Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan suatu pandangan teoritis yang beranggapan bahwa pokok persoalan psikologi
adalah pada tingkah laku, tanpa mengaitkan konsepsi konsepsi mengenai kesadaran atau mentalitas. Sedangkan
Teori Operant Conditioning (Teori Kekuatan Operan) yang ditemukan oleh BF Skinner merupakan
pengembangan dari Teori Behaviorisme dan lebih dikenal dengan istilah teori Behaviorisme Deskriptif
( Chaplin JP, 2005 ).
Ivan Petrovitch Pavlov merupakan tokoh aliran behaviorisme klasik ( Classical Conditioning ).
Dia dilahirkan di kota Ryazan, yaitu sebuah desa kecil di Rusia pada September 1849, satu dekade sebelum
dipublikasikannya teori Darwin Darwins On The Origin of Species ( Chance, 2002 ).
Pavlov sebenarnya seorang ahli fisiologi sejak tahun 1980 dan pada tahun 1904 ia mendapatkan hadiah Nobel
dalam bidang fisiologi, Penelitian yang dilakukannya adalah mengenai kelenjar ludah dengan menggunakan
anjing sebagai subyek. Dalam hal ini anjing di operasi kelenjar ludahnya sedemikian sehingga memungkinkan
peneliti untuk mengukur air liur yang keluar sebagai respon ( reaksi ) apabila ada perangsang makanan
ke mulutnya ( kemampuan daya deskriminasi anjing ). Suatu stimulus yang memunculkan respon tertentu
dioperasikan berpasangan dengan stimulus lain pada saat yang sama untuk memunculkan respon refleks.
Stimulus lain itu dikondisikan agar memunculkan respon refleks yang dimaksud. Kedalam mulut
anjing diberikan daging ( stimulus asli ) dan secara refleks anjing akan merespon dengan mengeluarkan air liur
( respon asli ), dan jika dengan pemberian daging dibunyikan bel ( stimulus kondisi ), yang terjadi adalah
stimulus asli bersama sama dengan stimulus kondisi direspon. Sesudah percobaan di ulang ulang, bunyi bel
tanpa pemberian daging direspon dengan mengeluarkan air liur, Dalam hal ini terjadi proses conditioning antara
stimulus kondisi dengan respon asli yang menjadi respon kondisi ( Cown, 1996 ).
Makanan ( daging ) disini berperan memperkuat ( reinforcing ) keluarnya air liur ketika bel berbunyi disebut
penguat positif ( positive reinforcer ), yaitu stimulus atau penguat yang kehadirannya meningkatkan peluang
terjadinya respon yang dikehendaki. Jika dalam eksperimen pemberian makanan dihentikan, selama beberapa
waktu anjing tetap mengeluarkan air liur setiap mendengar bel tetapi hubungan itu semakin lemah sampai
akhirnya bel tidak lagi mengeluarkan air liur. Hal ini dikatakan proses pemadaman ( extinction ), yang
menunjukkan penguatan berkelanjutan. Tanpa reinforcement tingkah laku respon yang bukan otomatis ( refleks )
akan semakin hilang. Behaviorisme klasik ini menghasilkan tipe tingkah laku responden,yang oleh Skinner
dianggap dianggap kurang penting karena kurang menggambarkan fungsi integral manusia dalam lingkungannya.
Dalam kehidupan yang sebenarnya, umumnya reinforcement tidak segera dikenali dan akan timbul sesudah
tingkah laku terjadi. ( Elliot, 1999 ).
Dari eksperimen yang dilakukan tersebut Pavlov menyimpulkan bahwa :
1. Refleks bersyarat ( conditioned re flex / CR ) yang telah terbentuk itu dapat hilang karena
perangsang yang mengganggu ( hilang untuk sementara )
2. Refleks bersyarat ( conditioned reflex / CR ) dapat dihilangkan dengan proses pensyaratan kembali
( reconditioning, berconditionering ), jalannya melakukan pensyaratan kembali ini sama dengan
ketika menimbulkan refleks bersyarat, hanya saja disini tidak diberi reinforcement.
Namun dalam eksperimennya Pavlov masih mengalami kelemahan karena adanya keterbatasan daya
deskriminasi dari anjing yang di cobanya itu maksimum hanya mampu mengingat sampai pada tiga macam
perangsang ( Suryabrata, 2004 ).
b.
Konsep kognitivisme
Teori belajar kognitif berasal dari pandangan Kurt Lewin (1890-1947), seorang Jerman yang kemudian
beremigrasi ke Amerika Serikat. Intisari dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan
proses penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang berlangsung pada diri seseorang.
Individu yang sedang belajar dipandang sebagai orang yang secara konstan memberikan informasi baru untuk
dikonfirmasikan dengan prinsip yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak
sesuai dengan informasi yang baru diperoleh. Agar siswa mampu melakukan kegiatan belajar, maka ia harus
melibatkan diri secara aktif.
Teori kognitivisme ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses informasi dan pelajaran melalui
upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru
dengan pengetahuan yang telah ada.
Teori ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Karakteristik :
a) Belajar adalah proses mental bukan behavioral
b) Siswa aktif sebagai penyadur
c) Siswa belajar secara individu dengan pola deduktif dan induktif
d) Instrinsik motivation, sehingga tidak perlu stimulus
e) Siswa sebagai pelaku untuk menuntun penemuan
f) Guru memfasilitasi terjadinya proses insight.
c.
Konsep konstruktivisme
Menurut cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses untuk membanguin pengetahuan melalui
pengalaman nyata dari lapangan. Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu dibangu
atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Evaluasi pembelajaran. Dalam treori kontruktivisme, evaluasi
tidak hanya dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari guru. Evaluasi menjadi
saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan proses pembelajaran.
Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang
mempromosikan learning by doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan
sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna mengembangkan dirinya
sendiri.
Menurut asalnya, teori konstruktivime bukanlah teori pendidikan. Teori ini berasal dari disiplin filsafat,
khususnya filsafat ilmu. Pada tataran filsafat, teori ini membahas mengenai bagaimana proses terbentuknya
pengetahuan manusia. Menurut teori ini pembentukan pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas
realitas yang dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh dari disiplin psikologi
terutama psikologi kognitif Piaget yang berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong
terbentuknya pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa mengkostruksi
pengetahuan. Proses tersebut dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan,
dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2. Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup.
3. Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih berorientasi pada pengembangan berpikir
dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan
melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan
kembali pemikiran seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam keraguan yang merangsang
pemikiran lebih lanjut. Situasi disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan siswa.
6. Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses
mekanis untuk mengumpulkan fakta. Dalam konteks yang demikian, belajar yang bermakna terjadi melalui
refleksi, pemecahan konflik pengertian dan selalu terjadi pembaharuan terhadap pengertian yang tidak lengkap.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi bahwa menurut teori konstruktivisme belajar
adalah proses mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman sebagai hasil interaksi antara
siswa dengan realitas baik realitas pribadi, alam, maupun realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan
berlangsung secara pribadi maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan dinamis. Beberapa faktor
seperti pengalaman, pengetahuan awal, kemampuan kognitif dan lingkungan sangat berpengaruh dalam proses
konstruksi makna.Argumentasi para konstruktivis memperlihatkan bahwa sebenarnya teori belajar konstrukvisme
telah banyak mendapat pengaruh dari psikologi kognitif, sehingga dalam batas tertentu aliran ini dapat disebut
juga neokognitif.
Walaupun mendapat pengaruh psikologi kognitif, namun harus diakui bahwa stressing point teori ini bukan
terletak pada berberapa konsep psikologi kognitif yang diadopsinya (pengalaman, asimilasi, dan
internalisasi).melainkan pada konstuksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan yang dimaksudkan dalam
pandangan konstruktivisme yaitu pemaknaan realitas yang dilakukan setiap orang ketika berinteraksi dengan
lingkungan. Dalam konteks demikian, konstruksi atau pemaknaan terhadap realitas adalah berlajar itu sendiri.
Dengan asumsi seperti ini, sebetulnya substansi konstrukvisme terletak pada pengakuan akan hekekat manusia
sebagai homo creator yang dapat mengkonstruksi realitasnya sendiri.
tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi,
demikian seterusnya.
6. Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)
Teori pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral atau stimuli yang terkondisi dengan stimuli
tertentu yang tidak terkondisikan, yang melahirkan perilaku tertentu. Setelah pemasangan ini terjadi berulangulang, stimuli yang netral melahirkan respons terkondisikan.
Pavlo mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat
sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di
kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang
berbeda dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan strategi Pavlo
ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk
mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan. Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus
dari luar. Belajar menurut teori ini adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang
menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan dan pengulangan.
Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.
7. Albert Bandura (1925-sekarang)
Ternyata tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan konsep belajar sosial
(social learning). Ia mempermasalahkan peranan ganjaran dan hukuman dalam proses belajar. Kaum
behaviorisme tradisional menjelaskan bahwa kata-kata yang semula tidak ada maknanya, dipasangkan dengan
lambak atau obyek yang punya makna (pelaziman klasik).
Teori belajar Bandura adalah teori belajar social atau kognitif social serta efikasi diri yang menunjukkan
pentingnya proses mengamati dan meniru perilaku, sikap dan emosi orang lain. Teori Bandura menjelaskan
perilaku manusia dalam konteks interaksi tingkah laku timbale balik yang berkesinambungan antara kognitine
perilaku dan pengaruh lingkungan. Factor-faktor yang berproses dalam observasi adalah perhatian, mengingat,
produksi motorik, motivasi.
Behaviorsime memang agak sukar menjelaskan motivasi. Motivasi terjadi dalam diri individu, sedang kaum
behavioris hanya melihat pada peristiwa-peristiwa eksternal. Perasaan dan pikiran orang tidak menarik mereka.
Behaviorisme muncul sebagai reaksi pada psikologi mentalistik.
b. Tokoh Tokoh yang mendukung konsep Kognitivisme
1. Jean Piaget, teorinya disebut "Cognitive Developmental"
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dan fungsi intelektual dari
konkret menuju abstrak. Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari
fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog developmentat karena penelitiannya
mengenai tahap tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar
individu. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Dengan kata lain,
daya berpikir atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.Menurut Suhaidi
Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahap:
Tahap sensory motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2 tahun, Tahap ini
diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih sederhana.
Tahap pre operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7 tahun. Tahap ini
diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan
berdasarkan pada kesan yang agak abstrak.
Tahap concrete operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan dengan anak sudah mulai
menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual
pasif. 4. Tahap formal operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 11-15 tahun.
Ciri pokok tahap yang terahir ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola
pikir "kemungkinan". Dalam pandangan Piaget, proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara
simultan melalui dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan baru yang
diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi
terjadi jika struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi/di kode ulang disesuaikan dengan
informasi yang baru diterima.Dalam teori perkembangan kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya
penyeimbangan (equilibrasi) agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus
menjaga stabilitas mentalnya. Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya.
Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan
akomodasi.
4) Tasker
Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.
Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara
gagasan dengan informasi baru yang diterima.
5) Wheatley
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran
dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif
oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
6) Hanbury
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme,
Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi
lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan
untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya
mengucapkan lima atau malah enam. Kesalahan kecil seperti ini akan berakibat pada kesalahan menjumlah
dua bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat membilang dari satu
sampai sepuluh.
bb)
Belajar Bermakna
Agar proses mengingat bilangan kedua dapat bermakna, maka proses mengingat bilangan kedua (yang baru)
harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki, yaitu tentang 17-08-1945 akan tetapi dengan membalik
urutan penulisannya menjadi 5491-80-71.Untuk bilangan pertama, yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan
bermakna jika bilangan itu dapat dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran kita. Contohnya
jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon atau nomor lain yang dapat kita kaitkan. Tugas guru
adalah membantu memfasilitasi siswa sehingga bilangan pertama tersebut dapat dikaitkan dengan pengetahuan
yang sudah dimilikinya. Jika seorang siswa tidak dapat mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar yang tidak
bermakna (rote learning).
Itulah inti dari belajar bermakna (meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel. Di samping itu,
seorang guru dituntut untuk mengecek, mengingatkan kembali ataupun memperbaiki pengetahuan prasyarat
siswanya sebelum ia memulai membahas topik baru, sehingga pengetahuan yang baru tersebut dapat berkait
dengan pengetahuan yang lama yang lebih dikenal sebagai belajar bermakna tersebut.
Teori Bruner tentang tiga tahap proses belajar berkait dengan tiga tahap yang harus dilalui siswa agar proses
pembelajarannya menjadi optimal, sehingga akan terjadi internalisasi pada diri siswa, yaitu suatu keadaan dimana
pengalaman yang baru dapat menyatu ke dalam struktur kognitif mereka. Ketiga tahap pada proses belajar
tersebut adalah:
1) Tahap Enaktif.
Pada tahap ini, pembelajaran yang dilakukan dengan cara memanipulasi obyek secara aktif. Contohnya, ketika
akan membahas penjumlahan dan pengurangan di awal pembelajaran, siswa dapat belajar dengan menggunakan
batu, kelereng, buah, lidi, atau dapat juga memanfaatkan beberapa model atau alat peraga lainnya. Ketika belajar
penjumlahan dua bilangan bulat, para siswa dapat saja memulai proses pembelajarannya dengan menggunakan
beberapa benda nyata sebagai jembatan atau dengan menggunakan obyek langsung.
2) Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu direpresentasikan
(diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan
kegiatan kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di atas (butir a). Bahasa menjadi
lebih penting sebagai suatu media berpikir. Kemudian seseorang mencapai masa transisi dan
menggunakan penyajian ikonik yang didasarkan pada pengindraan kepenyajian simbolik yang didasarkan pada
berpikir abstrak.
3) Tahap Simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbul-simbul atau lambang-lambang
objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek seperti pada tahap sebelumnya. Anak pada tahap ini
sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil. Pada tahap simbolik ini,
pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-simbol
arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol
verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambanglambang abstrak yang lain.
c. penerapan konsep balajar Konstruktivisme
Teori konstruktivis yang memerinci berikut ini, banyak pendekatan konstruktivias yang merekomendasikan pada
kita (Ormrod, 2000): Lingkungan-lingkungan pembelajaran yang menantang dan rumit, dan tugas-tugas yang
autentik. Negosiasi sosial dan tangungjawab bersama (shared responsibility) sebagai bagian dari
pembelajaran.Representasi-representasi materi pelajaran berganda. Pemahaman bahwa pengetahuan dapat
dibangun. Pembelajaran yang berpusat pada siswa. Selain konstruktivisme, pem ... belajar dengan tindakan
(learning by doing), dan bahwa pembelajaran seharusnya menjadi pengalaman seumur hidup yang berkelanjutan
dimana otak/pikiran yang aktif dapat berorientasi dengan dunia terbika yang luasuntuk memecahkan masalahmasalah nyata yang terus menerus muncul bersama dengan pengalaman sebelumnya meski dalam bentuk yang
berbeda. (Reed & Johnson, 2000: 91).
Teori-teori konstruktivis mengenai pembelajaran juga dipengaruhi oleh teori-teori pengembangannya
Piaget (1952, 1959) ... konstruktivisme memiliki definisi yang beragam, pandangan umumnya kebanyakan
membantah bahwa pengetahuan menetap hanya dalam diri pembelajar dan bahwa kita tidak dapat mengajar
representasi yang akurat mengenai kebenaran. Kita hanya dapat menegosiasikan makna-makna bersama
(shared meaning) dengan para siswa dan memberikan mereka kesempatan untuk membangun pemahaman yang
bermakna saat mereka terlibat dalam aktivitas yang dilakukan dengan sengaja (Jacobsen, 2003a).
Meskipun pandangan radikal pembelajaran konstruktivis mengutamakan dan menfasilitasi peran aktif siswa.
Lingkungan pembelajaran konstruktivis mengubah focus dari penyebaran informasi oleh guru, yang mendorong
peran pasif siswa, menuju otonomi dan refleksi siswa, yang mendorong peran aktif siswa. Strategi - strategi
pembelajaran aktif menganjurkan aktivitas aktivitas pembelajaran yang di dalamnya siswa diberikan otonomi
dan control yang luas untuk mengarahkan aktivitas-aktivtas pembelajaran.
Meskipun konstruktivisme memiliki definisi yang beragam, pandangan umumnya kebanyakan membantah bahwa
pengetahuan menetap hanya dalam diri pembelajar dan bahwa kita tidak dapat mengajar representasi yang akurat
mengenai kebenaran. Kita hanya dapat menegosiasikan makna-makna bersama (shared meaning) dengan para
siswa dan memberikan mereka kesempatan untuk membangun pemahaman yang bermakna saat mereka terlibat
dalam aktivitas yang dilakukan dengan sengaja (Jacobsen, 2003a).Meskipun pandangan radikal mengenai
kontruktivisme ini begitu diapresiasi oleh para akademisi, pandangan tersebut sering kali gagal menerapkan
realitas praktis yang dihadapi guru dalam ruang kelas saat ini.
Meskipun banyak bukti mengindikasikan bahwa para pembelajar sesunguhnya membangun pemahaman, tidak
semua bentuk pemahaman valid seluruhnya, dan ada sebuah realitas yang bebas dari pemahaman individu (Eggen
amp Kauchauk, 2007). Jika hal ini tidak benar, para guru akan memiliki peran kecil dalam pendidikan, dan
akibatnya, konstruktivisme akan muncul begitu saja. Tentu saja, kondisi ini tidak sesuai dengan kenyataan bahwa
para guru saat ini makin dibebani oleh tangung jawab untuk menfasilitasi perolehan pengetahuan kognitif
konkret yang diukur berdasarkan penilaian yang terstandarisasi dan berpatokan tinggi.Lingkungan pembelajaran
konstruktivis mengutamakan dan menfasilitasi peran aktif siswa. Lingkungan pembelajaran konstruktivis
mengubah fokus dari penyebaran informasi oleh guru, yang mendorong peran pasif siswa, menuju otonomi dan
refleksi siswa, yang mendorong peran aktif siswa.