tampak 6 tahun lalu terjadi di salah satu lengan
Whirlpool dan juga merupakan Supernova Tipe II. Supernova ketiga yang juga sangat cerlang
terjadi tahun 1994 dan menjadikannya 3 supernova baru dalam 17 tahun.
Bintang leluhur dari SN 2011 dh memang terlalu redup untuk bisa dilihat melalui teleskop,
namun kembang api di angkasa ini sayang untuk dilewatkan. Para pengamatat yang
menggunakan teleskop 8 inchi atau lebih dapat menikmati kembang api tersebut pada
kecerlangan 14 magnitud dan ia masih akan tampak dalam beberapa minggu ke depan.

Anda mungkin juga menyukai