Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan perdarahan merupakan keadaan perdarahan yang disebabkan
oleh kemampuan pembuluh darah, platelet, dan faktor koagulasi pada sistem
hemostatis. Gangguan perdarahan dapat bersifat genetik maupun dapatan.
Prosedur di dalam perawatan gigi dan mulut dapat menyebabkan perdarahan.
(Riyanti, 2010)
Dalam keadaan normal tindakan ini tidak menyebabkan gangguan, namun
pada pasien dengan gangguan pembekuan darah tindakan perawatan gigi dan
mulut dapat menyebabkan keadaan pasien menjadi lebih parah. (Little, 2002).
Pemeriksaan awal yang meliputi pemeriksaan kesehatan umum, pemeriksaan
fisik, skrining laboratoris, dan melakukan observasi setelah dilakukan tindakan
merupakan hal hal yang harus diperhatikan saat melakukan perawatan gigi.
(Scully, 2002). Dokter gigi sebaiknya mengetahui faktor-faktor dan proses yang
terjadi pada pembekuan darah sehingga tindakan yang akan dilakukan tidak
menjadi penyebab terjadinya keadaan yang fatal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Perdarahan
2.1.1 Definisi Gangguan Perdarahan

Gangguan perdarahan merupakan keadaan perdarahan yang disebabkan


oleh kemampuan pembuluh darah, platelet, dan faktor koagulasi pada sistem
hemostatis. Gangguan perdarahan dapat bersifat genetik maupun dapatan.
Gangguan perdarahan merupakan faktor resiko pada tindakan perawatan gigi dan
mulut. Penderita mengalami waktu perdarahan yang panjang bahkan dapat pula
mengalami perdarahan yang terus-menerus. (Riyanti, 2010)
2.1.2 Klasifikasi Gangguan Perdarahan
1. Defisiensi Faktor Koagulasi

Kongenital
Hemofili A dan B
Von Willebrands disease
Bawaan
Penyakit liver
Kekurangan vitamin k, penggunaan

2. Kelaianan Platelet

warfarin
Kelainan kuantitatif
Mediasi imun
1.
2.
3.
4.

Idiopathik
Drug induceed
Kelainan kolagen vascular
Sarcoidosis

Mediasi non imun


1. Disseminated

Koagulasi

intravaskular
2. Microangiopathic

hemiolityc

anemia

3. Leukemia
4. myelofibrosis
Kelainan kualitatif
Kongenital
1. Glanzmann thrombsthenia
2. Con willebrands disease
Bawaan

4. Kelainan vaskular

1. Drug induceed
2. Penyakit liver
3. Alcoholism
Scurvy
Purpura
Hereditary hemorrhagic telangiectasia
Cushing syndrome

5. Fibrinolytic defects

Ehles danlos syndrome


Streptokinase therapy
Disseminated intravascular coagulation

2.1.3 Etiology
Perubahan patologis dari pembuluh darah, penurunan angka platelet,
kekurangan salah satu faktor koagulasi dapat mengakibatkan perdarahan secara
klinis. (Little, 2002)

2.1.4 Kontrol Normal Perdarahan


Fase hemostasis untuk mengontrol perdarahan terjadi tiga fase yaitu, fase
vaskular, platelet, dan koagulasi, fase koagulasi diikutin fase fibrinolytic dimana
melarutkan blood clot. (Little, 2002)

1. Fase vaskular, vasokontriksi pada daerah injury segera setelah trauma


2. Fase platelet, platelet dan dinding pembuluh darah menjadi lekat, platelet
menutup dari bagian pembuluh darah yang terbuka
3. Fase koagulasi, darah di pembuluh darah mengalami koagulasi secara
perlahan
4. Fase fibrinolytic, pengeluaran dari agen antitrombotic, limpa dan liver
menghancurkan agen antitrombotic

2.1.5

Manifestasi Klinis Pasien dengan Kelainan Darah


Jaundice, pallor, ecchymosis, hemarthrosis, dan dissecting hematomas

merupakan gambaran klinis yang sering terlihat pada pasien dengan gangguan
koagulasi genetik, dan pasien dengan jumlah platelet abnormal/trombositopeni
sering mengalami ptechiae dan ecchymosis. Penderita leukemia akut dan kronis
sering menunjukkan gejala ulserasi pada mukosa oral, hiperplasia gusi, ptechiae
dan ecchymosis pada kulit dan membran mukosa, serta lymphadenopathy. (Little,
2002)

Gambar 1. Ecchymosis
Sumber : Riyanti, 2010

Gambar 2. Hiperplasi Gusi


Sumber : Riyanti, 2010

Gambar 3. Ptechiae pada Tangan


Sumber : Riyanti, 2010

Gambar 4. Ptechiae pada Palatum


Sumber : Riyanti, 2010

2.1.6

Gambar 5. Spider Angiomas


Sumber : Riyanti, 2010
Pemeriksaan Laboratorium

Partial thromboplastin time (PTT) digunakan untuk memeriksa sistem


intrinsik (faktor VIII, IX, XI, dan XII) dan jalur utama (faktor V dan X,
protrombin, dan fibrinogen). Tes ini juga merupakan tes terbaik untuk screening
gangguan koagulasi. Prothrombine time digunakan untuk memeriksa jalur
ekstrinsik (faktor VII) dan jalur utama (faktor V dan X, prothrombin, dan
fibrinogen). Platelet count digunakan untuk memeriksa penyebab-penyebab
gangguan perdarahan akibat trombositopenia. Angka normal platelet count adalah
140.000-400.000/mm3 dari keseluruhan jumlah darah. Ivy bleeding time
digunakan untuk melihat gangguan fungsi platelet dan trombositopenia. Platelet
function analyzer 100 (FA-100) merupakan pemeriksaan invitro untuk mendeteksi
disfungsi platelet. Trombine time menunjukkan jumlah fibrinogen yang ada di
dalam darah. (Little, 2002)

2.1.7 Deteksi Pasien dengan Riwayat Perdarahan

1.Riwayat Penyakit Lengkap


a.Riwayat keluarga yang memiliki gangguan perdarahan
b.Gangguan perdarahan setelah dilakukan operasi dan pencabutan gigi
c.Gangguan perdarahan setelah mengalami trauma
d.Konsumsi obat-obatan yang menimbulkan masalah perdarahan seperti aspirin,
antikoagulan, pemakaian antibiotika jangka panjang, dan obat-obat herbal
e.Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan gangguan perdarahan seperti
leukemia, penyakit liver, hemofilia, penyakit jantung bawaan, penyakit ginjal
f.Perdarahan spontan dari hidung, mulut, telinga, dan lain-lain
2. Pemeriksaan Fisik
a. Jaundice dan pallor
b. Spider angiomas
c. Ecchymosis
d. Ptechiae
e. Oral ulcers
f. Hyperplastic gingival tissues
g. Hemarthrosis
3.Skrining laboratoris
a. PT, nilai normal 11- 15 detik
b. aPTT, nilai normal 25 35 detik
c. TT, nilai normal 9 13 detik
d. PFA-100, nilai normal 60-120 detik

e.Jumlah Platelet, nilai normal 140.000-400.000, perdarahan parah terjadi jika


kurang dari 50.000
4.Tindakan pembedahan yang pernah dialami sehingga menimbulkan gangguan
perdarahan. Skrining laboratoris perlu dilakukan terutama pemeriksaan PT, aPTT,
TT, PFA-100 dan platelet count. (Little, 2002)

2.1.8. Makna perubahan nilai pembekuan darah normal (Muttaqin, 2008)


Tes
Masa
pembekuan
koagulasi

Nilai normal
Makna perubahan nilai
atau 6-7 menit (tube kaca) 16- Memanjang pada defisiensi
69 menit (tube silikon)
semua faktor pembekuan kecuali
faktor VII dan VIII
Masa protombin
10-14 dtk
Memanjang pada defisiensi
faktor I, II, V, VII, dan X,
vitamin K tidak adekuat, dan
jalur ekstrinsik
Masa tromboplastin parsial
30- 45 dtk
Memanjang pada defisiensi
faktor I, II, V, VIII, dan IX, X,
XI, XII; jalur intrinsik
Masa tromboplastik parsial 16- 23 dtk
teraktivasi
Jumlah trombosit
150.000- 300.000 /ul
Meningkat pada malignansi,
penyakit mielopoliferasi, anemia
defisiensi
besi,
gangguan
kolagen,
sirosis
hati,
trombositosis
Masa perdarahan
2.5-9 mnt (metode ivy), 8 Memanjang
pad
mnt (metode Duke)
trombositopenia, akibat obat
aspirin,
indometasin,
fenibutazon,mielopoliferasi,
hipotrombinemia,

Retraksi bekuan

Jenis penyakit

Mulai : 30 60 mnt
Sekesai : 12 24 jam

Gejala

Tes Darah

Mudah lelah,
edema
perifer,
misalnya
bengkak
pada kaki,
pucat
(telapak
tangan,
konjunctiva)
,
flow
murmur
sistolik.
kulit yang
pucat,
beberapa
memar,
perdarahan,
perdarahan
retina
Darah sukar
membeku,
perdarahan
spontan

Eritrosit,
Leukemia,
Trombosit,
laju endap
darah [LED]
atau protein
reaktif-C
(CRP) : tipe
anemia

Von
Willebrands
disease

Anemia

Leukemia

Hemofilia A

hipofibrinogenemia
Memanjang
pada
trombositopenia,
trombastenia
(kekurangan pelepasan oksigen)

Defek

Tindakan
medis
Defisiensi atau DDAVP,
kelainan vWF EACA,
yang
mengganti
menyebabkan faktor VIII
kerusakan
yang dirusak
adhesi platelet, oleh
defisiensi
vWF
faktor VIII

Darah
Lengkap,
Pemeriksaan
darah tepi dan
pemeriksaan
sumsum
tulang.
APTT
Defisiensi atau
memanjang,
defek pada
PT normal,
faktor VIII
cek

DDAVP,
EACA, faktor
VIII;
porcine faktor

10

kromosom X

Hemofilia B

Darah sukar
membeku,
perdarahan
spontan

APTT
memanjang,
PT normal,
cek
kromosom X

VIII, PCC,
aPCC, faktor
VIIa, dan atau
pemberian
steroids
Defisiensi atau Pemberian
defek pada
faktor IX
faktor IX

Trombositopeni
primer

Platelet
mengalami
kerusakan
akibat proses
autoimun

Pemberian
prednisone, IV
gamma
globulin; dan
platelet
transfusion

Trombositopeni
sekunder

Defisiensi
platelet yang
menyebabkan
terjadinya
percepatan
destruksi
platelet,
berkurangnya
produksi
platelet, dan
platelet
abnormal

Tranfusi
platelet

BernardSoulier

Defek genetik Transfusi


pada membran platelet
platelet; tidak
terdapat
glicoprotein Ib
(GP-Ib) yang
menyebabkan
gangguan pada
adhesi platelet

Penyakit Liver

protombin

Defek pada

Pemberian

11

time,

DIC

faktor
koagulasi
multipel

vitamin K,
pemberian
terapi
pengganti
hanya bila ada
perdarahan
serius setelah
tindakan
pembedahan

Defek faktor
koagulasi
multipel yang
menimbulkan
degradasi
fibrin dan
fibrinogen
sehingga
terjadi
fibrinolisis dan
trombositopen
i

Pemberian
heparin,
cryoprecipitat
e atau
pemberian
fresh frozen
plasma
sebagai
pengganti
fibrinogen,
transfusi
platelet

2.1.9. Evaluasi Hemostasis Preoperative


Rodgers tidak merekomendasikan pemeriksaan preoperative rutin pada
pasien dengan riwayat perdarahan negatif dan tindakan bedah minor seperti
ekstraksi. Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk bedah mayor, lakukan
pemeriksaan penghitungan jumlah platelet, aPTT. Pasien dengan riwayat
hemostasis yang bururk seperti penggunaan bypass harus dilakukan pemeriksaan
PT, aPTT, openghitungan platelet, BT, faktor XIII, clot lysis time. Pasien dengan
riwayat perdarahan baik itu bedah minor ataupun mayor harus dilakukan
dilakukan pemeriksaan PT, aPTT, openghitungan platelet, BT, faktor XIII, clot

12

lysis time. Apabila hasilnya negatif maka dilakukan tes berikutnya yaitu, faktor
VIII dan IX, TT alpha 2 antiplasmin, post aspirin BT dan faktor XI. (Little, 2002)
Pasien dengan riwayat perdarahan harus dikonsul ke hematologist untuk
screening secara keseluruhan. Dokter gigi dapat melihat hasil skreening Aptt, pt,
TT, penghitungan platelet, PFA-100, jika PFA-100 tidak ada dapat digunakan Ivy
BT. (Little, 2002)

2.2 Anemia
Seseorang dikatakan anemia bila kadar hemoglobin berada dibawah rata
rata nilai normal. Kadar hemoglobin bervariasi menurut jenis kelamin dan usia.
(Davey, 2005)
2.2.1 Gejala
Gejala anemia tergantung pada kelainan yang mendasari dan tingkat
keparahan dan lamanya onset. Anemia ringan tidak menimbulkan gejala. Anemia
yang berat dapat menimbulkan gejala kelelahan, edema perifer, misalnya bengkak
pada kaki, sesak napas teritama ada penyakit jantung dan paru. Anemia sering
menyebabkan dekompensasi pada gagal jantung kronis. Pemeriksaan fisik pada
anemia biasanya tidak menunjukkan tanda apapun. Ada pucat (telapak tangan,
konjunctiva), walaupun tanda ini tidak bisa diandalkan karena banyak orang yang
tampak pucat tidak anemia, dan yang anemia namun tidak pucat. Adanya flow
murmur sistolik. (Davey, 2005)
2.2.2.Penatalaksanaan

13

Anemia merupakan kelainan fisiologis, bukan suatu diagnosis. Oleh


karenanya harus ditegakkan diagnosis akhir berupa suatu penyakit. Langkah
pertama dalam melakukannya adalah mengelompokkan anemia menurut ukuran
eritrosit. (Davey, 2005)
1. Anemia mikrositik / hipokromik : ukuran eritrosit lebih kecil dari normal
(mikrositik) dengan kadar hemoglobin lebih rendah dari normal
(hipokromik). Penyebab tersering adalah anemia definisi Fe talasemia.
2. Anemia normokromik dan normositik: kadang-kadang disebut anemia
karena penyakit kronis. Ukuran eritrosit normal atau hanya sedikit
mengecil dan konsentrasi hemoglobin normal, penyebab tersering
diantaranya:
a. Infeksi kronis, seperti tuberkolosis (TB) dan osteomielitis.
b. Penyakit radang seperti artritis reumatoid dan penyakit jaringan
ikat.
c. Keganasan.
d. Gagal ginjal.
e. Anemia karena penyakit kronis terjadi sebagian karena efek
inhibitor dari interleukin 1 pada eritropoiesis dan definisi
eritropoientin (yang terakhir terutama pada gagal ginjal). Sering
terjadi komplikasi defisiensi Fe dan bisa menjelaskan bila ada
penurunan kadar hemoglobin.
3. Anemia makrositik: ukuran eritrosit lebih besar dari normal. Penyebab
tersering diantaranya:
a. Defisiensi bitamin B12 atau folat.
b. Pemberian obat sitotoksik, seperti azatioprin atau siklofosfamid.
c. Mielodisplasia.
4. Anemia hemolitik.
a. Hipotiroidisme: bisa menyebabkan anemia normositik atau
makrositik.

14

b. Penyakit hati penyalagunaan alkohol menyebabkan makrositosis,


tapi tidak terjadi anemia. Kecuali bersamaan dengan pendarahan
atau defisiensi hematin.
2.2.3. Pemeriksaan Penunjang
Gambar klinis dan ciri morfologis eristrosit mengharuskan dibuatnya apusan
darah tepi. Pemeriksaan berikut seringkali bermanfaat: (Davey, 2005)
1. Apus darah tepi bisa menegakkan diagnosis penyakit hematologis primer
dan juga penyakit sistemik. Oleh karenanya pemeriksaan ini mutlak
diperlukan pada semua anemia yang belum terdiagnosis dengan
pemeriksaan sederhana. Diskusi empat mata dengan ahli hematologi
sering mempercepat proses penegakan diagnosis.
2. Hitung darah lengkap untuk mencari jumlah leukosit atau trombosit bisa
membantu. Kenaikan jumlah leukosit menunjukkan:
o Adanya penyakit kronis yang mendasari (neutrofil shift-to-theleft).
o Proses mieloproliferatif (leukemia, dan lain-lain) bila didapatkan
leukosit matur (leukemia kronis) atau imatu (leukimia akut).
Jumlah leukosit yang menurun menunjukkan adanya hipo atau aplastik pada
sumsum tulang. Jumlah trombosit yang meningkat merupakan tanda anemia
akibat penyakit kronis, pendarahan, atau prosesmieloproliferatif. Jumlah trombosit
menurun merupakan tanda aplasia sumsum tulang.

15

Pemeriksaan apus sumsum tulang jarang digunakan dalam diagnosis anemia,


dan akan menyingkirkan atau menegaskan secara pasti sebagai besar

diagnosis hematologis.
Biokimiawi ginjal dan hati bisa menegakkan diagnosis kelainan organ

spesifik yang mendasari.


Penanda peradangan (laju endap darah [LED] atau protein reaktif-C [CRP]
seringkali meningkat pada anemia akibat penyakit kronis, seperti keganasan

diseminata, sepsis, vaskulitis.


Keadaan tiroid: hipotiroidisme bisa menyebabkan anemia maksorisitik atau

normositik.
Kultur darah bisa bermanfaat bila ada dugaan sepsis.

2.2.4. Terapi
Terapi suportif dengan diberikan tranfusi darah, yang diulangi beberapa kali
untuk meminimalkan gejala. (Davey, 2005). Obat obatan untuk anemia meliputi
produk darahm imunoterapy, hormon/ nutrisi. Tujuan terapi untuk mengembalikan
hemodinamik dari vaskular dan menggantikan sel darah merah yang hilang.
Untuk mendapatkan itu, dapat digunakan suplemen mineral dan vitamin K,
transfusi darah, vasopressor, histamin (H2) antagonistm dan glucocrticosteroid.
1. Transfusi fresh frozen plasma yang mengandung faktor koagulasi,
transfusi ini dapat digunakan juga untuk perawatan dari koagulopati dan
trombositopenic purpura dan penggunaan warfarin.
2. Transfusi CPR digunakan untuk merawat penyakit Von Willebrand
disease. Mengandung fibrinogen, faktor VII, dan faktor Von Willebrand,
serta dapat digunakan sebagai konsentrat faktor VIII.

16

3. Platelet. Pasien dengan jumlah platelet kurang dari 10.000/mcL


mempunyai resiko hemorafi serebral dan membutuhkan transfusi platelet
profilaksis.
4. Suplemen mineral yang bertujuan untuk memberikan iron adekuat pada
sistem hemoglobin. Obat ini dapat digunakan sebagai profilaksis pada
penderita anemia yang sedang hamil, untuk menghindari kehilangan darah
ketika melahirkan. Ferrous sulfate (mykidz iron 10, Fer- iron, Slow FE)
5. Iron carbonyl (feosol, iron chews, icar)
6. Vitamin digunakan untuk jalur metabolik dan sintesis DNA dan sintesis
protein.
Vitamin B12 dan asam folat digunakan untuk perawatan dari anemia
megaloblastic dan ,acrocytic. Kedua zat tersebut digunakan untuk sintesis
purine necleotides.
7. Cyanocobalamine (calo-mist, ener-B, Nascobal)
8. Deoxyadenosylcobalamine adalah bentuk dari vitamin B12 pada manusia.
9. Asam folat (folvite)
Asam folat merupakan kofaktor dari enzim yang digunakan untuk
produksi sel darah merah.
10. Vitamin K
Defisiensi vitamin K bergantung pada faktor II, VII, IX, X, protein C,
protein S dapat menyebabkan perdarahan. Defisiensi vitamin K
menyebabkan perubahan dari hasil test protombin time dan sering terjadi
pada pasien dengan penyakit liver. Vitamin K digunakan juga untuk
perawatan

dari

perdarahan,

warfarin

induceed

bleeding,

hyptotrombinemia disebabkan kasus penggunaan obat aspirin dan


atnibiotik.

2.3. Leukemia

17

Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik


pada satu atau banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal
akan tertekan pada waktu sel leukemia bertambah banyak sehingga akan
menimbulkan gejala klinis. Terdapat dua jenis yaitu leukemia akut dan kronis.
(Davey, 2005)
2.3.1 Gejala dan tanda
Gejala leukemia akut biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat
dibedakan menjadi tiga tipe: (Davey, 2005)
1. Gejala kegagalan sumsum tulang merupakan menifestasi keluhan yang paling
umum. Leukemia menekan fungsi sumsum tilang, menyebabkan kombinasi
dari anemia, leukopenia (jumlah sel darah putih rendah) dan trombositopenia
(jumlah trombosit rendah). Gejala ini yang tipikal adalah lelah dan sesak
napas (akibat anemia), infeksi bakteri (akibat leukopenia), dan perdarahan
(akibat trombositopenia dan terkadang akibat koagulasi intravaskular
diseminata [DIC]). Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit yang pucat,
beberapa memar, dan perdarahan. Demam menunjukan adanya infeksi,
walaupun pada beberapa kasus, demam dapat disebabkan oleh leukemia itu
sendiri. Namun, cukup berbahaya apabila kita menganggap bahwa demam
yang

terjadi

akibat

leukimia

itu

sendiri(lihat

penatalaksanaan).

Limpadenopati, apabila ditemukan, biasanya volumenya kecil dan lebih khas


pada ALL dari pada AML.
2. Gejala sistematik berupa malaise, penurunan berat badan, berkeringat, dan
anoreksia cukup sering terjadi.

18

3. Gejala lokal: terkadang pasien darang dengan gejala atau tanda infiltrasi
leukemia di kulit, gusi, atau sistem saraf pusat.
Gejala leukemia kronis:
Sekitar 25% penderita leukemia kronis tidak menunjukkan gejala.
Penderita leukemia kronis yang mengalami gejala biasanya ditemukan
limfadenopati generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan. Gejala lain
yaitu hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan atau olahraga.
Demam, keringat malam dan infeksi semakin parah sejalan dengan perjalanan
penyakitnya. (Asra, 2010)
2.3.2. Pemeriksaan Penunjang
2.3.2.1. Diagnosis dini
2.3.2.1.1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali (86%),
hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, dan perdarahan
retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi yang mudah berdarah.
Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang disebabkan adanya perdarahan
fundus oculi. Pada penderita leukemia jenis LLK ditemukan hepatosplenomegali
dan limfadenopati. Anemia, gejala-gejala hipermetabolisme (penurunan berat
badan, berkeringat) menunjukkan penyakitnya sudah berlanjut. Pada LGK/LMK
hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Selain itu Juga
didapatkan nyeri tekan Universitas Sumatera Utara pada tulang dada dan

19

hepatomegali. Kadang-kadang terdapat purpura, perdarahan retina, panas,


pembesaran kelenjar getah bening dan kadangkadang priapismus. (Asra, 2010)
2.3.2.1.2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi
dan pemeriksaan sumsum tulang. (Asra, 2010)
a. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%) dan
kadang-kadang leukopenia (25%).48 Pada penderita LMA ditemukan penurunan
eritrosit dan trombosit. Pada penderita LLK ditemukan limfositosis lebih dari
50.000/mm3 , sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan leukositosis lebih
dari 50.000/mm3. (Asra, 2010)
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut
ditemukan keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel
leukemia (blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang
matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti
dalam sumsum tulang.20 Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi merata
oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih
95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B.47 Sedangkan pada
penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah

20

megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari


30.000/mm. (Asra, 2010)

2.3.3 Penatalaksanaan
1. Resusitasi antibiotik dalam dosis tinggi
2. Kemoterapi
3. Transplantasi sumsum tulang. (Davey, 2005)
2.4. Hemofilia
Hemofilia adalah gangguan produksi faktor pembekuan yang diturunkan.
(Kosman, 2013).
2.4.1 Etiologi
Penyakit ini terjadi akibat kelainan sintesis salah satu faktor pembekuan,
dimana pada hemofilia A terjadi kekurangan F VIII (Antihemophilic factor),
sedangkan pada hemofilia B terjadi kekurangan F IX (Christmas factor).
Hemofilia A mencakup 80-85% dari keseluruhan penderita hemofilia. (Kosman,
2013)
2.4.2 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis hemofilia A serupa dengan hemofilia B yaitu perdarahan
yang sukar berhenti. Secara klinis hemofilia dapat dibagi menjadi hemofilia
ringan (konsentrasi FVIII dan F IX 0.05-0.4 IU/mL atau 5-40%), hemofilia
sedang (konsentrasi FVIII dan F IX 0.01-0.5 IU/mL atau 1-5%) dan hemofilia

21

berat (konsentrasi FVIII dan F IX di bawah 0.01 IU/mL atau di bawah 1%). Pada
penderita hemofilia ringan perdarahan spontan jarang terjadi dan perdarahan
terjadi setelah trauma berat atau operasi,. Pada hemofilia sedang, perdarahan
spontan dapat terjadi atau dengan trauma ringan. Sedangkan pada hemofilia berat
perdarahan spontan sering terjadi dengan perdarahan ke dalam sendi, otot dan
organ dalam. Perdarahan dapat mulai terjadi semasa janin atau pada proses
persalinan. Umumnya penderita hemofilia berat perdarahan sudah mulai terjadi
pada usia di bawah 1 tahun. Perdarahan dapat terjadi di mukosa mulut, gusi,
hidung, saluran kemih, sendi lutut, pergelangan kaki dan siku tangan, otot
iliospoas, betis dan lengan bawah. Perdarahan di dalam otak, leher atau
tenggorokan dan saluran cerna yang masif dapat mengancam jiwa. (Kosman,
2013).
2.4.3. Diagnosis
Diagnosis

ditegakkan

dengan

anamesis,

pemeriksaan

fisik

dan

laboratorium. Anamnesis diarahkan pada riwayat mudah timbul lebam sejak usia
dini, perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu tindakan, trauma ringan atau
spontan, atau perdarahan sendi dan otot. Riwayat keluarga dengan gangguan
perdarahan terutama saudara laki-laki atau dari pihak ibu juga mendukung ke
arah hemofilia. Hasil pemeriksaan darah rutin dan hemostasis sederhana sama
pada hemofilia A dan B. Darah rutin biasanya normal, sedangkan masa
pembekuan dan masa thromboplastin parsial teraktifkan (APTT) memanjang, dan
masa pembekuan thromboplastin abnormal. Masa perdarahan dan masa
prothrombin (PT) umumnya normal. Diagnosis pasti ditegakkan dengan

22

memeriksa kadar F VIII untuk hemofilia A dan F IX untuk hemofilia B, dimana


kedua faktor tersebut di bawah normal. Pemeriksaan petanda gen hemofilia pada
kromosom X juga dapat memastikan diagnosis hemofilia dan dapat digunakan
untuk diagnosis antenatal. Secara klinis, hemofilia A tidak dapat dibedakan
dengan hemofilia B, oleh karena itu diperlukan pemeriksaan khusus F VIII dan
IX. Wanita pembawa sifat hemofilia A dapat diketahui dengan memeriksa kadar F
VIII yang bisa di bawah normal, analisis mutasi gen hemofilia atau rasio F VIII
dengan antigen faktor von Willebrand (FVIII/vWF:Ag ratio) yang kurang dari 1.
Sedangkan wanita pembawa sifat hemofilia B dapat diketahui melalui aktivitas F
IX yang dapat menurun atau pemeriksaan genetik. Diagnosis banding hemofilia
adalah penyakit von Willebrand, defisiensi faktor koagulasi lain seperti FV, FVII,
FX, FXI, atau fibrinogen, atau kelainan trombosit seperti Glanzmann
trombastenia. (Kosman, 2013)
2.4.4. Tatalaksana
Tatalaksana penderita hemofilia harus dilakukan secara komprehensif
meliputi pemberian faktor pengganti yaitu F VIII untuk hemofilia A dan F IX
untuk hemofilia B, perawatan dan rehabilitasi terutama bila ada sendi, edukasi
dan dukungan psikososial bagi penderita dan keluarganya. Bila terjadi perdarahan
akut terutama daerah sendi, maka tindakan RICE (rest, ice, compression,
elevation) segera dilakukan. Sendi yang mengalami perdarahan diistirahatkan dan
diimobilisasi. Kompres dengan es atau handuk basah yang dingin, kemudian
dilakukan penekanan atau pembebatan dan meninggikan daerah perdarahan.
Penderita sebaiknya diberikan faktor pengganti dalam 2 jam setelah perdarahan.

23

4,15 Untuk hemofilia A diberikan konsentrat F VIII dengan dosis 0.5 x BB (kg) x
kadar yang diinginkan (%). F VIII diberikan tiap 12 jam sedangkan F IX
diberikan tiap 24 jam untuk hemofilia B. Kadar F VIII atau IX yang diinginkan
tergantung pada lokasi perdarahan dimana untuk perdarahan sendi, otot, mukosa
mulut dan hidung kadar 30-50% diperlukan. Perdarahan saluran cerna, saluran
kemih, daerah retroperitoneal dan susunan saraf pusat maupun trauma dan
tindakan operasi dianjurkan kadar 60- 100%. Lama pemberian tergantung pada
beratnya perdarahan atau jenis tindakan. (Kosman, 2013)
Pencabutan gigi atau epistaksis, diberikan selama 2-5 hari, sedangkan
operasi atau laserasi luas diberikan 7-14 hari. Untuk rehabilitasi seperti pada
hemarthrosis dapat diberikan lebih lama lagi. Kriopresipitat juga dapat diberikan
untuk hemofilia A dimana satu kantung kriopresipitat mengandung sekitar 80 U F
VIII. Demikian juga dengan obat antifibrinolitik seperti asam epsilon aminokaproat atau asam traneksamat. Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid harus
dihindari karena dapat mengganggu hemostasis. Faktor IX menggunakan obat
BeneFix, Monoine. Obat ini dapat digunakan untuk mengobati Hemofili B.
Faktor VIII menggunakan obat advate, helixate, xyntha. Obat ini digunakan
untuk mengobati Hemofili A. Agen antifibrinolytic untuk mencegah perdarahan
spontan di mukosa mulut, terutama digunakan unutuk pasien hemofilia. Obat ini
merupakan kontraindikasi untuk pasien hemofilia dengan penyakit hematuria
yang berasal dari urinaria, karena dapat mengobstruksi uropati atau anuria. Tidak
boleh dikombinasikan dengan protombin complex concentrate. Obat ini ialah
epsilon aminocaproic acid (amicar) dan tranexamic acid (cyklokapron).

24

Tranexamid acid menghambat fibrinolisis dengan mengganti plasminogen dari


fibrin. WHO dan WFH merekomendasikan profilaksis primer dimulai pada usia
1- 2 tahun dan dilanjutkan seumur hidup. Profilaksis diberikan berdasarkan
Protokol Malm yang pertama kali dikembangkan di Swedia yaitu pemberian F
VIII 20-40 U/kg selang sehari minimal 3 hari per minggu atau F IX 20-40 U/kg
dua kali per minggu. Untuk penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin
(1-deamino-8- arginine vasopressin, DDAVP) suatu anolog vasopressin dapat
digunakan untuk meningkatkan kadar F VIII endogen ke dalam sirkulasi, namun
tidak dianjurkan untuk hemofilia berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih
belum jelas, diduga obat ini merangsang pengeluaran vWF dari tempat
simpanannya (Weibel-Palade bodies) sehingga menstabilkan F VIII di plasma.
Penderita hemofilia dianjurkan untuk berolah raga rutin, memakai peralatan
pelindung yang sesuai untuk olahraga, menghindari olahraga berat atau kontak
fisik. Berat badan harus dijaga terutama bila ada kelainan sendi karena berat
badan yang berlebih memperberat arthritis. Kebersihan mulut dan gigi juga harus
diperhatikan. Vaksinasi diberikan sebagaimana anak normal terutama terhadap
hepatitis A dan B. Vaksin diberikan melalui jalur subkutan, bukan intramuskular.
Pihak sekolah sebaiknya diberitahu bila seorang anak menderita hemofilia supaya
dapat membantu penderita bila diperlukan. Upaya mengetahui status pembawa
sifat hemofilia dan konseling genetik merupakan hal yang terpadu dalam
tatalaksana hemofilia. Konseling genetik perlu diberikan kepada penderita dan
keluarga. Konseling meliputi penyakit hemofilia itu sendiri, terapi dan prognosis,
pola keturunan, deteksi pembawa sifat dan implikasinya terhadap masa depan

25

penderita dan pembawa sifat. Deteksi hemofilia pada janin dapat dilakukan
terutama bila jenis mutasi gen sudah diketahui. Sampel dapat diperoleh melalui
tindakan sampling villus khorionik atau amnionsintesis. (Kosman, 2013)

2.5 Persiapan Preoperatif Pasien dengan Gangguan Perdarahan


Tindakan penyaring terbaik untuk gangguan pembekuan darah, adalah
anamnesis cermat. Pasien dengan riwayat pembekuan darah yang lama, hematoma
atau perdarahan intraartikular setelah trauma atau mudah memar, membuktikan
evaluasi laboratorium tentang adanya kelainan perdarahan. Sebelum tindakan
vascular yang besar seperti pada operasi yang mungkin akan banyak
mengeluarkan darah atau tindakan pungsi struktur vascular perkutis seperti
arteriogram, maka normalnya dilakukan pemeriksaan koagulasi. (Sabiston,1994)
Pasien yang membutuhkan antikoagulan, baik heparin atau Koumadin,
membutuhkan persiapan prabedah khusus. Karena antikoagulan mungkin
diperlukan kembali dalam masa pascabedah untuk menghindari bahaya
tromboemboli, maka sebaiknya tidak menghilangkan antikoagulan secara
lengkapa untuk waktu yang lama. Operasi susunan saraf pusat (SSP), hati dan
mata membutuhkan penghilangan antikoagulan yang lengkap pada saat operasi.
(Sabiston,1994)
1.

Pemberian vitamin K secara parenteral atau infus plasma beku segar dianjurkan
untuk menghilangkan antikoagulansi akibat koumadin atau heparin

2.

prabedah,
Indikasi untuk pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) adalah untuk kadar PT atau
aPTT yang 1,5 kali lebih dari normal. Pemberian FFP dengan dosis 10-15
mL/kg akan menaikan konsentrasi faktor plasma 30%. FFP dapat pula
diberikan pada untuk pasien dengan defisiensi koagulopati atau pasien
dengan purpura trombositopenia.

26

3.

Indikasi diberikan transfusi kryopresipitat adalah saat diketahui kadar fibrinogen


kurang dari 80 mg/dL. Satu unit kryopresipitat per 10 kgBB akan menaikan
kadar fibrinogen sampai 50 mg/dL. The ASA Task Force mempunyai 3
rekomendasi untuk diberikan kryopresipitat yaitu profilaksis pada
nonbleeding perioperative atau pasien peripartum dengan defisiensi
kongenital fibrinogen atau penyakit Von Willenbrand yang tidak responsif
terhadap desmopressin acetate, pasien yang mengalami perdarahan dengan
penyakit Von Willebrand, koreksi perdarahan mikrovaskuler pada pasien
yang mengalami perdarahan masif dengan kadar fibrinogen kurang dari 80100 mg/dL, atau saat kadar fibrinogen tidak dapat diperiksa.
Pasien yang didasari kelainan darah2
1

Transfusi pack red cell (PRC) harus dilakukan pada pasien dengan Hb 7
g/dL
tanpa adanya kelainan jantung dan kardiovaskuler. American Collage of
Physician menentukan kadar Hb yang sama untuk indikasi transfusi. ASA
menentukan Hb 6 g/d untuk indikasi transfusi sampai kadar Hb 10 g/dL.
Canadian Medical Association menentukan kadar Hb 8 mg/dL untuk indikasi
transfusi PRC. College of AmericanPathologists menentukan kadar Hb
dibawah 6 g/dL atau kehilangan darah yang massif hingga mencapai lebih dari
30-40%. Norton dkk merekomendasikan kadar Hb 11 g/dL dan kadar
hematokrit 33% untuk melakukan operasi dengan kemungkinan post operasi
yang optimal. Indikasi untuk dilakukan transfusi trombosit adalah nilai
trombosit 10.000/mm3 pada pasien yang stabil, 20.000/mm3 pada pasien
dengan adanya keluhan demam atau terdapatnya infeksi, 50.000/mm3 untuk
persiapan infeksi dan kadar 50.000-100.000/mm3 untuk keadaan emergensi
atau pasien dengan critical ill.

27

Hemofilia dapat digambarkan oleh riwayat keluarga. Bila kadar faktor VIII
hemofilia A atau IX hemofilia B kurang dari 25% normal, maka dapat terjadi
perdarahan intraoperational atau pascabefag. Profilaksis untuk hemofilia
adalah memberikan transfusi CPR diberikan 2 jam sebelum operasi dalam
dosis tunggal dan terus diberikan dalam dosis kecil setiap 12 jam selama 1-

2minggu setelah operasi besar.


Penyakit hati merupakan penyebab tersering PT yang lama.

Pasien

malabsorbsi vitamin K juga dapat memanifestasikan PT yang lama. Pasien ini


harus dipersiapkan prabedah dengan pemberian vitamin K parenteral serta
4

transfusi plasma beku segar bila diperlukan.


Pasien yang membutuhkan antikoagulan, baik penderita leukemia dan
granulositopenia kurang dari 1000 pem3 memiliki resiko infeksi operasi yang
lebih besar. Antibiotik diindikasikan secara filaksis pasa pasien ini. Penderita
leukemia dan hitung trombosit kurang dari 50.000 harus diberikan tambahan
tramsfusi trombosit tepar sebelum operasi untuk meminimumkan perdarahan.
Bila sudah diputuskan untuk melakukan transfusi, sebaiknya darah

diberikan sekurang-kurangnya 24 jam sebelum operasi dengan batas maksimum 2


unit darah per hari. Tindakan ini memungkinkan waktu yang adekuat bagi tubuh
untuk mengumpulkan kembali 2,3 difofogliserat (DPG) serta menghindari beban
volume yang berlebihan. (Sabiston,1994)

28

29

BAB III
SIMPULAN

Gangguan perdarahan adalah perubahan kemampuan pembuluh darah,


platelet, dan faktor koagulasi untuk memelihara hemostasis. Pasien ini dapat
mengalami perdarahan abnormal, penyembuhan yang terlambat, infeksi, ulserasi
mukosa, dan dapat berakibat fatal. Gangguan darah harus dapat dideteksi segera
mungkin sebelum mendapat perawatan gigi yang invasif, karena identifikasi yang
baik dapat mengurangi resiko komplikasi pada tindakan gigi.
Pasien dengan gangguan darah yang dapat mengancam jiwa tidak boleh
dirawat tanpa konsultasi dengan dokter ahli. Pasien dengan riwayat perdarahan
harus dikonsul ke hematologist untuk screening secara keseluruhan.

30

DAFTAR PUSTAKA
Asra, D. 2010. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20969/4/Chapter%20II.pdf
Bonewit, Kathy, 2014. Todays ,edical Assistant : Clinical & Administrative.
Elsevier. P332
Davey, Patrick. 2005. Glance Medicine. Jakarta : Erlangga
Kosman, AS. 2013. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/35611/4/ Chapter
%20II.pdf
Little, James. 2002. Dental Management of the Medically Compromised Patient
7th ed. Canada : Mosby. P 33
Mohler, Emile. 2006. Advanced Therapy in Hypertension and
Vascular Disease. Hamilton : Columbia. P 58
Muttaqin, Arif. 2008. Buku asuh keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Riawan, lucky. Kasim, alwin. 2007. Materi kuliah bedah dento alveolar.
pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/10/pustaka_unpad_bedah
Riyanti, Eriska. 2010. Gangguan Perdarahan pada Perawatan Gigi dan Mulut.
Pustaka.unpad.ac.id>uploads>2010/06
Sabiston, D.C., 1994, Buku Ajar Bedah Sabiston Bagian 2, EGC, Jakarta.
Scully C. 2005. Medical Problems in Dentistry 5th ed. India : Churchill
Sinurat, TS. 2011. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21579/4/Chapter
%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai