Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH POLITIK HUKUM

Analisa Politik Hukum Pemberlakuan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang


Keterbukaan Informasi Publik

Oleh :
AGNI ISTIGHFAR
PARIBRATA
ERI HENDROKUSUMA
HANIF NURCAHYO

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
I.

Latar Belakang
Lahirnya Undang-Undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi
(UU KIP) telah membawa angin segar bagi partisipasi masyarakat dalam
pengambilan kebijakan, minimal hak kita untuk memperoleh informasi dari
instansi penyelenggara negara menjadi terlindungi berkat aturan ini.

Kurang lebih 8 (delapan) tahun proses yang perlu ditempuh oleh koalisi
masyarakat sipil yang tergabung dalam Freedom Of Information Network
Indonesia (FOINI), untuk mengawal proses lahirnya UU KIP hingga Beberapa hal
baru dilahirkan seperti : 1) definisi mengenai Badan Publik; 2) ruang sengketa
informasi Publik; 3) Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi; hingga 4)
lahirnya Komisi Informasi baik pusat maupun Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Hal-hal tersebut diatas sebelumnya tidak pernah diatur atau disebut dalam UU
terdahulu misalnya terkait Definisi Badan Publik, dulu hanya kita kenal ada Badan
Hukum sebagai Subjek hukum namun hari ini dalam proses penyelesaian sengketa
informasi di Komisi Informasi kita akan bertemu dengan badan Publik selaku
Termohon Informasi.
Dalam dimensi kajian Politik hukum menarik untuk mempelajari beberapa
aspek terkait UU KIP diantaranya : 1) latar belakang kondisi lahirnya UU KIP
(konteks (legal dan sosiologis)); 2) hal yang dikehendaki diatuur dengan UU KIP
(politik hukum pengaturannya); dan 3) penerapan dalam UU KIP.
Ketiga hal tersebut akan dikaji dalam makalah berjudul Kajian politik
Hukum Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik.

II.

Rumusan Masalah
Makalah ini akan mengkaji mengenai :
1. Apa yang menjadi latar belakang lahirnya UU KIP ?;
2. Apa Tujuan Pengaturan dalam UU KIP ?;

3. Bagaimana Penerapan UU KIP ?.

III.

Isi
A. Latar Belakang Kondisi Lahirnya UU KIP
Esensi Demokrasi Indonesia terjabarkan dalam Pancasila selaku state
fundamental norm ketatanegaraan kita utamanya Sila ke 4 Kerakyatan yang
dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Memberikan petunjuk dalam berfikir, bersikap dan bertingkahlaku bahwa
yang berdaulat dalam Negara republic Indonesia adalah seluruh rakyat,
sehingga rakyat harus didudukkan secara terhormat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara1.
Melihat ungkapan tentang kedaulatan rakyat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menunjukkan keluasan cakupan
dimensi kedaulatan rakyat. Bukan hanya demokrasi dalam arti sempit
(memilih dan dipilih) namun juga dalam segala aspek kegiatan berbangsa dan
bernegara, secara teknis dalam hal ini perwujudan Demokrasi yang diinginkan
bangsa ini termasuk pada keterlibartan aktif masyarakat dalam setiap
pengambilan kebijakan public.
Pengakuan terhadap akses informasi sebagai bagian dari hak asasi
manusia nyaris tanpa penolakan. Pada saat pembahasan amandemen kedua
UUD 1945, Pasal 28 F relatif tidak menimbulkan banyak perdebatan berarti.
Semua Fraksi sependapat bahwa hak atas informasi merupakan hak asasi
manusia yang perlu dirumuskan dalam konstitusi. Kalangan pers serta
sejumlah asosiasi dan organisasi memberikan masukan ke MPR selama rapatrapat pada Februari 2000 bahwa kebebasan berbicara dan memperoleh
informasi adalah bagian dari hak asasi manusia atau hak warga negara2

Disarikan dari naskah Pidato Presiden soekarno tentang Pancasila tanggal 1 Juni 1945.
Pada Prinsip dan Nilai Pancasila oleh Lembaga Pengkasi dan Pengembangan Kehidupan
Bernegara (LPPKB); anonymus; tt.
2
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI, 2008; hlm 171.

Sidang Paripurna MPR 18 Agustus 2000 pun akhirnya menyepakati


rumusan Pasal 28 F UUD 1945.
Majelis Permusyawaratan Rakyat mengangkat norma Pasal 28 F UUD
1945 dari rumusan Pasal 14 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (HAM). Rumusan tersebut dimuat dalam dua ayat, yaitu:
1. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi (1). dan untuk
memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya;
2. Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Di dalam naskah akademik UU KIP dipahami bahwa 3:
1. Tidak adanya kepastian atau jaminan bagi masyarakat apabila tidak
mendapatkan informasi. Hal ini menyebabkan apabila permintaan
informasi dari masyarakat ditolak, mereka tidak memiliki jaminan
hukum untuk mempertahankan haknya;
2.

Ketentuan hukum yang mengatur batasan rahasia negara dalam


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UndangUndang No. 7 Tahun 1971 tentang Kearsipan sangat luas dan tidak
memberikan batasan yang jelas tentang informasi yang tergolong
rahasia.

3. Tidak adanya sanksi hukum bagi pejabat publik yang dengan


sengaja menghambat akses informasi publik. Walhasil, praktik
menghambat akses informasi masyarakat menjadi sesuatu yang
lumrah. Informasi baru dibuka jika ada biaya tambahan yang
dibayarkan pemohon informasi.
4. Tidak adanya mekanisme mendapatkan informasi yang jelas baik
waktu maupun skemanya;

Dihimpun dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi


Publik; download di SetDPRRI.go,id

5. berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia telah banyak


mengatur tentang hak atas informasi. Namun pengaturan hak atas
informasi tersebut masih bersifat umum, belum menyentuh
masalah tentang pengaturan akses terhadap hak atas informasi
tersebut4;
6. Jaminan hak asasi dalam UUD merupakan mandat kepada
Pemerintah dan DPR untuk menjabarkannya lebih lanjut dalam
berbagai perundangundangan pelaksanaan agar menjadi operatif.
Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan pengaturan lebih lanjut adalah
agar rumusan konstitusi dalam Pasal 28 F UUD 1945 tidak menjadi
sekedar moral rights dan possession of a right, tetapi juga sebagai
positive rights dan exercise of a right;
Sempitnya ruang partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan
kala itu dikarenakan rentang penguasaan informasi yang terlampau jauh antara
Negara dengan Rakyat. Hal seperti ini terjadi mengingat tidak ada satupun
peraaturan perundang-undangan kala itu yang mangatur terkait : 1) mekanisme
akuntabilitas publik atas penguasaan informasi oleh Badan Publik; dan 2)
mekanisme legal permohonan informasi publik.
Ketiadaan aturan inilah yang kemudian menyebabkan efek lanjutan,
setiap Warga Negara memohon informasi kepada penyyelengara negara selalu
memperoleh

jawaban

dan

kesan

bahwa

semua

informasi

terkait

penyelenggaraan negara adalah rahasia negara.


Oleh karenanya sesuai dengan uraian diatas maka UU KIP lahir atas
dua poin latar belakang yakni : 1) dalam rangka mengisi kekosongan hokum
terkait Keterbukaan informasi Publik; dan 2) sebagai manifestasi dari
kehendak demokrasi dalam arti luas terkait : a. keterbukaan informasi sebagai
salah satu aspek dalam akuntabilitas publik, b. jaminan atas ruang partisipasi
masyarakat dalam pengawasan dan pengambilan kebijakan publik.

Temuan ini diperkuat oleh hasil penelitian hak atas informasi, partisipasi, dan keadilan
(3 Akses) di bidang pengelolaan lingkungan hidup; bahwa salah satu sebab lemahnya
implementasi 3 Akses di bidang pengelolaan lingkungan hidup adalah lemahnya jaminan
hukum secara komprehensif bagi akses publik terhadap hak informasi, partisipasi, dan
keadilan yang telah dinyatakan dalam UU.

B. Tujuan UU KIP dan Politik Pengaturan dalam UU KIP

Secara garis besar ada beberapa tujuan pembentukan UU KIP diantaranya :


Pertama, Menjamin Hak WN dalam mengetahui alasan Pengambilan
Kebijakan; objek yang diatur adalah proses pengambilan kebijakan public
dengan subjek Warga Negara selaku pemilik hak atas informasi (konstitusional
maupun asasi).
Kedua, Mendorong Partisipasi Masyarakat; objek yang diatur adalah
proses pengembilan kebijakan publik denngan subjek Warga Negara dalam
posisinya sebagai pemberi masukan dan pengawas kebijakan public.
Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik; objek yang
diatur adalah proses penyelenggaraan negara dengan subjek Badan Publik
selaku bagian dari instansi penyelenggara negara.
Keempat, mengembangkan ilmu pengetahuan; objek yang diatur
adalah informasi public itu sendiri, dengan subjek warga Negara dalam
posisinya sebagai peneliti.
Kelima, meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi; objek
yang diatur adalah sistem layanan informasi public di Badan Publik, dengan
subjek Badan Publik sebagai penyedia layanan informasi public.
Sebagai undang-undang yang tidak hanya sekedar mengatur hak atas
informasi, melainkan juga mengatur / memberikan hak akses terhadap
informasi tersebut, UU KIP mengandung beberapa pokok pikiran berikut:
1. Setiap Badan Publik wajib menjamin keterbukaan informasi
publik.
Salah satu permasalahan mendasar penyelenggaraan pemerintahan
masa lalu kita adalah rendahnya tingkat keterbukaan, partisipasi,
dan

akuntabilitas.

Pada saat

reformasi,

diskursus

tentang

pentingnya praktekpraktek penyelenggaraan pemerintahan yang


baik (good governance) semakin mengemuka dan memunculkan

wacana

publik

tentang

pentingnya

jaminan

hukum

yang

komprehensif bagi hak atas informasi.


Jaminan hukum tersebut diharapkan dapat mempertegas kewajiban
badan publik dalam pemenuhan hak atas informasi sebagai
implikasi dari jaminan pengakuan hak masyarakat terhadap
informasi. UU KIP mengatur tentang siapa yang diberi kewajiban
untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi, yang selanjutnya
disebut badan publik. Definisi badan publik dalam UU KIP
mencakup: Lembaga e a) ksekutif, legislatif, yudikatif; b) Badan
lain

yang

fungsi

dan

tugas

pokoknya

berkaitan

dengan

penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya


bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah; atau c) Organisasi non
pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/ atau
luar negeri.
2. Setiap informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh
publik.
Konsep negara demokrasi memandang bahwa penyelenggaraan
pemerintahan merupakan amanat rakyat. Oleh karena itu, segala
informasi

yang

dihasilkan

dan

mengenai

penyelenggaraan

pemerintah tersebut merupakan milik rakyat sebagai pemberi


mandat. Dengan demikian sudah selayaknya jika informasi tentang
kegiatan yang didanai dengan dana publik menjadi informasi milik
publik pula. Inilah yang menjadi dasar bagi asas bahwa informasi
publik bersifat terbuka dan dapat diakses. Di sisi lain, informasi
publik memiliki cakupan yang luas. Informasi publik mencakup
segala informasi yang dihasilkan, dikelola, atau dihimpun dari
kegiatan yang didanai oleh badan publik dalam berbagai bentuk
(hutang, sumber daya alam, pajak, dll).

Dengan demikian prinsip bahwa setiap informasi publik bersifat


terbuka dan dapat diakses merupakan prinsip utama. Sedangkan
kerahasiaan/informasi

yang

dirahasaikan

adalah

merupakan

pembatasan atau pengecualian dari prinsip tersebut yang harus


dilakukan secara ketat dan terbatas.
3. Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat, terbatas, dan
tidak mutlak / tidak permanen.
Meskipun pada dasarnya informasi publik bersifat terbuka dan
dapat diakses, namun dalam praktek tidak semua informasi dapat
dibuka. Ada informasi tertentu yang apabila dibuka dapat
menimbulkan kerugian atau bahaya bagi kepentingan publik
maupun kepentingan yang sah dilindungi oleh UU.
Namun prinsipnya, pengecualian informasi publik tersebut
haruslah untuk melindungi kepentingan publik itu sendiri.
Pengecualian informasi bersifat ketat mengindikasikan bahwa UU
KIP menghendaki adanya dasar keputusan yang obyektif dalam
melakukan pembatasan melalui pengecualian informasi. Sifat ketat
juga menghendaki pengecualian informasi harus dilakukan secara
teliti dan cermat. Untuk itu, UU ini memperkenalkan uji
konsekuensi bahaya (consequential harm test) dan uji kepentingan
publik (balancing public interest test). Uji konsekuensi bahaya
mewajibkan agar badan publik dalam menetapkan informasi yang
dikecualikan mendasarkan pada pertimbangan bahwa apabila
informasi tersebut dibuka, maka akan menimbulkan kerugian atau
bahaya bagi kepentingan publik maupun kepentingan yang
dilindungi oleh hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai
dengan Pasal 19. Sedangkan uji kepentingan publik mewajibkan
agar badan publik membuka informasi yang dikecualikan jika
kepentingan publik yang lebih besar menghendaki atau sebaliknya
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (4).
Pembatasan terhadap informasi yang dikecualikan/kerahasiaan sebagai pembatasan hak akses sebagaimana diatur dalam UU KIP

ini dapat dilihat dari segi: a) obyek informasinya, misalnya dengan


kewajiban melakukan penghitaman/pengaburan terhadap informasi
yang dikecualikan5; dan b) proses/cara penetapan informasi
rahasia, misalnya dalam menetapkan sebagai informasi rahasia
harus melalui pertimbanganpertimbangan yang obyektif mengacu
pada UU KIP. Lihat Pasal 2 Ayat (4) dan Pasal 19 UU KIP.
Pengecualian informasi bersifat tidak mutlak/permanen artinya
bahwa tidak ada pengecualian informasi berlaku selama-lamanya.
Pengecualian informasi harus dapat dibuka apabila dikehendaki
oleh kepentingan publik yang lebih besar sebagaimana dijelaskan
di atas. Selain itu, pengecualian informasi juga harus memiliki
masa retensi. Ketentuan masa retensi ini diatur dalam Pasal 20 UU
KIP dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

C. Penerapan UU KIP
Dalam

penerapannya

yuntuk

menegakkan

pokok

pengaturan

sebagaimana disebut sebelumnya, UU KIP menerapkan :


Pertama, tentang asas perolehan informasi bahwa Setiap informasi
publik harus dapat diperoleh dengan cepat, tepat waktu, biaya ringan,
dan cara sederhana :

Selama ini telah banyak UU yang memberikan jaminan hak atas


informasi. Namun belum ada yang mengatur tentang bagaimana akses
terhadap hak tersebut. Asas ini merupakan dasar pengaturan bagi
pemberian akses terhadap informasi oleh badan publik. Badan publik
harus menjamin Akses setiap orang terhadap informasi publik
sedemikian rupa secara cepat, tepat waktu, biaya ringan, dan dengan
cara sederhana.
Penjabaran dari prinsip ini kemudian diatur lebih lanjut pada
kewajiban badan publik untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi
dan Dokumentasi serta pengembangan sistem penyediaan layanan
informasi sesuai dengan asas tersebut (lihat Pasal 13 UU KIP). Selain
itu, asas ini juga dijadikan dasar bagi pengembangan aturan tentang
mekanisme memperoleh informasi yang mengatur tata cara bagi badan
5

(lihat Pasal 21 Ayat (7) huruf e UU KIP) dan masa keberlakukannya sehingga
memunculkan aturan masa retensi sebagaimana diatur pada Pasal 20 UU KIP

publik dalam memberikan layanan informasi (register, tanda terima,


jangka waktu layanan, biaya) maupun tata cara penyelesaian sengketa
informasi baik ditingkat internal badan publik, komisi informasi,
maupun pengadilan (kepada siapa keberatan diajukan, jangka waktu
pemberian tanggapan, jangka waktu medisasi dan ajudikasi, serta
jangka waktu pengadilan memutus perkara sengketa informasi).
Kedua, Informasi publik bersifat proaktif :
Prinsip bahwa informasi bersifat proaktif menunjukkan bahwa badan
publiklah yang seharusnya secara proaktif menyampaikan informasi,
khususnya mengenai informasi dasar yang dibutuhkan oleh
masyarakaT pada umumnya. UU KIP mengatur tentang informasi aktif
dimana informasi publik tertentu harus disampaikan kepada publik
tanpa menunggu adanya permintaan. Informasi seperti ini
diklasifikasikan pada Pasal 9 mengenai informasi dasar yang wajib
diumumkan secara berkala, misalnya informasi tentang kegiatan badan
publik dan Pasal 10 mengenai informasi yang harus disampaikan sertamerta tanpa adanya penundaan karena menyangkut hajat hidup orang
banyak dan ketertiban umum, misalnya informasi tentang bencana.
Sedangkan Pasal 11 mengatur mengenai informasi yang wajib
disediakan apabila ada permintaan, misalnya dokumen pendukung
pengambilan kebijakan dan perjanjian badan publik dengan pihak
ketiga.
Ketiga, Informasi publik harus bersifat utuh, akurat, dan dapat dipercaya :
Melekat dalam hak atas informasi tentunya adalah informasi yang
utuh, akurat dan dapat dipercaya (reliable). UU KIP menerjemahkan
prinsip ini ke dalam ketentuan tentang:
a) Kewajiban membuat sistem pengelolaan informasi dan
dokumentasi (Pasal 13);
b) Kewajiban membuat sistem layanan informasi dan mekanisme
memperoleh informasi (Pasal 13, Pasal 21, dan Pasal 22);
c) Mekanisme keberatan dan penyelesaian sengketa baik ditingkat
badan publik, komisi informasi maupun pengadilan.
Mekanisme keberatan ditingkat badan publik diatur pada Pasal
35 dan Pasal 36. Penyelesaian sengketa di tingkat komisi
informasi diatur pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 46.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui gugatan ke
pengadilan diatur dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal 50;
d) Ancaman sanksi bagi penghancuran informasi maupun
pembuatan informasi yang tidak benar (untrue/false
information) atau menyesatkan (misleading). Ketentuan ini
dapat ditemukan dalam Pasal 53 dan Pasal 55.
Keempat, Penyelesaian sengketa secara cepat, murah, kompeten, dan independen
:
UU KIP membagi penyelesaian sengketa dalam tingkat badan publik
melalui pengajuan keberatan, di tingkat komisi informasi melalui

mediasi dan ajudikasi, serta di tingkat pengadilan melalui pengadilan


negeri dan pengadilan tata usaha negara. Mahkamah Agung RI tetap
dipilih oleh perumus UU KIP sebagai lembaga terakhir bagi seluruh
penyelesaian sengekta informasi tersebut. Pengaturan tentang
pengajuan keberatan, jangka waktu, dan pemberian tanggapan atas
keberatan oleh badan publik diatur dalam Pasal 35 dan Pasal 36.
Hukum acara penyelesaian sengketa di tingkat komisi informasi diatur
pada Pasal 37 sampai dengan Pasal 46.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui gugatan ke pengadilan dan
kasasi ke Mahlamah Agung diatur dalam Pasal 47 sampai dengan Pasal
50.
Kelima, Ancaman pidana bagi penghambat informasi
Sanksi pidana merupakan salah satu perangkat untuk menimbulkan
efek jera (deterrent effect) bagi pelanggar ketentuan UU KIP. Namun
demikian
penggunaan sanksi pidana harus dilakukan secara selektif mengingat
efektifitas suatu aturan tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan
ancaman pidana semata yang berimplikasi pada pengurangan
kemerdekaan seseorang.
Ancaman sanksi pidana dalam UU KIP ditekankan kepada penghambat
informasi, yaitu: a) mereka yang secara sengaja menghancurkan
informasi (Pasal 53); b) mereka yang secara sengaja membuat
informasi yang tidak benar (Pasal 55); dan c) pejabat publik yang tidak
menjalankan kewajibannya dalam rangka keterbukaan informasi (Pasal
52).
UU KIP juga mengatur tentang ancaman pidana bagi penyalahgunaan
informasi dan pembocoran informasi rahasia. Ancaman bagi
penyalahgunaan informasi diatur dalam Pasal 51. Sedangkan ancaman
pidana bagi pembocoran informasi rahasia diatur dalam Pasal 54.
IV.

Kesimpulan
Berdasar kajian yang sudah dilakukan maka Penulis menyimpulkan beberapa
hal sebagai berikut :
Pertama, UU KIP pada dasarnya lahir dalam kondisi pasca reformasi dimana
ingin merubah kondisi sempitnya ruang partisipasi dan akses masyarakat terhadap
informasi public pada zaman Orde Baru, kemudian juga adanya ruang kosong
dalam hokum terkait informasi public, sementara di lain sisi sebagai bentuk
jabaran dari Pancasila dan UUD 1945 bahwa makna Demokrasi yang kita
kehendaki tersebar luas dalam aspek kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan
termasuk

didalamnya

adalah

1)

aspek

akuntabilitas

public

dalam

penyelenggaraan negara; 2) dijaminyya hak pastisipasi masyarakat dalam proses


pengambilan dan pengawasan kebijakan public.
Oleh karena kondisi sedemikian maka UU KIP bertujuan untuk : 1)
memberikan jaminan untuk memperoleh informasi publik; 2) menstimulan
pasrtisipasi masyarakat dalam proses pembuatan dan pengawasan atas
pengambilan kebijakan publik; dan 3) mendorong terwujudanya penyelenggaraan
negara yang baik, melalaui prinsip transparansi sebagai bagian dari akuntabilitas
publik.
Dua, sebagai cara untuk memenuhi tujuannya UU KIP pada intinya mengatur
sedemikian : 1) melegalisasi mekanisme permohonan informasi publik; 2)
melegalisasi sengketa informasi antara Pemohon informasi dan termohon
Informasi Publik; dan 3) memerintahkan/ mewajibkan segala hal terkait Standar
layanan informasi Publik di badan Publik.
Ketiga; dalam penerapanya UU KIP memastikan prinsip tentang informasi dan
akses terhadap informasi, serta penerapan sanksi terhadap penghambat, dan
penyah guna informasi serta pembocor informasi rahasia.

V.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik;
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2008.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik;
download di SetDPRRI.go,id

Anda mungkin juga menyukai