Anda di halaman 1dari 12

3.

PEMBAHASAN
Kecap ikan adalah suatu cairan yang memiliki warna coklat yang diadaptkan melalui
proses hidrolisis ikan yang diasinkan selama setahun (Kanlayakrit & Boonpan, 2007).
Produksi kecap ikan merupakan hasil fermentasi yang dapat dilakukan dengan
mencampurkan ikan dengan garam atau penggaraman dengan rasio perbandingan 2 atau
3 ikan untuk 1 bagian garam. Proses fermentasi berlangsung dalam suhu antara 30-40 0C
dengan jangka waktu yang lama (Khairi et al, 2014). Khairi et al (2014) juga
menambahkan, bahwa pembuatan kecap ikan pada setiap negara atau wilayah berbedabeda tergantung dari budaya setempat, sehingga pada masing-masing negara memiliki
nama yang berbeda-beda seperti di vietnam disebut nuoc-mam, Thailand nam-pla,
Filipina patis, Burma ngapi, dan di Jepang dengan sebutan ishiru atau shottsuru.
Kecap ikan memiliki banyak kegunaan dalam bidang pangan, yaitu dapat sebagai
penyedap dan pemberi rasa asin pada bahan makanan (Kilinc et al, 2006). Kecap ikan
dapat sebagai penyedap makanan, karena kecap ikan memiliki aroma yang khas. Aroma
tersebut disebabkan oleh kandungan asam amino yang terkanding dalam kecap ikan.
Oleh sebab itu selain dapat sebagai penyedap makanan juga dapat sebagai sumber asam
amino atau protein dan nitrogen, karena dalam kecap ikan mengandung nitrogen sekitar
20 g/L kecap ikan (Ritthiruangdej & Suwonsichon, 2006).
Kecap ikan dapat diproduksi melalu fermentasi. Menurut Astawan & Astawan (1988),
fermentasi kecap ikan ada 2 tipe yaitu :
Fermentasi secara enzimatis
Proses fermentasi ikan untuk menghasilkan kecap ikan dilakukan dengan
menggunakan bantuan reaksi enzimatis, yaitu dengan enzim protease. Enzim
protease adalah enzim proteolitik yang dapat memecah protein menjadi komponen
yang lebih sederhana seperti asam amino, peptida, dan pepton yang memberikan rasa
dan aroma khas pada kecap ikan yang dihasilkan. Enzim protease dapat didapatkan
secara alami, dengan menggunakan enzim papain yang terkandung dalam getah
pepaya atau dengan enzim bromelin yang terkandung dalam buah nanas muda.
Keunggulan proses fermentasi secara enzimatis adalah proses pembuatannya relatif

lebih cepat.
Proses fermentasi dengan garam
Kecap ikan yang diproduksi dengan cara fermentasi dengan garam dilakukan dengan
mencampurkan ikan dengan garam yang kemudian diinkubasi. Oleh karena kadar
5

garam yang tidnggi dalam proses fermentasinya maka yang berperan dalam proses
fermentasi adalah mikroorganisme halofilik yang merupakan mikroorganisme yang
dapat tumbuh pada media dengan kadar garam tinggi. Keunggulan menggunakan
metode ini adalah mikroorganisme pantogen tidak dapat tumbuh pada saat proses
fermentasi karena kadar garam yang tinggi, sehingga mikroorgnisme halofiliki
mampu bekerja secara optimal dalam memecah protein pada ikan dengan
menggunakan enzim yang diproduksinya. Oleh karena itu rasa dan aroma kecap ikan
dengan proses fermentasi garam lebih disukai dan lebih banyak dipilih oleh orang.
Kelemahannya adalah pada proses fermentasi tersebut berjalan lebih lama
dibandingkan dengan metode fermentasi enzimatis, karena mikroorgnanisme
membutuhkan waktu adaptasi untuk tumbuh dalam kondisi garam yang tinggi.
Pada praktikum pembuatan kecap ikan ini menggunakan bahan baku ikan bawal. Ikan
bawal utuh memiliki kandungan kalori sebesar 84 g, protein 18,2 g, lemak 0,7 g,
kolesterol 44 mg, dan zat besi 0,4 mg dalam 100 gram ikan bawal utuh (Eigenmann &
Kennedy, 1903). Ikan yang telah mati mudah mengalami kebusukan karena memiliki
kandungan protein yang tinggi, yang merupakan sumber nutrisi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan bakteri aatau mikroorganisme pembusuk lainya, serta memiliki kadar air
yang tinggi dan pH netral sehingga mikroorganisme dapat tumbuh baik pada ikan yang
telah mati (Moeljanto, 1994). Proses pembusukkan ikan juga mudah terjadi karena
proses autolisis oleh enzim-enzim yang telah ada dalam tubuh ikan itu sendiri (Zaitev et
al, 1969). Proses oksidasi juga dapat menyebabkan kerusakan pada ikan yang telah
mati, karena ikan memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi (Harris & Karmas,
1987). Oleh karena itu ikan perlu untuk segera dilakukan pengolahan agar umur simpan
ikan menjadi dapat diperpanjang. Proses pengolahan ikan tersebut akan menghasilkan
limbah berupa sisik, duri, tulang, kepala, sirip, dan ekor.
Komponen-komponen yang tersisa dari proses pengolahan ikan dapat dimanfaatkan
kembali untuk menambah nilai jual, yaitu salah satunya dengan mengolah sisik, duri,
tulang, kepala, sirip, dan ekor ikan menjadi kecap ikan. Limbah-limbah ikan tersebut
dapat diolah menjadi kecap asin karena pada limbah tersebut masih terkandung 0,78 %
protein ikan yang berguna dalam pembuatan kecap ikan (Astawan & Astawan, 1988).

Pada tahap awal praktikum ini dilakukan pemisahan limbah ikan seperti tulang, sisik,
kulit, kepala, sirip, duri, dan ekor ikan dari daging, mata, insang, dan isi perut, karena
dalam praktikum ini hanya limbah ikan tersebut yang digunakan. Limbah ikan tersebut
kemudian dihancurkan menggunakan blender hingga halus, kemudian ditimbang
sebanyak 50 gram. Proses penghancuran bahan berguna untuk memperluas permukaan
bahan sehingga reaksi lebih mudah dan cepat terjadi (Arpah, 1993). Limbah ikan yang
telah hancur tersebut akan mempermudah fermentasi karena luas area lebih besar dan
ukuran partikel lebih kecil sehingga reaksi enzimatis lebih cepat terjadi dan lebih mudah
untuk terhidrolisa.
Bahan yang telah dihaluskan dan ditimbang, kemudian dimasukkan dalam toples yang
kemudian ditambahkan dengan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda pada
setiap kelompoknya, yaitu pada kelompok E1 dengan enzim papain 0,2%, E2 sebanyak
0,4%, E3 sebanyak 0,6%, E4 sebanyak 0,8%, dan pada kelompok E5 dengan enzim
papain sebanyak 1% dari berat sampel yang digunakan. Penambahan enzim papain
tersebut menandakan bahwa proses fermentasi yang dilakukan adalah secara enzimatis.
Metode secara enzimatis dipilih dalam praktikum ini bertujuan untuk mempersingkat
waktu agar proses fermentasi berjalan lebih cepat. Hal ini dikarenakan enzim papain
merupakan enzim proteolitik, yang dapat memecah protein yang terkandung dalam
sampel menjadi komponenn yang lebih sederhana, sehingga proses fermentasi menjadi
lebih cepat (Astawan & Astawan, 1988). Selama proses fermentasi terjadi pemutusan
petida pada protein sehingga protein terdegradasi akibat terjadinya hidrolisis protein
yang menghasilkan asam amino dan peptida-peptida (Giri et al, 2012).
Sampel yang telah dimasukkan dalam toples dan telah tercampur rata dengan enzim
papain, maka selanjutnya toples ditutup rapat dengan penutup toples dan kemudian
disolasi pada bagian penutupnya, sehingga keadaan didalam toples benar-benar kedap
udara. Sampel tersebut kemudian diinkubasi selama 4 hari pada suhu ruang. Penutupan
toples dengan rapat dan kedap udara bertujuan untuk mencegah terjdinya kontaminasi
mikroorganisme pantogen yang dapat menyebabkan gagalnya dalam pembuatan kecap
ikan. Hal ini didukung dengan pernyataan Astawan & Astawan (1988), bahwa
kelemahan dari metode fermentasi enzimatis adalah lebih rentan untuk terkontaminasi
oleh mikroorganisme patogen bila dibandingkan dengan fermentasi dengan garam. Hal

ini dapat disebabkan karena pada proses fermentasi enzimatis komponen-komponen


sederhana hasil penguraian enzim papain sangat berguna sebagai sumber nutrien bagi
mikroorganisme, sehingga jika tidak ada pencegahan maka mikroorganisme kontaminan
dapat tumbuh pada sampel selama proses inkubasi. Proses penutupan dengan rapat juga
bertujuan untuk menghindari adanya organisme lain seperti lalat yang dapat
memunculkan belatung pada sampel. Proses inkubasi dilakukan bertujuan untuk
mengkondisikan dan memberikan waktu dalam terjadinya hidrolisis sampel selama
proses fermentasi. Semalama proses fermentasi, terjadi peningkatan asam amino akibat
dari proses hidrolisis protein. Pada umumnya proses fermentasi dilakukan selama 6
bulan (Murakami et al, 2009). Selama proses enzimatis berlangsung, juga akan
terbentuk protein turunan seperti glutamat yang memberikan rasa umami atau gurih
pada kecap ikan yang terbentuk (Jiang et al, 2008).
Hasil fermentasi yang didapatkan dari proses inkubasi selama 4 hari, kemudian
dicampur dengan air minum dalam kemasan sebanyak 300 ml, kemudian dilakukan
pengadukan. Proses pencampuran air dan pengadukan bertujuan untuk mendapatkan
filtrat yang mengadung komponen-komponen hasil fermentasi yang berupa asam amino,
pepton, dan peptida (Astawan & Astawan, 1988). Campuran tersebut kemudian disaring
dengan kain saring untuk mendapatkan filtratnya. Hal ini dikarenakan pada proses
penyaringan bertujuan untuk memisahkan cairan dengan padatan, yaitu padatan akan
tertinggal pada kain saring (Suyitno, 1989). Pada proses penyaringan ini padatan adalah
yang berupa hancuran tulang dan limbah ikan yang digunakan, sedangkan cairan adalah
yang merupakan filtrat.
Filtrat yang didapatkan kemudian direbus atau dipanaskan selama 15 menit sambil
ditambahkan 50 gram bawang putih, 5o gram garam, dan 50 gram gula kelapa. Proses
perebusan atau pemanasan dilakukan selain untuk mematangkan juga untuk
mensterilkan filtrat dengan cara membunuh mikroorgnisme yang terdapat pada filtrat
sehingga terbebas dari mikroorganisme terutama mikroorganisme pantogen (Moeljanto,
1992). Oleh karena itu kecap ikan yang dihasilkan terbebas dari mikroorganisme
pantogen sehingga aman untuk dikonsumsi. Proses pemanasan juga bertujuan untuk
menginaktifasi enzim papain, karena enzim proteolitik tersebut tidak tahan panas,
sehingga pada suhu tinggi yaitu sekitar 61-81 0C enzim tersebut mengalami denaturasi
(Sangjindayvong et al, 2009). Proses pemanasan juga disertai pengadukan sesekali.

Proses pengadukan berguna untuk mempercepat reaksi-reaksi yang terjadi, juga untuk
homogenisasi, dan mencegah meluapnya air saat direbus dan mencegah terjadinya
gosong atau terbentuknya kerak pada bagian dasar panci (Rogers, 1986).
Hasil rebusan kemudian didinginkan dan kemudian disaring dengan kain saring, untuk
memisahkan cairan dari padatan yang ada (Suyitno, 1989). Proses penyaringan pada
tahap ini berguna untuk memisahkan cairan yaitu kecap ikan yang telah jadi dengan
padatan yang berupa sisa bawang putih yang ditambhakan selama proses perebusan.
Kecap ikan yang didapatkan kemudian dilakukan pengamatan secara sensori.
Pengamatan sensori yang dilakukan meliputi, pengamatan warna, rasa, aroma, dan
penampakan. Pengamatan juga dilakukan dengan mengamati persentase salinitas.
Pada hasil pengamatan warna, didapatkan bahwa warna pada setiap kelompok
bervariasi, yaitu berwarna agak coklat gelap pada kelompok E1, E3, dan E5, dan
berwarna coklat gelap pada kelompok E2 dan E4. Hasil pengamatan tersebut sesuai
dengan pernyataan Kanlayakrit & Boonpan (2007), bahwa kecap ikan memiliki warna
coklat. Warna coklat terbentuk karena adanya reaksi millard akibat adanya asam amino
dan gula khususnya glukosa yang dipanaskan (Khairi et al, 2014). Oleh karena itu
pengaruh dari penambahan enzim papain adalah berkaitan dengan proses pemecahan
protein menjadi asam amino yang menyebabkan terjadinya reaksi millard pada saat
proses pemansan dan penambahan gula jawa, sehingga menghasilkan warna coklat pada
kecap ikan yang dihasilkan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi enzim papain yang digunakan pada proses fermentasi maka warna coklat
akan semakin gelap, tetapi hasil pengamatan menunjukkan bahwa hasilnya yang paling
gelap adalah pada papain dengan konsentrasi 0,4% dan 0,8%. Hal ini dapat terjadi
karena yang mempengaruhi warna coklat tersebut selain reaksi maillard juga reaksi
karamelisasi dan adanya warna dasar coklat pada gula jawa. Hal ini didukung dengan
pernyataan Kasmidjo (1990), bahwa warna coklat tersebut berasal dari warna gula
kelapa yang larut dalam filtrat selama pemasakan. Gula jawa atau gula kelapa yang
ditambahkan dapat mengalami karamelisasi sehingga warna kecap ikan dapat berubah
menjadi coklat tua. proses karamelisasi tersebut terjadi akibat adanya pemanasan gula
jawa yang mengandung glukosa, sehingga glukosa mengalami karamelisasi dan
menghasilkan warna coklat (Witono et al, 2015).

10

Pada hasil pengamatan aroma, didapatkan bahwa aroma pada kecap ikan yang
dihasilkan adalah agak tajam pada kelompok E2, E4, dan E5, dan aroma yang tajam
pada hasil pengamatan kelompok E1 dan E3. Aroma kecap ikan yang dihasilkan
cenderung tajam, hal ini sesuai dengan pernyataan Kilinc et al (2006), bahwa kecap
ikan memiliki aroma yang tajam, yang berasal dari adanya kandungan pepton, peptida,
dan asam amino yang dihasilkan dari proses enzimatis enzimproteolitik. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada kecap ikan dengan proses fermentasi
menggunakan enzim papain dengan kadar tinggi cenderung memiliki aromya yang
kurang tajm bila dibandingkan dengan penggunaan enzim papain konsentrasi lebih
rendah. Menurut Astawan & Astawan (1988), salah satu kelemahan metode fermentasi
secara enzimatis adalah kecap ikan yang dihasilkan cenderung kurang baik. Pada hasil
penelitian Himonides et al (2011), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi
papain yang digunakan maka semakin cepat terjadi hidrolisis protein yang terjadi. Oleh
karena itu semakin tinggi konsentrasi papain maka semakin cepat proses fermentasinya
tetapi juga semakin menurun aroma khas yang dihasilkan. Hal tersebut juga didukung
oleh pernyataan Beddows (1985), bahwa pada proses fermentasi secara enzimatis dapat
terjadi penurunan bahkan kehilangan rasa dan aroma khas dari kecap ikan. Bawang
putih yang ditambahkan dalam pembuatan kecap ikan juga berkontribusi dalam
memberikan aroma yang khas bawang putih, dan dapat menurunkan aroma yang terlalu
tajam pada kecap ikan (Fachruddin, 1997).
Karakteristik sensori pada aspek penampakan pada kecap ikan, didapatkan hasil bahwa
pada hasil pengamatan kelompok E2 memiliki penampakan yang paling kental yaitu
agak kental, sedangkan pada kelompok lainnya, yaitu pada hasil pengamatan E1, E3,
E4, dan E5 memiliki penampakan yang sama yaitu cair atau encer. Hasil pengamatan
E1, E3, E4, dan E5 memiliki penampakan yang baik, menunjukkan bahwa kualitas
kecap ikan dalam aspek penampakan, memiliki kualitas yang baik. Hal ini didukung
oleh pernyataan Kanlayakrit & Boonpan (2007), bahwa kecap ikan yang baik memiliki
ciri fisik yaitu encer atau cair (tidak kental). Pada hasil pengamatan E2 yang memiliki
karakteristik penampakan yang agak kental merupakan kecap ikan yang kurang
berkualitas. kualitas kecap ikan yang dihasilkan berkaitan dengan penerimaan
konsumen, sehingga karakteristik kecap ikan yang dihasilkan menjadi indikator yang
sangat menentukan kualitas kecap ikan tersebut (Kanlayakrit & Boonpan, 2007).

11

Penampakan kecap ikan yang kental merupakan sebuah penyimpangan atau kualitas
kecap ikan yang buruk. Hal ini dapat terjadi karena proses pemansan yang terlalu tinggi
sehingga terjadi penguapan air yang besar sehingga kadar air menjadi menurun derastis,
kemudian ditambah dengan adanya proses karamelisasi sehingga menyebabkan
terjadinya pengentalan pada kecap ikan yang dihasilkan (Witono et al, 2015). Oleh
karena itu kecap ikan yang dihasilkan memiliki karekateristik yang kental.
Hasil pengamatan rasa menunjukkan bahwa rasa kecap ikan yang dihasilkan memiliki
rasa asin hingga sangat asin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Astawan & Astawan
(1988), bahwa kecap ikan memiliki rasa asin. Rasa asin merupakan rasa yang
diakibatkan dari penambahan garam (Winarno et al, 1980). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Afrianto & Liviawaty (1989), bahwa selain waktu fermentasi, jumlah
penggunaan garam dalam pembuatan kecap ikan akan menentukan kualitas dari kecap
ikan itu sendiri. Rasa kecap ikan seharusnya adalah asin, bukan sangat asin seperti pada
hasil pengamatan kelompok E3 dan E5. Rasa asin dari garam pada dasarnya akan
sedikit tertutupi oleh rasa gula jawa yang manis sehingga tidak menghasilkan rasa yang
sangat asin (Kasmidjo, 1990).
Penyimpangan rasa yang terjadi dapat dianalisa dengan melihat hasil pengamatan pada
persentase salinitas. Metode yang dilakukan dalam pengukuran persen salinitas adalah
dengan mengencerkn kecap ikan yang telah jadi kedalam air aquades, dan kemudian
diukur dengan alat hand refractometer. Alat hand refractometer merupakan alat yang
digunakan untuk mengukur jumlah padatan yang terlarut dalam larutan yang dinyatakan
dalam satuan brix (Kultsum, 2009). Oleh karena itu alat hand refractometer dalam
praktikum ini berguna untuk mengukur total padatan terlarut pada kecap ikan yang
dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reynold & Ricards (1996), bahwa alat
refraktometer berguna untuk mengukur konsentrasi padatan terlarut atau total disolved
solid (TDS) dengan berdasarkan pada indeks bias yang terukur. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa nilai % salinitas menunjukan konsentrasi garam yang terkandung
dalam kecap ikan yang diamati pada setiap kelompok. Pada hasil pengamatan rasa jika
dibandingkan dengan % salinitas, maka seharusnya semakin besar % salinitas maka
semakin besar konsentrasi garamnya, maka semakin asin. Hal tersebut ternyata sedikit
berbeda dengan hasil pengamatan, karena pada hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pada kelompok E2 memiliki salinitas sebesar 9% tetapi memiliki rasa yang asin

12

sedangkan pada kelompok E5 yang memiliki salinitas sebesar 6% memiliki rasa yang
lebih asin yaitu sangat asin. Hal ini dapat terjadi karena dalam pengamatan sensori
dilakukan secara panelis, sehingga hasilnya subjektif. Hal tersebut didukung dengan
pernyataan Riawan (2005), bahwa pada uji sensori menghasilkan hasil yang subjektif,
karena penilaian berdasarkan pendapat atau presepsi panelis, sehingga antara satu orang
dengan orang lainnya akan memiliki hasil yang berbeda berdasarkan kondisi fisik,
kondisi kesehatan, dan tingkat kepekaan dari panelis.

4. KESIMPULAN

Kecap ikan merupakan cairan coklat yang berasal dari proses fermentasi dan

hidrolisis ikan.
Kecap ikan memiliki aroma dan rasa asin yang khas yang berasal dari hasil

hidrolisa protein.
Hasil hidrolisa protein adalah peptida, pepton, dan asam amino.
Proses fermentasi kecap ikan ada 2 tipe, yaitu secara enzimatis dan dengan

penggunaan garam.
Fermentasi enzimatis dilakukan dengan penambahan enzim proteolitik, seperti

enzim papain.
Keunggulan fermentasi enzimatis adalah proses fermentasi yang cepat.
Kelemahan fermentasi enzimatis adalah kecap ikan yang dihasilkan memiliki

kulaitas rasa dan aroma yang rendah.


Keunggulan fermentasi dengan garam adalah dihasilkan kecap ikan yang

memiliki rasa dan aroma yang khas.


Kualitas kecap ikan dipengaruhi oleh jumlah garam yang digunakan dan lama

waktu fermentasi.
Semakin besar konsentrasi papain yang digunakan, semakin cepat hidrolisis

protein yang terjadi, sehingga semakin cepat proses fermentasinya.


Semakin cepat proses fermentasi maka semakin menurun kualitas rasa dan

aroma kecap ikan yang dihasilkan.


Rasa asin merupakan rasa yang muncul karena adanya penambahan garam.

13

Kecap ikan yang baik adalah yang memiliki penampakan cair, berwarna coklat,

beraaroma khas, dan rasanya asin.


Warna coklat pada kecap ikan berasal dari hasil reaksi maillard dan karamelisasi.
Kecap ikan yang kental terjadi akibat proses pemanasan yang terlalu berlebihan
sehingga kadar air menurun dan terjadi karamelisasi yang menyebabkan

pengentalan.
Hand refractometer merupakan alat untuk mengukur total padatan terlarut.
Semakin tinggi salinitas maka semakin asin rasa kecap ikan.
Ketidak sesuaian teori dikarenakan hasil pengamatan bersifat subjektif karena
menggunakan metode sensori yang menggunakan panelis.

Semarang, 6 November 2015


Praktikan,

Asisten

Dosen
-

Michelle
Darmawan

Sylvester Agathon
13.70.0040
Kelompok E5
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan Liviawaty, W. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung.
Astawan, M. W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Beddows, C.G. (1985) Fermented fish and fish products. In Microbiology of Fermented
Foods ed. Wood, B.J.B. pp. 139. London: Elsevier Applied Science.
Eigenmann, C.H. and Kennedy, C.H. (1903). On a collection of fishes from Paraguay,
with a synopsis of the American genera of cichilds. Proc. Acad. Nat. Sci.
Priladelphia, 55: 497-537.

14

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Dendeng. Kanisius. Yogyakarta.


Giri, A.; Nasu, M.; and Ohshima, T. (2012). Bioactive Properties of Japanese Fermented
Fish Paste, Fish Miso , Using Koji Inoculated with Aspergillusoryzae.
International Journal of Nutrition and Food Sciences. 1(1):13-22.
Harris, R. S. & E. Karmas. (1987). Nutritional Evaluation of Food Processing Third.
Himonides, A. T.; Taylor, A. K. D.; and Morris, A. J. (2011). A Study of the Enzymatic
Hydrolysis of Fish Frames Using Model Systems.Food and Nutrition Sciences. 2
: 575-585.
Jiang, J., Zeng, Q., and Zhu, Z. (2008). Analysis of Volatile Compounds in Traditional
Chinese Fish Sauce (Yu Lu). Food Bioprocess Technol DOI.1007/s 1947-0080173-8.
Kanlayakrit, Werasit & Boonpan, Anan. (2007). Screening of Halophilic LipaseProducing Bacteria and Characterization of Enzyme for Fish Sauce Quality
Improvement. (Nat. Sci.) 41: 576 585. Thailand.
Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Khairi, I. N. B. M.; Huda, N.; Abdullah, W. N. W.; and Al-Karkhi, A. F. M. (2014).
Protein Quality of Fish Fermented Product: Budu and Rusip. Asia Pacific
Journal of Sustainable Agriculture Food and Energy (APJSAFE). ISSN: 23381345 Vol. 2 (2): 17-22.
Kilinc, Berna; Sukran Cakli; Sebnem Tolasa; and Tolga Dincer. (2006). Chemical,
microbiological and sensory changes associated with fish sauce processing. Eur
Food Res Technol. 222: 604613. Turkey.
Kultsum, U. (2009). Pengaruh variasi nira tebu (Saccharum officinarum) dari beberapa
varietas tebu dengan penambahan sumber nitrogen (N) dari tepung kedelai hitam
(Glycine soja) sebagai substrat terhadap efisiensi fermentasi etanol. Fakultas
Sains dan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim. Skripsi.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Murakami, M.; Satomi, M.; Ando, M.; Tukamasa, Y.; and Kawasaki, K. (2009).
Evaluation of New Fish Sauces Prepared by Fermenting Hot-Water Extraction
Waste of Stock from Dried Fish Using Various Kojis. Journal of Food
Agriculture & Environment. Vol. 7(2) : 175-181.
Reynold, T.D and Richards, P.A. (1996). Unit Oprations and Processes in
Environmental
Engineering, 2nd edition. PWS Publishing Company.
Boston.

15

Ritthiruangdej, P. and Suwonsichon, T. (2006). Sensory Properties of Thai Fish Sauces


and Their Categorization. Department of Product Development, Faculty of AgroIndustry, Kasetsart Unviversity, Bangkok 10900, Thailand.
Riwan. (2005). Sifat-sifat Organoleptik dalam Pengujian Terhadap Bahan Makanan.
Diakses pada tanggal 03 November 2015, pukul 21:39.
Rogers, E.P. 1986. Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.Science Published Ltd., England.
Sangjindayvong, Mathana; Juta Mookdasanit, Pongtep Wilaipun, Pranisa Chuapoehuk
and Chamaiporn Akkanvanitch. (2009). Using Pineapple to Produce Fish
Sauce from Surimi Waste. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 43 : 791 795.
Suyitno.(1989). Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas.
Winarno, F. G ; S. Fardiaz & D. Fardiaz. (1980). Pengantar Teknologi Pangan.
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Witono, Y.; Windarti, W. S.; Afrilia, A.; Prasvita, I. N. (2015). Production of Inferior
Fish Hydrolyzate Sauce Under Different Concentration of Coconut Sugar and
Caramel. International Journal of ChemTech Research CODEN (USA):
IJCRGG. ISSN: 0974-4290. Vol.8, No.1, pp 37-43.
Zaitsev, V.; I. Kizevetter; Lagunov, L; Makarova, T; Minder, L; & Podselalov, V.
(1969). Fish Curing and Processing. MIR Publishers. Moscow.

6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan

Rumus :

Salinitas =

hasil
1000

Kelompok E1
Salinitas =

50
1000

x 100% = 5%

Kelompok E2
Salinitas =

90
1000

Kelompok E3

x 100% = 9%

x 100%

16

Salinitas =

55
1000

x 100% = 5,5%

Kelompok E4
Salinitas =

55
1000

x 100% = 5,5%

Kelompok E5
Salinitas =

60
1000

x 100% = 6%

6.2. Jurnal
6.3. Diagram Alir
6.4. Laporan Sementara

Anda mungkin juga menyukai