Anda di halaman 1dari 12

PERILAKU ORGANISASI

INTERNATIONAL:
Mengelola Kebudayaan yang
Beragam

Kelompok II :
Bayu Aji Wijaya
Hevi Suriyanti

Moch. Ganjar Maulana


Ekonomi globalisasi memiliki beragam kebudayaan, dan saat ini menuntut
setiap individu yang ada di dunia untuk mempersiapkan diri akan keberagaman
tersebut. Pada dasarnya, bab ini dipelajari dengan tujuan untuk memberikan suatu
pandangan dan membantu dalam mempelajari pengaruh budaya terhadap
peningkatan organisasi internasional baru-baru ini.

Budaya dan Perilaku Organisasi


Setiap individu yang ada di belahan dunia memiliki budaya dan perilaku yang
berbeda-beda dan seringkali perbedaan tersebut menyebabkan pertentangan di
dalam lingkungan berorganisasi. Dengan adanya perbedaan tersebut di dalam
suatu organisasi, dapat menimbulkan ketidakselarasan di antara pelaku ekonomi
yang ada di dalam organisasi tersebut. Sehingga perlu adanya suatu rancangan
sistem budaya tersendiri di dalam organisasi yang bisa mempersatukan segala
macam perbedaan di antara individu-individu yang ada di dalam organisasi
tersebut.

Budaya bersifat kompleks dan berlapis-lapis


Budaya adalah suatu kepercayaan dan nilai-nilai yang dianut oleh individu
atau sekelompok individu yang cenderung bertahan sepanjang waktu, bahkan
meskipun anggota kelompok berubah. Sehingga budaya memiliki sisi preskiptif
yaitu yang harus dilakukan oleh individu, dan sisi deskriptif yaitu yang sebenarnya
harus orang lakukan. Budaya tercipta dari satu generasi ke generasi berikutnya
melalui keluarga, guru, teman, dan lingkungan lain. Budayapun cenderung sulit
untuk dipahami karena budaya memiliki makna yang berlapis-lapis.

Budaya merupakan sesuatu yang tidak tampak tapi melekat


Budaya pada dasarnya berada di bawah kesadaran karena menyangkut
asumsi-asumsi yang dianggap benar mengenai cara seseorang beranggapan,
berfikir, bertindak, dan merasakan suatu hal. Sehingga terdapat anggapan bahwa
anda adalah budaya anda sendiri, dan budaya anda adalah anda sendiri.

Budaya mengesampingkan batas-batas Negara


Budaya masyarakat dapat melintasi batas-batas Negara diakibatkan dari
peristiwa penjajahan, migrasi, perjanjian, dan geopolitik. Hal tersebut menyebabkan
di dalam suatu Negara memiliki berbagai macam budaya yang terlahir ketika
sekelompok orang berpindah atau mengalami peristiwa-peristiwa yang disebutkan
sebelumnya.

Model budaya masyarakat dan budaya organisasi

Budaya
Organisasi

Rancangan Ekonomi dan Teknologi


Budaya
Rancangan Politis dan Hukum
masyara
kat

Latar Belakang Etnis


Agama

Kebiasaa
n

Nilai-nilai
individu
Sikap

Perilaku
organisasi

Asumsi
Harapan

-Bahasa
Dilihat dari gambar diatas, budaya mempengaruhi perilaku organisasi dengan dua
cara. Para karyawan membawa budaya mereka ke dalam dunia kerjanya melalui
kebiasaan dan bahasa yang digunakan. Budaya organisasi mempengaruhi nilai-nilai
atau etika individu, sikap, asumsi, dan harapan. Pada saat salah satu pengaruh
tersebut mempengaruhi budaya organisasi, maka keragaman budaya organisasi
dan budaya masyarakat dapat menciptakan perusahaan multinasional yang lebih
dinamis.

Ethnocentrism : Kebudayaan yang menghadang dalam ekonomi


global
Ethnocentrism adalah suatu keyakinan yang menganggap bahwa suatu
bangsa, bahasa, budaya, dan perilaku bangsa tersebut paling unggul daripada yang
lain. Budaya yang seperti ini menunjukan bahwa seseorang cenderung

MENUJU KOMPETENSI DAN KESADARAN LINTAS-BUDAYA


YANG LEBIH BAIK

I. PERTENTANGAN BUDAYA MEMERLUKAN KECERDASAN BUDAYA


Karena perbedaan budaya harus dilihat sebagai kecenderungan dan pola,
bukan sesuatu yang absolut, maka sebaiknya kita mempersiapkan diri memahami
perbedaan tersebut,bukan menghindarinya. Untuk memahami perbedaaan
kebudayaan tersebut dibutuhkan kecerdasan budaya, yaitu kemampuan untuk
menginterpretasikan situasi lintas budaya yang ambigu dengan tepat. Dalam
mengembangkan kecerdasan budaya, seseorang harus memiliki kecerdasan
emosional terlebih dahulu dimana orang tersebut memiliki kemampuan untuk
mengatur dirinya berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dewasa dan
membangun, kemudian mempraktekkannya dalam situasi lintas budaya yang
ambigu.

II. HIGH-CONTEXT AND LOW-CONTEXT CULTURES


High-context cultures

Low-context cultures

Saling percaya satu sama lain pada Mendahulukan kepentingan bisnis


tahap awal
Menghargai hubungan pribadi dan Menghargai keahlian dan kinerja
nama baik
Perjanjian melalui kepercayaan umum
Perjanjian melalui kontrak legal dan
spesifik
Negosiasi berjalan lambat dan terikat Negosiasi dilakukan seefisien mungkin
pada peraturan
Orang-orang yang berasal dari kebudayaan High-context seperti China, Korea,
Jepang dan Vietnam biasanya mengandalkan petunjuk situasional untuk memahami
apa yang mereka terima dan menyampaikan pesan yang dikirim ke orang lain. Bagi
mereka, petunjuk non-verbal seperti jabatan, status, atau hubungan keluarga
mempunyai arti yang lebih kuat dan penting dibandingkan dengan kata-kata yang
disampaikan.
Sedangkan orang orang dengan Low-context cultures seperti Jerman, Swiss,
Skandinavia, Amerika-Utara dan Inggris biasanya lebih menitikberatkan bahasa
lisan maupun tertulis, bukan pada petunjuk seperti High-context.
MENGHINDARI BENTROKAN BUDAYA
Kesalahpahaman sering menjadi masalah dalam bisnis internasional saat
pihak-pihak dari High-context dengan low-context culture saling bertemu. Situasi
yang tidak baik ini dapat dihindari kedua pihak dengan mencoba saling
memahami rekan satu sama lain. Berikut adalah tips untuk memahami
perbedaan tersebut:

Kedua pihak harus dilatih untuk membuat menyesuaikan diri

Karyawan baru harus dikenalkan kepada atasan dan rekan kerjanya.

Penting untuk memahami informasi mengenai latar belakang kedua pihak

Jangan berpendapat bahwa pendatan baru sudah percaya diri. Berikan


instruksi yang jelas mengenai tujuan dan proses untuk mencapainya

Pekerja asing yang dengan High-context culture perlu belajar untuk bertanya
diluar pekerjaan mereka sendiri.

Pekerja asing harus berusaha untuk lebih percaya diri.

III. SEMBILAN DIMENSI BUDAYA DARI PROYEK GLOBE


Proyek GLOBE adalah temuan dari University of Pennsylvania oleh Robert J
House yang merupakan upaya besar-besaran dan berkelanjutan untuk
mengembangkan teori empiris untuk mejelaskan, memahami, dan memprediksi
dampak dari variable-variabel budaya spesifik dalam proses kepemimpinan,
organisasi, serta keefektifitasan proyek tersebut. Gagasan dari proyek GLOBE
tersebut menghasilkan 9 dimensi budaya, yang meliputi:
1. Power Distance (Rentang Kekuasaan). Seberapa besar ketidak-seimbangan
distribusi kekuasaan terjadi dalam organisasi dan masyarakat?
2. Uncertainty Avoidance (Penghindaran Ketidakpastian). Seberapa besar orang
akan bertumpu pada norma social untuk menghindari dan membatasi
ketidakpastian?
3. Institutional Collectivism (Kebersamaan Institutional). Seberapa besar
pemimpin mampu mendorong dan menghargai kesetiaan unit social ketika
berlawanan dengan kepentingan individu?
4. In-group Collectivism (Kebersamaan Kelompok). Seberapa besar kebanggaan
dan kesetiaan yang harus dimiliki individu terhadap keluarga atau
organisasinya?
5. Gender Egalitarianism (Kesetaraan Gender). Seberapa besar usaha yang
harus dilakukan untuk memperkecil diskriminasi gender dan peran?
6. Assertiveness (Ketegasan). Bagaimana seharusnya perlawanan dan dominasi
seseorang dalam hubungan social?
7. Future Orientation (Orientasi Masa Depan). Berapa lama seharusnya
seseorang menunda gratifikasi melalui perencanaan dan penghematan untuk
masa depan?
8. Performance orientation (Orientasi Kinerja). Bagaimana seharusnya
seseorang dihargai atas prestasi dan peningkatan?
9. Humane Orientation (Orientasi Manusia). Seberapa besar seharusnya
masyarakat mendorong dan menghargai orang-orang untuk menjadi
seseorang yang baik hati, adil, ramah dan dermawan?

IV. INDIVIDUALISM VS COLLECTIVISM

Individualistic cultures dikarakteristikkan sebagai budaya aku dan saya,


yang memberi kebebasan bagi individu. Sedangkan Collectivist cultures
dikarakteristikkan sebagai budaya kita dan kami, yang lebih mengutamakan
kepentingan tujuan bersama diatas kepentingan individu. Negara dengan
individualism tinggi misalnya Israel, Rumania, Nigeria, Kanada, dan Amerika
Serikat. Sedangkan Negara dengan budaya Collectivism tinggi misalnya Mesir,
Nepal, Meksiko, India dan Jepang.

V. BUDAYA DALAM MENAFSIRKAN WAKTU

Terdapat dua perbedaan dalam menafsirkan waktu, yaitu :


Monochronic time, adalah kecenderungan mengerjakan satu hal pada satu waktu
karena waktu bersifat terbatas, dikelompokkan secara tepat dan berdasarkan
jadwal
Polychronic time, adaalah kecenderungan mengerjakan banyak hal pada satu
waktu karena waktu bersifat fleksibel dan multidimensi.
Pemahaman mengenai perbedaan cara dalam menafsirkan waktu sangat penting
bagi manajer dalam melakukan bisnis lintas-budaya, karena setiap Negara
mungkin menafsirka waktu secara berbeda. Contohnya perusahaan yang berada
di Arab Saudi harus menyesuaikan waktu kerjanya pada bulan Ramadhan.

VI. RUANG PRIBADI


Seorang antropolog Edward T Hall mengungkapkan adanya hubungan antara
budaya dengan jarak untuk berdiskusi. Untuk mempelajari perkiraan budaya
mengenai ruang pribadi, Hall menggunakan proxemics. Terdapat 4 jenis zona,
yaitu jarak keintiman, personal, social, dan jarak umum. Misalnya orang dari
High-context culture biasanya lebih memilih berkomunikasi dalam jarak dekat,
sedangkan orang dari Low-context culture lebih memilih berkomunikasi dalam
jarak yang cukup jauh.

VII. AGAMA
Agama dan kepercayaan memiliki dampak terhadap hubungan lintas-budaya.
Berikut ini merupakan hubungan pekerjaan dari agama yang dianut:
Katolik - Pekerja ingin diperhitungkan secara serius, diberikan infoermasi,
dan digunakan pertimbangannya.
Kristen Protestan Pekerja menginginkan bekerja pada perusahaan yang
efisien, sukses, dan memimpin dalam bidang teknologi.
Budha Pekerja mengharapkan bekerja pada perusahaan yang
bertanggung-jawab terhadap lingkungan.
Islam Pekerja menginginkan lingkungan yang stabil, kelangsungan kerja,
dan pengurangan ketidak-pastian.
Atheis Pekerja menginginkan pekerjaan yang menyediakan kesempatan
untuk belajar dan menggunakan keahlian yang dimilikinya dengan baik.

PENGETAHUAN PRAKTIK DARI PENELITIAN MANAJEMEN


LINTAS-BUDAYA
Menurut Nancy Adler, seorang spesialis
Univesitas McGill, manajemen lintas budaya
tingkah laku manusia dalam organisasi
bagaimana orang bekerja dalam organisasi
dari berbagai budaya yang berbeda.

Perilaku Organisasi Internasional di


( cross-culture management ) adalah
diseluruh dunia dan menunjukkan
dengan populasi karyawan dan klien

Pada awalnya, penelitian mengenai manajemen lintas budaya berfokus pada


perbedaan budaya, tetapi kemudian peneliti- peneliti GLOBE, Mansour Javidan dan
Robert J House menyarankan untuk mempelajari tentang persamaan juga. Mereka
percaya bahwa dengan mempelajari persamaan budaya juga akan membantu
mereka dalam menilai apakah suatu praktek manajemen dapat diterapkan di
negara lain.
Penelitian Hofstede : Seberapa baiknya teori Managemen Amerika dapat diterapkan
di Negara lain?
1. Power distance. Seberapa banyak ketidaksamaan yang diharapkan seseorang
dalam situasi sosial?
Power distance merupakan suatu kondisi adanya ketidakmerataan
pendistribusian kekuasaan dalam suatu organisasi atau lembaga.
Power distance yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat beberapa orang
yang dianggap lebih superior dibandingkan orang yang lain karena adanya
perbedaan status sosial, ras, umur, pendidikan, dan faktor lainnya.
Power distance yang rendah menunjukkan bahwa setiap anggota tidak
mempermasalahkan perbedaan yang ada diantara mereka.
2. Individualism-collectivism. Seberapa jauh atau dekatnya seseorang dengan
lingkungan sosialnya?
Individualism menunjukkan kerenganggan hubungan antara individu, setiap
individu harus dapat menjaga dirinya sendiri.
Dalam budaya individualisme yang tinggi, orang-orang cenderung berpindahpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain.
Collectivism menunjukkan masyarakat yang orang-orangnya sudah menjalin
hubungan yang kuat dan sepanjang hidupnya terus menjaga hubungan
tersebut.
Dalam budaya kolektivisme yang tinggi, orang-orang cenderung lebih
berkomitmen terhadap organisasinya.
3. Masculinity-femininity. Apakah seseorang bersifat maskulin yang berorientasi
pada pekerjaan atau bersifat feminine yang berorientasi pada hubungan?
Masculinility
dan
femininity
menunjukkan
tingkat
budaya
yang
mempertimbangkan peranan wanita dan pria. Ciri khas masculinity :
kekuatan, ketegasan, persaingan, dan ambisi, sedangkan
ciri khas femininity : kasih saying, pengasuhan dan emosi.

4. Uncertainty avoidance. Seberapa kuat seseorang mengiginkan situasi yang


sangat terstruktur?
Dalam budaya yang memiliki tingkat uncertainty avoidance (penghindaran
ketidakpastian) yang tinggi, segala sesuatu yang berbeda dianggap
berbahaya, mereka menolak perubahan dan mereka khawatir akan masa
depan.
Dalam budaya yang memiliki tingkat penghindaran ketidakpastian yang rendah,
mereka terbuka akan hal-hal yang baru dan perubahan, mereka tidak memiliki
perasaan yang tidak pasti akan masa depan.
Sampel dari orang Amerika memperlihatkan nilai yang relative rendah pada
power distance, sangat tinggi pada individualism, cukup tinggi pada masculinity dan
rendah pada uncertainty avoidance.
Tingginya tingkat variasi budaya membawa Hofstede pada 2 kesimpulan
berikut:
1. Teori dan praktek manajemen harus beradaptasi dengan budaya lokal.
2. Kearoganan budaya adalah individu, perusahaan dan Negara yang merasa
mewah yang tidak dapat bertahan lama dalam ekonomi global.

Pelajaran Kepemimpinan dari Proyek GLOBE


Para peneliti GLOBE menemukan bahwa terdapat beberapa atribut
kepemimpinan yang disukai dan tidak disukai secara universal. Mereka meneliti
17.000 manajer menegah yang bekerja di 951 perusahaan di 62 negara. Hasil
penelitian mereka diringkas dalam table berikut.

Atribut pemimpin yang positif


Dapat dipercaya
Adil
Jujur
Meninjau masa depan
Merencanakan masa depan
Pendorong
Positif
Dinamis
Pembangun motif
Pembangun kepercayaan diri
Pemotivasi
Dapat diandalkan
Rajin
Tegas
Pemecah masalah dengan solusi
win-win

Atribut pemimpin yang negative


Penyendiri
Asosiasi
Non-koperatif
Cepat marah
Tidak tegas
Egosentris
Kejam
Diktator

Keahlian administratif
Komunikatif
Kordinator
Pembangun tim
Berorientasi pada mutu
Visi dan inspirasi pemimpin yang karismatik membangun tim yang baik dan
secara umum merupakan pemimpin yang terbaik. Dilain pihak, pemimpin yang
egosentris terlihat penyendiri dan secara umum kurang disambut. Manajer lokal
maupun luar negeri yang memiliki
sifat ini dianjurkan untuk menggunakan
pendekatan kontigensi setelah menggunakan intelegensi budaya mereka untuk
membaca budaya dan penduduk lokal.

Mempersiapkan karyawan agar berhasil dalam


penugasan di Luar Negeri
Berdasarkan penelitian banyak ekspatriot (orang yang tinggal atau bekerja di
luar negeri) yang gagal menyesuaikan diri di tempat kerjanya di luar negeri. Hal
tesebut diakibatkan oleh beberapa hal berikut:
a. Tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan atau budaya yang
baru
b. Tidak dapat memenuhi harapan atasan mereka
c. Adanya masalah keluarga dan masalah pribadi
d. Kangen akan rumah ( homesickness )
Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan harus mempersiapkan orang yang
tepat dan keluarga yang mendukung mereka untuk penugasan ke luar negeri,
terutama bagi penugasan yang melibatkan biaya yang besar.
Menemukan orang yang tepat untuk posisi di luar negeri tidaklah mudah,
menghabiskan banyak waktu dan prosesnya memerlukan biaya yang mahal. Untuk
memudahkan, kita hanya akan berfokus pada masalah umum perilaku organisasi
dalam siklus penugasan luar negeri.

Siklus Penugasan Luar Negeri


Pengalaman di Negara Asal
di Negara Asing
1. Pemilihan dan
pelatihan untuk
menghindari halhal yang tidak
diharapkan.

Pengalaman

2. Kedatangan dan
penyesuaian untuk
mengatasi culture
shock

Penugasan kembali

4. Kembali ke
negara asal
dan
menyesuaika
n diri kembali

Mencegah pengharapan
Pelatihan Lintas Budaya

3. Menenangkan
diri dan
menyesuaikan diri
terhadap
kurangnya
dukungan

yang

tidak

realistis

dengan

Pelatihan lintas budaya adalah segala bentuk pengalaman yang terstruktur


yang didesain untuk membantu karyawan yang dikirim ke luar negeri agar dapat
menyesuaikan diri di luar negeri. Walaupun biaya untuk pelatihan lintas budaya
mahal, akan tetapi biaya ini lebih murah jika dibandingkan dengan kegagalan
penugasan ke luar negeri. Semakin besar kesulitan dalam pelatihan, semakin besar
pula waktu dan biayanya.
Tingkat kesulitan yang dihadapi:
1. Mudah: pelatihan sebelum keberangkatan yang hanya terbatas pada
informasi-informasi yang material, termasuk buku, pembimbing, film, video
dan internet.
2. Cukup sulit: pelatihan berdasarkan pengalaman yang dibutuhkan dengan
studi kasus, bermain peran, asimilasi ( stimulus peristiwa intercultural ) dan
petunjuk perkenalan bahasa.
3. Sangat sulit: karyawan yang diberangkatkan diberikan berbagai metode awal
ditambah dengan petunjuk bahasa secara menyeluruh dan bidang
pengalaman dalam budaya yang dituju.
Secara umum, pelatihan yang lebih rinci lebih baik. Idealnya, peserta
pelatihan harus berjalan dengan 9 kompetensi lintas budaya berikut:
Tingkatan kompetensi dan
budaya
1. Membangun hubungan

Lintas

Pengetahuan dan ketrampilan


Kemampuan untuk memperoleh akses
dan
menjaga
hubungan
dengan

anggota dari budaya tuan rumah


2. Menilai orang dari budaya yang
berbeda

Berempati dan sensitif (peka) terhadap


perbedaan

3. Mendengarkan dan mengamati

Mengetahui sejarah kebudayaan dan


alasan atas perilaku dan kebiasaan
kebudayaan tertentu

4. Membentengi ambiguitas

Mengetahui dan menginterprestasikan


perilaku yang tersirat, khususnya
isyarat nonverbal

5. Menterjemahkan informasi yang


rumit
Pengetahuan akan bahasa lokal, simbol
dan berbagai bentuk bahasa verbal
dan tertulis lainnya
6. Mengambil tindakan dan inisiatif

Memahami konsekuensi dari tindakan

7. Mengelola yang lain

Kemampuan untuk mengelola detail


pekerjaan termasuk perpaduan dalam
kelompok

8. Adaptasi dan fleksibilitas


9. Mengelola stres

Melihat perubahan dari berbagai sudut


pandang
Memahami perasaan, emosi dan
kepribadian diri sendiri dan orang lain

Mencegah Culture Shock


Culture shock merupakan kegelisahan dan keraguan yang disebabkan oleh
ekspetasi serta isyarat sosial yang tidak biasa yang berlebihan. Pertahanan
terbaik terhadap culture shock adalah pelatihan menyeluruh mengenai lintas
budaya, termasuk pembelajaran bahasa secara intensif.

Dukungan selama penugasab ke luar negeri


Selama 6 bulan pertama, saat semuanya masih baru bagi ekspatriot, sistem
pendukung sangat dibutuhkan. Dukungan dari negara tuan rumah sangat
membantu karena mereka mengetahui budaya dan daerah setempat.

Mencegah Reentry shock


Kembali ke budaya negara asal mungkin kelihatan biasa, akan tetapi setelah
terbiasa dengan budaya negara lain setelah waktu yang lama, akan
menyebabkan budaya negara asal terlihat asing.

3 area dari reentry shock adalah pekerjaan, aktifitas sosial, dan lingkungan
masyarakat, seperti politik, iklim, transportasi dan makanan. Reentry shock
dapat dikurangi melalui konseling karir karyawan dan dukungan dari negara
asal.
Secara keseluruhan, kunci kesuksesan penugasan luar negeri adalah jaringan
yang terintegrasi dengan baik dalam rantai karir daripada memperlakukannya
sebagai petualangan terisolasi.

Anda mungkin juga menyukai