MATA KULIAH
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN TERINTEGRASI A
BUKU AJAR I
Filsafat, Logika, Etika, dan
Kekuatan dan Keutamaan Karakter
Bagus Takwin
Fristian Hadinata
Saraswati Putri
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, 2012
i
BUKU AJAR I
Filsafat, Logika, Etika, dan
Kekuatan dan Keutamaan Karakter
ii
1. Pendahuluan
Konsep pendidikan yang memadai mensyaratkan konsep manusia yang memadai.
Manusia sebagai makhluk yang dididik dan makhluk yang mendidik merupakan ihwal atau
isu sentral dalam pendidikan. Berbicara tentang pendidikan pada dasarnya adalah berbicara
tentang manusia.
Siapa manusia dalam konsep pendidikan Indonesia dan apa yang ditujunya?
Pertanyaan ini jarang dibahas dewasa ini. Sudah beberapa kali sistem pendidikan Indonesia
diubah tetapi konsep tentang manusia yang semestinya mendasarinya malah makin kabur.
Idealnya, pendidikan adalah proses menjadi dan menentukan diri sebagai pribadi.
Pengertian ini mengindikasikan adanya penguatan daya-daya subjektif dalam pendidikan.
Subjektivitas adalah potensi khas manusia, yang hanya mungkin muncul pada manusia.
Subjektivitas adalah syarat kemerdekaan. Orang yang merdeka, ketika ia secara subjektif
menentukan tindakan-tindakannya, menginterupsi status quo dan mampu mempertanggungjawabkan dirinya.
Ki Hadjar Dewantara1 mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan
manusia merdeka. Sejalan dengan Ki Hadjar, Slamet Iman Santoso2 mengemukakan bahwa
tugas pendidikan adalah pembinaan watak atau karakter (Santoso, 1979). Sebagai kepribadian
yang dievaluasi berdasarkan nilai dan norma tertentu, watak juga mengandung unsur
subjektivitas. Karakter adalah hasil aktualisasi subjektivitas.
Kita teringat kepada Muhammad Hatta (1932/1998) yang menyatakan bahwa
pendidikan nasional Indonesia diselenggarakan untuk menuju Indonesia Merdeka. Ia
menganggap pendidikan sebagai ikhtiar pembentukan karakter di tataran individual dan
pembangunan bangsa di tataran kolektif. Meskipun tak mengabaikan perlunya kecakapan dan
1
2
Tokoh pergerakan nasional yang hari lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional Indonesia.
Pelopor Pendidikan Psikologi di Indonesia dan pemrakarsa IKIP Jakarta.
iii
3
4
iv
manusia
menuntut
pengembangan
semua
daya
secara
seimbang.
Pengembangan yang terlalu menitikberatkan satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan
perkembangan sebagai manusia. Pendidikan yang menekankan aspek intelektual belaka
hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Payung pendidikan mencakup
payung nasionalistik, yaitu budaya nasional, bangsa yang merdeka dan mandiribaik secara
politis, ekonomis, maupun spiritual; dan payung universal, yaitu hukum alam yang berlaku
atas segala sesuatu yang merupakan wujud dari kehendak Tuhan.
Konsep manusia merdeka dari Ki Hadjar Dewantara memiliki implikasi dalam
ranah pendidikan. Ia menyatakan bahwa prinsip dasar pendidikan adalah kemerdekaan,
merdeka dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian yang tumbuh
dalam diri (hati) manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana
yang berprinsip kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cinta kasih, dan penghargaan terhadap
setiap orang yang terlibat di dalamnya. Dengan dasar itu maka hak setiap individu hendaknya
dihormati.
Pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental, dan spiritual. Pendidikan tidak boleh hanya mengembangkan
aspek intelektual sebab hal itu akan memisahkan peserta didik dari orang kebanyakan.
Pendidikan juga hendaknya memperkaya setiap individu, memperkuat rasa percaya diri, dan
mengembangkan harga diri. Dalam pada itu, perbedaan di antara pribadi-pribadi harus tetap
dipertimbangkan. Lulusan didik yang dihasilkan adalah lulusan yang berkepribadian
v
merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Dengan kata lain,
pendidikan menghasilkan pribadi yang berkarakter kuat.
Metode pendidikan yang memerdekakan didasari oleh kepedulian, dedikasi, dan
kecintaan kepada sesama manusia. Pendidikan harus dapat memfasilitasi siswa untuk
memperoleh pengalaman yang dapat dijadikan media pemelajaran yang mencakup
pemelajaran tentang konsekuensi logis dari tindakansesuai dengan hukum sebab-akibat
dan kesadaran akan pentingnya belajar bagi kehidupan siswa dalam keseharian mereka.
Orang yang belajar tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang yang diajarkan,
melainkan menciptakan sendiri pengertian.
Sejalan dengan pandangan pendidikan Ki Hadjar, pendidikan di UI menekankan
pentingnya mahasiswa menyadari alasan dan tujuan dia belajar. Ia perlu dihindarkan dari
pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekadar menurut dan melakukan perintah.
Dari Ki Hadjar Dewantara (2004) kita mendapat pemahaman bahwa mendidik merupakan
daya-upaya yang sengaja dilakukan untuk memajukan hidup dan menumbuhkan budi-pekerti
(yang mencakup rasa, pikiran, dan roh) dan badan peserta didik dengan jalan pengajaran,
teladan dan pembiasaan. Menurutnya, tidak boleh ada perintah dan paksaan dalam
pendidikan.
Pemikiran yang lebih operasional tentang pendidikan adalah pemikiran Amartya Sen.5
Menurut Sen, pendidikan bertujuan untuk menghasilkan kapabilitas (capability) pada peserta
didik (Walker dan Unterhalter, 2007). Meskipun istilah yang digunakan Sen adalah
kapabilitas, implikasi logisnya sama dengan istilah merdeka dalam pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, yaitu orang yang berkarakter kuat.
Sen mendefinisikan kapabilitas sebagai a persons ability to do valuable acts or
reach valuable states of being; [it] represents the alternative combinations of things a person
is able to do or be (Sen 1993:30). Kapabilitas merujuk kepada kemampuan pribadi untuk
melakukan tindakan berharga atau mencapai keadaan diri yang berharga. Kapabilitas
mewakili adanya kemungkinan atau keleluasaan pada diri seseorang untuk menemukan
kombinasi alternatif dari hal-hal yang dapat dilakukan atau dicapainya. Dengan demikian,
kapabilitas adalah kesempatan atau kemerdekaan untuk mencapai apa yang secara reflektif
dinilai berharga oleh individu. Kapabilitas dalam terminologi Sen merupakan inti dari
kemerdekaan (Dreze dan Sen 1995).
vi
Dalam pemikiran awalnya, Sen (1985) mengajukan lima komponen yang terkait erat
dengan kapabilitas:
1. kemerdekaan nyata, yaitu adanya pilihan dan alternatif bagi setiap orang yang
membuatnya leluasa menjalani dan mencapai tujuan hidupnya
2. kemampuan mengelola dan mengubah sumber daya menjadi kegiatan-kegiatan yang
bernilai
3. kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kebahagiaan
4. keseimbangan faktor materialistik dan nonmaterialistik dalam mencapai kesejahteraan, dan
5. distribusi kesempatan dalam masyarakat.
Pendekatan ini menekankan kapabilitas fungsional, yaitu kemerdekaan substantif
seperti kemampuan untuk hidup sampai hari tua, keterlibatan dalam transaksi ekonomi, atau
partisipasi dalam kegiatan politik. Hal-hal yang terkandung dalam makna kemerdekaan
substantif, menurut pendekatan ini, lebih beralasan untuk dinilai berharga ketimbang
kegunaan (utility) seperti kesenangan, pemenuhan hasrat atau pilihan. Kemerdekaan subtantif
juga dinilai lebih berharga daripada akses ke sumber daya seperti penghasilan, komoditi, dan
aset.
Kemiskinan dipahami sebagai kapabilitas yang tercerabut (deprived capability). Patut
dicatat, penekanan pendekatan ini tidak hanya pada bagaimana orang secara aktual berfungsi,
melainkan juga pada kapabilitasnya, yaitu pilihan praktis untuk berfungsi dalam hal-hal
penting jika ia menginginkannya. Seseorang dapat mengalami kapabilitas yang tercerabut,
misalnya dalam hal pengabaian, penindasan oleh pemerintah, kurangnya sumber daya
finansial, atau kesadaran palsu. Sebaliknya, perlu ditekankan pula, kesejahteraan seseorang
juga dipengaruhi oleh keberadaan orang lain. Sen (1993) menekankan, kebebasan memilih
cara hidup yang memungkinkan seseorang mencapai kesejahteraan, dalam banyak hal
dibantu oleh pilihan-pilihan orang lain. Salah jika kita berpikir bahwa pencapaian prestasi
kita masing-masing merupakan hasil pilihan pribadi semata. Pencapaian prestasi setiap orang
membutuhkan kebersamaan dengan orang lain.
Signifikansi dari ide Sen ini terletak pada kontrasnya dengan ide lain tentang
bagaimana kita memutuskan apa yang adil (fair) dalam distribusi sumber daya. Kapabilitas
atau kemerdekaan dan keadilan adalah setali tiga uang. Keadilan hanya bermakna pada orang
yang merdeka, pada orang yang memiliki kapabilitas untuk menentukan apa yang penting
dan berharga baginya.
Ki Hadjar dan Sen sama-sama melihat pendidikan dari hal yang paling mendasar,
yakni dari konsep manusia, tujuan akhir pendidikan, dan apa yang terbaik bagi kehidupan
vii
bersama. Ini membedakan pendekatan mereka dengan pendekatan lainnya yang tampaknya
memisahkan pendidikan dari aspek-aspek lain dari kemanusiaan.
Sebagai contoh dari perbedaan itu, konsep pendidikan lain menggunakan ide tentang
distribusi yang diletakkan pada apa yang ditentukan oleh pihak luar sebagai yang terbaik
untuk menciptakan kesempatan maksimum atau mencapai hasil yang memadai. Umpamanya,
menurut konsep ini, sekolah bagi siswa adalah alat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dunia
kerja. Sementara menurut Ki Hadjar dan Sen, pendidikan merupakan proses yang
memfasilitasi pertemuan peserta didik dengan dunia, khususnya dengan masyarakat, sehingga
nantinya ia dapat hidup di masyarakatnya secara bermakna dan memberikan kontribusi dalam
pengembangan masyarakat itu. Peserta didik juga difasilitasi untuk dapat memberi makna
kepada dirinya sendiri dan kepada dunia. Keberfungsiannya dalam masyarakat didasari oleh
kebebasan kesempatan yang meleluasakannya memilih cara hidup dan kontribusinya dalam
masyarakat (Unterhalter 2003).
yang tidak disertakan dalam ujian nasional agar dapat memperoleh nilai yang baik dalam
ujian nasional.
Kemerdekaan dan keagenan (agency) merupakan dua konsep sentral dalam
pendekatan kapabilitas (Walker dan Unterhalter, 2007). Dua konsep ini perlu diperjelas
dalam kerangka pendekatan kapabilitas. Dalam kerangka ini, orang dipahami sebagai
partisipan aktif dalam perkembangan ketimbang sebagai pengamat yang pasif. Keagenan
berarti bahwa setiap orang adalah manusia yang terhormat, yang bertanggung jawab
membentuk hidupnya dalam arahan tujuan yang berarti. Dengan kata lain, orang tidak
dibentuk atau diinstruksikan untuk berpikir, melainkan membentuk dan mengelola dirinya
sendiri untuk menjalani hidup yang mengarahkan kepada pencapaian tujuan-tujuannya.
Tujuan-tujuan itu boleh jadi tidak niscaya membuat individu lebih senang atau lebih nyaman,
tetapi hal itu dicapai melalui penalaran reflektif. Dalam pendidikan, setiap orang
diperlakukan sebagai agen dari pemelajarannya, menjadi agen atau instrumen bagi
pemelajaran orang lain, dan menjadi penerima dari keagenan orang lain.
Sebagai agen, peserta didik layak memperoleh perhatian dari pendidik dan sekolah
dalam ikhtiar-ikhtiar untuk mengembangkan mereka sebagai manusia yang merdeka. Bagi Ki
Hadjar dan Sen, keterlibatan siswa dalam pembentukan kehidupan dan perolehan kesempatan
untuk merefleksikan keagenannya merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan sosial
yang positif. Keagenan pada dirinya sendiri penting untuk kemerdekaan individu, juga secara
instrumental dibutuhkan untuk tindakan kolektif dan partisipasi demokrasi. Dengan kata lain,
keagenan pada individu diperlukan untuk perkembangan masyarakat (Sen, 1990). Orang
melatih dan mengembangkan keagenannya secara individual serta lewat kerja sama dengan
orang lain (Walker dan Unterhalter, 2007). Melalui kesempatan pendidikan dan proses yang
memadai, setiap orang dapat belajar menguatkan keagenan dan kemerdekaannya.
Keagenan juga merupakan kunci bagi kebahagiaan atau kesejahteraan (well-being)
seseorang (Alkire, 2002). Sama halnya dengan pemelajaran, pemahaman diri sendiri sebagai
agen, yang tindakan-tindakan dan kontribusinya diperhitungkan dalam dunia pendidikan,
tidak berlangsung sekali jadi dalam waktu yang cepat. Pembentukan kesadaran tentang diri
sendiri sebagai agen berlangsung dalam proses yang panjang dan lama, proses yang sekaligus
meng-ada (being) dan menjadi (becoming). Dengan membangun keagenan di dalam dan
melalui praktik pendidikan, kita membuka kemungkinan untuk menginterupsi hubungan yang
dipaksakan dalam pendidikan yang cenderung mengaitkan sumber-sumber yang dimiliki
pemelajar dengan manfaat (Walker dan Unterhalter, 2007).
ix
atau jabatan di tempat kerja awal dan saat ini, kesesuaian ilmu dengan bidang
pekerjaan, kebutuhan keilmuan dalam melaksanakan pekerjaannya, serta saran dan kritik
untuk kebutuhan pengembangan jurusan. Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
kapabilitas sangat jarang.
x
pendidikan
yang
sungguh-sungguh
berikhtiar
meningkatkan
dan
xi
dari pencapaian tujuan menghasilkan manusia merdeka. Bahkan, kapabilitas terkesan tak
terpikirkan oleh kebanyakan penyelenggara sekolah, guru, dan orang tua.
learning);
pemagangan;
penyelesaian
proyek
bersama;
penugasan
(internship) di beberapa lembaga atau komunitas di masyarakat seperti kuliah kerja nyata
(KKN); fasilitasi untuk terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, seminar dan diskusi lainnya;
pelibatan mahasiswa dalam kegiatan riset;
fokus pada bagaimana sekolah mereproduksi ketaksetaraan dan ketakadilan sosial melalui
maldistribusi dan pembungkaman (di antaranya Bowles dan Gintis, 1976, Bourdieu dan
Passeron, 1977; Aikman, 1999; Bowles dan Gintis, 2002; Kwesiga, 2002; Ball 2003). Kedua,
mereka yang menyadari bagaimana kondisi di sekolah atau situs pemelajaran lainnya
menawarkan sumber daya atau kondisi yang melaluinya pemelajar dapat melawan atau
mengubah ketaksetaraan (di antaranya Stromquist, 1998; Brighouse, 2002; Lynch dan Baker
2005; McLeod, 2005).
UI memadukan kedua pendekatan itu dengan satu tujuan yang memiliki dua sisi.
Tujuan itu, yang mensyaratkan kesetaraan dan keadilan sosial, adalah kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia yang di dalamnya tercakup kapabilitas dan kemerdekaan. Tidak
tercapainya kesejahteraan, juga kapabilitas dan kemerdekaan, boleh jadi karena ada
ketidaksetaraan dan ketidakadilan, tetapi bisa juga karena upaya-upaya untuk mencapai
kesetaraan dan keadilan memang tidak dilakukan. Perlu ditekankan di sini, hilangnya
ketidaksetaraan dan ketidakadilan tidak dengan sendirinya berarti tercapainya kesetaraan dan
keadilan. Oleh karena itu, usaha untuk menghilangkan ketaksetaraan dan ketidakadilan usaha
untuk menghadirkan kesetaraan dan keadilan harus dilakukan secara bersama-sama. Di satu
sisi, tujuan itu dicapai dengan mengurangi ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Di sisi
lain, hal itu dicapai dengan meningkatkan kesetaraan dan keadilan sosial.
Sejalan dengan beberapa pemikir yang mengedepankan kapabilitas (di antaranya Sen,
1992, 1993; Nussbaum, 1997, 2002, 2004, 2006), di tataran individu, pendidikan di UI dan
evaluasinya diselenggarakan dengan dasar kesejahteran dan kebahagiaan manusia sebagai
tujuan. Secara operasional, kapabilitas dan kemerdekaan dapat ditingkatkan melalui
pendidikan dengan memfasilitasi peserta didik menjadi orang yang belajar sepanjang hayat,
memiliki gairah menjalani kehidupan, berani mengambil risiko, mampu berpikir kritis, dan
memecahkan masalah, mampu melihat sesuatu secara berbeda, mampu bekerja (baik secara
independen maupun bersama orang lain), kreatif, peduli dan rela memberikan kontribusi
kepada komunitas, merawat hal-hal yang baik, memiliki integritas dan menghargai diri
sendiri, memiliki keberanian moral, mampu menggunakan dunia di sekelilingnya secara
konstruktif, mampu berbicara, menulis, membaca dan bekerja secara baik, serta sungguhsungguh menikmati hidup dan pekerjaannya. Semua itu merupakan kapabilitas yang
diperlukan manusia untuk dapat menjadi sejahtera dan bahagia. Evaluasi pendidikan di
tataran individu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hal itu semua telah dicapai.
UI mendorong berkembangnya kapabilitas para mahasiswa dan dosennya. Di
antaranya dengan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu secara
xiii
finansial, menyediakan pelayanan kesehatan dan fasilitas fisik dengan dasar kesetaraan,
memberlakukan sistem biaya operasional pendidikan (BOP) berkeadilan yang menggunakan
prosedur subsidi silang, melibatkan mahasiswa dalam riset, dan mendorong dan memfasilitasi
dosen-dosen melakukan riset sesuai dengan bidang minatnya.
Dasar dari kebijakan itu adalah kesadaran bahwa meskipun setiap orang memiliki
potensi untuk memperoleh kapabilitas dan kemerdekaan, aktualisasinya memerlukan
perjuangan yang tak ringan. Dengan kata lain, kapabilitas dan kemerdekaan harus
diperjuangkan. Pendidikan yang merupakan bagian dari aktivitas mengembangkan dan
menjaga kesatuan diri setiap pribadi dalam rangka partisipasi mengembangkan dunia pun
harus diperjuangkan. UI mengupayakan agar kesetaraan pendidikan itu dapat dicapai secara
aktual. Pembedaan BOP, sebagai contoh, dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan
mahasiswa yang kurang mampu secara finansial dengan memberikan keringanan biaya kuliah
atau beasiswa penuh kepada mereka.
UI juga mengupayakan kemerdekaan dari tuntutan dan penindasan rezim manfaat,
kekuasaan industri, dan pasar tenaga kerja dengan meleluasakan dosen-dosennya melakukan
riset-riset sesuai dengan minat dan bidang keahliannya, terlepas dari apakah riset-riset itu
dibutuhkan oleh pasar atau tidak. Lalu, dengan bekal hasil riset mereka, para dosen itu
mengajar dan mengembangkan kapabilitas mahasiswa. UI, tentu saja, juga mementingkan
manfaat, bekerja sama dengan industri, dan ikut mendukung tersedianya tenaga kerja yang
kompeten. Namun, di atas semua itu, UI terutama mendidik mahasiswa agar berkarakter kuat,
mempunyai kapabilitas, dan merdeka sebagai tujuan utamanya.
komputer dan internet, serta alat-alat lain yang disesuaikan dengan jenis dan bentuk
pemelajaran mahasiswa. Selain itu, buku ajar ini hanya memuat informasi yang terbatas dan
oleh karena itu mahasiswa diharapkan dan didorong untuk juga memanfaatkan sumbersumber bacaan lain untuk memperkaya pengetahuan mereka.
Buku ajar ini memuat bahan-bahan bacaan mengenai kekuatan dan keutamaan
karakter, filsafat, logika yang sekaligus juga memuat materi berpikir kritis, etika,
pengembangan diri individu, kehidupan sosial yang mencakup masyarakat dan bangsa, dan
kebudayaan. Bahan-bahan itu dimasukkan ke dalam tiga buku. Buku I memuat dasar-dasar
yang dibutuhkan dalam usaha perolehan dan penerapan pengetahuan, yaitu Filsafat, Logika,
Etika, dan Kekuatan dan Keutamaan Karakter. Buku II berisi pokok-pokok Manusia,
Masyarakat, dan Kesadaran Lingkungan.
xv
DAFTAR PUSTAKA
untuk Pengantar
xvi
xvii
DAFTAR ISI
PENGANTAR .. iii
DAFTAR PUSTAKA untuk Pengantar ... xvi
DAFTAR ISI.. xviii
BAB I: KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER
1. Pendahuluan... 1
2. Kepribadian dan Karakter...... 2
3. Kekuatan dan Keutamaan Karakter.... 4
4. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional. 4
5. Kriteria Karakter yang Kuat. 6
6. Keutamaan dan Kekuatan Karakter yang Membentuknya. 7
7. Karakter dan Spiritualitas.. 12
8. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan. 15
DAFTAR PUSTAKA untuk Bab I....................................................................
17
xxi