Anda di halaman 1dari 26

Om Swastiyastu

Kelompok 1
Adi Pratama
(131001)
Agustuti Widiasari (131003)
Anastasia Leo
(131004)
Anik Rahayu
(131005)
Annisa Hanum
(131006)
Ari Swandewi
(131007)

PERAN, HAK DAN KEWAJIBAN


Menurut UU No. 36 Tahun 2009

Hak penerima layanan kesehatan


Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama
dalam memperoleh akses atas sumber daya di
bidang
kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu,dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan
bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Kewajiban Penerima Layanan Kesehatan


Pasal 9
(1) Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,
mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan
perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan
pembangunan berwawasan kesehatan.
Pasal 10
Setiap orang berkewajiban menghormati hak orang lain
dalam upaya memperoleh lingkungan yang
sehat, baik fisik, biologi, maupun sosial.
Pasal 11
Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan
derajat kesehatan bagi orang lain yang
menjadi tanggung jawabnya.

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH


Pasal 14
(1) Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan
upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikhususkan pada pelayanan publik.
Pasal 15
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan,
tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat
untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 16
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di
bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat
untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pasal 17
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap
informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk
meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Pasal 18
Pemerintah bertanggung jawab memberdayakan dan
mendorong peran aktif masyarakat dalam segala
bentuk upaya kesehatan.
Pasal 19
Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala
bentuk upaya kesehatan yang bermutu,
aman, efisien, dan terjangkau
Pasal 20
(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan
jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem
jaminan sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan.
(2) Pelaksanaan sistem jaminan sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan

KEWAJIBAN TENAGA KESEHATAN


Pasal 22
(1) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum.
(2) Ketentuan mengenai kualifikasi minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak
pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar
prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi
profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.

PERAN TENAGA KESEHATAN


Pasal 23
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan.
(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan wajib memiliki izin dari
pemerintah
(4) Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
(5) Ketentuan mengenai perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Peraturan
Menteri.

HAK TENAGA KESEHATAN


Pasal 27
(1) Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan
dan pelindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan
tugasnya berkewajiban mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban tenaga
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Ketika berbicara tentang kesehatan maka akan


melibatkan tiga komponen inti yang saling
terlibat yaitu tenaga kesehatan, pasien dan
pemerintah. Ketiganya memiliki keterkaitan satu
sama lain yang melahirkan hak dan kewajiban.
Adanya
hak
dan
kewajiban
membantu
meningkatkan
kepercayaan
pasien
dengan
memastikan bahwa sistem pelayanan kesehatan
bersifat cukup adil dan responsif terhadap
kebutuhan mereka.
Pembangunan
kesehatan
ditujukan
untuk
meningkatkan
kesadaran,
kemauan,
dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam
rangka mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal.

Hak atas kesehatan ini bermakna bahwa pemerintah


harus menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
individu untuk hidup sehat, dan ini berarti pemerintah
harus menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang
memadai dan pelayanan kesehatan yang terjangkau
untuk semua masyarakat. Salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan itu adalah RS Pemerintah. Setelah
tersedia fasilitas ini, maka masyarakat dapat
menggunakan
haknya
dalam
meningkatkan
kesehatannya. Dan tenaga kesehatan juga berperan
penting dalam membantu meningkatkan kesehatan
masyarakat dengan memberikan Informasi yang benar
tentang pelayanan rumah sakit kepada masyarakat,
memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu,
tidak diskriminasi, dan efektif dengan mengutamakan
kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan
rumah sakit.

Perbedaan UU No. 23 Tahun 1992


dan UU No.36 Tahun 2009

No.
1.

UU No. 36 Tahun 2009


Pasal 27 ayat (2)
Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya
berkewajiban
mengembangkan
dan
meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Pasal 29
Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi.

UU No. 23 Tahun 1992


Pasal 53 ayat (2)
Tenaga kesehatan dalam melakukan
tugasnya
berkewajiban
untuk
mematuhi
standard
profesi
dan
menghormati hak pasien.
Pasal 54 ayat (2)
Penentuan ada tidaknya kesalahan
atau kelalaian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan.

3.

Pasal 30 ayat (3)


Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh pihak Pemerintah,
pemerintah daerah, dan swasta.

4.

Pasal 37 ayat (2)


Pengelolaan perbekalan kesehatan yang berupa
obat esensial dan alat kesehatan dasar tertentu
dilaksanakan
dengan
memperhatikan
kemanfaatan, harga, dan faktor yang berkaitan
dengan pemerataan.

Pasal 56 ayat (2)


Sarana
kesehatan
sebagaimana
dimaksud dalam ayata (1) dapat
diselenggarakan oleh pemerintah dan
atau masyarakat.
Pasal 61 ayat (2)
Pengelolaan
perbekalan
kesehatan
yang berupa sediaan farmasi dan alat
kesehatan dasar tertentu dilaksanakan
dengan memperhatikan pemenuhan
kebutuhan, kemanfaatan, harga, dan
faktor
yang
berkaitan
dengan
pemerataan.

2.

5.

6.

7.

8.

Pasal 39
Pasal 64
Ketentuan mengenai perbekalan kesehatan Ketentuan
mengenai
perbekalan
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
kesehatan
ditetapkan
dengan
Peraturan Pemerintah
Pasal 97 ayat (4)
Pasal 48 ayat (3)
Ketentuan
mengenai
kesehatan
matra Ketentuan
mengenai
kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini diatur matra sebagaimana dimaksud dalam
dengan Peraturan Menteri.
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 64 ayat (1)
Pasal 33 ayat (1)
Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan Dalam penyembuhan penyakit dan
dapat dilakukan melalui transplantasi organ pemulihan
kesehatan
dapat
dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau dilakukan
transplantasi
organ
alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, dan/atau jaringan tubuh, transfuse
serta penggunaan sel punca.
darah, implan obat dan/atau alat
kesehatan,
bedah
plastik
dan
rekonstruksi.
Pasal 178
Pasal 73
Pemerintah
dan
pemerintah
daerah Pemerintah melakukan pembinaan
melakukan pembinaan terhadap masyarakat terhadap semua kegiatan yang
dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan berkaitan dengan penyelenggaraan
yang berhubungan dengan sumber daya upaya kesehatan.
kesehatan di bidang kesehatan dan upaya
kesehatan.

10

11

12

Pasal 181
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinan Ketentuan
mengenai
pembinaan
diatur dengan Peraturan Menteri.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
73 dan Pasal 74 ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 182 ayat (1)
Pasal 76
Menteri
melakukan
pengawasan
terhadap Pemerintah melakukan pengawasan
masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan terhadap
semua
kegiatan
yang
yang berhubungan dengan sumber daya di bidang berkaitan dengan penyelenggaraan
kesehatan dan upaya kesehatan.
upaya kesehatan baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 187
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut tentang pengawasan diatur Ketetntuan mengenai pengawasan
dengan Peraturan Menteri.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76
ditentukan
dengan
Peraturan
Pemerintah
Pasal 189 ayat (1)
Pasal 79 ayat (1)
Selain
penyidik
polisi
negara
Republik Selain penyidik pejabat polisi negara
Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil Republik
Indonesia
juga
kepada
tertentu di lingkungan pemerintahan yang pejabat pegawai negeri sipil tertentu
menyelenggarakan
urusan
di
bidang di
Departemen
Kesehatan
diberi
kesehatan juga diberi wewenang khusus wewenang khusus sebagai
sebagai
penyidik
sebagaimana
dimaksud penyidik
sebagaimana
dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan 1981 tentang Hukum Acara Pidana
penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan. untuk melakukan penyidikan tindak
pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.

13

Pasal 193
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan
bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan
mengubah identitas seseorang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)

14

Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi
atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan,
dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

15

Pasal 197
Setiap
orang
yang
dengan
sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus

Pasal 81 ayat (1C)


Barang siapa yang tanpa kehlian dan
kewenangan
dengan
sengaja
melakukan
bedah
plastic
dan
rekonstruksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau pidana denda
paling
banyak
Rp.140.000.000,00
(seratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 181 ayat (2b)
Barang
siapa
dengan
sengaja
memproduksi dan atau mengedarkan
alat kesehatan yang tidak memenuhi
standardan
atau
persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan atau pidana denda paling banyak
Rp.140.000.000,00 (seratus empat
puluh juta rupiah).
Pasal 81 ayat (2C)
Barang
siapa
dengan
sengaja
mengedarkan
sediaan
farmasi
dan/atau alat kesehatan tanpa izin
edar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tahun)
tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp.140.000.000,00 (seratus

Hal-hal yang tidak terakomodir dalam UU No. 23


Tahun 1992 dan terdapat di dalam UU NO. 36
Tahun 2009 adalah tentang peningkatan hak
tenaga
kesehatan,
penyedia
fasilatas
pelayanan, Peraturan Pemerintah menjadi
Peraturan Menteri dan ketentuan denda.

Standar Pelayanan dan Standar Prosedur


Operesional Tenaga Teknis Kefarmasian
Standar Pelayanan Tenaga Kefarmasian menurut Peraturan
Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan
kefarmasian
Pasal 34
(1)Tenaga Kefarmasian melaksanakan Pekerjaan
Kefarmasian pada:
a. Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi berupa industri
farmasi
obat, industri bahan baku obat, industri
obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang
memerlukan Tenaga Kefarmasian untuk menjalankan
tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu;
b. Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan
alat kesehatan melalui Pedagang Besar Farmasi,
penyalur alat kesehatan, instalasi Sediaan Farmasi dan
alat kesehatan milik Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
dan/atau

c. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian melalui praktik di Apotek,


instalasi
farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 51
(1)Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi
farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker.
(2)Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki
STRA.
(3)Dalam melaksanakan tugas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Apoteker dapat dibantu oleh Tenaga
Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK.

Standar Prosedur Operesional Tenaga Teknis


Kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah RI No. 51
Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian
Pasal 35
(1) Tenaga kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 harus memiliki keahlian dan kewenangan
dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian.
(2) Keahlian dan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilaksanakan dengan menerapkan
Standar Profesi.
(3)
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus didasarkan pada Standar
Kefarmasian, dan Standar Prosedur Operasional yang
berlaku sesuai fasilitas kesehatan dimana Pekerjaan
Kefarmasian dilakukan.
(4) Standar Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

Pasal 38
(1)Standar pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku di bidang
pendidikan.
(2)Peserta didik Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian
harus memiliki ijazah dari institusi pendidikan sesuai peraturan
perundang-undangan.
(3)Untuk dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), peserta didik yang telah memiliki ijazah
wajib memperoleh rekomendasi dari Apoteker yang memiliki
STRA di
tempat yang bersangkutan bekerja. Ijazah dan rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diserahkan kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk memperoleh izin kerja.
Pasal 39
(1)Setiap Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperuntukkan bagi:
a. Apoteker berupa STRA; dan
b. Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK.

Pasal 47
(1)Untuk memperoleh STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian wajib
memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter
yang memiliki surat izin praktek;
c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang
telah memiliki STRA di tempat Tenaga Teknis Kefarmasian
bekerja; dan membuat pernyataan akan mematuhi dan
melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.
(2) STRTTK dikeluarkan oleh Menteri.
(3) Menteri dapat mendelegasikan pemberian STRTTK kepada pejabat
kesehatan yang berwenang pada pemerintah daerah provinsi.

Pasal 50
(1)Apoteker yang telah memiliki STRA, atau STRA Khusus, serta
Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK harus
melakukan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan pendidikan dan
kompetensi yang dimiliki.
(2)Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK
mempunyai wewenang untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian
dibawah bimbingan dan pengawasan Apoteker yang telah
memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang
dimilikinya.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai wewenang Tenaga Teknis
Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Menteri.

Pasal 52
(1)Setiap Tenaga Kefarmasian yang melaksanakan Pekerjaan
Kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai
tempat Tenaga Kefarmasian bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di
Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit;
b.SIPA bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian
sebagai Apoteker pendamping;
c. SIK bagi Apoteker yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di
fasilitas kefarmasian diluar Apotek dan instalasi farmasi rumah
sakit
d. SIK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Kefarmasian.

Pasal 55
(1)Untuk mendapat surat izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
52,Tenaga Kefarmasian harus memiliki:
a.STRA, STRA Khusus, atau STRTTK yang masih berlaku;
b.tempat atau ada tempat untuk melakukan Pekerjaan
Kefarmasian atau fasilitas kefarmasian atau Fasilitas
Kesehatan yang memiliki izin; dan
c. rekomendasi dari Organisasi Profesi setempat.
(2)Surat Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi
hukum apabila Pekerjaan Kefarmasian dilakukan pada tempat
yang tidak sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin.

Peran Organisasi Profesi dalam penyusunannya


Organisasi Profesi untuk Tenaga Teknis Kefarmasian adalah
Persatuan Ahli Farmasi Indonesia (PAFI)
Perannya :
1. Terlaksananya pendidikan tenaga TeknisKefarmasian yang
sesuai perkembangan jaman dan ilmu teknologi modern
2. Tertatanya Tenaga Teknis Kefarmasian di semua sarana
kefarmasian melalui Peraturan Pemerintah.

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai