Anda di halaman 1dari 131

Potensi Produksi Ikan dan Status.. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.

POTENSI PRODUKSI IKAN DAN STATUS PERIKANAN DI WADUK


MALAHAYU, KABUPATEN BREBES JAWA TENGAH
Andri Warsa dan Kunto Purnomo
Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan-Jatiluhur
Teregistrasi I tanggal: 2 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 12 Juli
2011;
Disetujui terbit tanggal: 5 September 2011

ABSTRAK
Waduk Malahayu di Kabupaten Brebes - Jawa Tengah dengan luas 620 ha mempunyai fungsi
utama sebagai penyedia air baku untuk kebutuhan air minum dan irigasi. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menduga potensi produksi ikan dan status perikanan di Waduk Malahayu. Penelitian dilakukan
pada bulan Mei, Juli, Agustus, dan Oktober 2010 dengan metode survei berstrata. Potensi produksi
ikan dihitung berdasarkan produktivitas primer fitoplankton dan survey sumberdaya ikan dilakukan
dengan pemasangan jaring insang percobaan serta pengumpulan data hasil tangkapan nelayan oleh
enumerator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ikan yang tertangkap di Waduk Malahayu adalah
ikan mujair (Oreochromis mossambicus), beunteur (Puntius binotatus), sili (Macrognathus aculeatus),
nila (Oreochromis niloticus), gabus (Channa striata), dan sepat (Trichogaster pectoralis). Rata rata
nilai produktivitas primer kotor Waduk Malahayu adalah 3,3 mgC/m 3/jam dengan rata rata potensi
produksi ikan sebesar 1.337 kg/ha/tahun atau 828 ton/tahun. Jumlah nelayan yang beroperasi di Waduk
Malahayu setiap hari berkisar 27 70 orang dengan tangkapan per satuan usaha adalah 5,8 kg/orang/
hari dengan rata rata produksi mencapai 157,3 ton/tahun sehingga tingkat pemanfaatan sumberdaya
ikannya sekitar 40 % dari total potensi produksi ikan.
KATA KUNCI
:
ABSTRACT:

produktivitas primer, potensi produksi, ikan, perikanan, Waduk Malahayu


Estimation of the fish potential yield and state of fisheries of Malahayu
Reservoir, Brebes Regency, Central Java Province by Andri Warsa and Kunto
Purnomo

Malahayu Reservoir in Brebes Regency, Central Java, a total water surface area of 620 ha has main
function as source of drinking water and irrigation. The aim of this study was to estimate the fish potential
yield and state of fisheries of the reservoir. The study was conducted in May, July, August, and
October 2010 using stratified survey method. Fish potential yield was estimated based on
phytoplankton primary productivity and survey of fisheries resources was conducted using
experimental gillnets and fish catch data collected by enumerator. The result showed that fish
species caught were mozambique tilapia (Oreochromis mossambicus), spotted barb (Puntius
binotatus), lesser spiny eel (Macrognathus aculeatus), nile tilapia (Oreochromis niloticus),
striped snakehead (Channa striata) and snakeskin gourame (Trichogaster pectoralis). Average of
gross primary productivity of the reservoir was 3.3 mg C/ m3/hour with an average fish potential yield
was 1,337 kg/ ha/ year or 828 tons/year. An average of fishermen operated were between 27-70
people per day with an average catch per unit of effort was 5.8 kg/person/day and fish production
reached 157.3 tons/year, so that fish resources exploitation was about 40 % of the total fish
potential yield.
KEYWORDS:

primary productivity, fish potential yield, fish, fisheries, Malahayu Reservoir

PENDAHULUAN

Jones & Hoyer, (1982) menghubungkan


antara biomassa jenis jenis ikan untuk keperluan
Estimasi potensi produksi ikan sangat penting pemancingan (sport fish) dengan konsentrasi
klorofil-untuk pengelolaan sumberdaya ikan di suatu badan
a di waduk dan danau di Amerika
Serikat. Liang et al. air agar tetap lestari (Anonim, 1999; Bramick, 2002). (1981) dalam MRAG (1995)
melakukan pendugaaan Banyak rumus sederhana yang telah digunakan untuk potensi produksi ikan
bersih (dikurangi dengan berat menduga potensi produksi ikan di waduk dan danau
juvenil
ikan
yang ditebar) dengan produktivitas primer (Ryder, 1965; Moreau & de Silva, 1991). Dasar teori kotor di
danau dan kolam di Cina.
dari beberapa model pendugaan potensi produksi ikan
tersebut didasarkan atas produktivitas primer suatu
Waduk Malahayu yang terletak di Kabupaten
badan air (Oglesby, 1977). Produktivitas primer kotor
Brebes, Propinsi Jawa Tengah dibangun pada
tahun telah digunakan untuk menduga potensi tangkapan
1930 dengan luas 620 ha. Fungsi utama

waduk ini ikan pada beberapa danau di Afrika (Melack, 1976).


kebutuhan air minum ___________________
Korespondensi penulis:
Jl. Cilalawi Tromol Pos No. 1 Jatiluhur, Purwakarta-Jawa Barat
41152 Tlp. 0264-208768

sebagai penyedia air baku untuk

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 229-237

dan irigasi. Selain fungsi tersebut, waduk ini juga


digunakan untuk pariwisata, transportasi dan
perikanan tangkap sebagai sumber mata
pencaharian
masyarakat
sekitar.
Waduk
Malahayu merupakan badan air yang subur atau
eutrofik dengan kelimpahan fitoplankton berkisar
1.006 9.772 sel/l di mana genera Pediastrum
dari
kelas
Chlorophyceae
mempunyai
kelimpahan tertinggi (Sugianti & Purnomo,
2009). Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga
potensi produksi ikan dan mendeskripsikan status
perikanan di Waduk Malahayu Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Waduk Malahayu
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah (Gambar 1)
pada bulan Mei, Juli, Agustus, dan Oktober 2010
dengan metode survey berstrata (Johnson &
Nielson, 1985). Pengukuran produktivitas primer
dilakukan pada dua lokasi yaitu daerah Dam
dan Karacak dengan menggunakan metode
oksigen (Botol gelap terang). Contoh air diambil
pada kedalaman 0,5m, 2m dan 4m dengan
menggunakan
Kemmerer
Water
Sampler
bervolume 5 L. Contoh air yang diperoleh
kemudian dimasukkan ke dalam botol gelap terang dan diinkubasi selama 4 jam sesuai
dengan kedalaman pengambilan contoh air atau
zona eufotik yang diukur berdasarkan nilai
kecerahan badan air tersebut. Nilai parameter
kecerahan diukur secara in situ dengan
menggunakan sechi disk. Kedalaman eufotik (Z )
dihitung dengan persamaan Viner (1984) dalam
An & Jones, (2000) dengan rumus:
Z eufotik = 2,3 x Kecerahan (m)

Perhitungan produktivitas primer fitoplankton


berdasarkan botol gelap terang menggunakan
rumus Wetzel & Likens, (2000), sebagai berikut:

(BT t BG)

=
keterangan:
GPP

0,375 x1000

= produktivitas
primer kotor (mg
3
C/m /Jam)
= konsentrasi oksigen terlarut dalam
botol terang (mg/L)
= konsentrasi oksigen terlarut dalam
botol gelap (mg/L)
= lamanya waktu inkubasi (jam)
= faktor konversi dari oksigen terlarut
ke karbon
= rasio antara oksigen yang dihasilkan
terhadap karbon yang digunakan
(photosynthetic quotient=1,2)

BT
BG
t
0,37
5
PQ

Pendugaan
potensi
produksi
ikan
menggunakan rumus (Alamazan & Boyd dalam
Boyd, 1990) sebagai berikut:
Y = 166,64 + 354,6Xp 18,06 Xp2
keterangan:
Y
Xp

=
=

Potensi produksi ikan (kg/ha/tahun)


Produktivitas
primer kotor
2
(gC/m /hari)

Cawiri

Desa Malahayu

DAM

Penanggapan
Karacak
Stasiun
peneliti
an

Gambar 1.
Figure 1.

230

Peta Waduk Malahayu dan stasiun penelitian


Map of Malahayu Reservoir and research
station

Potensi Produksi Ikan dan Status.. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)

Produksi ikan hasil tangkapan nelayan dihitung


berdasarkan data hasil pencatatan oleh empat
orang enumerator selama 10 bulan yang
berlangsung dari bulan Januari sampai Oktober
2010. Pencatatan hasil tangkapan dilakukan
setiap hari di empat lokasi pendaratan ikan yaitu
Desa Karacak, Pananggapan, Cawiri, dan
Malahayu/daerah Dermaga (Gambar 1).
Percobaan penangkapan dilakukan dengan
memasang jaring insang percobaan ukuran mata
jaring 1; 1,25; 1,5; 1,75; 2; 2,25; 2,5; 2,75; dan 3
inci. Ikan yang diperoleh diukur panjangnya
dengan menggunakan papan ukur ketelitian 0,1
cm dan ditimbang beratnya dengan menggunakan
timbangan ketelitian 0,1 g. Ikan contoh yang
diperoleh diawetkan dengan formalin 10% dan
diidentifikasi berdasarkan Kottelat et al. (1993)
dan Robert, (1986) di Laboratorium Balai
Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan, Jatiluhur
serta dicocokan dengan data dari Fishbase.
Nilai relatif penting jenis ikan yang tertangkap
dihitung berdasarkan bobot total, jumlah total dan
frekuensi tertangkapnya untuk setiap jenis ikan
dengan persamaan Kolding dalam De Silva,
(2001):
% IRI = 100* [(%Wi + % Ni)%Fi]/[ ((%Wi +
%Ni)% Fi)]
keterangan:
IRI = indeks relatif penting
Wi = persentase berat dari spesies ke i dalam
total tangkapan
Ni = persentase jumlah dari spesies ke i
dalam total tangkapan
Fi = frekwensi keberadaan spesies ke i
dalam total tangkapan
Untuk mengetahui tekanan pada suatu
komunitas ikan yang diakibatkan oleh introduksi
suatu jenis ikan dilakukan dengan menggunakan
kurva perbandingan kelimpahan dan biomassa
ikan (The Abundance/ Biomass Comparison
Curve, ABC Curve) (Rocha & Freire, 2009).
Kurva ABC dihitung berdasarkan Warwick,
(1986)
dan
nilai
W
dihitung
dengan
persamaan Clarke (1990):

keterangan:
Bi = biomassa species ke i (%)
Ai = kelimpahan species ke i (%)
S = jumlah species
HASIL DAN PEMBAHASAN
Informasi tentang keberadaan fitoplankton akan
memberikan
kontribusi
penting
yang
mengindikasikan
biomassa
energi
yang
tersedia untuk semua sumberdaya hidup
lainnya pada badan air tersebut. Hal ini karena
fitoplankton merupakan dasar dari suatu rantai
makanan dan sumber makanan primer di suatu
sistem akuatik. Kajian potensi produksi ikan
merupakan konsep dasar dalam mendiskripsikan
sumberdaya ikan yang akan diekploitasi (Rahardjo
et al. 2007). Hasil penelitian yang dilakukan di
sembilan waduk yang tersebar di Jawa Barat dan
Jawa Tengah pada tahun 2003 memperlihatkan
bahwa potensi produksi di badan air tersebut
berkisar antara 1.617 - 1.903 kg/ha/tahun
dengan tingkat pemanfaatan sekitar 38 53%
(Kartamihardja et al. 2003). Welcomme, (2001)
menyatakan bahwa umumnya potensi produksi
ikan di perairan waduk adalah 573,1 kg/ha/tahun.
Nilai kecerahan di Waduk Malahayu berkisar
1,5 1,8 m dengan kedalaman eufotik berkisar 3,5
4,2 m. Berdasarkan kedalaman eufotiknya
maka pemasangan botol gelap terang dilakukan
pada kedalaman 0,5; 2,0 dan 4,0 m. Nilai
produktivitas primer kotor dan rata rata potensi
produksi ikan di Waduk Malahayu disajikan pada
Tabel 1. Rata rata potensi produksi ikan Waduk
Malahayu adalah 1.337 kg/ha/tahun atau 828
ton/tahun. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan
dengan potensi produksi ikan di Danau Limboto
yang berkisar 210,5 589,7 kg/ha/ tahun (Warsa
et al. 2009) dan di Waduk Darma, Jawa Barat yang
berkisar 67,6 124,1 kg/ha/bulan atau 811,2
1489,2 kg/ha/tahun (Tjahjo, 2004), namun lebih
rendah jika dibandingkan dengan yang
dikemukakan Kartamihardja et al. (2003). Hal ini
disebabkan di Danau Limboto memiliki kecerahan
yang lebih rendah yaitu 10 90 cm (Krismono et al.
2009) jika dibandingkan dengan Waduk Malahayu
yaitu 29 160 cm (Purnomo, 2010). Potensi
produksi tangkapan ikan pada suatu badan air
dipengaruhi oleh produktivitas primer sedangkan
produktivitas primer sendiri dipengaruhi oleh
intensitas cahaya (Karlsson et al. 2009).

231

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 229-237

Tabel 1.
Table 1.

Rata rata produktivitas primer dan potensi produksi ikan di Waduk


Malahayu Average of primary productivity and fish potensial yield at
Malahayu Reservoir

Kedalaman (m)
Depth (m)
0
2
4

Produktivitas
primer
3
(mgC/m /jam)
Primary productivity
3
(mgC/m /hour)
4,2
3,3
2,4

Produktivitasprimer
2
(gC/m /hari)
Primary productivity
2
(gC/m /day)
4,2
6,6
4,8

Jenis ikan yang tertangkap di Waduk Malahayu


selama penelitian dengan menggunakan jaring
insang percobaan adalah ikan nila (Oreochromis
niloticus), mujair (Oreochromis mossambicus),
beunteur (Puntius binotatus), sili (Macrognathus
aculeatus), gabus (Channa striata) dan sepat
(Trichogaster pectoralis). Ikan nila, mujair,
dan
sepat
memanfaatkan
fioplankton
sebagai makanan alaminya (Purnomo, 2010).
Jenis ikan yang tertangkap oleh nelayan lebih
banyak jika dibandingkan dengan hasil tangkapan
jaring insang percobaan. Jenis ikan yang
umumnya tertangkap oleh nelayan antara lain nila,
beunteur, gabus, keting (Mystus nigriceps), paray
(Stigmatogobius sp), mas (Cyprinus carpio) dan
udang (Caridina sp). Hal ini disebabkan
nelayan menggunakan berbagai macam alat
tangkap yaitu jaring insang, pancing (hook), jala
(cash net), bubu (trap) dan tangkul (lift net).
Perbedaan alat tangkap yang digunakan akan
menyebabkan perbedaan jenis

Potensi produksi ikan


(kg/ha/tahun)
Fish potensial yield
(kg/ha/year)
1337,4
1720,3
1452,6

dan jumlah ikan yang tertangkap (Andersson et al.


2007; Medeiros et al. 2010).
Ikan yang tertangkap dengan biomassa
tertinggi adalah ikan nila (44%) dan mujair (38%)
(Gambar 2). Hasil yang sama juga diperoleh
dari penelitian Purnomo, (2010) dimana ikan nila
merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap di
Waduk Malahayu. Perhitungan menggunakan
indeks relatif penting juga menunjukkan hal yang
sama, dimana ikan nila (50,65%) dan mujair
(42,34%) adalah jenis ikan yang dominan
tertangkap baik dari segi jumlah, berat total
maupun frekwensi tertangkapnya (Tabel 2). Hasil
penghitungan berdasarkan jumlah individu, berat
total dari spesies ikan dan frekwensi tertangkapnya
suatu jenis ikan menunjukkan bahwa kedua
jenis ikan tersebut memiliki nilai indeks relatif
penting yang lebih tinggi dibanding jenis
ikan lainnya yang menggambarkan bahwa
kedua jenis ikan tersebut mendominasi hasil
tangkapan.

Gabus
Sepat 1,13%

Sepat
0,28
0,10%
Gabus
Mujaer
9,02 % Nila
43,06%

39,09%

Mujaer
38,18%

Nila
44,20
%

Sili
0,57
%

Beunte
ur

15,86
%

A. Jumlah individu (Number of individu)

Beunte
ur 0,91%
7,58%

B. Berat Total (Total Weight)

Gambar 2.
Figure 2.

232

Komposisi hasil tangkapan ikan di Waduk Malahayu


Composition of fish catch at Malahayu Reservoir

Potensi Produksi Ikan dan Status.. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)

Tabel 2.
Table 2.

Nama lokal
Lokal name
Mujair
Beunteur
Sili
Nila
Gabus
Sepat

Indeks relatif penting ikan yang tertangkap di Waduk Malahayu


Important relative index of fish species caught at Malahayu
Reservoir
Nama ilmiah
Scientific
name
Oreochromis
mossambicus
Puntius
binotatus
Macrognathus
aculeatus
Oreochromis
niloticus
Channa
striata
Trichogaster
pectoralis

Berat

Jumlah
weight
Number
(g)
(individu)

3633,9

152

721,7

56

86,5

4207

138

858,8

9,6

frekuensi

%berat

%jumlah

%frekuensi

IRI (%)

frequency

% weight

% number

%frequency

IRI (%)

38,18

43,06

28,57

42,34

7,58

15,86

9,52

4,07

0,91

0,57

9,52

0,26

44,20

39,09

33,33

50,65

9,02

1,13

14,29

2,65

0,10

0,28

4,76

0,03

Ikan mujair merupakan jenis ikan yang


mempunyai kemampuan tumbuh yang cepat,
mempunyai kemampuan adaptasi terhadap
kondisi lingkungan, dan merupakan jenis ikan
introduksi yang dominan di beberapa badan air
tawar di Australia (Canonico et al. 2005), serta
yang dominan tertangkap dari perairan waduk di Sri
Lanka (70%) (Pullin et al. 1997). Dominansi ini
dapat terjadi karena ikan ini mempunyai
karakteristik penginvasi (invander) sukses antara
lain tidak bergantung pada makanan tertentu,
mempunyai rentang habitat asli yang luas (Meffe
et al. 1997; Helfman, 2007; Corfield et al. 2008).
Ikan nila yang merupakan ikan introduksi
tertangkap pada semua waktu dan lokasi
penelitian. Hal ini menandakan bahwa jenis
ikan ini sudah menyebar ke seluruh bagian
perairan tersebut. Ikan nila juga merupakan jenis
ikan introduksi dan ikan dominan tertangkap di
beberapa waduk di Cote d Ivoire (26%) serta
beberapa badan air di Sri Lanka dan Philipina (de
Morais, 2002; Da Costa et al. 2002, Kolding &
Zwiete, 2006; Wijeyanake et al. 2007; Taabu &
Munyaho, 2004). Ikan ini mampu hidup pada
kualitas air yang buruk, mempunyai kemampuan
beradaptasi dengan pakan alami yang tersedia
dan mampu tumbuh dengan cepat dan mampu
bertahan pada konsentrasi oksigen rendah (Quiros
& Mari, 1999; Njiru et al. 2004; Offem et al. 2007;
Shipton et al. 2008).

lebih besar jika dibandingkan dengan persentase


jumlah dengan nilai W statistik masing masing
adalah 0,03 dan 0,02. Hal ini menunjukkan bahwa
kedua jenis ikan introduksi tersebut dapat
berkembang dengan baik (Rocha & Freire, 2009).
Pada ikan sepat, sili dan beunteur terjadi hal yang
sebaliknya dengan nilai W statistik masing
masing adalah -0,0007; -0,02 dan -0,02. Nilai W
Statistik negatif menunjukkan adanya tekanan
terhadap spesies ikan asli yang ada di Waduk
Malahayu oleh ikan nila dan mujair. Hal yang
sama juga terjadi di Danau Victoria dimana ikan
nila yang merupakan ikan introduksi menjadi ikan
yang
dominan
tertangkap
dan
menekan
keberadaan ikan asli danau tersebut (Njiru et al.,
2005).

10
0
9
0
8
0
7
0
6
0
50
40
30

Biomassa

Jumlah

10
0

Hasil
analisa
menggunakan
kurva
perbandingan biomassa dan jumlah individu
menunjukkan bahwa komunitas ikan di Waduk

Malahayu
berada
dalam

tingkat sedang (moderate condition)


dengan nilai W statistik (-0,011)
(Gambar 3). Hal ini menandakan

bahwa ikan yang terdapat di Waduk Malahayu


mempunyai ukuran yang kecil namun dengan
jumlah individu yang banyak (Yemane et al. 2005).
Ikan nila dan mujair mempunyai nilai persentase
biomassa

Gambar 3.
Figure 3.

3
4
5
Urutan indeks relatif
penting (Ranking
species)

Grafik perbandingan biomassa


kelimpahan jenis ikan
Graphic of abundance-biomass
comparison of fish species

233

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 229-237

5,1 1,98% ,98%


13,03% 4,53%
1.00
1.2
5 20,68%

1.50
1.7
5
2.0
0
2.2
5 43,34%
9,35%

Gambar 4.
Figure 4.

3.00

Hasil tangkapan jaring insang


percobaan
Composition of fish caught using
experimental gillnets

Secara umum ikan ikan di Waduk Malahayu


tertangkap pada ukuran mata jaring 1,0 - 1,75 inci
(Gambar 4) dengan persentase 10 43 %. Ikan
nila tertangkap pada jaring insang percobaan
dengan ukuran mata jaring 1,25 3 inci, namun
tangkapan tertinggi terdapat pada ukuran mata
jaring 1,25 dan 1,75 inci dan mujair tertangkap
pada ukuran mata jaring 1 2,25 inci (paling
banyak di ukuran 1,25 inci). Hal yang sama juga
diperoleh Purnomo et al. (2009) di mana ikan di
Waduk Malahayu dominan tertangkap pada
ukuran mata jaring 1 1,5 inchi dengan
persentase 6,9 50,2% yang menandakan bahwa
ikan yang ada di Waduk Malahayu banyak yang
berukuran kecil. Ukuran ikan yang tertangkap pada
ukuran mata jaring tertentu proposional dengan
ukuran panjang maksimal ikan sehingga dapat
digunakan untuk monitoring distribusi ukuran stok
ikan pada suatu badan air (Millar & Holst, 1997;
Porch et al. 2002; Ozekinci, 2005).
50
0
40
0
30
0
20
0
10
00

Nila

Mendo

Udang

Keting

Gabus

Mas

Mujaer

Beunteur

Gambar 5.

Perikanan tangkap di Waduk Malahayu


merupakan salah satu mata pencaharian
masyarakat
setempat.
Hasil
tangkapan
nelayan di Waduk Malahayu tertinggi terdapat
pada bulan Oktober (Gambar 5), dimana
tangkapan didominasi oleh ikan nila. Ikan ini
merupakan jenis ikan yang dominan tertangkap
pada setiap bulannya dan hasil tangkapan tertinggi
terdapat di lokasi Dermaga dan Penanggapan.
Jumlah nelayan yang beroperasi di Waduk
Malahayu setiap hari rata rata berkisar 27 70
orang dengan tangkapan per satuan usaha adalah
5,8 kg/orang/hari dengan produksi rata rata
tahun 2010 mencapai 157,3 ton/tahun. Produksi
ini mengalami penurunan jika dibandingkan
produksi tahun 2009 yang mencapai 318,4
ton/tahun (Purnomo et al. 2010). Hal ini karena
adanya penurunan hasil tangkapan ikan nila yang
merupakan jenis ikan dominan tertangkap.
Penurunan ini sebagai akibat dari benih ikan nila
yang ditebar pada tahun 2009 lebih sedikit yaitu
250.000 ekor dibandingkan tahun 2008 yaitu
325.000 ekor.
Jika dibandingkan antara potensi produksi ikan
dan produksi maka tingkat pemanfaatannya
adalah 40 %. Apabila produksi lestari yang
dialokasikan adalah sebesar 60% dari potensinya
(Kartamihardja et al. 2008) atau sebesar 496,8
ton/tahun, maka produksi perikanan tangkap di
Waduk Malahayu dapat ditingkatkan sebesar 25 %
atau 125 ton. Salah satu upaya yang dilakukan
oleh pemerintah dan nelayan setempat untuk
meningkatkan hasil tangkapan adalah dengan
melakukan penebaran benih ikan antara lain nila,
mujair dan mas. Penebaran ini telah dilakukan
secara berkala oleh nelayan, dimana dana untuk
pembelian benih diperoleh dari iuran nelayan
(Purnomo et al. 2009). Jumlah benih yang ditebar
di Waduk Malahayu antara tahun 2005, 2006, dan
2007 masing masing adalah 324.500; 263.000
dan 311.00 ekor dengan produksi ikan adalah 545;
688 dn 754 ton/ tahun (Kustanto, 2008).
Penebaran atau intoduksi suatu jenis ikan
merupakan cara yang paling umum digunakan
untuk peningkatan produksi ikan pada perairan
waduk atau danau (Moreau & De Silva, 1991).
Penebaran benih ikan pada 15 Waduk di Sri Lanka
dapat meningkatkan hasil tangkapan berkisar 42,8
134% dengan kepadatan benih yang ditebar
berkisar
217

870
ekor/ha/tahun
(Pushpalatha & Chandrasoma, 2010). CBF
yang
dilakukan
diperairan
waduk
yang
berukuran besar di Cina dapat menghasilkan
produksi ikan sebesar 1.165.075 Mt (De Silva,
2001).

Paray

Figure 5.

Rataan
hasil
tangkapan
ikan (kg)
di Waduk

234

Malahayu
Average of fish catch (kg) in
Malahayu Reservoir

Kegiatan CBF sebenarnya telah dilaksanakan


di Waduk Malahayu namun hasilnya belum optimal.
Hal ini disebabkan jumlah benih yang ditebar
belum maksimal sesuai dengan daya dukung
perairan. Jumlah benih optimal yang dapat
ditebar dalam

Potensi Produksi Ikan dan Status.. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)

kegiatan CBF untuk jenis ikan planktivora misalnya


patin (Pangasianodon hypopthalmus) adalah
261.253 813.679 ekor/tahun dengan rata rata
352.412 ekor/ tahun (Purnomo et al. 2010) atau
dengan kepadatan benih yang ditebar berkisar 421
1.312 ekor/ha/tahun dengan rata rata 568
ekor/ha/tahun. Jumlah benih yang ditebar akan
menentukan produksi ikan pada suatu badan air
(Cowan et al. 1997), semakin tinggi padat tebar
maka akan semakin besar produksi ikan yang
dihasilkan sehingga mendekati daya dukungnya
yang ditentukan berdasarkan produktivitas primer
(Quiros, 1999).
KESIMPULAN
Jenis ikan yang dominan tertangkap di Waduk
Malahayu selama penelitian adalah ikan mujair
(Oreochromis
mossambicus)
dan
nila
(Oreochromis niloticus). Potensi produksi ikan
diduga sebesar 1.337 kg/ha/tahun atau 828
ton/tahun dengan tingkat pemanfaatannya
sebesar 40 % dan produksi ikan dapat
ditingkatkan sebesar 125 ton (25%) melalui
penebaran (perikanan berbasis budidaya) dengan
jumlah benih yang ditebar berkisar adalah 261.253
813.679 ekor/tahun dengan rata rata 352.412
ekor/ tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Andersson, M. H., M, Gullstrom., M. E Asplund, &
M. C. Ohman. 2007. Importance of using
multiple
sampling
methodologies
for
estimating of fish community composition in
offshore wind power construction areas of the
Baltic Sea. Ambio 36 (8). 634 636.
Anonim. 1999. Estimation of fish biomass in
Laguna de Bay based on primary productivity.
National
Statistical
Coordination
Board.
Philipinas. 42 pp.
An, K.G & J.R. Jones. 2000. Factors regulating
bluegreen dominance in a reservoir directly
influenced
by
the
Asian
monsoon.
Hydrobiologia 432: 3748.
Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for
aquaculture. Birmingham Publishing Co.
Birmingham, Alabama. 482 pp.
Bramick. U. 2002. Estimation of the fish yield
potential of lake in north-east Germany. Edited
by Cowx I.G. Management and Ecology of lake
and reservoir fisheries. Blackwell Science.
Iowa. 26 33.
Canonico, G.C., A. Arthington., J.K Mc Crary &

M.L Thieme. 2005. The effects of introduced tilapia on

native biodiversity. Aquatic conserv: Mar.


Freshw. Ecosyst 15. 463 483.
Clarke, K. R. 1990. Comparison of dominance
curve. J. Exp. Mr Biol. Ecol 138. 143 157.
Corfield J., B. Diggles, C. Jubb, R. M.
McDowall, A. Moore, A. Richards D. K.
Rowe, 2008. Review of the impacts of
introduced ornamental fish species that
have established wild populations in
Australia.Commonwealth of Australia. 284
pp.
Cowan. V., M. Aeron-Thomas & I Payne. 1997.
An evaluation
of
floodplain
stock
enhancement. MRAG. 116 pp.
Da Costa K.S, K Traore & W. Yte. 2002.
Potential species for fishery enhancement in
Lake Fae, Cote d Ivore. Edite by Cowx I.G.
Management and Ecology of lake and
reservoir fisheries. Blackwell Science. Iowa.
344-366.
De Morais, L.T. 2002. Fish population structure
and its relation to fisheries yiled in small
reservoirs in Cote d Ivoire. Edited by Cowx
I.G. Management and Ecology of lake
and reservoir fisheries. Blackwell Science.
Iowa. 112-122.

De Silva, S S. 2001. Reservoir and culture-based


fisheries: biology and management.
Proceedings of an International Workshop held
in Bangkok, Thailand from 1518 February
2000. ACIAR Proceedings No. 98. 384 pp.
Helfman, G. S. 2007. Fish conservation: A guide
to understanding and restoring global
aquatic biodiversity and fishery resources.
Island press. Washington. 584 pp.
Johnson, D. L & L. A Nielson. 1983. Sampling
consideration in Fihseries tecniques. Nielson, L.
A & D. L Johnson (ed). American fisheries
society. Maryland. 1 21.
Jones. J.R & Hoyer, M.V. 1982. Sportfish harvest
predicted by summer chlorophyll a
concentration in mid-western lake and reservoir.
Trans. Am. Fish. Soc. 111: 176-179.
Karlsson, J., P. Bystrom., J. Ask., P. Ask,. L
Persson & M. Jansson. 2009. Light limitation
of nutrien-poor lake ecosystem. Nature 460.
506 600.
Kartamihardja, E.S. K. Purnomo. D.W.H. Tjahjo. C.
Umar.
M.T.
D.
Sunarno.
&
S.
Koeshendrajana. 2008.
Petunjuk
teknis:
Pemulihan sumberdaya

235

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 229-237

ikan di perairan umum daratan, Indonesia.


Pusat Riset Perikanan Tangkap Departemen
Kelautan dan Perikanan. 65 pp.
Kolding, J. & Zwieten, P.A.M. van, 2006.
Improving productivity in tropical lakes and
reservoirs. Challenge Program on Water and
Food - Aquatic Ecosystems and Fisheries
Review Series 1. Theme 3 of CPWF, C/o
WorldFish Center, Cairo, Egypt. 139 pp.
Kottelat, M., Whitten, A. J, Kartikasari, S. N &
Wirjoatmodjo, S. 1993. Freshwater fishes of
western Indonesia and Sulawesi (Ikan air tawar
Indonesia bagian barat dan Sulawesi). Periplus
Editions. Hongkong. 293 pp.
Krismono, L. P. Astuti & Y. Sugianti.
2009. Karakteristik kualitas air Danau Limboto.
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 15 (1). 59
68 pp.
Kustanto, H. 2008. Sukses story pemacuan
sumberdaya ikan di Waduk Malahayu,
Kabupaten Brebes. Dinas Kelautan dan
Perikanan,
Kabupaten
Brebes.
Materi
presentasi
pada
Lokakarya Pemacuan
sumber daya Ikan di Perairan Umum. Hotel
Saphir Yogyakarta 4 7 November 2008.
Lorenzen, K. 2001. Usng population models to
assess culture-based fisheries: a brief review
with an application to the analysis of
stocking experiments. In: Reservoir and
culture-based fisheries: Biology and
management. De Silva, S. S (Ed). ACIAR
Proceeding 98. Canberra: ACIAR. 257265 pp.
Medeiros, E. S. F., M.J Silva., B. R. S Figueredo.,
T. P. A Ramos & R. T. C Ramos. 2010. Effect of
fishing technique on assessing species
composition in aquatic system in semi-arid
Brazil. Braz. J. Biol 70(2). 255-262
Meffe, G. K., C. R Caroll & Contributors.
1997. Principles of conservation biology. 2nd
edition. Sinauer Associates, Inc. Sunderland.
7291 pp.
Melack J.M. 1976. Primary productiviy and fish
yield in tropical lakes. Trans Am. Fish. Soc 105:
575-580.
Millar, R.B & R Holst. 1997. Estimation of gillnet
and hook selectivity using log-linier models.
ICES Journal of Marine Science 54. 471 477.
Moreau, J & De Silva, S, S. 1991. Predictive fish
yield models for lakes and reservoirs of the

Philipines, Sri Lanka and Thailand. FAO Fish. Tech.


319 pp.

MRAG, 1995. A synthesis of simple


empirical models to predict fish yield in
tropical lakes and reservoirs. Fisheries
Management Science Programe of the
Overseas Development Administration.
Project report R. 6178 (MRGA). 109 pp.
Njiru. M, E. Waithaka, M. Muchiri, M. van
Knaap & I. G. Cowx. 2005. Exotic
introductions to the shery of Lake
Victoria: What are the management
options?. Lakes & Reservoirs:
Research and Management 10: 147
155.
Njiru, M.,Okeyo-Owuor, J. B, Muchiri, M., &
Cowx I.G., 2004. Shift in feeding ecology
of Nile tilapia in Lake Victoria, Kenya.
African Journal of Ecology 42, 163-170.
Offem, B. O., Y. Akegbejo-Samsons and I. T.
Omoniyi. 2007. Biological assessment
of
Oreochromis niloticus
(Pisces:
Cichlidae; Linne, 1958) in a tropical
floodplain river. African Journal of
Biotechnology 6 (16), 1966-1971.
Oglesby, R.T. 1977. Relationship of fish
yield to lake phytoplankton standing
crop, prodaction, and morphoedaphic
factors. J. Fish. Res. Board Can,
34:2271-2279.

236

Ozekinci, U. 2005. Determination of the selectivity


of monofilaments giinets used for catch the
Annular Sea Bream (Diplodus annularis L.,
1758) by lenght-gierth relatioships in Izmir Bay
(Aegean Sea). Turk J Vet Anim Sci. 29. 375380.
Porch. C.E., M.R Fisher & L.W. McEachron. 2002.
Estimating abundance from gillnet samples
with application to red drum (Sciaenops ocellatus)
in Texas bays. Can. J. Fish. Aquat. Sci. (59).
657-668.
Pullin, R.S.V., Palomares, M.L, Casal, C.V., Dey,
M.M & D. Pauly. 1997. Environmental impact of
tilapias. 554-570. in K. Fitzsimmons (Ed)
Tilapia Aquaculture. Proceddings from the
Fourth International Symposium on Tilapia in
Aquaculture, Volume 2. Northeast Regional
Agricultural Engineering Service (NRAES)
Coorperative Extention, Ithaca. New York. 808
pp.
Purnomo K., E.S Kartamihardja. A Nurfiarini & Z.
Nasution. 2009. Penelitian perikanan berbasis
budidaya (Culture based fisheries, CBF) di
perairan waduk/danau di Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Pusat Riset Perikanan Tangkap (tidak
dipublikasi). 47 pp.
Punomo, K. 2010. Potensi sumber daya ikan di
Waduk Malahayu (Jawa Tengah) dan Situ

Potensi Produksi Ikan dan Status.. Malahayu, Kabupaten Brebes Jawa Tengah (Warsa A. et al.)

Lengkong (Jawa Barat). Syamsudin, S., Y.


H Sipahutar., Saifurridjal, A. Basith., S. Z.
Nubani., Suharto., A. N Siregar., S. Rahardjo.,
R. S. Hadi & V. Sanova (ed). Prosiding
seminar Nasional Perikanan. Sekolah Tinggi
Perikanan. 396-402.
Purnomo, K., E. S Kartamihardja, Z. Nasution., A.
Warsa., Y. Sugianti & S. Romdon. 2010.
Penelitian perikanan berbasis budidaya
(Culture-Based fisheries, CBF) di Waduk
Malahayu (Kabupaten Brebes) dan Situ
Panjalu (Kabupaten Ciamis). Laporan akhir.
Balai Riset Pemulihan Sumbedaya ikan.(Tidak
dipublikasi). 66 pp.
Pusphalatha, K. B. C & J. Chandrasoma. 2010.
Culture-based fisheries in minor perenial
reservoirs in Sri Lanka: Variability in
production, stocked species and yield
implication. J. Appl. Ichthyol 26: 99 104.
Quiros, R. 1999. The relatioships between fish
yield and stocking density in reservoirs from
tropical and temperate regions. Tundisi, J. G &
M. Straskraba (ed). Theoritical reservoir
ecology and its applications. 67 83
Quiros, R & Mari, A. 1999. Factor contributing to
outcome of stocking programmes in Cuban
reservoirs. Fisheries management and ecology
5. 241 254.
Rahardjo, M.F., E.S Kartamihardja & A.D. Utomo.
2007. Identifikasi dan karakterisasi potensi
perikanan perairan umum daratan. Prosiding
Forum Perairan Umum Indonesia Ke 3.
Pusat Riset Perikanan Tangkap. 1-17.
Roberts, T.R. 1986 Systematic review of the
Mastacembelidae or spiny eels of Burma and
Thailand, with description of two new species of
Macrognathus. Jap. J. Ichthyol. 33(2): 95-109.
Rocha, G. R. A & K. M. Freire. 2009. Biology
and dominance relationship of the main fish
species in teh Lake Encantada, Ilheus,
Brazil. Acta Limnol, Bras 21(3). 309 316.
Ryders, R.A. 1965. A method for estimating the
potential fish production of North-Temperate
lakes. Tras.am.Fish.Soc. 84:154-164.
Shipton, T. D. Tweddle & M. Watts. 2008.
Introduction of the Nile Tilapia (Oreochromis
niloticus) into the Eastern Cape. The Eastern
Cape Development Corporation. 29 pp.

Sugianti. Y & K. Purnomo. 2009. Inventarisasi jenis


plankton di Waduk Malahayu, Jawa Tengah.
Djumanto., Dwiyitno., E. Chasanah., E. S
Heruwati., H. E Irianto., H. Saksono., I. Y. B.
Lelana., J. Basmal., Murniyati., Murwantoko., N.
Probosunu., R. Peranginangin., Rustadi., Ustadi
(ed). Prosiding Seminar Nasional Tahunan VI.
Jilid 2 Manajemen Sumberdaya Perikanan.
Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas
pertanian UGM: 1-6
Tjahjo,
D.W.H.
2004.
Kemantapan
hasil
tangkapan, keterkaitannya dengan sintasan,
pertumbuhan dan intensitas penangkapan
udang
galah
(Macrobrachium rosenbergii) yang ditebarkan di
Waduk Darma, Kuningan-Jawa barat. Disertasi.
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor: 149 pp. (tidak dipublikasi)
Taabu & A. Munyaho, 2004. Assessment of the
status of the stock and fishery of nile perch
in lake victoria, uganda. Final project. The
United Nationals University. 53 pp.
Warwick, R. M. A new method for detecting
pollution effects of marine macrobenthic
communities. Mar. Biol 92. 557 562.
Warsa A. Krismono & L.P Astuti. 2009. Pendugaan
potensi produksi perikanan dan hasil tangkapan
di Danau Limboto, Gorontalo. A. Permadi., Y. H
Sipahutar., A. Basith., E. Sugriwa., A.N Siregar.,
E. A thaib., R Surya & S. Wulandari (Ed).
Seminar Nasional Perikanan. Sekolah Tinggi
Perikanan. 84-89.
Welcomme. R.L . 2001. Inland fisheries: Ecology
and management. Blackwell science. United
Kingdom. 358 pp.
Wetzel, R.G. & G. E. Likens. 2000.
Limnological analyses. 3rd edition. Springer Verlag New York, Inc. USA. 429 pp.
Wijenayake, W.M.H.K, U.S. Amarasinghe & SS. De
Silva. 2007. Performance of GIFT strain of
Oreochromis niloticus in culture-based fisheries
in non-perennial reservoirs, Sri Lanka. Sri
Lanka J. Aquat. Sci. 12. 1-18.
Yemane, D. J.G Field & R. W. Leslie. 2005.
Exploring the effect of fishing on fish
assemblages using abundance biomass
comparison (ABC) curves. ICES Journal of
Marine Science (62). 374 379.

237

Struktur Komunitas dan Biomassa . Papudak, Kalimantan Tengah(Kartamihardja, ES., et al.)

STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA STOK IKAN


DI DANAU SEMBULUH DAN PAPUDAK, KALIMANTAN TENGAH
Endi Setiadi Kartamihardja,1) Kunto Purnomo2) dan Zulkarnaen Fahmi1)
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
2)
Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan
Teregistrasi I tanggal: 2 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Mei 2011;
Disetujui terbit tanggal: 29 November 2011
1)

ABSTRAK
Danau Sembuluh (luas 9.612 ha) dan Papudak (luas 247 ha) adalah danau banjiran (flood lake)
yang terletak di bagian tengah DAS Seruyan, Kalimantan Tengah merupakan sentra penangkapan ikan.
Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan struktur komunitas dan besaran stok ikan serta
karakteristik perikanan tangkap di ke dua danau tersebut. Penelitian dilakukan dengan metode survey,
pengambilan sampel ikan dengan menggunakan gill net percobaan dan pencatatan data hasil
tangkapan ikan harian oleh enumerator. Besaran stok ikan dianalisis menggunakan metode akustik
dengan alat Echo sounder portable EY-60, transducer model ES120-7 dengan frekuensi 120 Khz dan
alat dioperasikan pada pulsa durasi 0,512 ms. Komposisi jenis ikan yang tertangkap di Danau Sembuluh
dan Papudak terdiri dari 29 jenis yang didominasi oleh jenis ikan dari famili Cyprinidae. Beberapa jenis
ikan yang populasinya menurun dan jarang tertangkap adalah ikan jelawat (Leptobarbus hoevenii),
patin (Pangasius spp), bakut (Oxyeleotris marmorata) dan pipih (Notopterus spp). Biomassa stok ikan
berkisar antara 64-1.628 kg/ha dengan rata-rata 461,8 kg/ha atau total biomasa stok ikan 4.552,4 ton.
Hasil tangkapan ikan berkisar antara 10.212 9.649 kg/bl dengan rata-rata 39.608 kg/bl, sedangkan
rata-rata hasil tangkapan udang galah 1.046 kg/bl. Hasil tangkapan ikan dan udang galah berfluktuasi
menurut musim dan fluktuasi permukaan air danau. Produksi ikan di Danau Sembuluh masih dapat
ditingkatkan melalui penebaran ikan asli (restocking) yang populasinya sudah menurun sedangkan
Danau Papudak sangat potensial untuk dijadikan kawasan suaka produksi ikan.
KATA KUNCI
:

struktur komunitas ikan, biomassa stok, perikanan tangkap, Danau Banjiran,


Kalimantan Tengah

ABSTRACT:

Structure of fish community and biomass of Sembuluh and Papudak Lakes at


Central Kalimantan. By Endi Setiadi Kartamihardja, Kunto Purnomo and
Zulkarnaen Fahmi.

Sembuluh (9,612 ha) and Papudak (247 ha) lakes, a type of flood lake located at central part of
Seruyan river basin, is a main fishing area at Central Kalimantan. A study to investigate structure of fish
community, fish biomass and characteristics of fisheries of the both lakes has been conducted. A
survey method, sampling by using experimental gillnet and daily data of fish catches collected by
enumerators were carried out. Fish biomass was analyzed by using hydroaccoustics method with a
portable Echo sounder EY-60, transducer model ES120-7 with the frequency of 120 KHz and its
operated at pulse duration of 0,512 ms. The results showed that structure of fish community of the
Sembuluh and Papudak lakes composed of 29 species which is dominated by species of the cyprinids.
Some degraded and rare species are carp (Leptobarbus hoevenii), catfish (Pangasius spp), sand
goby (Oxyeleotris marmorata) and feather back (Notopterus spp). Fish stock kibiomass ranged
between 64-1,628 kg/ha with an average of 461.8 kg/ha or the total biomass 4,552.4 tones. The
actual fish yield was between 10,212 79,649 kg/month with an average of 39,608 kg/month, while the
actual giant prawn yield was 1,046 kg/ month. The fish and giant prawn yield fluctuated by monsoon
and water surface fluctuation. The fish production of the Sembuluh lake can be increased through
restocking of degraded fish population while the Papudak lake was highly potential and suitable for
conservation area.
KEYWORDS :

structure of fish community, fish biomass, fisheries, flood lakes, Central Kalimantan

PENDAHULUAN
Danau Sembuluh dengan luas 9.612 ha
merupakan danau terbesar yang berada di Daerah
Aliran Sungai (DAS) Seruyan, Kabupaten Seruyan,
Kalimantan Tengah. DAS Seruyan dikelilingi
oleh

anak-anak sungai, hutan rawang, dataran banjiran


dan beberapa danau tapal kuda (oxbow lakes).
Danau Sembuluh merupakan sentra usaha
perikanan tangkap di Kabupaten Seruyan yang
telah berjalan sejak dahulu kala. Danau Papudak
dengan luas 247 ha merupakan
danau
banjiran yang terletak

___________________
Korespondensi penulis:
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail: endi_prpt@indo.net.id

239

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 239-245

berdampingan dengan Danau Sembuluh. Pada


waktu permukaan air tinggi, Danau Papudak dan
Sembuluh bersatu sehingga sumberdaya ikan di
ke dua danau ini terdistribusi di perairan yang
terbentuk. Danau Sembuluh dan Papudak sebagai
danau banjiran juga merupakan tempat konsentrasi
jenis-jenis ikan rawa (black fishes) pada waktu
permukaan air surut sehingga ke danau
tersebut merupakan daerah penyangga stok ikan
dan umumnya layak dijadikan sebagai daerah
suaka perikanan (Kartamihardja et al., 2000;
Hartoto et al., 2000).
Dewasa ini, hasil tangkapan ikan di perairan
umum Kalimantan Tengah cenderung menurun
dan terdapat beberapa jenis ikan ekonomis penting
seperti
jelawat
(Leptobarbus
hoeveni),
tangkalasa
atau
arwana
(Sclerophages
formosus),
dan
pipih/belida (Notopterus
chitala) yang sudah mulai langka. Penurunan
hasil
tersebut
selain
disebabkan
penangkapan yang intensif juga disebabkan oleh
pembangunan
di
luar
sektor
perikanan
(pertambangan, kehutanan, reklamasi lahan
gambut dsb) yang menyebabkan degradasi
lingkungan perairan. Sebagai contoh, penurunan
hasil tangkapan ikan yang sangat drastis terjadi di
perairan umum sekitar Proyek Pembukaan Lahan
Gambut (PLG) sejuta hektar di Kabupaten
Kapuas. Hasil tangkapan pada usaha perikanan
beje yang merupakan usaha perikanan tangkap
yang utama menurun drastis dari kisaran 5001.500 kg/beje/th sebelum proyek PLG
dilaksanakan menjadi 50-150 kg/beje/th setelah 4
tahun proyek PLG dilaksanakan (Kartamihardja,
2002).
Data dan informasi mengenai struktur
komunitas dan biomassa/besaran stok ikan di
suatu badan air sangat penting dalam rangka
optimasi pemanfaatan dan pengelolaan perikanan.
Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan
struktur komunitas, biomassa stok ikan dan
karakteristik perikanan tangkap di Danau
Sembuluh dan Papudak.
BAHAN DAN METODE
Penelitian stusktur komunitas dan potensi
produksi ikan dilakukan di Danau Sembuluh dan
Papudak, DAS Seruyan, Kalimantan Tengah.
Danau Sembuluh

terletak pada koordinat 02 o 3830.1" LS dan


112o1252.4" BT, sedangkan Danau Papudak
terletak pada koordinat 02o48'54.1" LS dan
112o15'34.6" BT dengan elevasi 20 m diatas
permukaan laut (Gambar 1).
Data dikumpulkan melalui metoda survei
(stratified sampling
method)
(Nielsen
&
Johnson, 1985) wawancara (Participatory Rural
Appraisal dan atau Rapid Rural Apraisal) dengan
nelayan, dan analisis di laboratorium. Kunjungan
lapangan ditentukan berdasarkan pertimbangan
musim, yaitu musim hujan, peralihan antara
musim hujan-kemarau, musim kemarau, dan
peralihan antara musim kemarau-hujan.
Data komposisi jenis ikan, frekwensi panjangberat
diperoleh
dari
hasil
percobaan
penangkapan ikan memakai jaring insang
berbagai ukuran mata jaring (dari ukuran mata 1
inci sampai dengan 4 inci dan selang ukuran mata
jaring 0,5 inci) dan alat tangkap ikan yang
digunakan nelayan, yaitu jaring rempa (encircling
net), bubu, dan pancing rawei. Mofometri ikan yang
meliputi panjang diukur dengan papan ukur dan
berat dengan timbangan. Data morfometri ikan
juga diukur dari ikan sampel yang diperoleh dari
hasil tangkapan nelayan.
Identifikasi jenis ikan menggunakan buku
identifikasi Kottelat et al. (1993). Analisis makanan
dan kebiasaan makan ikan dillakukan dengan
metode volumetrik dan prosentase frekuensi
kejadiannya menggunakan metode Hyslop,
(1980). Total hasil tangkapan ikan diestimasi
berdasarkan data komposisi jenis, hasil
tangkapan ikan dan hasil tangkapan per upaya
(CPUE) yang dikumpulkan oleh enumerator di
tempat pendaratan ikan.
Pengkajian stok ikan dilakukan dengan metode
Hydroacoustics menggunakan Echo Sounder
portable EY-60, Transducer model ES120-7
dengan frekuensi 120 kHz dan alat dioperasikan
pada pulsa durasi 0,512 ms. Pelaksanaan
pengkajian
stok
dilakukan
pada
waktu
permukaan air danau tertinggi sehingga
kedalaman air yang diliput lebih besar dari 3
meter. Alur perjalanan perahu dilakukan secara
zig-zag sehingga meliput seluruh luas permukaan
danau. Data hasil rekaman akustik kemudian
dianalisis di laboratorium.

240

Struktur Komunitas dan Biomassa . Papudak, Kalimantan Tengah(Kartamihardja, ES., et al.)

Gambar 1.
Figure 1.

Peta Daerah Penelitian Danau Sembuluh dan


Papudak Map of Sembuluh and Papudak Lakes

Kegiatan utama di laboratorium adalah analisis


citra satelit secara digital dengan peralatan
komputer dan ditunjang analisis data secara
visual. Analisis visual dimaksudkan untuk
mengetahui kondisi fisik dan lingkungan wilayah
kajian secara umum. Analisis digital dimaksudkan
untuk mendapatkan informasi tentang biomassa
ikan, kondisi fisik alami tipe ekosistem danau
Sembuluh dan Papudak untuk kemudian data
tersebut ditumpang susun sehingga membentuk
peta distribusi biomassa ikan di ke dua danau
tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur Komunitas Ikan
Jenis ikan yang dominan tertangkap dan
kelimpahan relatifnya di perairan DAS Seruyan
terdiri dari 29 jenis ikan dan 1 jenis udang galah
(Tabel 1).

Secara umum, jenis-jenis ikan yang tertangkap


didominasi oleh jenis ikan yang termasuk ke dalam
famili Cyprinidae.
Diantara 29 jenis ikan tersebut, hanya 3 jenis
ikan, yaitu ikan biis, betutung dan benangin yang
paling dominan tertangkap. Populasi ke tiga
jenis ikan tersebut, nampaknya masih cukup
tinggi. Populasi ikan ekonomis penting seperti
jelawat, pipih, dan bakut sudah menunjukkan
penurunan.
Berdasarkan
makanan
dan
kebiasaan
makannya, jenis-jenis ikan yang ditemukan di
Danau Sembuluh dan Papudak didominasi oleh
ikan karnivora dan omnivora hanya beberapa
jenis ikan termasuk ikan planktivora dan
detritrivora (Table 1). Keseimbangan antara
populasi ikan karnivora sebagai ikan pemangsa
dengan populasi ikan mangsa akan menentukan
produktivitas sumber daya ikan di perairan
tersebut.
241

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 239-245

Tabel 1.
Table 1.

No
1.

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.

Jenis-jenis ikan yang ditemukan di Danau Sembuluh dan


Papudak Fish species found at Sembuluh and Papudak lakes
Nama Lokal/
Local name

Nama Ilmiah/
Scientific name

Famili/
Family

Adungan
Hampala macrolepidota
Cyprinidae
+ 2. Jelawat
Leptobarbus hoevenii
Cyprinidae
+ 3. Kepras
Cyclocheilichthys apogon
Cyprinidae
+++ 4. Kelabau
Osteochilus melanopleura
Cyprinidae
++ 5. Bantak
Osteochilus waandersii
Cyprinidae
++ 6. Sanggang
Barbodes schwanenfeldii
Cyprinidae
++ 7. Betutung
Puntioplites wandeersi
Cyprinidae
+++ 8. ParangMacrochirichthys macrochirus
Cyprinidae
++
parang
Benangin
Thynnichthys thynnoides
Cyprinidae
Biis
Thynnichthys polylepis
Cyprinidae
Papunti
Botia macracantha
Cyprinidae
Seluang
Rasbora borneensis
Cyprinidae
Aruan
Channa striata
Channidae
Toman
Channa micropeltes
Channidae
Kerandang
Channa pleurophthalmus
Channidae
Kemacung
Channa melasoma
Channidae
Bakut
Oxyeleotris marmorata
Oxyeleotridae
Baung
Mystus nemurus
Bagridae
Senggiringan
Mystus nigriceps
Bagridae
Biawan
Helestoma temminckii
Anabantidae
Tapah
Wallago leeri
Siluridae
Lais bamban
Kryptopterus apogon
Siluridea
Lais bulu
Kryptopterus lais
Siluridea
Tabiring
Belodontichthys dinema
Siluridea
Lawang
Pangasius nasutus
Pangasidae
Sepatung
Pristolepis fasciatus
Nandidae
Tilan
Mastacembelus erythrotaenia
Mastacembelidae
Baga-baga
Parambasis macrolepis
Chandidae
Baga-baga
Parambasis wolffii
Chandidae
laut
Udang galah
Macrobrachium rosernbergii
Crustacea

Kebiasaan
makan/
Food habit

Kelimpahan
relatif/
Relative
abundance

Karnivora
+
Omnivora
Planktivora
Omnivora
Detritivora
Omnivora
Omnivora
Karnivora
Omnivora
Omnivora
Omnivora
Planktivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Planktivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Karnivora
Detritivora
Karnivora
Karnivora
-

+++
+++
++
+++
++
++
++
++
+
++
++
++
++
++
++
++
++
+++
++
++
++
++

Keterangan/Remarks: + = lebih kecil dari 25% total tangkapan/less than 25% of total catch; ++ = antara 26-50% total tangkapan/
between 26-50% of total catch; +++ = lebih dari 50% total tangkapan/more than 50% of total catch

Biomassa Stok Ikan


Hasil kajian stok ikan dengan menggunakan
akustik menunjukkan bahwa distribusi biomasa
ikan di Danau Sembuluh dan Papudak berkisar
antara 64-1.628 kg/ha dengan rata-rata 461.76
kg/ha (Gambar 2). Berdasarkan luas permukaan air
Danau Sembuluh sebesar 9.612 ha dan danau
Papudak 247 ha, maka total biomasa ikan di kedua
danau ini adalah 4.552,4

ton. Danau Papudak yang merupakan bagian dari


Danau Sembuluh mempunyai biomassa ikan yang
tinggi yaitu 1.628 kg/ha. Biomassa ikan di kedua
danau ini jauh lebih tinggi dari biomassa ikan di
Danau Toba (Wijopriono et al., 2010). Perbedaan
ini disebabkan danau Papudak dan Sembuluh
merupakan tipe danau banjiran yang subur
sedangkan danau Toba merupakan tipe danau
tekto-vulkanik yang miskin hara.

242

Struktur Komunitas dan Biomassa . Papudak, Kalimantan Tengah(Kartamihardja, ES., et al.)

Gambar 2.
Figure 2.

Distribusi Biomassa Ikan di Danau Sembuluh dan Papudak


Distribution of fish biomass of Sembuluh and Papudak lakes

Potensi produksi ikan di beberapa perairan


danau di belahan Asia berkisar antara 15.937
kg/ha/th dengan rata-rata 573,1 kg/ha,
sedangkan apabila danau tersebut ditebari ikan
dengan jenis yang sesuai maka potensi

produksinya akan meningkat berkisar antara 61.625


kg/ha/th dengan rata-rata 365 kg/ha/ th (Welcomme,
2001). Dengan demikian biomasa ikan di Danau
Sembuluh dan Papudak termasuk perairan danau
dengan biomasa ikan yang tinggi diatas rata-rata

potensi biomassa ikan perairan danau di Asia.


Potensi produksi ikan Danau Sembuluh yang
dihitung dari produktivitas primernya berkisar
antara 113-487 kg/ha/th atau 8.58837.012 ton/th
(Kartamihardja & Purnomo, 2011). Potensi
produksi ikan tersebut akan meningkat jika danau
tersebut ditebari dengan jenis ikan asli (restocking)
yang populasinya sudah mulai menurun, seperti
ikan jelawat, bakut dan udang galah. Danau
Papudak dengan potensi biomassa ikan yang
tinggi dan keanekaragaman jenis ikannya dapat
dijadikan kawasan suaka perikanan. Di Danau
Sembuluh suaka perikanan dapat ditetapkan di
daerah

teluk Lampasa, Batu Berjanggut dan Bejakau yang


mempunyai biomassa ikan tinggi (Gambar 2).
Pertimbangan penetapan suaka di kawasan
tersebut
didukung
dengan
karakteristik
limnologisnya seperti yang dikemukakan oleh
Kartamihardja & Purnomo (2011). Penetapan
suaka perikanan di perairan tawar harus
dilakukan secara terintegrasi dan secara
ekologis mempunyai konektivitas dengan perairan
sekitarnya (Abell et al., 2007; Geist, 2011).
Kawasan suaka yang diusulkan di Danau
Sembuluh maupun Danau Papudak harus selalu
berhubungan dengan sungai Seruyan meskipun air
danau dalam keadaan surut sehingga benih ikan
yang dihasilkan dari kawasan tersebut dapat
memasok peremajaan ikan ke perairan sekitarnya
(kawasan penangkapan ikan).
Karakteristik Perikanan Tangkap
Komposisi jenis ikan yang tertangkap nelayan
di Danau Sembuluh didominasi oleh ikan Biis,
yang kemudian disusul oleh ikan Baung,
Sanggang,

243

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 239-245

Betutung, Benangin, dan Tabiring (Gambar 3).


Jenis-jenis ikan tersebut termasuk kelompok ikan
putihan (white fish) yang keberadaannya di
danau sangat dinamis dan jika tinggi permukaan
air danau menurun serta kualitas airnya juga
memburuk maka ikan-ikan tersebut akan
melakukan ruaya ke sungai.

90000

50

80000
70000

Series1

60000

Series2

40

30

50000
40000

20

30000
20000

10

10000

0
J

Gambar 4.

Komposisi Hasil Tangkapan Ikan


(% total berat) di Danau Sembuluh.
Fish catch composition (in % of
total weight) of Sembuluh lake.

2500

Hasil tangkapan ikan yang dicatat oleh


enumerator di Danau Sembuluh selama periode
Januari sampai dengan Desember sangat
berfluktuasi dan berkisar antara 10.21279.649
kg/bl dengan rata-rata 39.608 kg/bl (Gambar 4).
Hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Juli,
Agustus dan September, sedangkan hasil
tangkapan terrendah terjadi bulan Februari, Maret
dan April. Kondisi seperti ini berkaitan erat
dengan fluktuasi permukaan air danau, dimana
tangkapan tertinggi terjadi pada waktu permukaan
air rendah dan sebaliknya hasil tangkapan
terendah terjadi pada waktu permukaan air
tinggi. Dari Gambar 4 juga terlihat bahwa ratarata hasil tangkapan nelayan berkisar antara 2,5
19,5 kg/nelayan/hari dengan rata-rata 9,6
kg/nelayan/hari.

1500

Figure 3.

Fluktuasi Hasil Tangkapan Ikan di


Danau Sembuluh 2005
Fluctuation of fish catch of
Sembuluh lake in 2005

Figure 4.
Gambar 3.

80
70

2000

60

50
40

1000

30
20

500
Total Berat
Berat Individu

0
J

10
0
D

10.0

Gambar 5.
Figure 5.

Hasil tangkapan Udang Galah di


Danau Sembuluh 2005
Giant prawn catch of Sembuluh
lake in 2005

Selama periode Januari sampai dengan Desember

2005, hasil tangkapan udang galah di Danau


Sembuluh berkisar antara 3811.972 kg dengan
rata-rata 1.046 kg (Gambar 5). Seperti halnya
ikan, fluktuasi hasil tangkapan udang galah juga
sangat berkaitan erat dengan fluktuasi permukaan
air danau. Ukuran rata-rata udang galah yang
tertangkap berkisar antara 5368 g per ekor
dengan rata-rata 58 gram/ ekor. Ukuran udang
galah yang tertangkap ini berkaitan erat dengan
pola migrasi udang galah untuk melakukan
pemijahannya di muara Sungai Seruyan. Pada
periode migrasi pemijahan, ukuran rata-rata udang
galah yang tertangkap akan menurun karena
udang dewasa yang berukuran besar akan
meninggalkan danau masuk ke sungai untuk
kemudian melakukan pemijahan di muara.

244

Berbagai jenis alat tangkap ikan yang


digunakan oleh nelayan di Danau Sembuluh dan
Papudak adalah alat tangkap gillnet, pancing rawei
dan banjur serta bubu. Untuk menangkap udang
galah, sebagian besar nelayan menggunakan tamba
(trap) yang diberi umpan berupa potongan daging
kelapa.
Jumlah Rumah Tangga (RTP) Nelayan di
Danau Sembuluh adalah sebesar 226 RTP dengan
rata-rata nelayan yang beroperasi selama
periode Januari sampai dengan Desember 2005
adalah 138 RTP. Jumlah nelayan yang khusus
menangkap udang galah berkisar antara 2556
orang dengan rata-rata jumlah nelayan yang
beroperasi selama tahun 2005 adalah sebanyak 41
orang.

Struktur Komunitas dan Biomassa . Papudak, Kalimantan Tengah(Kartamihardja, ES., et al.)

KESIMPULAN
Struktur komunitas ikan di Danau Sembuluh
dan Papudak tersusun atas 29 jenis ikan yang
didominasi oleh jenis-jenis yang termasuk famili
Cyprinidae dan udang galah serta empat jenis ikan
ekonomis penting, yaitu ikan jelawat, bakut, dan
pipih sudah jarang tertangkap sehingga perlu
upaya pelestariannya. Potensi biomasa ikan di
Danau Sembuluh dan Papudak termasuk tinggi
dengan hasil tangkapan aktualnya berfluktuasi
menurut fluktuasi tinggi muka air. Hasil tangkapan
tertinggi terjadi pada waktu permukaan air
rendah dan hasil tangkapan terrendah terjadi pada
waktu
permukaan
air
tinggi.
Pelestarian
sumberdaya ikan dapat dilakukan dengan
menetapkan Danau Papudak dan beberapa
teluk di Danau Sembuluh sebagai kawasan
suaka perikanan.
DAFTAR PUSTAKA
Abell, R., D.J. Allan & B. Lehner. 2007. Unlocking
the potential of protected areas for
freshwaters. Biological Conservation, 134
(2007):4863.
Geist, J. 2011. Integrative freshwater ecology and
biodiversity conservation. Ecological Indicators,
11 (2011): 15071516
Hartoto, D.I., A.S. Sarnita, D.S. Sjafei, A. Satya,
Y. Syawal, Sulastri, M.M. Kamal & Y. Siddik.
2000. Kriteria Evaluasi Suaka Perikanan
Perairan
Darat.
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Limnologi, LIPI.
Hyslop, E.J. 1980. Stomach content analysis: a
review of methods and theirs application.
Journal of Fish Biology, 17: 411-429.

Kartamihardja, E.S. 2000. Identifikasi dan


karakterisasi sumberdaya perikanan perairan
umum di sekitar lahan rawa bukaan,
Kecamatan Kapuas Murung, Kalimantan
Tengah untuk pengembangan beje dan
suaka produksi ikan. Pros. Seminar Hasil
Penel.
Perikanan
1999/2000. Puslitbang
Eksplorasi Laut dan Perikanan, SekJen DKP.
Jakarta.
Kartamihardja, E.S. 2002. Pengaruh reklamasi
lahan rawa terhadap penurunan produksi dan
perubahan komposisi jenis ikan pada usaha
perikanan beje di Kabupaten Kapuas,
Kalimantan Tengah. JPPI, 8 (4).
Kartamihardja, E.S. & K. Purnomo. 2011. Aspek
Limnologi dan Potensi Produksi Ikan di Danau
Sembuluh,
Kalimantan
Tengah.
Pros.
Seminar Nasional Penelitian Perikanan
VIII. UGM. Yogjakarta.
Kottelat, M, A.J. Whitten, S.R. Kartikasari & S.
Wirjoatmojo. 1993. Freshwater Fishes Of
Western Indonesia and Sulawesi, Ikan Air
Tawar Indonesia Bagian Barat Dan Sulawesi.
Periplus edition (HK) Ltd. 293 hal + 84 plate.
Nielsen, L.A. & D.L. Johnson.1985. Fisheries
Techniques.
American
Fisheries
Society, Bethesda, Maryland. 468 pp.
Welcomme, R.L. 2001. Inland Fisheries: Ecology
and Management. FAO. Blackwell Sci., Fishing
News Books. 358 pp.
Wijopriono, K. Purnomo, E.S. Kartamihardja & Z.
Fahmi. 2010. Fishery Resources and Ecology of
Toba lake. Ind. Fish. Res. J. 16 (1).

245

Perkembangan Perikanan Pelagis Kecil.di Perairan Barat Sumatera (Hartati. T. et al.)

PERKEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KECIL HASIL TANGKAPAN


PUKAT CINCIN DAN BAGAN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA
Tuti Hariati1) dan Khairul Amri2)
Peneliti pada Balai Penelitian Perikanan Laut
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Juni 2011;
Disetujui terbit tanggal: 23 Agustus 2011
1)

2)

ABSTRAK
Sumberdaya ikan pelagis kecil merupakan target utama pukat cincin dan bagan yang beroperasi di
perairan barat Sumatera. Penelitian pada periode Maret sampai November 2008 di Sibolga bertujuan
untuk memperoleh informasi perkembangan perikanan pelagis kecil di barat Sumatera meliputi
perkembangan jumlah pukat cincin dan bagan, jumlah trip, lama trip, indeks kelimpahan dan panjang
ikan pertama kali tertangkap (l ). Data yang dikumpulkan adalah hasil tangkapan pukat cincin dan
bagan per jenis ikan per trip tahun 2007-2008, jumlah trip, lama trip serta frekuensi panjang ikan
pelagis kecil dominan. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan aktivitas penangkapan (jumlah
trip) pukat cincin dari tahun 2002 sampai 2008, sedangkan jumlah trip bagan meningkat sampai
tahun 2007 disusul dengan penurunan tajam pada tahun 2008. Indeks kelimpahan (CPUE) ikan
pelagis dari pukat cincin tahun 2007 dan 2008 berkisar 500-600kg/hari, naik dari tahun 2003 (400-500
kg/hari). Diduga indeks kelimpahan ikan pelagis kecil di perairan barat Sumatera pada tahun 2008
masih tetap karena meluasnya daerah penangkapan. Penurunan CPUE ikan pelagis kecil bagan
perahu dari 590 kg/hari (2007) menjadi 340 kg/hari (2008), diduga merupakan indikasi turunnya
kelimpahan jenis-jenis ikan tersebut di perairan pantai yang relatif sempit. L ikan layang (Decapterus
russelli dan D. macrosoma) dan banyar (Rastrelliger kanagurta) pada tahun 2008 cenderung turun
dibanding tahun 2003-2004, sedangkan nilai L ikan layang biru (D. macarellus) cenderung tetap.
Untuk mempertahankan kelestarian sumber daya ikan pelagis kecil, perlu dilakukan pengelolaan
jumlah kapal pukat cincin dan bagan yang beroperasi di perairan pantai barat Sumatera
KATA KUNCI
:
ABSTRACT :

ikan pelagis kecil, alat tangkap, pukat cincin, bagan, perairan barat Sumatera
The development of small pelagic fishery of purse seiner and boat lift net in the
western Sumatera waters, Sibolga. By Tuti Hariati and Khairul Amri

Small pelagic resources is the main target of both purse seine and boat lift net fisheries operated
in the western Sumatera waters . This research was conducted in the period of March until November
2008. The objective is to obtain some information on development of small pelagic fishery in the
western Sumatera waters including the number of purse seine and boat lift net, number and duration of
trip, index of abundance (CPUE), and fish length of first catch (L ). Data collected consist of number of
purse seine and boat lift net, number of trip catch by species per trip during 2007-2008, and length
frequency distribution of several dominant species. The results indicated decreasing of trip number
during years 2004 to 2008. The CPUE of purse seine in 2007 and 2008 were 500-600 kg/day,
relatively similar with in 2003 (300-400 kg/day). Index of abundance of small pelagic fish caught by
purse seine supposed to be stable by expansion of fishing ground toward off shore. The CPUE of boat
lift net decreased from 590 kg/day (2007) to 340 kg/day (2008), indicated of decreasing small pelagic
fish abundance in the fishing ground of the coastal area. Compared with the length of first catch (L ) of
Decapterus russell, D. macrosoma and Rastrelliger kanagurta in years 2003-2004, L values of those
species in 2008 decreased, while L values of D. macarellus were relatively constant. For maintaining
sustainable of small pelagic fishes resources, management the number of both purse seine and boat
liftnet is needed.
KEYWORD :

small pelagic, purse seine, boat lift net, west Sumatera waters

PENDAHULUAN
Perairan barat Sumatera, bagian dari perairan
timur laut Samudera Hindia (TLSH) merupakan
perairan yang kaya akan sumber daya ikan
pelagis kecil. Berbagai jenis ikan pelagis kecil
hasil tangkapan nelayan yang beroperasi di
perairan ini, umumnya
___________________
Korespondensi
penulis:

didaratkan di beberapa lokasi pendaratan utama,


salah satunya adalah Sibolga.
Pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di
perairan barat Sumatera dilakukan dengan
berbagai jenis alat tangkap. Dua jenis alat
tangkap yang berperan sebagai penghasil ikan
pelagis kecil adalah

Komplek Pelabuan Perikanan Samudera, Jln. Muara Baru Ujung Jakarta-14440.


Email:hariati.tuti@yahoo.co.id, Email: kh_amri@yahoo.com

247

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 247-253

pukat cincin dan bagan. Sejak tahun 2003 kapal


pukat cincin Sibolga didominasi oleh kapal ukuran
besar (50-130 GT) dengan persentase mencapai
85% dan sisanya (15%) merupakan kapal
berukuran 20 49 GT (Hariati, 2005). Sumberdaya
ikan pelagis kecil di perairan barat Sumatera
selain dari jenis oseanik juga dari neritik dengan
migrasi yang tidak terlalu jauh dibandingkan
dengan kelompok pelagis besar.
Armada pukat cincin maupun bagan Sibolga
telah mengalami perkembangan yang berarti
untuk meningkatkan produksi ikan pelagis
kecil. Perkembangan yang tampak selain
menyangkut peningkatan bobot kapal juga
penambahan kekuatan mesin, dimensi jaring dan
ukuran mata jaring, alat bantu penangkapan,
serta penggunaan teknologi terbaru baik untuk
navigasi maupun penjejak ikan. Kapal pukat cincin
yang telah memperbesar bobot dan dimensinya
tidak diizinkan lagi beroperasi di perairan pantai,
melainkan harus beroperasi di perairan yang lebih
jauh. Saat ini perairan pantai telah menjadi daerah
penangkapan bagan perahu dan pukat ikan
(Hariati, 2005). Perluasan daerah penangkapan
bagan perahu yang semula di dalam Teluk
Tapian Nauli
ke perairan pantai pada
tahun 1997 menyebabkan hasil tangkapan lebih
bervariasi. Selain ikan teri, juga tertangkap juwana
dari ikan pelagis yang bernilai ekonomis seperti
ikan tongkol dan tenggiri.
Tujuan penelitian ini untuk memperoleh
informasi perikanan pelagis kecil di perairan barat
Sumatera dari alat tangkap pukat cincin dan bagan
pada tahun 2008. terutama perkembangan jumlah
alat tangkap dan jumlah trip, indeks kelimpahan,
dan ukuran ikan pelagis kecil yang dominan.
BAHAN DAN METODE
Tempat, Waktu dan Jenis Data
Penelitian dilakukan di Sibolga pada bulan
Maret, Agustus, dan November 2008. Data
yang dikumpulkan meliputi :
v Hasil tangkapan pukat cincin dan bagan tiap trip
menurut jenis-jenis ikan pada tahun 20072008 dari Pelabuhan Perikanan Nusantara
Sibolga.
v Jumlah unit kapal pukat cincin dan bagan
perahu dari Dinas Perikanan Propinsi
Sumatera Utara maupun Kabupaten Tapanuli
Selatan dan Kota Sibolga tahun 1985 sampai
tahun 2007

v Jumlah trip kapal pukat cincin tahun 2000-2008


dan bagan tahun 1998-2007 dari kantor ADPEL
Sibolga
v Sebaran frekwensi panjang beberapa jenis ikan
pelagis kecil yang didaratkan pada saat 3 kali
pengamatan menggunakan kertas ukur yang
khusus.
Analisis Data
Hasil tangkapan pukat cincin dan bagan tiap
trip menurut jenis ikan (A) serta lama trip/day at
sea (B) selama periode tahun 2007 dan 2008
ditabulasi per bulan. Komposisi hasil tangkapan
tiap jenis ikan dinyatakan dalam % dari total.
Indeks kelimpahan masing-masing jenis alat
tangkap (C) tiap bulan : C=A/B.
Jumlah kapal dan jumlah trip dari pukat cincin
dan bagan perahu tiap tahun dinyatakan dalam
bentuk grafis.
Nilai-nilai L diperoleh dari akumulasi data
sebaran frekwensi panjang tiap jenis ikan
kemudian dihitung dengan rumus ogif selectivity :
S(L)=1/(1+exp(S -S * L)), di mana S(L)
adalah jumlah ikan dengan panjang L dalam
kantong dibagi dengan jumlah ikan dengan
panjang L dalam kantong dan dalam penutup, L
merupakan interval titik tengah panjang; S1 dan
S2 adalah konstanta. L =S2/S1(Sparre &
Venema, 1999).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Upaya Pukat Cincin dan Bagan Perahu
Dalam Gambar 1a, jumlah pukat cincin Sibolga
dan sekitarnya meningkat dan mencapai puncak
pada tahun 2000. Pada tahun 1992-1994
daerah penangkapan tersebar di atas paparan dari
Kepulauan Banyak di Aceh Selatan sampai ke
Pulau Pini dan P Telo di perbatasan Sumatera
Utara dengan Sumatera Barat.
Dari tahun 2000 sampai 2003 jumlah kapal
bertahan pada sekitar 200 unit dan daerah
penangkapan telah meluas sampai ke perairan
wilayah Aceh, juga ke wilayah Sumatera Barat.
Antara tahun 2005 dengan 2007 jumlah kapal yang
aktif turun (Gambar 1a ), antara lain karena
beberapa kali terjadi kenaikkan harga BBM .

248

Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)

STANDARDISASI UPAYA PENANGKAPAN PUKAT CINCIN DI LAUT JAWA


Mahiswara, Mohamad Natsir dan Tri Wahyu Budiarti
Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 16 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Juni 2011;
Disetujui terbit tanggal: 25 Agustus 2011

ABSTRAK
Pemanfaatan sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa didominasi oleh armada pukat cincin. Pukat
cincin merupakan jenis alat tangkap yang efektif yang dalam kajian stok sumber daya ikan pelagis
sering dijadikan sebagai alat tangkap standard. Oleh karena armada pukat cincin memiliki variasi
karakteristik teknis, maka untuk menghindari bias perlu dilakukan standardisasi upaya. Standardisasi
upaya penangkapan kapal pukat cincin di Laut Jawa periode 2006-2008 dilakukan menggunakan
metode analisis komponen utama dari karakteristik teknis; panjang kapal, lebar kapal, dalam kapal,
tonase, tenaga penggerak, daya lampu, dimensi jaring, kapasitas palka, dan jumlah ABK. Tiga
komponen utama telah dapat menjelaskan lebih dari 60 % total varians yang difungsikan untuk
menghitung fishing power masing-masing kapal. Metode analisis komponen utama menghindarkan
ketergantungan terhadap satu karakter sehingga memungkinkan untuk melakukan penghitungan
nilai fishing power bagi kapal pukat cincin baru yang masuk ke dalam armada pukat cincin.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh fungsi hasil tangkapan per satuan upaya (CPUE) CPUE =
353.4 * 16.95.Ci dan Fishing Power Indeks (FP) = 1 +(16.59) * (353.4)-1. Ci.
KATA KUNCI
:
ABSTRACT :

standardisasi, upaya penangkapan, pukat cincin, Laut Jawa


Standardization of purse seine fishing effort in Java Sea. By: Mahiswara, Moh.
Natsir and Tri Wahyu Budiarti

Exploitation of small pelagic fish resources in Java Sea was dominated by purse seiners fishery.
Purse seine is an effective type of fishing gear, this gear was often used as standard fishing gear for
pelagic fish stock assessment. Since purse seiners has a variety of technical characteristics,
standardization efforts need to be done to avoid the bias during analysis. Catch effort of purse seiners in
Java Sea on the period of 2006-2008 was standardized using principal components analysis method of
the boat characteristics, boat length, boat width, boat depth, gross tonnage, engine propulsion, light
power, net dimensions, fish hold capacity and total number of crews. Three new major components
have explained more than 60% of the total variance which enabled to calculate the fishing power of
each boat. Principal components analysis method was used to avoid dependence on a single
character to allow the calculation of the value of fishing power for new purse seine fleet. Based on the
results obtained by analyzing the function of catch per unit effort formula was CPUE = 353.4 * 16.95.Ci
and Fishing Power Index (FP) = 1 + (16.59) * (353.4) -1. Ci.
KEYWORDS :

standardization, fishing effort, purse seiner, Java Sea

PENDAHULUAN
Kajian tentang besaran stok dan distribusi
sumber daya ikan merupakan hal yang sangat
penting
dalam
pengelolaan
sumberdaya
perikanan.
Kajian
stok
meliputi
proses
pengumpulan dan analisis data dan informasi
biologi dan statistik untuk menentukan berbagai
perubahan dalam kelimpahan sejumlah stok ikan
dalam merespon kegiatan penangkapan, dan
sejauh mungkin memprediksi berbagai
kecenderungan mendatang atas kelimpahan stok.
Data statistik tangkapan ikan dari armada kapal
komersial biasanya digunakan sebagai basis
pendugaan stok di berbagai jenis perikanan.
Karena hasil tangkapan adalah fungsi dari upaya
penangkapan dan kelimpahan populasi ikan.
Kecenderungan hasil

tangkapan sepanjang periode waktu merefleksikan


perubahan proporsi populasi yang dieksploitasi,
perubahan kelimpahan, atau keduanya. Namun
demikian, kajian stok dengan menggunakan
secara langsung data mentah (raw data) hasil
tangkapan dan upaya penangkapan akan
menghasilkan prediksi yang bias oleh karena
efisiensi dari upaya penangkapan berubah dari
waktu ke waktu dan antar kapal penangkap.
Diperlukan standardisasi upaya penangkapan
untuk
mereduksi
bias
dengan
memperhitungkan
faktor-faktor
efisiensi
penangkapan (Sparre et al, 1989). Kajian dengan
prosedur dan metode yang memperhitungkan
faktor-faktor ini akan menghasilkan
time
series
hasil
dan
upaya penangkapan
(CPUE) yang lebih mewakili kecenderungan
dari kelimpahan populasi.

___________________
Korespondensi penulis:
Komplek Pelabuan Perikanan Samudera, Jln. Muara Baru Ujung Jakarta-14440

255

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 255-263

Pada pertengahan tahun 1970, jenis alat


tangkap pukat cincin diperkenalkan pertama kali di
Batang, Jawa Tengah. Dalam waktu relatif
singkat, sejak pasca pelarangan trawl (tahun
1980), perikanan pukat cincin mengalami
perkembangan yang sangat pesat ke arah
perikanan
semi-industri
(Potier,
1998).
Perkembangan tersebut terus berlangsung hingga
kini. Kondisi ini tercermin diantaranya : (a)
peningkatan fishing capacity, yakni ukuran kapal
beserta
kekuatan
propulsi
mesinnya,
(b)
perubahan
taktik
penangkapan,
berupa
penggunaan lampu fluorecent (merkuri dan
halogen) sebagai alat bantu pengumpul ikan
(menggantikan peranan rumpon), (c) modernisasi
teknologi alat bantu penangkapan seperti radio
komunikasi, alat penentu posisi (GPS) dan fish
finder (echosounder) dan (d) ekspansi daerah
penangkapan (Muhamad & Susilo, 1998). Oleh
karena konstribusi produksinya yang besar
terhadap produksi ikan pelagis di Laut Jawa,
maka unit penangkapan pukat cincin dijadikan
sebagai unit penangkapan standard dalam
kajian
stok. Keanekaragaman karakteristik
setiap individu unit penangkapan
pukat
cincin
membutuhkan standardisasi untuk
menghindari bias yang bisa terjadi dalam kajian
stok sumberdaya ikan.
Perlunya standardisasi upaya penangkapan
telah disadari sejak lama. Berbagai metode telah
diterapkan untuk keperluan tersebut. Metodemetode tersebut menghitung
faktor-faktor
standar dengan membandingkan rata-rata laju
tangkap kapal-kapal kelas ukuran tertentu
dengan kelas kapal-kapal standar. Prosedur dan
metode-metode lainnya juga banyak digunakan
seperti linier model dengan least squares atau
maximum likelihood dan multiplicative model untuk
menghitung power factor .
Perikanan pukat cincin telah menyebar di
hampir seluruh perairan Indonesia, dengan bagian
terbesar berpangkalan di utara Jawa. Sekitar 51%
diantaranya terdapat di Jawa Tengah, dengan dua
basis utama yaitu Pekalongan dan Juwana, Pati.
Oleh karena konstribusinya yang demikian besar
maka dalam penelitian standardisasi upaya
penangkapan
difokuskan
terhadap
unit
penangkapan pukat cincin yang berada Jawa
Tengah, khususnya yang berbasis di Pekalongan.
Tujuan penelitian adalah menentukan model upaya
(effort) penangkapan standard pada armada
perikanan pukat cincin.
BAHAN DAN METODE
Sumber dan jenis data

Data dan informasi dihimpun dari dari berbagai sumber


terutama dari lembaga yang yang terkait

dengan pengelolaan perikanan pukat cincin,


yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara
Pekalongan. Verifikasi dan konfirmasi data
juga dilakukan dengan pengelola/pelaku
perikanan pukat cinicn. Data sekunder
berasal dari data statistik perikanan dan
data primer hasil wawancara dengan
nelayan. Data yang dikumpulkan dan
divalidasi adalah karakteristik kapal yang
meliputi; GT, panjang kapal, lebar kapal,
dalam kapal, kekuatan tenaga penggerak
(HP), kapasitas palkah, dimensi jaring pukat
cincin, daya lampu yang digunakan dan
jumlah ABK. Jenis data upaya penangkapan
dalam hal ini adalah trip kapal (jumlah hari),
dan data hasil tangkapannya (baik dalam
harian, bulanan dan tahunan). Data hasil
tangkapan dikumpulkan dari buku laporan
tahunan perikanan dan buku bakul di tempat
pendaratan ikan. Dalam studi ini diambil 113
unit penangkapan pukat cincin yang aktif
beroperasi pada periode 2006 2008.
ANALISIS DATA
Metode analisis komponen utama
(Principal Component Analysis = PCA)
(Pieleau,
1984)
digunakan
untuk
menganalisis karakteristik teknis armada
pukat cincin di Laut Jawa, yang beroperasi

256

antara tahun 20062008. Informasi karakeristik


kapal pukat cincin sebagai basis analisis secara
ringkas disajikan dalam Table 1.
Tabel 1.
Table 1.

Nilai rataan, simpangan baku dan


kisaran kapal pukat cincin yang
berbasis di Pekalongan
Mean, standard deviation and
range values of purse seiner based
in Pekalongan

Karakteristik
GT (Ton)
Panjang (m)
Lebar (m)
Dalam (m)
Dayamesin (pk)
2

Luas Jaring (1000m )


Jumlah ABK
Daya Lampu (kilowatt)
Kapasitas Palka (ton)

Mean

Std. Deviation

Range

113
113
113
113
113

79.96
22.49
6.88
2.22
283.98

12.07
2.99
0.41
0.2
51.42

59
20.68
1.8
1.22
230

113
113
113
113

50.68
31.98
27.35
12.63

5.06
3.04
6.22
2.29

24.6
15
34
11

Nilai karakteristik sampel kemudian digunakan


untuk menghitung komponen utama (principal
component, Ci) (Garcia & Victor, 1992) yang
merupakan kombinasi linier dari karakteristik kapal
(Xj) , dengan formula sbb.:
Ci = j ij . (Xj - Xj ) . Sj-1.............................(1

Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)

dimana:
ij adalah eigenvector ke j dari komponen
prinsipal Ci; yang merepresentasikan kontribusi tiap
karakteristik Xj (dengan rata-rata dan nilai variance
Sj 2).
Dari komponen prinsipal Ci yang menjelaskan
total variabilitas dan korelasi dengan CPUE,
untuk
memperoleh
standardisasi
upaya
penangkapan digunakan persamaan:
CPUE = a + a . C i............(2

Gambar 1.

i1

Fishing Power Index (FP) untuk tiap kapal


dihitung berdasarkan persamaan:
FP = CPUE. CPUE(standar) = 1 + ai . a0-1. Ci..
Langkah pertama yang dilakukan adalah
dengan melakukan analisis korelasi antar
karakteristik kapal. Berdasarkan hasil analisis
korelasi, program principle component diaplikasikan
guna memperoleh nilai-eigen karakteristik kapal
dan persen varians. Akumulasi persen varians ( >
60 %) dari beberapa komponen ditetapkan
sebagai komponen yang paling berperan dalam
unit penangkapan pukat cincin. Diantara
komponen yang berperan utama akan dilihat yang
paling signifikan berkorelasi dengan CPUE.
Setelah diketahui komponen yang berkontribusi
secara signifikan dengan CPUE maka komponen
tersebut akan difungsikan dalam persamaan
regresi linear bagi perhitungan CPUE standard.

Figure 1.

Penyebaran (dalam %) armada


pukat cincin di Indonesia menurut
wilayah perairan
Percentage distribution of purse
seiner according to FMA in
Indonesia (Keterangan: I-Barat
Sumatera, II-Selatan Jawa, IIISelat Malaka, IV-Timur Sumatera,
V-Utara Jawa, VI-Bali-Nusatenggara,
VII-Selatan/Barat Kalimantan, VIIITimur Kalimantan, IX-Selatan
Sulawesi, X-Utara Sulawesi, XIMaluku-Papua)
Sumber: Atmaja, 2004

HASIL DAN BAHASAN


Pada tahun 2007 dilaporkan bahwa pukat
cincin telah menyebar di hampir seluruh perairan
Indonesia, dengan jumlah armada terbanyak
(sekitar 30%) terdapat di utara Jawa. Dari jumlah
yang ada di utara Jawa sebanyak 51%
diantaranya terdapat di Jawa Tengah (Gambar 1).

Armada pukat cincin yang berbasis di


Pekalongan terbanyak adalah kapal pukat cincin
medium dan besar yang berukuran > 30 GT
dengan mesin penggerak 120- 370 HP. Jumlah
ABK antara 25-50 orang pada tiap kapalnya.
Karakteristik armada pukat cincin yang berbasis di
Pekalongan disajikan pada Tebel 1. Kemampuan
tangkap kapal pukat cincin yang direpresentasikan
oleh hasil tangkapan per satuan upaya (ton/tawur),
menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun.
Tahun 1998 kemampuan tangkap rata-rata kapal
pukat cincin mencapai 1.433 ton/tawur/kapal,
kemudian menurun hingga tinggal 0.528 ton/tawur/
kapal pada tahun 2008 (Tabel 2).

Gambar
2.

Struktur armada pukat cincin di


Pekalongan
Stucture of purse seiner in Pekalongan

Figure
2.
Dalam satu dekade terakhir, juga telah terjadi
penurunan jumlah armada pukat cincin di
Pekalongan. Pada tahun 2005 terdapat 357 unit,
kemudian menurun menjadi 218 unit pada tahun
2007. Struktur armada pukat cincin sampai
dengan tahun 2008 disajikan pada Gambar 2.
Rentang ukuran kapal pukat cincin di Laut Jawa
adalah 20 -140 GT, persentasi terbesar adalah
kelas 81 120 GT (40%), dan yang terkecil kelas
20 40 GT (1%). Ukuran kapal yang besar
merupakan dampak dari pengembangan armada
pukat cincin yang dimulai pada tahun 80-an.

257

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 255-263

Tabel 2.

Table 2.

Laju tangkap rata-rata kapal


pukat cincin keseluruhan yang
berbasis di Pekalongan tahun
1998-2007.
Mean of catch rate of purse seiner
in Pekalongan from 1998 to 2007
Catch
(ton)

1998
821
379
003
514
553
758
535
739

Tabel 3.
Table 3.

Effort
Mean of catch rate
(setting)
(ton/setting)

76 979 53
1.433 1999
63 763 1.205 2000
54 415 1.146 2001
57 941 1.053 2002
57 839 1.167 2003
60 527 0.786 2004
56 912 0.892 2005
71 441 0.763 2006
70 489 0.550 2007
34 400 0.547 2008
25 556 0.528

711
76
62
61
67
47
50
54
38
18817
13502

Berdasarkan data karakteristik armada


pukat cincin yang berhasil dihimpun, analisis
standardisasi upaya dilakukan melalui beberapa
tahapan. Hasil analisis korelasi antar karakteristik
kapal pukat cincin secara umum memberikan
nilai positif, seperti hubungan antara; tonase
kapal (GT) dengan mesin kapal (HP) daya lampu
yang digunakan, dan ukuran jaring. Nilai korelasi
tertinggi ditemukan antara tonase kapal dengan
jumlah anak buah kapal (ABK). Nilai ini
mengindikasikan bahwa, perikanan pukat
cincin masih bersifat manual dalam operasinya.
Kapal dengan
tonase
besar
cenderung
mengoperasikan jaring (pukat cincin) yang
besar,
sehingga
dalam
operasinya
membutuhkan banyak tenaga kerja (ABK). Nilai
korelasi positif ditemukan hampir pada seluruh
hubungan
antar
karakteristik.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa seluruh variabel secara
sinergi memberikan kontribusi dalam menentukan
efisiensi dan efektivitas unit penangkapan pukat
cincin. Nilai korelasi negatif yang relatif kecil
ditemukan hanya pada hubungan antara panjang
kapal dengan dalam kapal. Nilai-nilai korelasi
antar
karakteristik
kapal
pukat
cincin
selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Matrik korelasi antar karakteristik kapal pukat cincin yang berbasis di


Pekalongan Matrix correlation between characteristic of purse seiner based in
Pekalongan
Karakteristik
GT
Panjang
Kapal

GT
1.000

Panjang
Kapal
0.470
1.000

Lebar
Kapal
J

Dalam
Kapal

Daya
Mesin

0.304

0.200

0.285 0.002

-0.019
0.141

Lebar Kapal
Dalam Kapal

1.000

0.430

Daya Mesin

0.218 1.000

0.106

Luas Jaring

1.000

Jumlah ABK
Daya Lampu
Kapasitas
Palka

Penerapan analisis komponen utama dari


9
karakteristik
kapal
pukat
cincin
menghasilkan komponen baru yang dibentuk
berdasarkan
kombinasi
dari
keseluruhan
karakteristik
yang
terlibat
dalam analisis
komponen utama. Pada Tabel 4 dapat dilihat nilainilai eigen dan nilai persentase varians yang
dijelaskan
untuk
masing-masing
komponen.
Berdasarkan
nilai-eigen
dan
persentase varians yang dijelaskan dapat dilihat
komponen 1 memiliki eigen tertinggi sebesar 3,63
dan menjelaskan 40% dari keseluruhan varians.

Pada analisis selanjutnya hanya akan digunakan 3 komponen


utama dari komponen-komponen yang dihasilkan. Proses
penentuan 3

komponen ini dilakukan dengan


melihat persentase varians dari
masing-masing
komponen,
dimana terlihat komponen ke 4
dan
selanjutnya
hanya
menghasilkan persentase varians
dibawah 10%. Tiga komponen
pertama
secara
kumulatif
sudah menjelaskan 66,14 %

258

varians keseluruhan data.


Proses
ekstraksi
eigen-vektor
ketiga
komponen untuk sembilan karakteristik kapal
disajikan pada Tabel 5. Kombinasi vektor tiga
komponen pertama inilah yang akan menjadi
dasar dalam analisis selanjutnya. Dengan
mengunakan ekstraksi eigen-vector dari ketiga
komponen, dapat diketahui peran

Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)

dari masing-masing karakteristik kapal dalam


membangun kombinasi linier untuk masing-masing
komponen, seperti disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 4.

Table 4.

Nilai-eigen
dari
komponenkomponen hasil dari analisis
komponen utama dan persentase
total variance yang dijelaskan
oleh masing-masing komponen
utama
Eigen values of components
resulted from PCA and the
percentage of total variance
explained
by
the
principal
component associated with them

Component

Initial
Eigenvalues

% of
Variance

Cumulative
%

3.63

40.30

40.30

1.36

15.10

55.40

0.97

10.74

66.14

0.82

9.16

75.30

0.64

7.06

82.36

0.53

5.85

88.22

0.49

5.46

93.68

0.40

4.44

98.12

3
4
5
6
7
8
9

0.17

Tabel 5.
Table 5.

1.88

yang diperoleh. Dengan menggunakan formula (2)


maka diperoleh CPUE standard yang didasarkan
persamaan linear regresi sebagai berikut :
CPUE = 353,4 x 16,95.Ci
Nilai Fishing Power Indeks (FP) adalah sebagai
berikut:
FP = 1 +(16,59) * (353,4)-1. Ci
Dengan menggunakan formula FP maka dapat
diperoleh nilai-nilai upaya penangkapan (fishing
effort) yang terstandard untuk seluruh sampel
kapal seperti disajikan pada Lampiran 1. Dalam
Lampiran 1 tampak bahwa nilai upaya
penangkapan, dalam hal ini jumlah trip (hari) yang
sudah terkoreksi (distandardkan) mengalami
perubahan, Untuk perbedaan nilai yang muncul
pada masing-masing kapal sampel ditentukan oleh
karakteristik kapal yang dimiliki. Secara umum
dengan nilai R2 sebesar 0.46 mengindikasikan
bahwa model yang dibangun dari kombinasi linear
beberapa karakteristik kapal pukat cincin sudah
menjelaskan 46,6 % dari keseluruhan hubungan
antara data jumlah kombinasi faktor (Ci)
dengan CPUE. Dengan menggunakan model
tersebut dapat diperoleh nilai Fishing Power
untuk masing-masing kapal dan selanjutnya

100.00

Eigen-vektor dari tiga komponen


prinsipal pertama
Eigenvector of the first three
principal components
2

dilakukan standarisasi upaya penangkapan.


1,200
1,000 y = 16.95x + 353.4
R =
0.4666 800
600

GT (Ton)

0.909

-0.083

0.010

400

Panjang (m)

0.579

-0.452

0.150

200

Lebar (m)

0.434

0.709

0.007

Dalam (m)

0.312

Dayamesin (pk)

-0.212

0.741

Luas Jaring (1000m )

0.356
0.713

0.228
-0.127

Jumlah ABK

0.831

-0.092

0.021

Daya Lampu (kilowatt)

0.800

-0.075

-0.212

Kapasitas Palka (ton)

0.462

-0.121

-0.571

0.703
0.185

Keseluruhan 3 komponen utama (Tabel 4)


digunakan untuk menentukan nilai kombinasi
linear (C) guna memperoleh persamaan regresi
linear untuk CPUE seperti disajikan pada dalam
Gambar 3. Berdasarkan Gambar 3 diperoleh nilai

-5.00
-20.00
-10.00

Gambar 3.
Figure 3.

-15.00

0.00

5.00

10.00

15.00

Ci

Hubungan antara CPUE dengan


nilai kombinasi linear (Ci)
Correlation between purse seiner
CPUE with linear combination (Ci)

korelasi (R2) sebesar 0,466, yang menggambarkan


bahwa data yang digunakan untuk keperluan analisis
sebagain besar (> 40%) dapat dijelaskan melalui
persamaan

Metode analisis komponen utama telah


diterapkan pada kajian standardisasi upaya
penangkapan pada armada perikanan pukat
cincin tuna di Meksiko. Sejumah 51 unit kapal
pukat cincin tuna dianalisis. Karakteristik unit

penangkapan yang digunakan dalam analisis


adalah; tahun pembuatan, tonase (GT dan NT),
panjang total (LoA), lebar dan dalam kapal, daya
muat dukung (carryng capacity), tenaga pengerak
dan

259

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 255-263

luas jaring. Hasil analisis menunjukkan bahwa 3


komponen
utama
pertama
telah
dapat
menjelaskan 85 % varians data yang dianalisis.
Untuk keperluan penentuan formula standardisasi
upaya (day/trip) pukat cincin tuna meksiko, dipilih
satu komponen utama yang menjelaskan 66 %
varians data yang ada (Garcia & Victor, 1992).
Melalui persamaan yang diperoleh maka untuk
standardisasi upaya, dalam hal ini jumlah hari per
trip bagi setiap unit penangkapan dapat dilakukan.
Model persamaan yang diperoleh dapat diterapkan
untuk standardisasi armada yang telah ada
sebelumnya, maupun bagi armada baru yang
masuk sepanjang memiliki karakteristik yang
sesuai.
KESIMPULAN
Kajian stok sumberdaya ikan berbasis upaya
penangkapan armada pukat cincin yang bersifat
dinamis membutuhkan standardisasi upaya untuk
menghasilkan nilai/angka stok ikan yang akurat.
Analisis terhadap karakteristik armada pukat cincin
di Laut Jawa telah menghasilkan persamaan yang
dapat
dijadikan
sebagai
standar
upaya
penangkapan guna perhitungan stok ikan pelagis
kecil yaitu; Catch Per Unit Effort (CPUE) = 353,4 *
16,95.Ci dan Fishing Power Indeks (FP) = 1
+(16,59) * (353,4)-1. Ci.
PERSANTUNAN
Makalah ini merupakan salah satu hasil dari
kegiatan penelitian Standardisasi Upaya
Penangkapan (Fishing Effort) Armada Perikanan
Pelagis Kecil Di Laut Jawa, yang didanai oleh
Direktorat
Jenderal
Pendidikan
Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional melalui
Program Hibah Penelitian Bagi Peneliti Dan/Atau
Perekayasa, Tahun Anggaran 2009.

DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, S. B. & D. Nugroho. 2004. Pendugaan
hasil tangkapan lestari ikan pelagis di Laut
Jawa dan sekitarnya setelah penggunaan
lampu sorot sebagai taktik penangkapan
pukat cincin. In: Ngurah N. Wiadnyana,
Endang Sriyati & Dian Oktaviani. Prosiding
Hasil-hasil Riset. Pusat Riset Perikanan
Tangkap. Jakarta.
Garcia, S.O., & Victor, M. Gomes, 1992.
Standardization of Fishing Effort Using
Principlal Component Analysis of Vessel
Characteristic. Sci. Mar. 56 (1).
Muhamad, S. & Susilo, 1998. East Java
fishermens attitudes towards new fishing
technologies. In: Roch, J., S. Nurhakim, J.
Widodo & A. Purnomo (eds): Seminar
Sosekima. Proceedings of Socio-economics,
Innovation and Management of the Java Sea
Pelagic Fisheries. Bandungan, 4 7 December
1995. AARD/EEC/ ORSTOM.
Pielou, E.C., 1984. The interpretation of Ecological
Data. A Primer on Clasification and Ordination.
John Wiley & Sons, New York, 263 pp.
Potier, M., P. Petitgas & D. Petit, 1997.
Tentative relation between acoustics and
dynamics. A case study: The purse seine
fishery of the Java Sea. Proseeding of
Acoustics.
Seminar
Akustikan
2.
AARD/EEC/ORSTOM.
Sparre, P., E. Ursin & S.C. Venema. 1989.
Introduction to Tropical Fish Stock Assessment.
FAO Fisheries Technical Paper.

260

Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)

Lampiran 1.
Lampiran
1.

Kapal

Nilai Fishing Power Indeks (FPI), upaya penangkapan nominal dan upaya penangapan
terstandard (jumlah hari) kapal pukat cincin di Jawa.
Fishing Poser Index (FP), nominal effort and standardized effort (number of day) of the
java seiners

Ci

FP

Upaya
Sebelum Standarisasi
2006

2007

Upaya
Setelah Standarisasi

2008

2006

2007

2008

-9.511

0.544

203

198

298

110

108

162

-2.852

0.863

276

260

56

238

224

48

-4.617

0.779

308

-0.794

0.962

-7.944

56 0.619

-4.609

2.701

43

107

240

33

83

242

54

233

100

79

206

62

49

128

0.779

259

209

160

202

163

125

1.130

312

225

84

352

254

95

-3.727

0.821

226

289

120

186

237

99

-6.910

0.669

291

192

194

195

128

130

10

-5.831

0.720

113

64

71

81

46

51

11

1.298

1.062

232

269

164

246

286

174

12

1.494

1.072

220

82

77

236

88

13

-2.479

72 0.881

174

102

70

153

90

14

-11.008

80 0.472

110

318

168

52

150

79

15

-5.744

0.724

193

256

88

140

185

64

16

2.376

1.114

241

308

69

268

343

77

17

2.565

1.123

122

276

277

137

310

311

18

-6.409

0.693

180

56

44

125

39

19

0.973

63 1.047

319

84

259

334

88

20

-1.898

0.909

229

182

43

208

165

21

-9.331

47 0.552

257

43

142

22

-6.971

77 0.666

176

79

48

117

53

23

-6.649

72 0.681

103

170

306

70

116

208

24

-2.223

0.893

279

128

114

25

1.214

1.058

180

249 178

136

188

144

26

-1.860

0.911

190 81

276

74

251

10 1.225

9 168

261

206

320

67 0.238

114

82 179

56

43

13

269

190

210

247

27

4.690

28

-15.890

29

-4.560

0.781

306

27 243

30

-0.467

0.978

212

239 187

183

31

-7.728

0.629

213

207 93

55

59

35

32

-3.993

0.809

176

134 107

226

87

183

1.216

157

142 118

291

143

354

191 70

232

51

169

33

4.502

34

-5.681

0.728

35

-3.930

57 0.811

138

41 156

291

127

236

1.046

193

112 211

160

221

167

113

26

90

232

114

184

118

87

60

36

0.968

37

-4.258

0.796

128

202 33

38

-4.290

0.794

148

102 144

39

-3.397

0.837

134
104

72

112

261

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 255-263

40

12.199

1.585

84

83

80

133

132

41

-2.300

0.890

127 43

188

232

38

167

42

-2.004

0.904

206 82

86

110

74

78

43

2.997

1.144

99 244

163

193

279

186

44

2.200

1.106

221 244

163

241

270

180

45

1.793

1.086

266 281

199

122

305

216

46

-0.007

1.000

132 154

144

63

154

144

47

-4.828

0.768

63 278

253

247

214

194

48

-2.637

0.874

190 157

106

47

137

93

49

-2.409

0.884

41 293

376

147

259

333

50

1.119

1.054

130 220

224

211

232

236

51

3.430

1.165

222 288

306

279

335

356

52

1.552

1.074

325 244

221

48

262

237

53

9.513

1.456

52 290

300

180

422

437

54

6.852

1.329

262 174

278

231

369

55

6.916

1.332

0 195

211

10

260

281

56

5.466

1.262

13 288

241

65

364

304

57

0.961

1.046

82 100

67

67

105

70

58

0.925

1.044

70 236

154

114

246

161

59

-2.010

0.904

119 90

247

81

223

60

6.192

1.297

0 79

84

290

102

109

61

1.020

1.049

376 80

88

212

84

92

2.742

62

1.132

222 237

195

268

221

63

11.622

1.557

0 285

256

176

444

399

64

11.996

1.575

274 222

231

157

350

364

65

7.816

1.375

247 213

243

293

334

66

-0.278

0.987

0 146

216

176

144

213

67

-2.409

0.884

174 321

286

57

284

253

68

8.186

1.393

50 284

267

138

396

372

69

-2.786

0.866

192 224

96

193

194

83

70

-8.029

0.615

167 71

90

128

44

55

71

-2.338

0.888

79 309

162

43

274

144

72

-1.716

0.918

38 280

192

244

257

176

73

-0.939

0.955

224 401

220

281

383

210

74

-6.347

0.696

268 118

126

220

82

88

75

-6.347

0.696

153 282

173

196

120

4.700

76

1.225

0 174

88

244

213

108

77

11.492

1.551

299 311

208

290

482

323

78

-6.999

0.664

450 307

230

174

204

153

79

-3.931

0.811

116 86

84

100

70

68

80

-10.255

0.508

81 56

69

28

35

81

8.117

1.389

0 34

154

149

47

214

82

-7.515

0.640

207 89

71

25

57

45

83

2.891

1.139

16 89

347

80

101

395

84

-3.005

0.856

91 105

84

213

90

72

85

-3.879

0.814

182 214

168

146

174

137

86

5.168

1.248

119
34

88

42

110

262

Standardisasi Upaya Penangkapan Pukat Cincin di Laut Jawa (Mahiswara, et al.)

87

-2.887

0.862

63

69

284

54

59

245

88

-3.369

0.838

333

277

224

279

232

89

11.382

1.546

188 146

56

71

226

87

90

5.928

1.284

110 150

182

85

193

234

91

7.506

1.360

109 168

193

108

228

262

92

12.546

1.602

147 58

50

260

93

80

93

11.554

1.554

416 134

310

228

208

482

94

-5.462

0.738

354 54

54

43

40

40

95

11.818

1.567

32 177

185

242

277

290

96

-3.683

0.823

379 314

228

223

259

188

97

-3.640

0.825

184 314

267

289

259

220

98

12.371

1.593

239 272

221

433

352

99

-6.611

0.683

0 294

298

143

201

204

100

12.965

98 122

282

87

198

457

1.622 101

1.718

141 237

248

318

257

268

1.082 102

3.997

344 293

329

256

237

266

0.808 103

0.139

207 188

108

308

189

109

1.007 104

4.916

310 306

298

276

378

368

1.236 105

4.752

341 100

76

180

123

93

1.228 106

-0.702

221 286

266

319

276

257

0.966 107

-0.677

308 143

167

229

138

162

0.968 108

1.332

222 312

241

260

332

256

1.064 109

-9.581

277 57

82

257

31

44

0.540 110

-4.041

139 192

404

128

155

326

0.806 111

1.782

103 204

111

178

221

120

1.085 112

9.143

193 312

185

81

449

266

1.439
113

12.682

1.608

117
87

107

70

140

172

113

263

Pengaruh Episode La Nina dan El Nino yang Didaratkan di Pantai Utara Jawa (Kasim K., et al.)

PENGARUH EPISODE LA NINA DAN EL NINO TERHADAP


PRODUKSI BEBERAPA PELAGIS KECIL YANG DIDARATKAN DI
PANTAI UTARA JAWA
Kamaluddin Kasim , Agustinus Anung Widodo, dan Andhika Prima Prasetyo
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
Teregistrasi I tanggal: 11 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 21 Juli 2011;
Disetujui terbit tanggal: 30 September 2011

ABSTRAK
Sumberdaya ikan pelagis di Laut Jawa telah dimanfaatkan secara intensif sejak
dekade tahun 1980-an dan merupakan kegiatan perikanan utama di Indonesia. Beberapa
famili ikan pelagis dominan yang tertangkap diantaranya dari famili Clupeidae,
Carangidae dan Scombridae. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh periode
La Nina dan El Nino terhadap produksi beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap di
Pantai Utara Jawa. Penelitian dilakukan selama bulan April sampai dengan
September 2010 dengan mengumpulkan data pendaratan ikan melalui enumerator di
beberapa lokasi pendaratan ikan yakni PPN Pekalongan; PPI Bajomulyo II dan Bajomulyo
I Juwana; serta PPI Rembang. Data Southern Oscilation Indiex (SOI) diperoleh dari
situs resmi Badan Metereologi pemerintah Australia. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa puncak produksi ikan layang, banyar dan tongkol yang didaratkan di Pantai
Utara Jawa relatif lebih panjang pada periode La Nina dibandingkan pada periode El
Nino. Rata-rata produksi ikan selar berbeda nyata (P<0,05) antara periode El Nino dan
Periode La Nina sedangkan jenis layang, banyar dan tongkol tidak berbeda nyata
(P>0,05).
KATA KUNCI : La Nina, El Nino, ikan pelagis, produksi, utara Jawa
ABSTRACT:

Effect of La Nina and El Nino periodes to the production of some


pelagic fish landed in the North Coast of Java. By : Kalaluddin
Kasim, Agustinus Anung Widodo and Andhika Prima Prasetyo

Pelagic fish resources in the Northern Coast of Java has been exploited since early
1980s as the most intensive fishery in Indonesia. Several families of pelagic fish that
commonly exploited in Java Sea are Clupeidae, Carangidae, and Scombridae. The study
was conducted from March to September 2010 by compiling fish landing data from field
enumerators in the several fish landing locations such as PPN Pekalongan, PPI
bajomulyo I and Bajomulyo II at Juwana, and PPI Rembang. The Current work aims to
determine the production of small pelagic fishery affected by El Nino or La Nina
evidence. Southern Oscillation Index (SOI) parameter was used as an indicator of
climate change parameter. The results show that the peak of season production of
russels scad (Decapterus russelli), indian mackerel (Rastrelliger kanagurta), and frigate
mackerel (Auxis thazard) were more longer during the periode of La Nina than those of
the periode of El Nino. Average production values of yellowstrip trevally (Selaroides
leptolepis) were significantly different during La Nina periodes compared to El Nino
periodes (P<0,05) while russels scad, indian mackerel, and frigate mackerel did not
show significantly different.
KEYWORDS: La Nina; El Nino; small pelagic, production; north coast of Java
PENDAHULUAN
Produksi perikanan pelagis di Indonesia
sebagian besar didaratkan di Pantai Utara Jawa
dan telah dieksploitasi secara intensif pada awal
dekade tahun 1980 an sejak diperkenalkannya
mekanisasi alat-alat penangkapan ikan dan
penggunaan alat tangkap purse

seine. Durand et al. (2003) berpendapat bahwa


dengan kondisi wilayah perairan yang relatif
dangkal dan masih mendapat pengaruh daratan,
maka perairan di sekitar Pantai Utara Jawa
memiliki potensi perikanan pelagis yang besar.
Ikan-ikan pelagis cenderung banyak ditemukan di
perairan dangkal yang masih mendapat pengaruh
daratan, dimana tingkat

___________________
Korespondensi penulis:
Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail: rccf_office@indo.net.id

265

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 265-272

kesuburan perairan yang tinggi sebagai penyedia


sumber makanan.
Menurut Widodo, (2003) beberapa jenis ikan
pelagis kecil yang dominan ditangkap di perairan
Laut Jawa antara lain banyar (Rastrelliger
kanagurta), layang (Decapterus russeli), selar
(Selaroides leptolepis) dan bentong (Selar
crumenopthalmus). Ditambahkan oleh Atmaja et
al,(2003) bahwa sumber daya ikan-ikan pelagis
kecil di perairan Laut Jawa telah dieksploitasi
sejak tahun 1980-an dimana sejak munculnya alat
tangkap purse seine, eksploitasi menjadi
semakin intensif dan berpengaruh terhadap
perubahan komposisi jenis ikan yang tertangkap
dan bergesernya area fishing ground.
Perubahan iklim telah nyata berimplikasi pada
ancaman ketersediaan dan keberlangsungan
sumber daya. Menurut Cochrane, (2009),
perubahan iklim dapat berdampak terhadap
perubahan
musiman proses-proses biologi
organisme perairan, merubah rantai makanan,
sehingga berdampak pada sulitnya memperkirakan
produksi sumber daya ikan. Studi tentang
dampak ekologi perubahan iklim terhadap
perikanan telah dilakukan Barange, (2009) yang
menggambarkan
bahwa
ikan-ikan
pelagis
mengalami perubahan tingkah laku dengan
kecenderungan menjauhi permukaan perairan
yang cenderung menghangat. Beberapa
teori
sebagaimana yang dikemukakan oleh Cushing
dalam Barange, (2009) yang dikenal dengan
teori
match-mismatch hypothesis
untuk
proses
recruitment
organisme
perairan
menjelaskan
bahwa
terdapat
kemungkinan
ketidaksesuaian tersedianya makanan dan larva
ikan pada waktu bersamaan. Match and mismatch
antara larva dan makanan tersebut sangat
dipengaruhi oleh proses-proses fisika perairan
yang selanjutnya proses fisika ini sangat pula
ditentukan oleh variabilitas iklim.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan
antara lain oleh Hendiarti et al. (2005) yang
menjelaskan variasi musiman ikan pelagis di Laut
Jawa namun tidak menggambarkan pengaruh
variabilitas iklim seperti El Nino dan La Nina.
Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh
Widjopriono, (2001) lebih banyak membahas
mengenai musim penangkapan beberapa pelagis
kecil namun data yang disajikan dalam rentang
tahun yang sempit. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh periode La Nina dan El
Nino terhadap produksi ikan pelagis kecil yang
didaratkan di Pantai Utara Jawa sejak tahun 1996
sampai dengan tahun 2010. Merujuk pada hasilhasil
penelitian
yang
telah
dilakukan
sebelumnya,
informasi
tentang pengaruh

perubahan variabilitas iklim La Nina dan El Nino terhadap


produksi sumber daya perikanan pelagis di Indonesia
khususnya di Pantai Utara Jawa sebagai

lokasi pendaratan ikan pelagis terbesar di


Indonesia, masih belum tersedia. Informasi
tentang hal ini sangat penting untuk diketahui
sebagai langkah awal dalam mitigasi
perubahan iklim dalam kaitannya terhadap
kegiatan perikanan pelagis.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan melalui survei
lapangan selama periode Mei, Juni, dan
Agustus tahun 2010 di beberapa lokasi
pendaratan
ikan
yakni
Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
(PPN)
Pekalongan, PPI Bajomulyo II dan
Bajomulyo I Juwana; dan PPI Rembang.
Cakupan lokasi penelitian meliputi wilayah
operasi kapal penangkapan purse seine di
sepanjang Pantai Utara Jawa yang menjadi
lokasi pendaratan hasil tangkapan (Gambar
1).
Informasi mengenai daerah penangkapan
(fishing ground) dan data teknis kapal
diperoleh melalui nakhoda kapal. Data
harian jumlah ikan yang didaratkan
diperoleh dengan mencatat langsung dari
kapal purse seine yang bersandar dan
membongkar muatan untuk selanjutnya

266

diverifikasi dengan data yang telah dikumpulkan


sebelumnya oleh para enumerator lapangan di
masing-masing PPI. Data pendaratan ikan oleh
enumerator diperoleh sejak tahun 1996 sampai
dengan tahun 2010. Data statistik perikanan tahun
1996 sampai dengan 2008 juga digunakan
sebagai data pendukung. Data enumerator yang
dikumpulkan antara lain data produksi bulanan,
daerah penangkapan, komposisi hasil tangkapan,
dan upaya penangkapan oleh kapal purse seine.
Data lainnya berupa informasi tentang SOI
(southern oscillation index) didapatkan dari Biro
Metereologi Pemerintah Australia.
SOI adalah nilai indeks yang menyatakan
perbedaan Tekanan Permukaan Laut (SLP) antara
Tahiti dan Darwin-Australia, yang secara
matematika dirumuskan sebagai berikut:
SOI 10.

(
(SD(P

ddiffav

....................................

1)
dimana:
P
= selisih antara rata-rata satu bulan SLP
Tahiti dan rata-rata SLP Darwin;
P
= rata-rata jangka panjang Pdiff di bulan
yang dimaksud;
SD
= Standar Deviasi jangka panjang dari
Pdiff di bulan yang dimaksud,

Pengaruh Episode La Nina dan El Nino yang Didaratkan di Pantai Utara Jawa (Kasim K., et al.)

Data produksi bulanan selama periode 1996


sampai dengan 2009 untuk spesies banyar
(Rastrelliger kanagurta), layang (Decapterus
russeli), selar (Selaroides leptolepis), dan tongkol
(Auxis
sp)
kemudian
diplot
mengikuti
pengelompokan data SOI, Apabila SOI yang
diperoleh bernilai negatif maka

terindikasi sebagai periode El Nino dan sebaliknya,


nilai SOI positif mengindikasikan terjadinya
periode La Nina.
Analisis
data
dilakukan dengan menggunakan Uji MannWhitney test melalui software SPSS ver 14 pada
selang kepercayaan 95%.

Lokasi Penelitian

Gambar 1.

Figure 1.

Peta lokasi kegiatan penelitian


Range of survey location

Sumber :

Laporan akhir dampak pada perikanan pelagis dalam kaitannya


dengan perubahan dalam tahun 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan data Southern Oscilation Indiex
(SOI), maka berturut-turut tahun 1996, 1999, 2001,
2007, dan 2008 dikategorikan sebagai fase La
Nina dengan nilai index rata-rata masing-masing
sebesar positif 5,69, 7,95, 7,80, 0,52, 1,45,
dan 10,16, Sedangkan tahun 1997, 1998, 2000,
2002, 2003, 2004, 2005, 2006, dan 2009
dikategorikan sebagai fase El Nino. Nilai SOI
dihitung berdasarkan fluktuasi bulanan perbedaan
tekanan udara antara Tahiti dan Darwin. Nilai
negatif SOI mengindikasikan episode El Nino,
sedangkan
nilai
positif
mengindikasikan
terjadinya episode La Nina (Tabel 1).

Nilai negatif SOI sering diikuti oleh suhu


perairan laut yang hangat di bagian timur dan
tengah Samudera Pasifik, rendahnya pergantian
angin di daerah tersebut dan berkurangnya curah
hujan sepanjang bagian timur dan selatan
Australia. Periode El Nino yang berdampak
luas tercatat terjadi pada tahun 1997 sampai
dengan tahun 1998 dimana menyebabkan
terjadinya kemarau panjang di sebagian besar
wilayah Indonesia. Sedangkan nilai SOI positif
menggambarkan periode La Nina yang ditandai
dengan pertukaran angin di wilayah Pasifik
cenderung lebih kuat, suhu laut di bagian utara
Australia cenderung hangat namun bersamaan
dengan itu massa air di wilayah timur dan tengah
Samudera Pasifik cenderung lebih dingin.
Akibatnya, bagian timur dan utara Australia terjadi
curah hujan yang lebih tinggi dari keadaan normal.

267
Tab
el 1.
Tab
el 1.

Pengelompokan tahun berdasarkan nilai


SOI untuk menentukan episode La Nina
dan El Nino. Grouping years based on SOI
values to determine La Nina and El Nino
episode.

Nilai SOI Bulanan Setiap Tahun


19
6
Jan
8,4 Feb

1,1 Mar
7,8 May
Jun

13,9 Jul
6,8 Aug
4,6 Sep
6,9 Oct
4,2

Nov

-0,1 Dec
7,2
rataan
5,692

2,4 -24,1 -9,5


-19,8 -14,8 -17,8
-15,2 -9,1
-11,667
El Nino

1998

-0,4
9,9 10,9

1999

9,1

2000

2001

2002

8,9

2,7 11,9

7,7 6,7

-5,2 0,3

-3,8 -9

-14,5 1,8

9,7 12,5

-23,5

13,1

15,6

22,4 13,3

5,1 -19,2

12,8

8,6

12,9 -28,5

6,2 Apr
1,3

1
9
9
7

8,9

9,4 -24,4

7,7
-1,083
7,950
7,800
El Nino

18,5

16,8 0,5

La Nina

1,3

La Nina

3,6 9,9

L
a

-5,5 14,6

4,8

N
i
n
a

-3,7 9,8

2,1

5,3 11,1

-6,3 -3
-8,9

-14,6 1,4

-7,4 7,2
0,525
La Nina

-6,100
El Nino

-6 -9,1

-7,6
-7,6 -1,9
-10,6

2003
2004
-2
-11,6 -7,4
8,6 -6,8
0,2 -5,5

2
0
0
5
2
0
0
6
2
0
0
7

-15,4 -7,4

13,1

,
-12

-14,4 2,9

,
-

-6,9

-15,9

4
0

2,7
-

3,9

-5,1

1,5

10,9
-15,3

5,4

-2,7

-1,4

9,8

0,6

-3

14,4

-2,8 -1,9

-3,7 -3,4

El

-4,3

-7,6 -2,2

-8,9

-3,142
4,817
El Nino
Nino

5 0,9

1
-

-8

-6,9 -1,8

-9,3 9,8

5,5

SOI
: Southern Oscillation Index
Sumber : Australian Government Beareu of Metereology

-3,625
El Nino

-1,925
El Nino

1,450
La Nina

Pengaruh Episode La Nina dan El Nino yang Didaratkan di Pantai Utara Jawa (Kasim K., et al.)

Hasil penelitian dan analisis data yang telah


dilakukan terhadap hasil produksi beberapa jenis
ikan pelagis yang didaratkan seperti layang
(Decapterus russeli), selar (Selaroides leptolepis),
tongkol (Auxis thazard), dan banyar (Rastrelliger
kanagurta) di Pantai Utara Jawa selama periode El
Nino dan periode La Nina menunjukkan bahwa
telah
terjadi
perbedaan
puncak
musim
penangkapan dan terjadinya fluktuasi produksi.
Menurut Hendiartiet al.(2005), terdapat dua musim
puncak penangkapan yang terjadi di Laut Jawa
sepanjang tahun yakni maksimum penangkapan
terjadi pada September sampai dengan November
sedangkan puncak minimum penangkapan terjadi
pada Maret sampai dengan April. Pendapat yang
sama juga dikemukakan oleh Wijopriono, (2001)
yang menyatakan bahwa terdapat dua musim
puncak penangkapan ikan pelagis di Pantai Utara
Jawa yakni antara bulan Maret sampai dengan
April dan Oktober sampai dengan Nopember.
Menurut Gambar 2, diketahui bahwa pada
periode La Nina, puncak musim penangkapan
ikan layang terjadi pada bulan September

sedangkan pada periode El Nino puncak musim


penangkapan terjadi bulan Agustus. Fenomena ini
menggambarkan dua puncak musim penangkapan

ikan layang yang berbeda antara periode La Nina


dan periode El Nino. Musim penangkapan ikan
layang relatif lebih lama satu bulan pada periode La
Nina dibandingkan dengan puncak musim
penangkapan pada periode El Nino.

Gambar 2.

Figure 2.

Perbedaaan musim puncak


penangkapan
ikan
Layang
(Decapterus russeli) yang terjadi di
perairan Laut Jawa selama episode
La Nina dan El Nino.
Different seasonal catch of russels

scad (Decapterus russeli) during El


Nino and La Nina Episodes in the
Java Sea.

Perbedaan puncak musim penangkapan diduga


dipengaruhi oleh perubahan perilaku sumber daya
ikan itu sendiri, dimana faktor ketersediaan
makanan

diduga ikut mempengaruhi. McKinnon et al. (2008)


melaporkan bahwa telah terjadi perubahan struktur
komunitas kopepoda yang disebabkan oleh
pengaruh El Nino dan La Nina di wilayah Barat
Laut Cape Samudera Hindia. Blanchot et al. (1991)
melaporkan bahwa pada fase setelah terjadinya El
Nino di wilayah Samudera Pasifik sebelah barat,
mengakibatkan meningkatnya populasi fitoplankton
dan melimpahnya klorofil pada lapisan permukaan
perairan.
Perubahan iklim juga berdampak langsung
terhadap perilaku penangkapan oleh nelayan,
dimana pola musim yang tidak menentu akan
berakibat pada fluktuasi produksi dan perubahan
musim puncak penangkapan. Dalam kegiatan
perikanan, salah satu pengaruh perubahan iklim
dapat terlihat dengan jelas pada pola perubahan
puncak musim penangkapan dan selanjutnya
berpengaruh pada fluktuasi produksi.
Hasil uji Mann-Whitney test terhadap nilai
produksi ikan layang antara Periode El Nino dan
Periode La Nina tidak berbeda nyata (P>0,05).
Meskipun demikian, menurut Gambar 2 dapat
terlihat bahwa produksi ikan layang yang
didaratkan di Pantai Utara Jawa cenderung lebih
rendah pada periode El Nino dibandingkan
dengan produksi ikan layang pada periode La
Nina.
Hasil uji t menunjukkan bahwa produksi ikan
layang yang didaratkan di Pantai Utara Jawa
selama bulan September pada periode La Nina
berbeda secara signifikan terhadap produksi pada
bulan Agustus dalam periode El Nino. Hal ini
berarti bahwa terjadi perbedaan produksi ikan
layang selama periode La Nina dan El Nino
dimana puncak produksi ikan layang untuk
periode La Nina terjadi pada September
sedangkan puncak produksi ikan layang untuk
periode El Nino terjadi pada Agustus.
Nilai produksi ikan Selar (Selaroides leptolepis)
selama periode La Nina dan El Nino digambarkan
dalam bentuk grafik pada Gambar 3. Terlihat
bahwa produksi ikan Selar yang didaratkan di
Pantai Utara Jawa mengalami fluktuasi musiman
sepanjang tahun selama periode El Nino dan La
Nina. Fluktuasi nilai produksi antara periode El
Nino dan periode La Nina terlihat berbeda nyata.
Produksi ikan Selar di bulan Mei pada periode El
Nino cenderung menurun, namun sebaliknya, pada
periode La Nina, produksi ikan selar justru
mengalami peningkatan. Pada Juni, produksi
semakin meningkat semasa periode El Nino,
namun justru menurun signifikan dalam periode
La Nina. Fenomena ini menggambarkan bahwa
nilai produksi ikan selar mengalami fluktuasi yang
sangat berbeda antara periode El Nino dan
periode La Nina. Dapat pula dikemukakan bahwa

pada bulan yang sama, jika

269

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 265-272

nilai produksi ikan selar meningkat pada periode


La Nina, maka sebaliknya akan menurun pada
periode El Nino.

(2000) mengemukakan bahwa larva ikan pelagis


Engraulis mordax cenderung terkonsentrasi pada
perairan yang lebih dingin dimana kelimpahan
jenis ikan tersebut juga meningkat pada periode El
Nino yang disebabkan oleh meningkatnya proses
upwelling selama periode El Nino di wilayah Teluk
California.

Hasil analisis uji Mann whitney menunjukkan


bahwa nilai produksi ikan selar berbeda secara
sangat nyata antara periode La Nina dan periode
El Nino. Hal ini menunjukkan bahwa periode El
Nino dan La Nina memberikan pengaruh secara
sangat nyata terhadap fluktuasi nilai produksi
ikan selar yang didaratkan di Pantai Utara Jawa.
Gambar 3.

Figure 3.

Grafik
produksi
yang
mengindikasikan
pergeseran
musim puncak
penangkapan
ikan Selar (Selaroides leptolepis)
yang terjadi di perairan Laut Jawa
selama periode La Nina dan El
Nino.
Different seasonal catch of
yellowstrip trevally (Selaroides
leptolepis) during El Nino and La
Nina Episodes in the Java Sea.

Secara umum terlihat bahwa nilai produksi ikan


selar yang didaratkan pada periode La Nina relati
lebih besar dibandingkan dengan produksi ikan
yang didaratkan pada periode El Nino. Pamela

Puncak musim penangkapan ikan tongkol pada


periode La Nina juga berbeda dengan puncak
musim penangkapan pada periode El Nino
(Gambar 4). Pada periode El Nino, puncak musim
terjadi pada bulan Oktober, sedangkan pada
periode La Nina cenderung terjadi pada bulan
November. Hal ini berarti pula bahwa terjadi
pergeseran musim penangkapan sebulan lebih awal
pada periode El Nino. Nilai produksi ikan yang
didaratkan cenderung lebih tinggi pada periode La
Nina jika dibandingkan dengan periode El
Nino sebagaimana yang digambarkan pada
Gambar 4.
(2001)
melaporkan
bahwa
jumlah
spesies
kopepoda mengalami peningkatan secara signifikan
pada masa El Nino namun total kelimpahan kopepoda
jauh lebih besar selama periode non El Nino di Lepas

Pantai Utara Perairan Chile selama tahun 1997


dan 1998. Kopepoda
merupakan
jenis
zooplankton yang memegang peranan penting
dalam
daur
rantai
makanan
antara
phytoplankton sebagai produsen primer dan ikan
sebagai konsumer pada rantai makanan
perairan laut.
Selain dugaan pengaruh El Nino dan La Nina
terhadap kelimpahan makanan, faktor lain yang
diduga menjadi penyebab fluktuasi produksi ikan
pelagis adalah kemungkinan gagalnya proses
recruitment sebagai akibat dari gagalnya fase
larva untuk untuk menjadi populasi ikan dewasa.
Hasil penelitian Velaso

270

Meskipun demikian, hasil uji Mann-Whitney test


menunjukkan bahwa produksi bulanan ikan
tongkol yang didaratkan di Pantai Utara Jawa
antara Periode La Nina dan Periode El Nino tidak
berbeda nyata (P>0.05).
Fenomena musim produksi pendaratan ikan
tongkol di Pantai Utara Jawa yang lebih panjang
pada periode La Nina dibandingkan dengan
periode El Nino diduga dipengaruhi pula oleh
distribusi kelimpahan makanan ikan itu sendiri.
Kelimpahan makanan sangat dipengaruhi oleh
variabilitas sifat fisika dan kimia perairan laut
dimana faktor ini juga sangat dipengaruhi oleh
anomali iklim seperti El Nino dan La Nina. Hal ini
sependapat
dengan
Raskoff
(2001)
yang
menyatakan
bahwa
terjadinya
El
Nino
berhubungan dengan perubahan sifat fisika
perairan samudera yang berdampak pada
distribusi,
kelimpahan,
pertumbuhan
dan
reproduksi organisme laut.

Pengaruh Episode La Nina dan El Nino yang Didaratkan di Pantai Utara Jawa (Kasim K., et al.)

Gambar 4.

Figure 4.

Pergeseran puncak musim


penangkapan ikan tongkol (Auxis
thazard) yang terjadi di perairan
Laut Jawa selama episode La
Nina dan El Nino
Different seasonal catch of frigate
mackerel (Auxis thazard) during
El Nino and La Nina Episodes in
the Java Sea.

Jenis ikan pelagis lainnya yang mengalami


pergeseran puncak musim penangkapan adalah
ikan banyar (Rastrelliger kanagurta) sebagaimana
yang di sajikan pada Gambar 5. Musim
penangkapan ikan banyar pada periode El Nino
terjadi pada bulan Agustus sampai dengan
Oktober, dimana puncak musim penangkapan
terjadi pada bulan September. Sementara itu
pada periode La Nina, musim penangkapan
cenderung terjadi hampir sepanjang tahun namun
puncak musim terjadi pada bulan Agustus.
Dengan demikian, telah terjadi pergeseran puncak
musim penangkapan ikan banyar yang
cenderung terjadi pada Agustus sampai dengan
September.
Meskipun produksi ikan banyar (Rastrelliger
kanagurta) cenderung lebih tinggi pada periode El
Nino dibandingkan dengan periode La Nina, hasil
uji Mann-Whitney test mengindikasikan bahwa
nilai produksi tersebut tidak berbeda nyata antara
Periode El Nino dan Periode La Nina (P>0,05).
KESIMPULAN
Telah terjadi perubahan puncak musim
penangkapan beberapa jenis ikan pelagis seperti
layang, banyar, selar dan, tongkol yang didaratkan
di Pelabuhan Pantai Utara Jawa selama Periode El
Nino dan La Nina. Musim penangkapan sepanjang
tahun untuk jenis layang, banyar dan tongkol
cenderung berdurasi
lebih
lama
pada
periode La Nina dibandingkan selama periode
El Nino.

Gambar 5.

Figure 5.

Pergeseran musim puncak


penangkapan
ikan
banyar
(Rastrelliger kanagurta) yang
didaratkan di Pantai Utara Jawa
selama episode La Nina dan El
Nino. Different seasonal catch of
indian
mackerel
(Rastrelliger
kanagurta) during El Nino and La
Nina Episodes in the Java Sea.

Rata-rata produksi ikan selar yang didaratkan di


Pantai Utara Jawa berbeda nyata antara periode
La Nina dan periode El Nino, sedangkan nilai
produksi untuk jenis ikan layang, banyar, dan
tongkol tidak berbeda nyata antara periode La
Nina dan periode El Nino.
PERSANTUNAN
Kegiatan dari dampak pada perikanan
kaitannya terhadap perubahan iklim, T.A 2010,
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan
Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI).
Ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat
Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi
Sumberdaya Ikan atas dukungan yang diberikan
selama ini serta rekan-rekan peneliti lingkup
P4KSI.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, S.B., Sadhotomo B., & Suwarso. 2003.
Reproduction of main small pelagic species.
Biodynex. Ecology, Dinamics, Exploitatio, of the
small pelagic fishes in the Java Sea.
Australian Government Beaureu of Metereology.
2011. Climate Glosary.
http://www.bom.gov.au/climate/glossary/soi.shtml
. Diakses tanggal 20 Maret 2011.

271

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 265-272

Barange, M., Ian Perry. 2009. Physical and


Ecological Impacts of Climate Change Relevant
to Marine and Inland Capture Fisheries and
Aquaculture. FAO Fisheries and Aquaculture
Technical Paper. Climate Change Implication
for Fisheries and Aquaculture. Overview of
Current Scientific Knowledge. Rome

Pamela, H., & R. Escribano. 2001. Hydrobiologia.


Succession of Copepod Species in Coastal
Waters Off Northern Chile: The Influence of
The
1997-98
El
Nino.
Copepoda:
Developments
in
Ecology,
Biology,
&
Sistematics. Kluwer Academic Publisher.
Netherland.

Blanchot, J., M. Rodier, A. L. Boutellier. 1991.


Effect of El Nio Southern Oscillation events
on the distribution and abundance of
phytoplankton in the Western Pacific Tropical
Ocean along 165E . Journal of Plankton
Research.
http://
plankt.oxfordjournals.org/content/14/1/137.short.
Diakses tangal 20 Juli 2011.

Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan


Konservasi SDI. 2011. Dampak Pada
Perikanan Pelagis Dalam Kaitannya dengan
Perubahan
Iklim.
Laporan
Akhir.
Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jakarta. 3 pp.

Cochrane, K., Cassandra De Young, Doris Soto, &


Tarub Bahri. 2009. FAO Fisheries and
Aquaculture Technical Paper. Climate Change
Implication for Fisheries and Aquaculture.
Overview of Current Scientific Knowledge.
Rome.
Durand, J.R., D. Petit. 2003. The Java Sea
Environment. Reproduction of main small
pelagic species. Biodynex. Ecology, Dinamics,
Exploitatio, of the small pelagic fishes in the
Java Sea. Ministry of Agriculture Agency for
Agriculture Research and Development.
Hendiarti N., Suwarso, et. al. 2005. Seasonal
Variation of Pelagic Fish Catch Around Java.
Oceanography, a Quarterly. Journal of
Oceanography Society. Rockville. USA. 18 (4).
McKinnon, A.D., Samantha D., John H. Carleton.,
& Ruth B. Shnack. 2008. Summer
Planktonic Copepod Communities of
Australias North West Cape (Indan Ocean)
During the 1997-99 El Nino/ La Nina. Journal
of Plankton Research. 30 (7). 839-855.

Raskoff K. A., 2001. The Impacts of El Nino


Events on Populations of Mesopelagic
Hidromedusae. Hydrobiologia 451. Kluwer
Academic Publishers. Netherland. 121-129.
Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2008.
2009. Direktorat
Jenderal
Perikanan
Tangkap.
Departemen
Kelautan
dan
Perikanan. ISSN :1858-0505. Jakarta.
Velaso, L.S., B. Shirasago, M. A. C. Mata, and C.
A. Garcia. 2000. Spatial Distribution of Small
Pelagic Larvae in The Gulf of California and Its
Relation To The El Nino 1997-1998. Short
Comminication. Journal of Plankton Research.
22. 1611-1818.
Wijopriono & A. Samad Genisa. 2001. Perikanan
Pelagis Diperairan Pantai Utara Pekalongan
Jawa Tengah.
Widodo, J & Burhanuddin. 2003. Systematics of
The Small Pelagic Fish Species. Biodynex.
Ecology, Dinamics, Exploitatio, of the small
pelagic fishes in the Java Sea.

272

Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)

HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS) PADA PERIKANAN


RAWAI TUNA DI SAMUDERA PASIFIK
Agustinus Anung Widodo, Budi Iskandar Prisantoso dan R Thomas Mahulette
Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta
Teregistrasi I tanggal: 28 Juli 2011 ; Diterima setelah perbaikan tanggal: 12 Agustus 2011
Disetujui terbit tanggal: 30 September 2011

ABSTRAK
Masalah umum yang dihadapi dalam operasi penangkapan ikan terhadap sumberdaya yang
sifatnya multi spesies dan multi-cohort di daerah tropis adalah diperolehnya hasil tangkapan
bukan spesies target yang biasa disebut hasil tangkap samping (HTS) atau by-catch. Saat ini
informasi mengenai HTS pada perikanan rawai tuna di Indonesia yang beroperasi di Samudera
Pasifik masih terbatas. Disisi lain informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka
pelaksanaan pengelelolaan sumberdaya tuna yang memadai. Penelitian yang bertujuan untuk
mendapatkan infomasi tentang HTS pada perikanan rawai tuna di Samudera Pasifik dilakukan
di Bitung bulan Mei sampai Juli 2010. Penelitian dilakukan dengan dua cara yaitu melalui
pengambilan contoh di pusat pendaratan armada rawai tuna (port sampling) dan observer di
kapal rawai tuna (onboard observer). Port sampling dilakukan setiap hari pada minngu keempat
selama bulan Mei sampai Oktober 2010. Onboard observer dilakukan sebanyak dua trip operasi
penangkapan rawai tuna. Data yang dikumpulkan meliputi aspek operasional rawai tuna, jenis
ikan HTS dan ukuran panjang cagak ikan HTS. Hasil riset menunjukkan bahwa rata-rata laju
pancing HTS selama Mei sampai Oktober 2010 adalah 19,6 kg/100 mata pancing per tawur.
Sebanyak 16 spesies HTS rawai tuna dapat diidentifikasi yang didominasi oleh ikan setuhuk
hitam atau black marlin (Makaira indica). Ukuran low jaw fork length (LJFL) ikan ikan setuhuk
hitam dan ikan meka secara berturut-turut adalah 97-198 cm (modus 141-160 cm), 94-241 cm
(modus 161-180 cm) dan ukuran fork length ikan tikusan adalah 96-190 cm (modus 121-140
cm).
KATA KUNCI
:
ABSTRACT :

hasil tangkapan sampingan, rawai tuna, Samudera Pasifik


Bycatch of tuna long line fishery in Pacific Ocean, By : Agustinus Anung
Widodo, Budi Iskandar Prisantoso and Thomas Mahulette.

The common fishing operation problematic in tropical waters which characterized by multispecies and multi-cohort resource is the numbers of bycatch exploited. Currently, the
information of bycatch in the longline fishery especially operated in the Pacific Ocean is limited.
On the other hand, this information is necessary for the implementation tuna fisheries
management framework. The objective of this research is to collate the information of Pacific
tuna longline bycatch landed in Bitung during the period of May until July 2010. Research
conducted in two ways i.e. through port sampling at the central landing of tuna longline and
observer onboard. Port sampling was conducted in the forth week during May until October
2010, whilst observer onboard was conducted in two trips within that period. Data collected
consists of operational aspects of tuna longliners, species composition of bycatch and its fork
length. Results of this research showed that the average of hook rate during the period of
May-October 2010 was 19.10 kg/100 hooks per set. Sixteen species of tuna longline bycatch
have been identified and showed that black marlin (Makaira indica) was predominant. Size of
Low Jaw Fork Length (LJFL) of black marlin, swordfish and thresher shark were 97-198 cm
(mode 141-160 cm), 94-241 cm (mode 161-180 cm) and 96-190 cm (121-140 cm) respectively.
KEYWORD :

bycatch, tuna long line, Pacific Ocean

PENDAHULUAN
Asosiasi antar spesies ikan pada area
penangkapan (fishing ground) yang sama
merupakan ciri menonjol sumber daya perikanan di
perairan tropis, seperti yang terjadi di perairan
Indonesia. Pada umumnya berbagai jenis ikan
membentuk kelompok
___________________
Korespondensi penulis:

yang biasa disebut fish schoaling. Hal tersebut


diindikasikan pada hasil tangkapan pukat cincin
yang dioperasikan di perairan Indonesia. Sebagai
contoh, pukat cincin tuna di Samudera Pasifik
terutama ditujukan untuk menangkap ikan
cakalang. Kenyataan menunjukkan bahwa pukat
cincin tersebut juga menangkap spesies ikan
rainbow runner,

Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) 64711940, Fax. (021) 6402640, E-mail: rccf_office@indo.net.id

273

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284

mahimahi, ocean triggerfish, mackerel scad, and


silky shark sebagai bycatch (Coan et al., 2000).
Hasil tangkap sampingan (HTS) atau bycatch
dapat diartikan sebagai ikan hasil tangkapan non
target pada suatu perikanan tangkap tertentu
(Pauly, 1984 ; Alverson et al, 1994). Ikan non
target dapat berupa bukan spesies tujuan atau
spesies tujuan tapi ukurannya di bawah standar
yang diinginkan yaitu berupa ikan muda atau
yuwana. Ikan cucut, pari, setuhuk, layaran, dan
mahi-mahi sering tertangkap sebagai HTS rawai
tuna. Pada perikanan pukat cincin tuna tertangkap
ikan-ikan tuna muda (baby tuna). Saville, (1980)
dalam Pascoe, (1997) mengatakan bahwa
dampak dari tertangkapnya yuwana atau ikan
muda sebagai HTS mengakibatkan terjadinya
penurunan populasi ikan. Akibat selanjutnya
adalah hilangnya pendapatan nelayan di masa
mendatang.
Sejauh ini, penelitian terkait HTS banyak
dilakukan pada perikanan demersal, khususnya
perikanan trawl udang (Hall et al.,2005). Aspek
lingkungan, biologi maupun ekonomi HTS
perikanan demersal telah banyak dibahas. Hal ini
berbeda dengan perikanan pelagis besar terutama
perikanan tuna, di Indonesia yang informasinya
masih sangat langka. Beberapa riset HTS pada
perikanan tuna di Indonesia

INDONESIAN
120PACIFIC

kebanyakan subjeknya adalah spesies


endangereous terutama penyu (Chan,1988).
Spesies lain seperti setuhuk, cucut, dan pelagis
besar lainnya pada perikanan tuna belum banyak
diteliti. Padahal informasi tersebut sangat
diperlukan dalam rangka pelaksanaan pengelolaan
sumber daya ikan. Dalam rangka medeskripsikan
tentang laju pancing (hook rate), jenis (spesies)
dan ukuran ikan HTS pada perikanan rawai tuna
yang beroperasi di Samudera Pasifik maka telah
dilakukan suatu penelitian tahun 2010.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di Bitung, Sulawesi
Utara yang merupakan basis utama kapal rawai
tuna yang beroperasi di Samudera Pasifik (Gambar
1) pada bulan Mei sampai Oktober 2010. Data
dikumpulkan melalui kegiatan enumerasi di tempat
pendaratan kapal rawai tuna dan observasi di kapal
rawai tuna yang beroperasi. Enumerasi dilakukan
oleh empat enumerator di dua lokasi pedaratan
kapal rawai yaitu di dermaga milik PT. Bitung Mina
Utama dan PT. Nutrindo Freshfood International.
Observasi dilakukan oleh satu observer yang
mengikuti dua kapal rawai tuna milik PT. Nutrindo
Freshfood International.

123

OCEAN

126

Bitung

NW

ES

120

Gambar 1.
Figure 1.

123

Lokasi penelitian di Bitung


Research location of Bitung.

Pengumpulan data oleh enumerator dilakukan


setiap hari pada minggu terakhir setiap bulan
terhadap seluruh kapal rawai tuna yang mendarat.
Data yang dikumpulkan enumerator meliputi
aspek perikanan yang terdiri dari nama kapal,
daerah operasi penangkapan, lama operasi di
laut, jumlah pancing

274

126

per tawur (setting), jumlah ikan yang tertangkap,


jenis (spesies) dan ukuran (panjang) ikan yang
tertangkap serta ukuran ikan (panjang dan berat).
Pengumpulan data oleh obsever dilakukan
sebanyak 2 trip operasi penangkapan. Data yang
dikumpulkan adalah nama kapal, posisi daerah
penangkapan, jumlah hari operasi,

Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)

jumlah pancing/setting, jumlah dan jenis ikan yang


tertangkap serta ukuran panjang ikan.
Identifikasi jenis ikan adalah merujuk pada
Collete & Nauen, (1983), Compagno (1999) dan
Sainsbury et al. (1985). Jumlah dan ukuran
(panjang dan berat) ikan HTS berukuran besar
seperti halnya ikan cucut (shark) dan ikan berparuh
(billfish) dihitung dan diukur satu per satu atau
secara sensus. Jumlah dan ukuran ikan HTS

hanya diukur bobotnya secara keseluruhan.


Ukuran panjang ikan adalah ukuran panjang
cagak (fork length-FL) dan ukuran berat (kg). Pada
ikan berparuh (billfish) panjang cagak diukur dari
rahang bawah atau lower jaw fork length (LJFL)
karena umumnya ikan berparuh yang didaratkan
telah dipotong paruh bagian atasnya untuk
efisiensi penyimpanan di palkah. Adapun HTS
jenis lain yaitu seperti halnya ikan cucut atau shark
diukur panjang cagak (FL) yang mengacu

berukuran kecil seperti halnya lemadang, opah dan


bawal batu tidak dihitung jumlahnya namun

Siriraksopon et al. (2004) sebagaimana disajikan


pada Gambar 2.

Gambar 2.
Figure 2.

Pengukuran panjang cagak rahang bawah (LJFL) pada ikan paruh panjang dan panjang
cagak (FL) pada ikan cucut.
Lower jaw fork length (LJFL) on billfish and fork length (FL) on shark measurement.

Jenis dan ukuran panjang cagak ikan HTS


terkumpul dikompilasi dan dianalisis secara
deskriptif, selanjutnya hasil analisis disajikan
secara naratif, tabel dan grafik. Upaya (effort)
penangkapan rawai tuna dinyatakan dalam
jumlah pancing yang digunakan dalam suatu
operasi tertentu atau suatu area tertentu yang
biasa disebut laju pancing atau hook rate. Laju
pancing atau hook rete dihitung sebagai jumlah
atau berat ikan yang tertangkap per 100 atau
1.000 pancing (Klawe, 1980). Laju pancing atau
hook rate hasil tangkapan utama (tuna) dan HTS
berukuran besar dihitung berdasakan berat (KG)
dan jumlah ikan (ekor) per 100 pancing.
sedangkan
HTS
berukuran
kecil
hanya
berdasarkan berat (KG) karena banyak HTS yang
hanya dicatat beratnya saja. Rumus laju pancing
atau hook rate adalah sebagai berikut:

HASIL DAN BAHASAN


Perikanan Rawai Tuna di Bitung
Struktur Armada Penangkapan
Armada rawai tuna yang tercatat atau teregister
di Bitung adalah mencapai 274 kapal (Anonimus,
2010). Ukuran kapal antara 30-200 GT yang
didominasi oleh kelompok ukuran 61-90 GT yaitu
mencapai 90 kapal. (32.8 %), disusul dengan kapal
kelompok ukuran 30-60 GT yaitu mencapai 79
kapal (28.8 %). Gambar 3 menyajikan struktur
ukuran armada rawai tuna.
90
75

HR

JP

xA

60

...................................(1)

45
30
15

dimana HR = laju pancing (ekor/100 pancing)


JI = jumlah ikan (ekor) atau berat
(kg) JP = jumlah pancing
A = 100 pancing

Ukukran Kapal (GT)

Gambar 3.
Figure 3.

Struktur armada rawai tuna yang


berbasis di Bitung tahun 2010.
Fleet structure of tuna long line
based in Bitung in 2010.

275

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284

Sejak dua tahun terakhir banyak dioperasikan


kapal kelompok ukuran 30-60 GT dengan mesin
penggerak utama berkekuatan 240-300 HP.
Kelompok ukuran 30-60 GT diduga akan
berkembang dan menggeser armada berukuran
>60 GT. Armada kelompok ukuran >60 GT akan
cenderung berkurang jumlahnya disebabkan
tingginya biaya eksploitasi operasi penangkapan
yang harus dikeluarkan. Armada kelompok ukuran
>60 GT umumnya menggunakan mesin penggerak
relatif besar yaitu >300 HP dengan konsumsi
bahan bakar minyak (BBM) lebih tinggi dibanding
mesin penggerak yang berkekuatan lebih kecil
pada kelompok kapal 30-60 GT. Sebagaimana
diketahui bahwa saat ini harga BBM relatif tinggi
sehingga sangat membebani laju kegiatan operasi
penangkapan.
BBM
merupakan
komponen
termahal dari biaya ekploitasi kegiatan
operasional
penangkapan
yang
harus
dikeluarkan. Semakin berkembangnya armada
rawai tuna berukuran 30-60 GT juga karena jarak
antara basis operasi (Bitung) dengan daerah
penangkapan rawai tuna di Samudera Pasifik
tidak terlalu jauh yaitu sekitar 10-20 jam
perjalanan dengan lama operasi 20-25 hari.
Kondisi
tersebut
sangat
memungkinkan
dioperasikannya armada rawai tuna kelompok
ukuran 30-60 GT. Kapal kelompok ukuran 30-60
GT mampu menyimpan tuna hasil tangkapan
antara 15-30 ton dengan pengawet es
dikombinasikan dengan mesin refigerasi pada suhu
sekitar -5oC untuk mempertahankan es tetap beku
selama trip penangkapan.
Teknologi Rawai Tuna Terkait HTS
Rawai tuna merupakan rangkaian sejumlah
pancing yang umumnya dioperasikan di laut lepas.
Bagian utama dari alat rawai tuna adalah tali
utama (main line), tali cabang (branch line), tali
pelampung (buoy line), pelampung (buoy) dan
mata pancing (hook). Bahan utama tali temali
rawai tuna yang berbasis di Bitung adalah tali
nylon monofilament. Wawancara (Pers Comm,
2010) dengan nakoda kapal KM. Nutrindo 3
milik PT.Nutrindo Freshfood International
diperoleh informasi bahwa satu unit rawai tuna
biasanya menggunakan 9001.200 mata pancing
setiap kali tawur (setting). Gambar 4 menunjukkan
disain dan konstruksi rawai tuna yang banyak
beropersi di Samudera Pasifik dan berbasis di
Bitung yang
mengadopsi
sistem
yang
dikembangkan perikanan rawai tuna Taiwan.
Jenis umpan yang digunakan umumnya ikan
pelagis kecil, seperti lemuru (Sardinella sp.),
layang (Decopterus sp.), kembung (Rastrelliger
sp.), bandeng (Chanos chanos) dan cumi-cumi
(Loligo sp).

Gambar 4.
Figure 4.

Disain dan konstruksi umum rawai


tuna
yang
dioperasikan
di
Samudera Pasifik
Design and construction of tuna
long line gear operated in Pacific
Ocean

Disain dan konstruksi rawai tuna sebagaimana


disebutkan di atas adalah katagori rawai tuna
permukaan (pelagic tuna long line) dengan
kedalaman mata pancing maksimum <150 meter
pada saat rawai dioperasikan di laut. Kedalaman
tersebut merupakan lapisan kedalaman perairan
laut dimana banyak terdapat jenis ikan non target
rawai tuna seperti halnya ikan marlin mencari
makan (Block et al., 1992). Pada kedalaman
tersebut ikan tuna juga banyak berasosiasi dengan
spesies lain non target rawai tuna seperti halnya
lumba-lumba (Au, 1991). Jenis umpan yang
digunakan juga mempunyai andil terhadap jumlah
hasil tangkapan sampingan pada rawai tuna.
Hampir semua jenis umpan yang digunakan
merupakan preferensi umpan ikan marlin
terutama kelompok cephalopoda (termasuk cumicumi) yang mencapai 74% dari jenis makanan
lainnya dan ikan bertulang belakang (layang,
kembung, bandeng dsb) yang mencapai 15%
(Gromi et al., 2011).
Hasil Tangkapan Sampingan (HTS)

Laju Pancing (Hook Rate)


Laju pancing (hook rate) hasil tangkap
sampingan (HTS) terendah terjadi pada

276

bulan Juni yaitu 9,58 kg/ 100 mata pancing, laju


pancing tertinggi terjadi pada bulan Mei yaitu 38,30
kg/100 mata pancing per tawur dan rata-rata 19,6
kg/100 mata pancing per tawur (Tabel 1). Laju
pancing ikan taget (tuna) terendah

Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)

adalah 40,51 kg/100 mata pancing per tawur yang


terjadi pada bulan Juni dan tertinggi adalah 56,87
kg/ 100 mata pancing per tawur yang terjadi pada
bulan September. Berdasarkan jumlah individu
(ekor) ikan, laju pancing beberapa jenis ikan HTS
ukuran besar adalah sebagai berikut: jenis ikan
berparuh (billfish) didominasi oleh ikan setuhuk
hitam atau black marlin dengan rata-rata 0,0668
ikan/100 mata pancing per tawur. Jenis ikan cucut
(shark) didominasi oleh jenis ikan cucut tikusan
atau smalltooth thresher shark dengan rata-rata
laju pancing mencapai 0,0259 ekor/ 100 mata
pancing
per
tawur.
Jenis
HTS
yang
memperoleh perhatian besar yaitu penyu laut
tertangkap dengan rata-rata laju pancing sebesar
0,008 ekor/100 mata pancing per tawur. Laju
pancing ikan taget (tuna)1,07ekor/100 mata
pancing per tawur (Tabel 2).
Dibandingkan laju pancing HTS ikan meka atau
swordfish rawai tuna Korea yang beroperasi di
Samudera Pasifik tahun 2005-2006 yaitu sebesar
1,0 per 1.000 mata pancing atau 0,1 per 100 mata
pancing (Kim et al., 2007), maka rawai tuna yang
beroperasi di Samudera Pasifik yang berbasis
di Bitung mempunyai rata-rata laju pancing HTS
ikan meka yang lebih kecil yaitu 0,0582 ekor
per 100 mata
Tabel 1.
Table
1.

Bulan
(Month)

pancing per tawur. Jika diasumsikan bahwa


kondisi sumber daya ikan meka di Samudera
Pasifik menyebar merata karena sebagai highly
migratory species, maka tingkat selektivitas
rawai tuna Indonesia yang beroperasi di
Samudera Pasifik terhadap ikan meka atau
swordfish lebih baik dibanding rawai tuna Korea
tersebut.
Huang, (2011) menyampaikan bahwa selama
tahun 2002-2006 penyu laut yang tertangkap rawai
tuna Taiwan pada posisi 0o-10oU dan 130o-150oB
yang terdiri dari jenis oliveridley (Lepidochelys
olivacea), leatherback, green turtle (Chelonia
midas) dan loggerhead turtle (Caretta caretta)
sebanyak 0,015 per 1000 mata pancing atau
0,0015 per 100 mata pancing. Rata-rata jumlah
penyu yang tertangkap di Samudera Pasifik oleh
armada rawai tuna yang berbasis di Bitung
adalah 0,0008 per 100 mata pancing (Tabel 2).
Jumlah tersebut lebih kecil dibanding penyu yang
tetangkap oleh armada rawai tuna Taiwan di
Samudera Pasifik sebagaimana disampaikan
Huang, (2011) tersebut. Kecilnya jumlah
penyu yang tertangkap rawai tuna menunjukkan
bahwa armada rawai tuna yang beroperasi di
Samudera Hindia yang berbasis di Bitung cukup
aman terhadap keberadaan sumber daya penyu.

Laju pancing (hook rate) rawai tuna yang mendarat di PT. Nutrindo F.I. Bitung Mei
sampai Oktober 2010.
Hook rate of tuna the long lines landing in Nutrindo F.I.Co.Ltd, Bitung on May until
October 2010.
Jumlah
Kapal
(Number of
Vessel)

Jumlah
Tawur
(Number of
Setting)

May

36

June

Jumlah Mata
Pancing
(Hook
Number)

Jumlah Hasil Tangkapan (Catch)


Tuna

43,200
21,794
599

16,545

42,000

4,023

35

17,013
July

August

36

September

71

(Bycatch)

477

43,200
20,225
428
81,300
39,590
826

12,116
9,120
11,600

72

72,100
41,005
719

34

Rata-Rata

37,200
19,300
379

9,787

(Average)

26,488

October

47

53,167

571

5,320
-

Unit

KG (KG)
Ekor (fish)
KG (KG)
Ekor (fish)
KG (KG)
Ekor (fish)
KG (KG)
Ekor (fish)
KG (KG)
Ekor (fish)
KG (KG)
Ekor (fish)
KG (KG)
Ekor (fish)

Laju
Pancing
Tuna
(Tuna
Hook
Rate)
50

Laju
Pancing
HTS
(Bycath
Hook Rate)

38

1
41

10

1
47

28

1
49

11

1
57

16

1
52

14

1
50
1

18

277

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284

Tabel 2.
Table
2.

No

1
2
3
4
5
6
7
8
9

10

Laju pancing (hook rate) HTS rawai tuna yang mendarat di PT. Nutrindo F.I. Bitung Mei
sampai Oktober 2010.
Hook rate of bycatch on tuna the long lines landing in Nutrindo F.I.co.Ltd, Bitung on May
until October 2010.

Unit

Meka/Swordfish

Fish

(Xiphias gladius)

0.1343
HR
0.1065 Fish

Setuhuk hitam/Black marlin


(Makaira indica)
Setuhuk loreng/Striped marlin
(Tetrapturus audax)
Layaran/Sailfish
(Istiophorus sp.)
Setuhuk biru/Blue marlin
(Makaira nigrican)
Layaran tumbuk/Short bill
spearfish
(Tetrapturus angustirostri)

12

Jun

Jul

Aug

Sep

Oct

58

31

46

28

0.0344

0.000

0.0000

0.0582

19

22

29.7
0.0591
4

0.2014
HR
0.0787 Fish

(Mobula japonica)

16

0.0234
0.0381
1
12

0.0278
HR
0.0301 Fish

49

0.1134
HR
0.0833
9

0.0208
HR
0.0440 Fish

Pari hantu/Manta rays

87

0.0023
HR
0.0116 Fish

(Isurus oxyrinchus)

(Alopias superciliosus)
Cucut tikusan/Smalltooth
thresher shark

0.0738

34

Fish

Cucut lanyam/Silky shark


(Carcharhinus falciformis)
Cucut pahitan/Bigeyed thresher
shark

0.0023
HR
0.0023 Fish
0.0023
HR
0.0023
Fish

RataRata
Average

May

Cucut mako/Shortfin mako

(Alopias pelagicus)
11

Hasil tangkapan per bulan-Catch (ekor-fish) dan


Laju pancing-hook rate (fish/100 hook)

Jenis ikan (Species)

0.0069
HR
0.0139
26

0.0000

01
0.0097

0.0000
2

0.0388

0.0496
8

0
0.0111
8

0.0111

3.2
0.0057

0.0062

1
0.0014

3
0.0081

0.0134

3.0

3
0.0037

0.0602
HR
0.0509 Fish

0.0069
HR
0.0093 Fish

22

0.0048
04

0.0000
0.0000

0.0065
18

7.7
0.0000
2

4.2 0.0160
0.0062 5

0.0048

(Chelonia midas)

Selama penelitian bulan Mei sampai Oktober


2010 teridentifikasi sebanyak 18 (delapan belas)
spesies hasil tangkapan rawai tuna yang
beroperasi di Samudera Pasifik yang mendarat di
Bitung. Dari 18 spesies tersebut dua spesies
merupakan target penangkapan dan 16 spesies
non target atau hasil tangkapan sampingan (HTS).
Dua spesies target yaitu tuna jenis madidihang atau
yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan tuna mata
besar atau bigeye tuna (Thunnus obesus)
dengan rata-rata persentase masing-masing
sebesar 57,2 % dan 15,8 % dari total bobot hasil
tangkapan. Adapun 16 spesies HTS yang
teridentifikasi selama penelitian didominasi oleh
ikan setuhuk hitam atau black marlin (Makaira
indica) dan ikan meka atau swordfish (Xiphias
gladius) dengan rata-rata persentase masingmasing sebesar 5,4 dan 5,1 % dari total bobot hasil
tangkapan. Jenis lain yang juga banyak tertangkap
adalah ikan setuhuk biru atau blue marlin
(Makaira nigrcans), bawal batu dan layaran
atau
sailfish
(Istiophorus
sp.)
dengan

0.0054

0.0000
1

24.7 0.0271

0.0098

01

0.0108
9.5
0.0296
13

0.0151 13

0.0048
1

11
0.0153
28

0.0349

19

0.0000

0.0078 7 11
0.0086
0.0197 22

8
2

0.0000
0

0.0668 18
4.7 0.0221

0 36

0.0000

Fish

Jenis Ikan HTS

3 13

0.0071

Penyu hijau/Green turtle

0.0000
HR
0.0023

05

27.2

01

0.0221

6
0.0014
1

0.0259 0 6
0.000
0.0083

0.0027

0.000

0.0000

0.0027

12.5
0.0161
2.3
0.0045
0.3
0.0008

persentase masing-masing 3,1%, 3,1% dan 1,8% dari


total hasil tangkapan.
Pada kegiatan onboard
observer dicatat juga bahwa pada bulan Juli dan

Oktober tertangkap penyu hijau atau


green turtle (Chelonia midas) masingmasing satu ekor ukuran 14 dan 17 kg atau
total 31 kg (0,01%) dari total hasil tangkapan
(Tabel 3). Kedua penyu tersebut dilepas
kembali ke laut dalam keadaan hidup.
Sejauh ini hasil penelitian mengenai ikan
berparuh (billfish) sebagai HTS pada rawai
tuna belum banyak dilakukan. Widodo et al.
(2011) menyampaikan hasil penelitiannya
yang dipresentasikan pada IOTC-Ninth
Working Party on Billfish, di Seychelles, 4
8 July 2011 bahwa ada 6 spesies

278

berparuh tertangkap sebagai HTS pada rawai


tuna yang beroperasi di Samudera Hindia yaitu
swordfish, blue marlin, black marlin, sailfish,
shortbill spearfish dan striped marlin yang secara
keseluruhan mencapai 1,08% dari total tangkapan.
Dibandingkan jumlah HTS jenis ikan berparuh
(billfish) pada rawai tuna di Samudera Hindia
tersebut, maka HTS jenis ikan berparuh (billfish)
pada rawai tuna di Samudera Pasifik menunjukkan
jumlah yang lebih besar yaitu mencapai >17%.
Perbedaan jumlah ini diduga karena perbedaan
jenis teknologi rawai tuna yang digunakan, yaitu
rawai tuna dalam (deep tuna longline) di
Samudera Hindia dan rawai tuna pelagis (pelagic
tuna longline) di Samudera

Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)

Pasifik. Di Indonesia belum ada pengelolaan


sumber daya secara khusus yang dilakukan
terhadap jenis ikan berparuh.
Disisi lain,
organisasi-organisasi perikanan regional telah
begitu serius mengatur sumber daya jenis ikan
berparuh. Sebagai contoh di Hawaii telah ditutup
pengoperasian rawai ikan berparuh (billfish long
line) sejak tahun 2002 (Gilman et al., 2006).
Telah tertangkapnya penyu pada rawai tuna
yang berbasis di Bitung, walaupun jumlahnya
hanya 0.01%, namun dampaknya cukup serius
karena penyu hijau yang tertangkap tersebut
merupakan salah satu dari enam spesies penyu
yang
dilindungi
(IUCN,
2003).
Karena
tertangkapnya penyu terutama oleh rawai tuna
permukaan (pelagic tuna long line) sehingga
beberapa grup pecinta lingkungan mengusulkan
larangan dioperasikannya jenis rawai tersebut
secara
global
(Anonimus,
2003).
Upaya
mengurangi jumlah penyu yang tertangkap telah
dilakukan antara lain dengan menggunaan mata
pancing jenis circle hook ukuran 18/0 sehingga
mengurangi sekitar 75% tangkapan penyu pada
rawai tuna permukaan (Waston et al., 2002;
2003a;2003b). Guna menguragi tangkapan penyu
pada rawai tuna yang beroperasi di Samudera
Pasifik Indonesia, sejak sekitar tahun 2007 WWF
telah melakukan ujicoba penggunaan circle hook
pada rawai tuna yang berbasis di Bitung. Belum
ada laporan resmi mengenai hasil ujicoba
tersebut, namun wawancara pribadi (Pers
comm.,
2010)
dengan beberapa nakoda
menyampaikan bahwa circle hook telah efektif
meniadakan tangkapan penyu laut pada alat
tangkap rawai tuna yang mereka operasikan.
Tertangkapnya dua penyu selama penelitian
adalah pada rawai tuna yang tidak menggunakan
circle hook, karena saat ini circle hook tidak
tersedia di pasar Indonesia. Hasil wawancara
pribadi juga diperoleh informasi bahwa para
nakoda kapal rawai mempunyai keinginan
menggunakan
circle
hook.
Hal
ini
merupakan indikasi positif dalam rangka upaya
menyelamatkan penyu dari kepunahan di masa
mendatang.

Ukuran Ikan HTS


Hasil penelitian pertengahan Juli sampai
Oktober 2010 tidak berbeda dengan hasil penelitian
Mei sampai Oktober 2010. Ukuran panjang cagak
rahang bawah (lower jaw fork length-LJFL) dan
panjang cagak (fork length-FL) beberapa spesies
ikan HTS yang dominan tertangkap rawai tuna
yaitu setuhuk hitam atau black marlin (Makaira
indica), meka atau swordfish (Xiphias gladius) dan
ikan hiu tikusan atau thresher shark (Alopias
vulpinus). Ukuran LJFL ikan setuhuk hitam yang
tertangkap antara 97-198 cm dengan modus pada
ukuran 141-160 cm. Ukuran LJFL ikan meka yang
tertangkap antara 94-241 cm dengan modus pada
ukuran 161-180 cm. Ukuran FL ikan cucut
tikusan antara 96-190 cm dengan modus pada
ukuran 121-140 cm. Gambar 5, 6 dan 7
menyajikan sebaran ukuran dan kurva seleksi ikan
setuhuk hitam, meka dan cucut tikusan yang
tertangkap rawai tuna selama penelitian.
Widodo et al. (2011) menyatakan bahwa
ukuran ikan setuhuk hitam atau black marlin
((Makaira indica) yang tertangkap rawai tuna di
Samudera Hindia mempunyai ukuran LJFL 113234 cm dan terbanyak (modus) pada selang ukuran
130 cm. Ikan meka atau swordfish (Xiphias gladius)
mempunyai ukuran LJFL 71-243 cm dan terbanyak
pada selang ukuran 125 cm. Dibanding ukuran
LJFL ikan setuhuk hitam di Samudera Hindia,
ukuran LJFL ikan setuhuk hitam yang tertangkap
rawai tuna di Samudera Pasifik mempunyai
ukuran dan maksimum yang lebih kecil, namun
mempunyai modus yang lebih besar yaitu pada
selang ukuran LJFL 141-150 cm. Adapun ukuran
ikan meka yang tertangkap rawai tuna di Samudera
Pasifik mempunyai ukuran minimum, maksimum
dan modus lebih besar dibandingkan yang
tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia.
Kedua kenyataan tersebut mengindikasikan
bahwa kondisi sumber daya ikan setuhuk hitam
dan meka di Samudera Pasifik masih cukup baik.

279
Tab
el 3.
Tabl
e 3.

Jenis ikan spesies target (tuna) dan HTS rawai tuna bulan Mei
dan Juni 2010 yang didaratkan di PT. Nutrindo F.I. Target and
bycatch species of tuna long lines landing in Nutrindo
F.I.Co.Ltd on May and June 2010.

NO
Unit (Unit)

Ma

A
Spesies Target
(Tuna)

Madidihang /
Yellowfin tuna
(Thunnus
albacares)

Setu
S

Besar / Big Eye

tuna

B
Spesies Nontarget
(HTS)
1

Tuna Mata

(Thunnus
obesus)

June
(M
ak
air
a
in
di
ca
)

g
l
a
d
i
u
s
)

Hasil tangkapan per bulan (Catch per month)

Jenis ikan (Species)

ped

k
M

October

(Istioph
orus sp.)
Setuhuk
5
biru/Blue marlin
(Makaira
nigrican)
6

Layaran
tumbuk/Short bill
spearfish
(Tetrapturus
angustirostri)

g/Stri

September

loren

August

huk

July

Cucut

marli

mako/Shortfi

n mako

(Tetr
aptur
us
auda
x)

(Isurus
oxyrinchus)
8

Cucut
lanyam/Silk

y shark

(Carcharhin
us
falciformis)

s
h

(
X
i
p
h
i
a
s

S
m

s
h

Cucut pahitan/Bigeyed
9
thresher shark
(Alopias superciliosus)

KG (KG)

1532
0
1315
9
1672

Ekor (Fish)

KG (KG)
Ekor (Fish)

349

1008

34140

13700

599

269

18 424

132

6865

5600

395 12

120

110

2408

950

508

3140
0
KG (KG)
Ekor (Fish)
KG (KG)
Ekor (Fish)
KG (KG)
Ekor (Fish)
KG (KG)
Ekor (Fish)
KG (KG)
Ekor (Fish)
KG (KG)
Ekor (Fish)
KG (KG)
Ekor (Fish)
KG (KG)
Ekor (Fish)

437
376

13

7 2098

2016

1310 49

4
0

354

36

655

22 397

169

445 19

647

1290

30

385
4

51

350

44

101
74
171

1
7

1
13 37

2
8

466 1

5 215

110

305

189

0
162

0
890 1

5
819

6
3

KG (KG)
Ekor (Fish)

3
0
5

262

0
171
9
224

2
2

1
124

1
2

8 58

31

46
28
388
5
708

2
0
2
2
2

198
6

110
4 87
16
34

6
2
7

19

63

1
1
1

1
7

1
0

0
0
6

5
4
1

10

11

12

13

14

15

Cucut tikusan/Smalltooth thresher shark

KG (KG)

(Alopias pelagicu)

Ekor (Fish)

Bawal Batu/Casper/Angelfish

KG (KG)

Ekor (Fish)

Lemadang/Common dolphinfish

KG (KG)

(Delphinus delphi)

Ekor (Fish)

Opah/Opah

KG (KG)

(Lampris reguis)

Ekor (Fish)

Pari hantu/Manta rays

KG (KG)

(Mobula japonica)

Ekor (Fish)

Ikan setan (Gindara) /Escoler

KG (KG)

(Lepidocybium sp.)
16

Penyu hijau/Green turtle


(Chelonia midas)

1744

118

1006

735

42

26

238 2

22

18

6 446

980

446

905

805 -

3262
84
2
328
190
3
1168

Ekor (Fish)

KG (KG)

Ekor (Turtle)

61

76

40

122

178

288

52

15

154

277

46

0
0

582

1003

706

1
814

123 -

14

17

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284


35
72 30

n=

2
5
2
0
1
5
1
0
5
0

Gambar 5.
Figure 5.

FL (cm)

Sebaran ukuran LJFL ikan setuhuk


hitam yang tertangkap rawai tuna
di Samudera Pasifik Indonesia.
FJFL distribution of black marlin
caught by tuna long line
in Indonesian Pacific Ocean.

Gambar 6.

Figure 6.

Sebaran ukuran LJFL ikan meka


atau swordfish (Xiphias gladius)
yang tertangkap rawai tuna di
Samudera Pasifik Indonesia.
FJFL distribution of swordfish
caught by tuna long line in Pacific
Ocean.

Gambar 7.

Figure 7.

Sebaran ukuran LF ikan cucut


tikusan atau thresher shark
(Alopias vulpinus) yang tertangkap
rawai tuna di Samudera Pasifik
Indonesia.
FL distribution of thresher shark
caught by tuna long line in Pacific

Ocean

KESIMPU
LAN
1.
R
a
t
a
r
a
t
a
l
a
j
u
p
a
n
c
i
n
g
H
T
S
s
e
l
a

282

ma Mei sampai Oktober


2010 adalah 19,6 kg/100
mata pancing. Rata-rata
jumlah HTS terhadap hasil
tangkapan tuna 27,04:
72,06 %. Sebanyak 16
spesies HTS rawai tuna
dapat diidentifikasi yang
didominasi
oleh
ikan
setuhuk hitam atau black
marlin (Makaira indica),
ikan meka dan ikan cucut
tikusan. Ukuran lower jaw
fork length (LJFL) ikan
setuhuk hitam dan ikan
meka secara berturut-turut
adalah
97-198
cm
(modus 141-160 cm), FL
94-241 cm (modus 161180 cm) dan ukuran fork
length (FL) ikan tikusan
adalah 96-190 cm (modus
121-140 cm).
PERSANTUNAN
Makalah ini merupakan
bagian dari hasil penelitian
berjudul
:
Jenis
dan
distribusi ukuran ikan hasil
tangkap sampingan (bycatch)
pada perikanan tuna di
Samudera
Pasifik
yang
dibiayai oleh kegiatan proyek

kerjasama penelitian antara Dewan Riset


Nasional-Kementerian
Negara
Riset
dan
Teknologi dengan Badan Riset Kelautan dan
Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan
2010.
Pada
kesempatan
ini
penulis
mengucapkan
terima
kasih
kepada
enumerator : Mistun Rois, Grace Wantah, Wine
Sargian dan Gatot Wiranto serta Mutakin yang
telah melaku kan enume n = 43
n
obsevasi hingga tersediannya
ta d
n
ngat baik. Diucapkan terima kasih ke a j
aran
Manajemen PT. Nutrindo F.I di Bitung a g
a
memberikan ijin kepada para enumerato a o e
e untuk melakukan kegiatan enumer i an ob e
a d
mpat pendaratan dan kapal rawai tuna
milik PT. Nutrindo F.I.
DAFTAR PUSTAKA
FL
(cm)

Anonimus, 2003. An International Call for a


Moratorium in the Pacific Ocean on Pelagic
Longline and Gillnet Fishing. Open Letter to
United Nation Secretary General Kofi Annan.
Available at h t t p : / / w w w . s e a t u r t l e s .
o r g / p d f / UN_Moratorium_letter_doc.pdf.
Anonimus, 2010. Kapal yang terdaftar beroperasi
di Samudera Pasifik tahun 2010. PSDKPBitung, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Bitung.
Au, D.W. 1991. Polyspecific nature of tuna
schools: Shark, dolphin, and seabird associates.
Fish. Bull. NOAA-NMFS 89: 343-354.

Hasil Tangkap Sampingan (HTS) pada Perikanan Rawai Tuna di Samudera Pasifik (Widodo, A.A., et al.)

Alverson, D.L., Freeberg, M.H., Pope, J.G., &


Murawski, S.A. 1994. A global assessment of
fisheries
bycatch
and
discards.
FAO
Fisheries Technical Paper. No. 339. Rome.
FAO. 233 pp.

IUCN, 2003. 2003 IUCN Red List of Threatened


Species. International Union for Conservation
of Nature and Natural Resources, Species
Survival Commission, Red List Programme,
Cambridge, UK and Gland, Switzerland.

Block, Barbara A., David Booth & Francis


G.Carey, 1992. Direct Measurement Of
Swimming Speeds And Depth Of Blue Marlin. J.
exp. Biol. Printed in Great Britain The
Company of Biologists Limited. 166. 267-284.

Kim, Soon-Song, Doo-Hae An, Dae-Yeon Moon &


Seon-Jae Hwang, 2007. Comparison of circle
hook and J-hook catch rate for target and
bycatch species taken in Korean tuna
longline fishery during 2005-2006. WCPFC
Scientific Committee Third Regular Session
13-24 August 2007 Honolulu, United States
Of America.

Chan, E.H., H.C. Liew & A.G. Mazlan, 1988.


The incidental capture of sea turtles in shing
gear in Terengganu, Malaysia. Biological
Conservation 43.17.
Coan, Atilio L., Jr, Gary T. Sakagawa, Doug
Prescott, Peter Williams, Karl Staish & Gordon
Yamasaki 2000. The 1999 U.S. CentralWestern Pacific Tropical Tuna Purse Seine .
Document prepared for the annual meeting of
parties to the South Pacific Regional Tuna
Treaty, 3-10 March 2000, Niue Fishery.
Administrative Report LJ-00-10. 16 pp.
Compagno. L.J.V.1999. The Living Marine
Resource of the Western Central Pacific.
FAO. Rome. 3.1398-1529 pp.
Gilman, E., Erika Zollett, Stephen Beverly, Hideki
Nakano, Kimberly Davis, Daisuke Shiode, Paul
Dalzell & Irene Kinan, 2006. Reducing the
Turtle by-catch in Pelagic Longline Fisheries.
Fish and Fisheries, 2006,7, p2-23. Blackwell
Publishing Ltd.
Gorni G.R., S. Loibel, R. Goitein & A.F.
Amorim, 2011. Stomach Contents Analysis Of
White Marlin (Tetrapturus Albidus) Caught Off
Southern And Southeastern Brazil: A Bayesian
Analysis. Collect. Vol. Sci. Pap. ICCAT, 66(4):
1779-1786 (2011). SCRS/2010/162.
Hall, Stephen J. & Brooke M.Mainprize, 2005.
Managing by-catch and discards: how much
progress are we making and how can we do
better? FISH and FISHERIES. 6,134155.
Blackwell Publishing Ltd. 22p.
Huang, Hsiang-Wen, 2011. Bycatch of high sea
longline fisheries and measures taken by
Taiwan: Actions and challenges. Marine Policy.
<journal
homepage:
www.elsevier.com/
locate/marpol>. 35 (2011) 712720.

Klawe,W.L.1980. Long-lines catches of tunas


within the 200-mile Economic Zones of the
Indian and Western Pacific Oceans. Dev. Rep.
Indian Ocean Prog. (48): 83 pp.
Pascoe,S., 1997. Bycatch management and
economics of discarding. FAO Fisheries
Technical Paper No. 370. Rome, FAO. 137 pp.
Pauli,D., 1984. Fish population dynamics in
tropical waters: A manual for use with
programmable
calculators.
ICLARM
Studies and Review. International Center for
Living Aquatic Resources Management, ManilaPhilippines. 8, 325 pp.
Sainsbury,K.J., P.J. Kailola & G.G.Leyland
(1985). Continental Shelf Fishes of Nothern
and North-Western Australia. CSIRO Division
of Fisheries Research-Canbera-Autralia. 375 pp.
Siriraksopon, S., et.al., (2004).
Standard
Operation Procedures for MV.Seafdec 2.
Researh Division. Southern Asian Fisheries
Development Center, Training Departmen.
Samut Prakarn-Thailand. 93 pp.
Waston,J., D.Foster, S.Epperly & A.Shah, 2002.
Experiment in the Western Atlantic Northeast
Distant Water to Evaluate Sea Turtle Mitigation
Measures in the Pelagic Longline Fishery.
Report on Experiments Conducted in 2001. US
National Marine Fisheries Service. Pascagoula,
MS, USA.
Waston,J., D.Foster, S.Epperly & A.Shah, 2003.
Experiment in the Western Atlantic Northeast
Distant Water to Evaluate Sea Turtle Mitigation
Measures in the Pelagic Longline Fishery.
Report on Experiments Conducted in 2001 and
2002. US National Marine Fisheries Service.
Pascagoula, MS, USA.

283

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 273-284

Waston J.,B.Hattaway & C. Bergmann, 2003.


Effect of Hook Size on investigation of
Hooks by Loggerhead Sea Turtle.
US
National
Marine
Fisheries
Service.
Pascagoula, MS, USA.

Widodo, A.A., Budi Nugraha, Fayakun Satria &


Abram Barata, 2011. Species composition
and size distribution of billfish caught by
Indonesian tuna long-line vessels operating in
the Indian Ocean. Presented on IOTC-Ninth
Working Party on Billfish, di Seychelles, 48
July 2011.

284

Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.)

KERAGAMAN GENETIK IKAN TUNA MATA BESAR (Thunnus obesus)


DI SAMUDERA HINDIA
Budi Nugraha, Dian Novianto dan Abram Barata
Peneliti pada Loka Penelitian Perikanan Tuna
Benoa
Teregistrasi I tanggal: 11 Agustus 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 6 September
2011; Disetujui terbit tanggal: 30 September 2011;
ABSTRAK
Informasi kondisi populasi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia belum banyak
diketahui. Hal ini dapat diprediksi melalui pendekatan dengan menggunakan analisis DNA.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi keragaman genetik dan struktur populasi
ikan tuna mata besar dari perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara,
dan barat Sumatera. Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret sampai
November 2010 berlokasi di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara,
dan barat Sumatera. Pengumpulan sampel jaringan (sirip) ikan tuna mata besar dilakukan oleh
observer di atas kapal tuna longline. Nilai keragaman haplotipe (genetik) yang diperoleh adalah
0,8267 untuk kelompok sampel 1 dan 0,7766 untuk kelompok sampel 2 dengan nilai rata-rata
keragaman genetik adalah 0,8017. Jarak genetik antara kelompok sampel ikan tuna mata besar di
Samudera Hindia adalah 0,0038. Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak genetik
menunjukkan bahwa kelompok sampel ikan tuna mata besar yang diamati dapat dibagi menjadi
dua kelompok populasi (subpopulasi), yaitu kelompok pertama terdiri dari ikan tuna mata besar
yang berasal dari Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa Tenggara, sedangkan kelompok kedua
yang berasal dari Samudera Hindia barat Sumatera.

KATA
KUNCI:
ABSTRACT:

keragaman genetik, ikan tuna mata besar, Samudera Hindia


Genetic Diversity of Bigeye Tuna (Thunnus obesus) in Indian
Ocean. By: Budi Nugraha, Dian Novianto and Abram Barata

Information of bigeye tuna population condition in Indian Ocean has been not known. This can
be predicted through the approach of using DNA analysis. This study aimes to obtain information on
genetic diversity and population structure of the bigeye tuna from the Indian Ocean south of Java
and Nusa Tenggara, and West Sumatra. Sampling bigeye tuna conducted in March until November
2010 is located in the Indian Ocean south of Java and Nusa Tenggara, and West Sumatra. The
samples (fin) of bigeye tuna was collected by the observers on board tuna longline. Value of
haplotype diversity (genetic) obtained was 0.8267 for the sample group 1 and 0.7766 for sample
group 2 with an average was 0.8017. Genetic distance between sample groups of bigeye tuna in the
Indian Ocean was 0.0038. Dendrogram established based on genetic distance shows that the
group of bigeye tuna observed can be divided into two groups of populations (subpopulations), the
first group consisted of bigeye tuna from the Indian Ocean south of Java and Nusa Tenggara, while
the second group was from the Indian Ocean west of Sumatra.

KEYWORD:

genetic diversity, bigeye tuna, Indian Ocean

PENDAHULUAN
Keragaman hayati mencakup area yang
meliputi keragaman habitat, komunitas, populasi
sampai dengan spesies. Keragaman genetik
merupakan cerminan keragaman di dalam spesies
yang
secara
umum
disebut
subspesies.
Terminologi sumber daya genetik diartikan
untuk
merefleksikan
adanya keragaman
genetik di dalam satu spesies sampai pada
tingkat DNA (Soewardi, 2007).
___________________

Korespondensi penulis:
Loka Penelitian Perikanan Tuna, Benoa-Bali
Jln. Pelabuhan Benoa-Bali

Populasi dengan keragaman genetik yang


tinggi memiliki peluang hidup yang lebih
baik. Hal ini dikarenakan setiap gen memiliki
respon yang berbeda-beda terhadap kondisi
lingkungan, sehingga dengan dimilikinya
berbagai macam gen dari individu-individu di
dalam populasi maka berbagai perubahan
lingkungan yang ada akan dapat direspons lebih

baik. Beberapa studi menunjukkan bahwa


karakteristik genetik suatu populasi ikan di alam
pada
umumnya
menunjukkan
adanya
heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang
sangat dekat (Ryman & Utter, 1987).

285

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 285-292

Klarifikasi tentang struktur populasi di alam


merupakan informasi yang penting untuk
pendugaan pengelolaan populasi. Pengumpulan
informasi atau data dasar genetik dari suatu
spesies merupakan syarat awal yang diperlukan
untuk menentukan keragaman (variasi) genetik
atau
kekerabatan
yang
dimiliki.
Dengan
diketahuinya keragaman genetik masing-masing
spesies, akan sangat membantu baik untuk
membuat suatu kebijakan dalam pengelolaan
maupun konservasi dari sumber-sumber genetik di
alam, termasuk ikan tuna.
Klarifikasi tentang kondisi populasi ikan tuna
mata besar yang ada di perairan Samudera Hindia
masih sangat sedikit. Penelitian mengenai kondisi
populasi ikan tuna mata besar yang berasal dari
perairan Samudera Hindia telah dilakukan oleh
Appleyard et al. (2002) dan Chiang et al. (2008),
namun hanya ada satu penelitian mengenai
kondisi populasi ikan tuna mata besar yang telah
dilakukan oleh Indonesia, khususnya di perairan
Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa
Tenggara yaitu pada tahun 2009 (Nugraha, 2009).
Informasi kondisi populasi ikan tuna mata besar
dapat diprediksi melalui pendekatan dengan
menggunakan analisis DNA, sehingga akan
memberikan informasi yang valid dan membantu
pemerintah dalam pengelolaannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
informasi keragaman genetik dan struktur populasi

ikan tuna mata besar dari perairan Samudera


Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa
Tenggara dan Samudera Hindia sebelah barat
Sumatera.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengambilan sampel ikan tuna mata besar
dilakukan pada bulan Maret sampai November
2010 berlokasi di perairan Samudera Hindia
sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara (WPP
573), dan Samudera Hindia barat Sumatera (WPP
572). Lokasi daerah penangkapan kapal tuna
longline yang diamati berada di perairan Samudera
Hindia sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara
pada posisi geografis 8,962o-15,035o LS
110,150o-120,475o BT dan Samudera Hindia barat
Sumatera pada posisi geografis 2,035o-3,263o LS
97,209o-100,503o BT (Gambar 1).
Pengumpulan sampel sirip ikan tuna mata
besar dilakukan oleh observer di atas kapal tuna
longline. Sampel ikan tuna mata besar yang
diperoleh dipotong bagian ujung sirip ekornya
(caudal fin) kemudian disimpan ke dalam botol
sampel yang telah diisi larutan pengawet (alkohol
96%). Setiap satu botol untuk satu ekor ikan
sampel. Adapun sampel yang dianalisis berjumlah
144 sampel.

WPP 572
LAUT

200 m

JAWA

SA
MUDERA
HINDIAW
PP 573

-5

-10

-15
95

100

105

110

115

120

Longitude

Gambar 1.
Figure 1.

286

Lokasi pengambilan sampel ikan tuna mata


besar. Sampling sites bigeye tuna.

125

Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.)

Analisis Sampel

Analisis
sampel
dilakukan
dengan
menggunakan metode Restriction Fragment
Length Polymorphism (RFLP) DNA mitokondria.
Metode RFLP umumnya menggunakan bantuan
enzim restriksi (Sianipar, 2003). Ada beberapa
tahapan dalam melakukan analisis sampel,
yaitu (1) ekstraksi DNA, (2) amplifikasi daerah
mtDNA dengan menggunakan primer Pro-5 (CAC
GAC GTT GTAAAA CGA CCTACC YCY AAC TCC
CAAAGC), dan primer 12SAR (GGA TAA
CAA TTT CAC ACA GGG CAT AGT GGG GTA
TCT AAT CC), (3) restriksi mtDNA dengan
menggunakan enzim-enzim TaqI, Hin6 I, Mbo I
dan Rsa I, dan (4) visualisasi hasil restriksi diamati
dengan UV illuminator dan dicetak gambarnya
dengan polaroid.

= frekuensi haplotipe pada lokus dengan


populasi yang sama
Ja & Jb = frekuensi haplotipe pada populasi A dan
-

H
Fst 1 ( w )

Data komposit haplotipe dianalisis untuk


mendapatkan parameter genetik, struktur populasi
dan hubungan filogenetik antar populasi:
- Tingkat keragaman genetik diukur berdasarkan
indek keragaman haplotipe (h) dihitung dengan
memanfaatkan
data
distribusi-frekuensi
haplotipe (nukleomorf)
berdasarkan
Nei
&Tajima (1981) dengan persamaan:

h n (1
X )
i
n 1
i 1

..(3

dimana :
F
= indeks diferensiasi
H = rata-rata perbedaan intra populasi
H = rata-rata perbedaan antar populasi
-

Analisis Data

Derajat perbedaan molekuler haplotipe di antara


populasi diduga dengan menggunakan Analysis
of Moleculer Varians (AMOVA) dan uji jarak
berpasangan (Fst) dengan persamaan:

Hubungan filogenetik di antara populasi


digambarkan dalam bentuk dendrogram melalui
clustering nilai jarak genetik menurut metode
jarak rata-rata.

Perhitungan
dilakukan
dengan
bantuan
perangkat lunak TFPGA (Tools for Population
Genetics Analysis) (Miller, 1997).
HASIL DAN BAHASAN
Amplifikasi dan Pemotongan dengan Enzim
Restriksi

(1

dimana :
h
= keragaman haplotipe
n
= jumlah sampel
X
= frekuensi haplotipe sampel ke-i
-

Kekerabatan antar populasi ditentukan


berdasarkan parameter Jarak Genetik (Nei,
1972)
dan
analisis
statistik
terhadap
perbedaan situs restriksi. Jarak Genetik
dihitung
menurut
Nei
(1978)
dengan
persamaan:

D ln

{(J xJ )0, }

(2 dimana :
D = jarak genetik

..............................

Hasil amplifikasi D-Loop mtDNA pada ikan tuna


mata besar dengan menggunakan primer Pro-5
(CAC GAC GTT GTA AAA CGA CCT ACC
YCY AAC TCC CAA AGC), dan primer 12SAR
(GGA TAA CAA TTT CAC ACA GGG CAT AGT
GGG GTA TCT AAT CC) menghasilkan fragmen
DNA berukuran sekitar 1.500 bp (base pairs) pada
semua sampel ikan tuna mata besar (Gambar 2).
Keragaman jumlah situs dan ukuran fragmen
restriksi (RFLP) yang diperoleh dari hasil restriksi
mtDNA dengan empat enzim adalah 12 tipe
restriksi yaitu Taq I dengan enam tipe restriksi A,
B, C, D, E dan F (Gambar 3a), Hin6 I dengan satu
tipe restriksi A (Gambar 3b), Mbo I dengan dua
tipe restriksi A, B (Gambar 3c) dan Rsa I dengan
tiga tipe restriksi A, B, C (Gambar 3d).

287

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 285-292

1.500 bp
1.000 bp
500 bp

100 bp

Gambar 2.
Figure 2.

Fragmen tunggal mtDNA hasil amplifikasi PCR ikan tuna mata besar.
Single fragment of mtDNA results of PCR amplification of bigeye
tuna.

Gambar 3.
Figure 3.

Tipe restriksi dengan enzim Taq I: A B C D E F (a), Hin6 I: A (b), Mbo I: A, B (c) dan Rsa
I: A, B, C (d).
Type of restriction with the enzyme Taq I: A B C D E F (a), Hin6 I: A (b), Mbo I: A, B (c)
and Rsa I: A, B, C (d).

Penggunaan empat enzim restriksi dalam


penelitian ini guna mengukur keragaman genetik
suatu populasi
telah menunjukkan
suatu
variabilitas yang tinggi, walaupun idealnya lebih
banyak enzim lebih baik. Hasil pemotongan yang
menunjukkan ukuran panjang fragmen berbeda
akan memberikan tipe pemotongan (haplotipe)
yang berbeda pula. Tipe pemotongan yang
berbeda pada setiap individu dalam suatu
populasi maupun antara populasi dapat
disebabkan
oleh
terjadinya
pergantian,
penambahan

atau hilangnya basa tertentu pada urutan


pasangan basa, D-Loop region mtDNA-nya
sehingga enzim tertentu tidak memotong pada
situs yang sama. Hal ini mengakibatkan
terjadinya
pergeseran
situs pemotongan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat
perbedaan urutan pasangan basa pada individu
yang mempunyai tipe pemotongan basa yang
berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya
keragaman genetik di dalam populasi dan
antara populasi. Menurut Sumantadinata, (1982)
keragaman genetik

288

Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.)

antar populasi merupakan hasil interpretasi dari


isolasi secara fisik dan terhalang secara ekologis,
terpisah jauh secara geografis atau pengaruh
tingkah laku seperti migrasi dan waktu memijah.
Secara umum keragaman
genetik
suatu
populasi akan mempengaruhi respon populasi
terhadap seleksi alam dan seleksi buatan yang
dilakukan oleh manusia untuk memenuhi
kebutuhannya. Populasi dengan keragaman
genetik yang tinggi memiliki peluang hidup yang
lebih baik. Hal ini dikarenakan setiap gen
memiliki respon yang berbeda-beda terhadap
kondisi lingkungan, sehingga dengan dimilikinya
berbagai macam gen dari individu-individu di
dalam populasi maka berbagai perubahan
lingkungan yang ada akan dapat direspons
lebih baik. Beberapa studi menunjukkan
bahwa karakteristik genetik suatu populasi ikan
di alam pada umumnya menunjukkan adanya
heterogenitas spasial, bahkan pada jarak yang
sangat dekat (Ryman & Utter, 1987).
Keragaman Haplotipe (Haplotype Diversity)
Hasil pemotongan produk PCR dengan
menggunakan empat enzim restriksi menghasilkan
12 komposit haplotipe mtDNA D-Loop region
dimana 10 komposit terdapat pada kelompok
sampel 1 dan 8 pada kelompok sampel 2. Tipe
komposit haplotipe yang diperoleh tersaji pada
Tabel 1.
Hasil penelitian keragaman genetik ikan tuna
mata besar yang dilakukan oleh Bremer et al.
(1998) di perairan Samudera Atlantik, Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik menunjukkan bahwa
ikan tuna mata besar dari tiga perairan tersebut
memiliki 13 komposit haplotipe, dimana pada
Samudera Hindia memiliki 5 komposit haplotipe.
Hasil analisis komposit haplotipe di perairan
Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa
Tenggara oleh Nugraha, (2009) menghasilkan 23
komposit haplotipe pada seluruh kelompok
sampel. Jumlah terendah yang diamati adalah 7
komposit haplotipe dan jumlah tertinggi 12
komposit haplotipe.
Komposit haplotipe AAAA, AAAB, AAAC,
AACA, ABAB dan AAAD terdistribusi pada semua
kelompok sampel. Keenam komposit haplotipe
tersebut dapat dikatakan sebagai komposit
haplotipe utama (major composite haplotypes)
karena keduanya terdapat pada kedua kelompok
sampel tersebut. Komposite haplotipe AABA,
AACB, AABB dan ABAA hanya terdistribusi pada
kelompok sampel 1, sedangkan komposite
haplotipe
AAAE
dan
AAAF
hanya
terdistribusi pada kelompok sampel 2. Keenam
komposite haplotipe tersebut merupakan haplotipe

umum (common haplotype) karena hanya terdapat


pada masing-masing kelompok sampel.

Komposit haplotipe AAAB merupakan


komposite haplotipe tertinggi dan ditemukan
pada kelompok sampel 2 sebesar 36% dan
kelompok sampel 1 sebesar 29%. Komposit
haplotipe AAAA ditemukan pada kelompok
sampel 2 sebesar 29%, sedangkan pada
kelompok sampel 1 sebesar 26%.
Tabel 1.

Table 1.

1
3

7
8
10

Frekuensi haplotype dari mtDNA D-loop region ikan tuna


mata besar yang direstriksi
dengan menggunakan 4 enzim
yaitu Taq I, Hin6 I, Mbo I dan
Rsa I.
Haplotype frequency of mt-DNA
D-loop region of bigeye tuna
by using 4 enzymes namely
Taq I, Hin6 I, Mbo I and Rsa I.

Tipe komposit
haplotipe
sampel 2
AAAA
0,29 2
0,08
AAAB
0,36 4
0,03
AACA
0,04 6
0,03
AABB
ABAB
0,11 9
0,05
AAAD

Frekuensi haplotipe (%)


Kelompok sampel 1
0,26
AABA
0,29
AAAC
0,04
0,03
AACB
0,10
0,05
ABAA
0,08

Kelompok

0,11 11
0,04 12
Jumlah tipe
komposit haplotipe
Keragaman

AAAE
AAAF

0,8267

0,04

0,7766

Nilai keragaman haplotipe yang diperoleh


adalah 0,8267 untuk kelompok sampel 1 dan
0,7766 untuk kelompok sampel 2 (Tabel 1) dengan
nilai rata-rata keragaman genetik (haplotipe)
adalah 0,8017. Tingkat keragaman genetik, yang
ditunjukkan dengan jumlah maupun keragaman
haplotipe, pada ikan tuna mata besar yang diamati
setara dengan jumlah haplotipe ikan laut lainnya
yang berjumlah antara 6-17 dengan nilai
keragaman 0,600-0,900 (Nugroho, 2001).
Nilai keragaman genetik rata-rata adalah
0,8017. Nilai
ini
sedikit
lebih
rendah
dibandingkan nilai keragaman rata-rata ikan tuna
sirip kuning yaitu 0,857 (Permana et al., 2007),
namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan
hasil penelitian Nugraha, (2009) dimana keragaman
genetik rata-rata yang diperoleh adalah 0,6937.
Relatif tingginya keragaman haplotipe pada
ikan tuna mata besar ini memberikan indikasi
bahwa keadaan populasinya belum banyak
terganggu khususnya kelompok sampel 1
(Samudera Hindia selatan Jawa dan Nusa
Tenggara). Selain itu, keadaan ini
juga
menunjukkan bahwa ikan tuna mata besar

289

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 285-292

mempunyai tingkat migrasi yang lebih tinggi


dibandingkan ikan air laut lainnya sehingga
peluang untuk adanya persilangan dengan
populasi yang lainnya semakin besar pula (Wild,
1994).
Keragaman haplotipe terkecil, yaitu 0,7766
terdapat pada ikan tuna mata besar kelompok
sampel 2 (Samudera Hindia barat Sumatera).
Fenomena ini mengindikasikan bahwa ikan tuna
mata besar dari kelompok sampel 2 mempunyai
keragaman genetik yang sedikit rendah dan
memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan
kelompok sampel lainnya. Leary et al., (1985),
menyatakan bahwa rendahnya keragaman
genetik akan mengakibatkan munculnya sifatsifat negatif, antara lain menurunnya
pertumbuhan, keragaman ukuran, kestabilan
perkembangan organ, tingkat kelangsungan hidup,
serta adaptasi terhadap perubahan lingkungannya.

Table 3.
Table
3.

Kelompok
Sampel 1
Kelompok
Sampel 2

Jarak genetik antara ikan tuna


mata besar di Samudera Hindia.
Genetic distance between bigeye
tuna in Indian Ocean.
Kelompok
Sampel 1

Kelompok
Sampel 2

xxxxxxxxx

0,0038
xxxxxxxxx

Jarak Genetik
Berdasarkan uji perbandingan nilai Fst antar
kelompok sampel dengan menggunakan program
TFPGA tercatat bahwa terdapat perbedaan yang
nyata antara kelompok sampel 1 dengan kelompok
sampel 2. Hasil uji keragaman antara dua
kelompok sampel ikan tuna mata besar
dengan metode jarak berpasangan (Fst)
disajikan pada Tabel 2.

Gambar 4.

Tabel 2.

Jarak genetik dan dendrogram hubungan


kekerabatan antar kelompok sampel (filogeni)
pada dua kelompok sampel ikan tuna mata besar
menurut metode UPGMA menggunakan program
TFPGA disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 4.
Jarak genetik antara kelompok sampel ikan tuna
mata besar di Samudera Hindia adalah 0,0038.
Makin kecil nilai jarak genetik yang diperoleh,
maka makin dekat pula keragaman kedua
kelompok sampel tersebut, demikian juga
sebaliknya. Ikan tuna mata besar dari kelompok
sampel 1 (Samudera Hindia selatan Jawa dan
Nusa Tenggara) memiliki jarak genetik yang sangat
rendah dengan kelompok sampel 2 (Samudera
Hindia barat Sumatera). Nilai jarak genetik yang
rendah antara kelompok sampel 1 dan 2,
menunjukkan kedekatan kelompok-kelompok
sampel tersebut. Diduga kedua kelompok
sampel tersebut secara geografis tidak terbatas
antara satu dengan yang lainnya. Keadaan ini
menyebabkan proses migrasi dan pertukaran gen
antar kelompok sampel terjadi. Nilai jarak genetik
pada ikan tuna mata besar ini relatif lebih setara
dibandingkan jarak genetik antara ikan dari
populasi yang terdiri dari sub-spesies yang sama,
seperti pada king fish (Nugroho et al., 2001).

Table 2.

Kelompok
Kelompok

Uji
berpasangan
(Fst)
antara kelompok sampel ikan
tuna mata besar di Samudera
Hindia.
Fst test between sample groups of
bigeye tuna in Indian Ocean.
Kelompok
Sampel 1

Kelompok
Sampel 2

xxxxxxxxx

0,0212*
xxxxxxxxx

Keterangan : *= beda nyata pada taraf p<0,05

Jarak genetik dan dendrogram hubungan


kekerabatan antar kelompok sampel (filogeni)
pada dua kelompok sampel ikan tuna mata besar
menurut metode UPGMA menggunakan program
TFPGA disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 4.
Jarak genetik antara kelompok sampel ikan tuna
mata besar di Samudera Hindia adalah 0,0038.

Figure 4.

Dendrogram
hubungan
kekerabatan
(filogeni)
dua
kelompok sampel ikan tuna mata
besar
di
Samudera
Hindia.
Phylogeny dendrogram of two
groups of samples bigeye tuna
in Indian Ocean.

290

Keragaman Genetik Ikan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus) di Samudera Hindia. (Nugraha B., et al.)

Struktur Populasi
Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak
genetik menunjukkan bahwa kelompok sampel
ikan tuna mata besar yang diamati dapat dibagi
menjadi dua kelompok populasi (subpopulasi), yaitu
kelompok

pertama terdiri dari ikan tuna mata besar yang


berasal dari Samudera Hindia selatan Jawa
dan Nusa Tenggara, sedangkan kelompok kedua
yang berasal dari Samudera Hindia barat
Sumatera (Gambar 5). Perbedaan nilai jarak
genetik antar kelompok sampel menunjukkan hal
tersebut.

200 m

LAUT JAWA

-5

SAMUDERA HINDIA

-10

-15
95

100

105

110

115

120

125

Longitude

Gambar 5.
Figure 5.

Struktur populasi ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia berdasarkan jarak
genetik. Population structure of bigeye tuna in Indian Ocean based on genetic distances.

Nilai jarak genetik kelompok sampel 1 sangat


dekat dengan kelompok sampel 2 (Tabel 3).
Struktur populasi ikan tuna mata besar di perairan
Samudera Hindia ini ditunjukkan oleh nilai-nilai Fst
yang diperoleh melalui metode jarak berpasangan.
Kelompok sampel 1 berbeda nyata dengan
kelompok sampel 2 (Tabel 2).

Terdapatnya dua kelompok populasi (subpopulasi)


ikan tuna mata besar di perairan Samudera Hindia
diduga karena ikan tuna mata besar yang ada di
perairan tersebut berasal dari dua perairan, yaitu
Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Subpopulasi
yang terdapat di perairan Samudera Hindia barat
Sumatera diduga merupakan stok yang berasal dari
Samudera Hindia, sedangkan subpopulasi yang

terdapat di perairan Samudera Hindia diduga


merupakan stok yang berasal dari Samudera
Pasifik.
Studi struktur populasi berdasarkan analisis
mtDNA pada sepesies yang sama di perairan
Samudera Atlantik, Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik menunjukkan bahwa populasi
ikan tuna mata besar di perairan-perairan tersebut
terbagi menjadi 2

populasi; yaitu populasi 1 berasal dari Samudera


Atlantik, sedangkan populasi 2 berasal dari
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (Bremer
et al. 1998; Chiang et al. 2006; 2008). Data yang
diperoleh dari penandaan (tagging) ikan tuna
mata besar menunjukkan beberapa spesies
tersebut melakukan perjalanan jauh tetapi tidak
menunjukkan
perjalanan
lintas
samudera
(Appleyard et al. 2002). Perjalanan lintas
Samudera Atlantik ikan tuna mata besar telah
dicatat oleh Pereira (1995), diacu dalam Appleyard
et al. (2002), namun sejauh ini diketahui bahwa
tidak ada bukti ikan-ikan tuna mata besar yang
telah diberi penandaan berenang di antara
Samudera Atlantik dan Samudera Hindia.
KESIMPULAN
1. Dua kelompok sampel ikan tuna mata besar di
Samudera
Hindia
berhasil
dianalisis
menunjukkan bahwa keragaman genetik yang
dimiliki relatif tinggi. Hal ini dapat memberikan
gambaran bahwa populasi ikan tuna mata
besar belum banyak mengalami gangguan.

291

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 285-292

2. Dendrogram yang dibentuk berdasarkan jarak


genetik menunjukkan bahwa kelompok sampel
ikan tuna mata besar yang diamati dapat dibagi
menjadi dua kelompok populasi (subpopulasi),
yaitu kelompok pertama terdiri dari ikan tuna
mata besar yang berasal dari kelompok
sampel Samudera Hindia selatan Jawa
dan Nusa Tenggara, sedangkan kelompok
kedua yang berasal dari kelompok sampel
Samudera Hindia barat Sumatera. Kedua
subpopulasi Samudera Hindia selatan Jawa
dan Nusa Tenggara dan barat Sumatera
diduga masing-masing merupakan populasi
yang berasal dari Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia.

Nei,
M.
&
F.
Tajima.
1981.
DNA
Polymorphism
detectable
by
restriction
endonucleases. Genetics 97:145-163.
Nugraha, B. 2009. Studi tentang genetika populasi
ikan tuna mata besar (Thunnus obesus) hasil
tangkapan tuna longline yang didaratkan di
Benoa. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Nugroho, E., Ferrel D.J., Smith P. & Taniguchi N.
2001. Genetic divergence of Kingfish from
Japan, Australia
and
New
Zealand
Inferred
by
microsatellite
DNA
and
mitochondrial DNA control region markers.
Journal Fisheries Science 67:843-850.

DAFTAR PUSTAKA
Appleyard SA, RD Ward, & PM Grewe. 2002.
Genetic stock structure of bigeye tuna in the
Indian Ocean using mitochondrial DNA and
microsatellites. Journal of Fish Biology 60:767770.
Chiang HC, CC Hsu, GCC Wu, SK Chang, &
HY Yang. 2006. Population structure of bigeye
tuna (Thunnus obesus) in the South China Sea,
Philippine Sea and western Pacific Ocean
inferred from mitochondrial DNA. Fisheries
Research 79:219-225.
Chiang HC, CC Hsu, GCC Wu, SK Chang,
HY Yang. 2008. Population structure of bigeye
tuna (Thunnus obesus) in the Indian Ocean
inferred from mitochondrial DNA. Fisheries
Research 90:305-312.
Leary, R. F., F. W. Allendorf & K. L. Knudsen.
1985. Development instability and high meristic
counts in interspecific hybrid of salmonid fishes.
Evolution 39(6):1318-1326.
Miller, M.P. 1997. Tools for Population
Genetic Analyses (TFPGA} version 1.3.
Department of Biological Sciences-Box 5640.
Northern Arizona University.
Nei, M. 1972. Genetic distance between
populations. American Nature 106:283-292.
Nei, M. 1978. Molecular Evolutionary Genetics.
New York: Columbia University Press.

Permana, G.N., J.H. Hutapea, Haryanti & S.B.M.


Sembiring. 2007. Variasi genetik ikan tuna sirip
kuning, Thunnus albacares dengan analisis
elektroforesis Allozyme dan Mt-DNA. Jurnal
Riset Akuakultur 2(1):41-50.
Ryman, N. & F. Utter. 1987. Population Genetics
and Fishery Management. London: Washington
Sea Grant Program.
Sianipar, N. F. 2003. Penggunaan marker
RFLP
(Restriction
Fragment
Length
Polymorphism) dalam pemuliaan tanaman.
Makalah Pribadi. Pengantar ke Falsafah
Sains. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Soewardi, K. 2007. Pengelolaan Keragaman
Genetik Sumber daya Perikanan dan
Kelautan.
Departemen
Manajemen
Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Sumantadinata, K. 1982. Population genetics
analysis of black sea beam using biochemical
markers. Tesis. Department of Cultural
Fisheries, Faculty of Agriculture Kochi
University.
Suda, A. 1971. Tuna fisheries and their resources
in the IPFC area. IPFC Procs. 14(2):36-61.
Wild, A. 1994. A review of the biology and fisheries
for yellowfin tuna, Thunnus albacares, in the
eastern Pacific Ocean. FAO Fish. Tech. Pop.
336:52-107.

292

Percobaan Penangkapan Ikan Karang. Modifikasi di Perairan Selayar (Soadiq., S., et al.)

PERCOBAAN PENANGKAPAN IKAN KARANG DENGAN


MENGGUNAKAN FYKE NET MODIFIKASI DI PERAIRAN SELAYAR
Syawaluddin Soadiq1, Ari Purbayanto2, Indra Jaya2
Dosen pada Jurusan Perikanan dan Tim Peneliti Pusat Kajian Ilmu dan Teknologi
Kelautan Universitas Muhammadiyah Makassar
2
Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Teregistrasi I tanggal: 22 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Juli
2011; Disetujui terbit tanggal: 29 November 2011

ABSTRAK
Fyke net umumnya dioperasikan di sungai dan danau memerangkap ikan yang tergiring oleh jaring
pemandu disaat ikan berusaha berenang melawan arus. Fyke net yang dioperasikan di terumbu
karang disesuaikan dengan sifat ikan yang secara sukarela masuk kantong fyke net sehingga modifikasi
bagian-bagiannya perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan efektivitas fyke net
modifikasi untuk menangkap ikan target dan menganalisis hasil tangkapan terkait dengan aspek
keramahan lingkungan. Penelitian dilakukan dengan uji coba penangkapan ikan menggunakan 2 tipe
disain fyke net modifikasi yaitu tipe A (sayap dengan serambi) dan tipe B (sayap tanpa serambi).
Jumlah individu ikan hasil tangkapan total (ekor) berbeda sangat nyata antara fyke net tipe A dan tipe B
(A > 2,96*B). Berat total (gram) ikan hasil tangkapan juga berbeda sangat nyata antara tipe fyke net A
dan tipe B (A > 5,19*B). Jumlah individu hasil tangkapan ikan karang target berbeda sangat nyata antara
fyke net tipe A dan tipe B (A > 15,50*), demikian pula berat ikan karang hasil tangkapan berbeda sangat
nyata antara tipe fyke net A dan tipe B (A > 10,56*B), akan tetapi hasil tangkapan ikan non-target antara
fyke net tipe A dan B tidak menunjukkan perbedaan. Modifikasi bagian sayap fyke net dengan
menambahkan serambi telah meningkatkan hasil tangkapan secara nyata baik dari segi jumlah (ekor)
maupun berat (gram). Rancangan fyke net sayap dengan serambi telah meningkatkan hasil tangkapan
berdasarkan jumlah individu dan berat ikan karang target namun tidak menunjukkan peningkatan
secara nyata terhadap jumlah hasil tangkapan ikan non-target yang merupakan komponen tangkapan
sampingan (by-cacth). Penggunakan fyke net modifikasi efektif menangkap ikan karang target dan
selektif terhadap ikan non-target.
KATA KUNCI
:

percobaan penangkapan, modifikasi fyke net, sayap berserambi, efektivitas, ikan


karang

ABTRACT :

Experiment on Reef Fish Capture by Using Modified Fyke Nets in Selayar


Waters. By : Syawaluddin Soadiq, Ari Purbayanto and Indra Jaya

Fyke net as a passive gear is commonly operated stationary or moved in river, lake and estuarin
waters. Fish to become entrapped by using net leader that guiding fish when swimming againts current
and finally move into bunt end of fyke net. Reef fish have different characteristic on fyke net interaction
which was voluntary trapped on gear, then for this reason the modification of fyke net to catch reef fish is
properly needed. This research is to determine effectiveness of modified fyke net on target catch of reef
fish and to analyze catch of modified fike net in order to achieve friendly environmental level. This
experiment was using two designs of modified fyke net (type-A of chambered wing, type-B of nonchambered wing). Both fyke nets used was simultaneously operated at 25 m distance to sample reef fish
in two locations. The fyke nets fished 24 hours then repeated 7 times for each location. The result
showed that the reef fish as the target catch was dominant in their weight. While, the reef fish as the
non-target catch was dominant in their number. Total catch of fyke net A was significantly higher (2.96
times) than that fyke net B. Moreover, the number of reef fish as the target catch of fyke net A was
significantly higher (15.50 times) than that fyke net B. The weight of reef fish as the target catch of fyke
net A was significantly higher (10.56 times) than fyke net B. But, there was no significantly different
between fyke net A and B on reef fish as non-target catch. Design of modified fyke nets A was effective
to catch reef fish as target catch and selective to catch non-target reef fish.
KEYWORD :

fishing experiment, modified fyke nets, target catch, chambered wing,


effectiveness, reef fish

PENDAHULUAN
Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan
wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir
dengan segenap potensi baharinya seperti
terumbu karang
Korespondensi Penulis :
Jl. Sultan Alauddin 259, Makassar, Sulawesi Selatan

Telepon: (0411) 866972. Faks.: (0411) 86558

tropis yang terdapat di Taman Nasional Laut


Taka Bonerate. Terumbu karang tropis tersebut
memiliki keanekaragaman yang tinggi dan
interaksi antar spesies yang beragam, juga
merupakan
daerah
potensial
untuk

tereksploitasi dari berbagai kegiatan

293

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 293-300

manusia. Keberadaan beberapa spesies ikan


karang target dengan nilai ekonomis penting
seperti kerapu, napoleon, ekor kuning, kakap,
lencam, ikan hias merupakan faktor penyebab
tingginya upaya eksploitasi ekosistem ini. Pada
batas yang tidak terkendali eksploitasi di kawasan
terumbu karang akan mengakibatkan kerusakan
serius
pada
konsistensi
koloni
dan
biodiversitasnya.
Upaya eksploitasi di kawasan terumbu karang
diantaranya adalah aktivitas penangkapan ikan
yang berpotensi secara nyata terhadap kerusakan
pada terumbu karang melalui penggunaan bahan
peledak dan bahan pembius ikan (potassium
sianida). Pratt (1996) melaporkan ion sianida di
air laut menjadi penghambat penyerapan oksigen
ke sel polyp karang, anakan ikan, indukan yang
siap memijah dan oleh karena itu menjadi
sangat rentan mengalami kematian. Hasil
penelitian P2O-LIPI menunjukkan terumbu karang
di Indonesia rusak berat 39,5 %; rusak sedang
33,5 %; baik 21,7 % dan 5,3% sangat baik
(COREMAP, 2001). Degradasi terumbu karang di
Indonesia cenderung mengalami penurunan
biodiversitas generik dengan penyebab utama
adalah polusi dari daratan dan kegiatan
penangkapan yang merusak (destructive fishing)
(Edinger et al., 1998). Salah satu upaya untuk
mengurangi laju kerusakan terumbu karang akibat
penggunaan bahan peledak dan sianida adalah
dengan
merancang
alat
dan
metode
penangkapan alternatif yang dapat menjamin
konsistensi koloni karang dan kelestarian
biodiversitasnya. Uji coba penggunaan alat
tangkap fyke net yang dimodifikasi diharapkan
dapat menjadi metode alternatif mengingat prinsip
pengoperasiannya yang bersifat pasif dan selektif.
BAHAN DAN METODE
Pengumpulan Data
Data diperoleh melalui interview tentang
keadaan
umum
masyarakat,
pengukuran
parameter umum oseanografi perairan di sekitar
lokasi penelitian, dan pengukuran ikan hasil
tangkapan fyke net. Selain itu data deskriptif
proses setting dan hauling yang terkait dengan
keramahan fyke net terhadap terumbu karang
selama
pengoperasiannya
juga
dicatat.
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan
Februari sampai Mei 2009 bertempat di perairan
sekitar Desa Parak Kecamatan Bontomanai
Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan.
Lokasi pemasangan alat tangkap berada pada
posisi 60521" sampai 60524" LS dan 1202324"
sampai 1202354" BT. Percobaan penangkapan
dilakukan dengan membuat 2 rancangan fyke net

modifikasi yaitu tipe A (sayap dengan serambi) dan


tipe B (sayap tanpa serambi).

Pengoperasian fyke net terdiri atas 3 tahap


yaitu: (1) penarikan fyke net dari tepi pantai
menuju ke daerah penangkapan ikan (fishing
ground); (2) pemasangan alat (setting) pada
tubir karang, dan (3) pengangkatan alat
(hauling) untuk mengambil hasil tangkapan
atau memindahkan ke fishing ground lain.
Trip operasi penangkapan dengan fyke net
pada lokasi yang sama secara bersamaan
dengan jarak pemasangan antar fyke net
sejauh 25 m. Pengoperasian fyke net
dilakukan pada dua lokasi fishing
ground. Trip dilakukan selama 24 jam (1
hari) dengan perincian 1 jam perjalanan,
jam pemasangan alat (setting), jam
penarikan alat (hauling) untuk mengambil
hasil tangkapan, dan 22 jam lama
perendaman (soaking time) di lokasi
penangkapan. Pemasangan fyke net di
kedua lokasi dilakukan sebanyak 7 kali
trip sehingga trip keseluruhan diperoleh
sebanyak 14 kali.
Analisis Data
Data hasil tangkapan dianalisis secara
statistik dengan menggunakan F-test two
sample
untuk membandingkan hasil
tangkapan setiap trip fyke net tipe A dan tipe
B dengan bantuan program Microsoft Excel
2003. Uji F dilakukan pada hasil tangkapan
setiap trip fyke net tipe A dan tipe B

294

menggunakan data jumlah individu dan berat


ikan keseluruhan. Selanjutnya Uji F dilakukan
pada hasil tangkapan setiap trip fyke net tipe A
dan tipe B menggunakan data jumlah individu dan
berat ikan karang target, dan ikan non-target.
HASIL DAN BAHASAN
Keadaan Umum Perairan di Lokasi Penelitian
Perairan lokasi penelitian terdiri atas padang
lamun yang menyebar sekitar 10 - 500 m dari garis
pantai. Terumbu karang menyebar sekitar 100 700 m dari garis pantai dengan tubir pada
kedalaman 5 25 m. Perairan relatif subur
sehingga memungkinkan kelimpahan ikan
tinggi. Penangkapan ikan oleh nelayan setempat
dengan menggunakan sero, jaring insang, rawai
dasar, pancing tonda dan tombak.
Pengoperasian Fyke Net Modifikasi
Disain fyke net yang dioperasikan adalah
modifikasi fyke net pada sayap dengan membuat
ruang tambahan sehingga membentuk serambi
berbentuk huruf V (Gambar 1). Dimensi serambi
terdiri atas rangka depan 3 buah (kanan, tengah
dan kiri) yang berukuran tinggi 180 cm dan lebar
150 cm. Pertimbangan tinggi rangka serambi
tersebut berdasarkan sifat ikan karang yang
berenang pada kisaran 0 m sampai kurang dari 2
m dari dasar perairan

Percobaan Penangkapan Ikan Karang. Modifikasi di Perairan Selayar (Soadiq., S., et al.)

(Holzman et al., 1997) sehingga peluang ikan


untuk berenang di sekitar cakupan celah serambi
sangat besar dan memperkecil peluang ikan
berenang di atas fyke net. Bagian serambi
dilengkapi dengan celah yang membentuk corong
mengarah ke dalam dengan lebar 20 cm dan tinggi
150 cm. Celah ini berfungsi untuk mengarahkan
ikan masuk ke dalam serambi dan sulit untuk
keluar kembali (Atar et al., 2002).
Modifikasi pada bagian mulut kantong fyke net
dilakukan dengan menambahkan rigi-rigi (Gambar
1) yang berukuran panjang 60 cm dan tinggi 40
cm dipasang pada rangka ke-2 kantong. Rigi-rigi
dipasang agar menyulitkan ikan untuk meloloskan
diri keluar dari kantong. Material utama penyusun
fyke net yang berat dan keberadaan fouling
(material penempel) pada jaring berdampak
terhadap pengoperasian fyke net terutama saat
setting dan hauling yang

membutuhkan
tenaga
yang
besar
untuk
mengangkat, menarik dan memindahkan fyke net.
Oleh karena itu, penggunaan material penyusun
fyke net yang terbuat dari bahan yang ringan dan
mengurangi fouling perlu dipertimbangkan.
Dimensi fyke net yang relatif besar dengan
ukuran panjang 9 m, tinggi 1,8 m dan lebar 2 m
membutuhkan
penanganan
khusus
dalam
pengoperasiannya. Fyke net sebelum di-setting
terlebih dahulu ditarik dari pantai menuju ke
fishing
ground.
Demikian
pula
pengoperasian yang dilakukan secara berpindahpindah, fyke net ditarik dengan posisi di bawah
perahu yang menimbulkan gesekan pada air
yang dapat memperlambat laju dan olah-gerak
perahu penarik. Posisi penarikan alat di bawah
perahu memperbesar resiko kapal tersangkut
karena membutuhkan jarak lebih besar terhadap
dasar perairan.

Celah masuk ikan


Serambi

A
Sayap

Gambar 1.
Figure 1.

Ilustrasi (dari atas) fyke net dengan serambi (A), tanpa serambi (B), rigi-rigi (C)
Illustration (top view) of fyke net with chamber (A), without chamber (B), frame
(C)

Berdasarkan uraian tersebut maka perlu

dipertimbangkan

penelitian

lanjutan

yang

memodifikasi fyke net yang dapat dibongkarpasang (portable). Konstruksi fyke net portable
diharapkan
lebih
mempermudah
dalam
pengoperasian dan dapat menjadi pilihan nelayan
yang masih menggunakan metode penangkapan
ikan yang merusak karang.
Ikan karang yang tertangkap oleh fyke net
modifikasi pada bagian sayap dan mulut kantong
berhubungan dengan sifat ikan karang. Pada
pengoperasian fyke net diduga keberadaan ikan
masuk ke serambi karena mendeteksi keberadaan
alat sebagai tempat berlindung (shelter),
mekanisme ini serupa dengan sifat ikan karang
yang memutuskan untuk masuk ke bubu sebagai
tempat berlindung seperti yang dikemukakan
oleh Furevik (1994).

Keberhasilan pengoperasian fyke net selain


ditentukan oleh modifikasi konstruksi juga
pemilihan lokasi yang tidak pada koloni karang
melainkan pada tubir karang yang memiliki areal
lebih landai. Dasar perairan tubir karang tidak
terdapat koloni karang sehingga ikan dapat
mendeteksi keberadaan fyke net sebagai shelter.
Ikan karang target dengan sifat migrasi
horizontal dan vertikal pada terumbu karang
menurut Spotte (1992) juga akan mudah
mendeteksi keberadaan fyke net sebagai
shelter (tempat berlindung) kemudian masuk ke
dalam serambi dan akhirnya tertangkap. Migrasi
horizontal dilakukan oleh jenis ikan karang nontarget yang umumnya bersifat herbivor dan
pemakan plankton yang juga ditemukan tertangkap
oleh fyke net. Hal ini diduga karena ikan ini
mendeteksi keberadaan fyke net juga sebagai
shelter.

295

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 293-300

Hasil Tangkapan Fyke Net


Komposisi ikan tangkapan fyke net selama 14
trip terdiri atas 21 spesies yang terbagi ke dalam
11 famili dengan jumlah total ikan sebanyak 269
ekor

dengan berat total 10.535 g. Hasil tangkapan fyke


net berdasarkan famili dengan berat dominan
adalah Lutjanidae 2.148 g (20,39%) selanjutnya
famili dengan jumlah dominan adalah Leioghnatidae
65 ekor (24,16 %) (Gambar 2).

30
25
20

Persentase

15
10
5
0

IndividuBe
rat

Individu
Berat

Ikan target yang tertangkap dominan lebih berat


(famili Lutjanidae, Lethrinidae, Serranidae,
Nemipteridae, Haemullidae) karena ukurannya
relatif besar dan bersifat predator (Gambar 3).
Diduga ikan karang target masuk ke fyke net
untuk mencari mangsa, sedangkan ikan nontarget yang dominan tertangkap dengan jumlah
individu
dominan
(famili
Leioghnatidae,
Apogonidae, Scaridae, Plotosidae, Holocentridae)
diduga masuk ke fyke net untuk mencari
perlindungan
(shelter).
Hal
lain
yang
mendukung jumlah individu ikan non-target lebih
dominan adalah sifat ikan ini yang membentuk
kawanan (famili Leioghnatidae, Apogonidae,
Plotosidae) (Allen & Swaiston, 1984) yang dalam
kenyataan menunjukkan bahwa ikan yang
tertangkap terdiri atas 5-16 ekor dalam 7 hauling.
Ikan karang target seperti jenaha (Lutjanidae),
lencam (Lethrinidae), kuniran (Mullidae) diduga
tertangkap karena sifat ikan yang bermigrasi
keluar karang secara horizontal untuk mencari
makan sehingga dapat berinteraksi dengan fyke
net yang terpasang di luar karang. Interaksi
ikan setelah berada di sekitar fyke net
berhubungan dengan sifat tigmotaxis ikan yang
cenderung mendekati benda-benda asing yang
padat. Proses inilah yang kemudian menuntun
ikan untuk menemukan celah menuju serambi
yang akhirnya terkurung dalam kantong.

296

80
70
60
50
40
30
20
10
0

Ikan
ikan nonkarang
target
target

Gambar 3.
Figure 3.

Persentase jumlah individu dan


berat ikan karang target dan nontarget hasil tangkapan fyke net.
Percentage of individu number and
weight of targeted reef fish and
non-targeted catch of fyke net

Ikan karang target tertangkap pada kisaran


panjang 198-322 mm dengan berat pada kisaran
155-420 g. Hal ini menunjukkan fyke net
menangkap ikan karang target pada ukuran yang
layak dikonsumsi. Ikan non-

Percobaan Penangkapan Ikan Karang. Modifikasi di Perairan Selayar (Soadiq., S., et al.)

target tertangkap pada kisaran panjang 71-137


mm dengan berat pada kisaran 9-155 g.
Hal ini menunjukkan ikan tertangkap yang relatif
berukuran kecil dengan nilai ekonomis rendah dan
merupakan komponen tangkapan sampingan (bycatch) sehingga disarakan untuk memperbesar
ukuran mata jaring fyke net yang lebih besar
dari inci (2 cm). Penggunaan ukuran mata
jaring fyke net yang lebih besar diharapkan akan
mengurangi
komponen
by-catch
hasil
tangkapannya sehingga tetap menjaga konsistensi
ekologis biodiversitas terumbu karang.
Perbandingan Hasil Tangkapan Fyke Net Tipe
A dan Tipe B
Fyke net tipe A (sayap dengan serambi)
memperoleh tangkapan sebanyak 20 spesies yang
tergolong dalam 10 famili, jumlah individu 201 ekor
(74,72%) dengan berat 8.835 g (83,86 %)
sedangkan fyke net tipe B (sayap tanpa serambi)
memperoleh tangkapan sebanyak 8 spesies yang
tergolong dalam 6 famili, jumlah individu 68 ekor
(25,28%) dengan berat 1.700 g (16,14 %).

Perbedaan hasil tangkapan ikan karang tipe A


dan B ditinjau dari jumlah individu dan berat individu
diduga berkaitan dengan perbedaan disain sayap.
Disain sayap pada fyke net tipe A memiliki
serambi sedangkan tipe B tidak memiliki
serambi. Disain serambi pada tipe A memiliki
celah pemasukan (entrance) untuk ikan dapat
dengan mudah berenang masuk serambi tanpa
menyadari bahwa telah terkurung pada serambi,
sedangkan serambi adalah ruang yang terbentuk
di dalam fyke net yang memudahkan ikan
berenang-renang mengitari dinding serambi yang
berakhir pada mulut kantong.
Jumlah individu hasil tangkapan ikan karang
target berbeda sangat nyata antara fyke net tipe A
dan tipe B (A > 15,50*B) (Gambar 5). Berat ikan
karang hasil tangkapan juga berbeda sangat nyata
antara tipe fyke net A dan tipe B (A > 10,56*B).
100
In
B
dividu

90
80

Jumlah individu hasil tangkapan ikan karang


berbeda sangat nyata antara fyke net tipe A dan
tipe B (A > 2,96*B) (Gambar 4). Selanjutnya berat
ikan karang hasil tangkapan juga berbeda sangat
nyata antara tipe fyke net A dan tipe B (A >
5,19*B).

erat

70
60
50
40
30

90

20
10

80

Individu
Berat

60

50

Gambar 5.

40
30

Figure 5.

Persentase jumlah individu dan


berat tangkapan ikan karang target
fyke net tipe A dan B
Percentage of individu number and
weight of targeted reef fish catch

20
10
0

Gambar 4.
Figure 4.

Persentase jumlah individu dan


berat tangkapan fyke net tipe A
dan B Percentage of individu
number and weight of fyke net (A
and B type) catch

Perbedaan hasil tangkapan ikan karang target


tipe A dan B ditinjau dari jumlah individu dan berat
diduga juga berkaitan dengan disain sayap. Disain
sayap pada fyke net tipe A memiliki serambi
sedangkan tipe B tidak memiliki serambi. Ikan
karang target seperti kerapu (Serranidae) jenaha,
tanda-tanda (Lutjanidae), lencam (Lethrinidae), biji
nangka, kuniran (Mullidae) adalah ikan predator
yang bermigrasi secara horizontal mencari mangsa
di luar terumbu karang sehingga memudahkan
ikan-ikan tersebut menemukan fyke net yang
berada di tubir karang. Proses selanjutnya

adalah

interaksi ikan karang target

tersebut dengan
297

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 293-300

bagian-bagian sayap fyke net. Tipe A dengan


sayap memiliki serambi membentuk area
pelolosan ikan (escapement area) lebih kecil di
banding dengan tipe B yang tidak memiliki
serambi. Area pelolosan ikan pada tipe A hanya
terdapat pada celah horizontal dengan lebar 20
cm, sedangkan area pelolosan ikan pada tipe B
lebih besar yaitu pada bagian atas sayap yang
tidak memiliki serambi atau ikan berenang
berbalik arah menjauhi mulut kantong fyke net.
Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa
disain serambi lebih baik untuk menangkap ikan
karang target.
Hasil tangkapan ikan karang non-target fyke
net tipe A dan B tidak menunjukkan perbedaan.
Hal ini diduga berhubungan dengan lokasi
penempatan fyke net yang terletak diluar koloni
karang dan sifat ikan karang non-target yang
umumnya herbivora dan berenang serta mencari
makan hanya di sekitar koloni karang sehingga
interaksi dengan fyke net lebih rendah jika
dibanding dengan ikan karang target. Dengan
demikian menunjukkan bahwa penempatan fyke
net di luar koloni karang tergolong upaya selektif
terhadap tertangkapnya ikan karang non-target
ditinjau dari segi metode pengoperasian.
Ikan non-target adalah komponen tangkapan
sampingan (by-catch) seperti pepetek, capungan
dan kakatua yang umumnya berukuran kecil dan
secara
ekonomis
bernilai
rendah.
Jika
dihubungkan ikan karang non-target dengan
disain
fyke
net menunjukkan
bahwa
modifikasi fyke net tidak mempengaruhi
peningkatan jumlah tangkapan ikan karang nontarget sehingga modifikasi yang dilakukan
tergolong ramah terhadap konsistensi ekologis
terumbu karang.
Kriteria
keramahan
alat
tangkap
yang
dikemukakan Monintja (2000) yang diacu Arifin
(2008) berdasarkan hasil tangkapan sampingan
menunjukkan bahwa fyke net masih menangkap
ikan by-catch dengan jumlah individu 66,33 %.
Optimasi dapat dilakukan dengan memperbesar
ukuran mata jaring fyke net yang lebih besar dari
inci (2 cm). Penggunaan ukuran mata jaring fyke
net yang lebih besar diharapkan akan
mengurangi
komponen
by-catch
hasil
tangkapannya
sehingga
tetap
menjaga
konsistensi
ekologis biodiversitas terumbu
karang.
Kriteria keramahan Fyke Net
Bila ditinjau dari segi selektivitas seperti kriteria
yang dikemukakan Purbayanto et al. (2010),
menunjukkan bahwa fyke net adalah alat tangkap

yang masih menangkap ikan dengan jumlah 21


spesies dan variasi ukuran pada kisaran dengan

rentang panjang yang jauh (71-322 mm) dan


rentang berat yang jauh (9-420 g). Dengan
demikian optimasi yang dilakukan diarahkan
kepada penurunan jumlah spesies yang
tertangkap dan pada ukuran yang relatif
seragam. Upaya optimasi untuk mengurangi
jumlah ikan kurang dari 3 spesies hasil
tangkapan fyke net agak sulit dilakukan
mengingat atribut biodiversitas yang tinggi
pada terumbu karang. Optimasi yang lebih
memungkinkan dapat dilakukan adalah
upaya menyeragamkan hasil tangkapan
fyke net dengan memperbesar ukuran mata
jaring > 2 cm. Kriteria keramahan alat
tangkap berdasarkan hasil tangkapan
sampingan menunjukkan bahwa fyke net
masih menangkap ikan non-target (by-catch)
dengan jumlah individu 63,20 %(Gambar 3).
Kriteria keramahan fyke net masih jauh dari
harapan
karena
menangkap dengan
jumlah lebih 3 spesies dan tidak laku/harga
sangat
rendah
di pasar
seperti
capungan
(Apogonidae),
pepetek
(Leioghnathidae),
kakatua
(Scaridae).
Keramahan fyke net dapat ditingkatkan
dengan memperbesar ukuran mata jaring
fyke net yang lebih besar dari inci (2
cm). Penggunaan ukuran mata jaring
fyke net yang lebih besar diharapkan
akan mengurangi komponen by-catch hasil
tangkapannya sehingga tetap menjaga
konsistensi ekologis biodiversitas terumbu
karang.

298

Pengoperasian fyke net dalam menangkap ikan


karang dilakukan pada tubir karang yaitu daerah
landai yang berada di depan tubir karang dengan
variasi kedalaman 5 25 m. Berdasarkan
observasi
dengan
melakukan
penyelaman
menunjukkan bagian-bagian fyke net dan alat
bantu penangkapan tidak terjadi interaksi fisik
dengan koloni terumbu karang. Hal ini didukung
pula dengan pemanfaatan karung pasir sebagai
pengganti jangkar untuk menahan fyke net
sehingga kerusakan karang dapat dihindari. Bila
ditinjau dari dampak pengoperasian alat tangkap
seperti kriteria yang dikemukakan Purbayanto et
al. (2011), menunjukkan bahwa fyke net adalah
alat tangkap yang tidak menimbulkan kerusakan
terhadap habitat terumbu karang. Oleh
karena itu, pengoperasian alat tangkap
fyke net untuk menangkap ikan karang
berdasarkan hasil penelitian dianggap ramah
terhadap lingkungan.
Prinsip penangkapan fyke net adalah tergolong
alat tangkap yang pasif dan memiliki serambi dan
sayap untuk mengarahkan ikan masuk ke kantong.
Berdasarkan
hasil
tangkapan
fyke
net
menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap dalam
posisi terkurung dalam kantong yang mulutnya
di beri rigi-rigi penghalang. Ikan hasil tangkapan
fyke net tertangkap dalam keadaan hidup dan
dipindahkan ke palka sirkulasi pada perahu
saat hauling.
Kriteria keramahan alat
tangkap yang dikemukakan

Percobaan Penangkapan Ikan Karang. Modifikasi di Perairan Selayar (Soadiq., S., et al.)

Purbayanto et al. (2010) berdasarkan kualitas ikan


hasil tangkapan menunjukkan bahwa fyke net
tergolong alat tangkap yang ramah lingkungan
karena hasil tangkapan dalam keadaan hidup yang
tentunya memiliki kualitas yang tinggi. Dengan
demikian pengoperasian fyke net dengan disain
konstruksinya yang menjaga hasil tangkapan
tetap hidup dapat dipertahankan.
Ikan hasil tangkapan dalam keadaan hidup dan
tidak menimbulkan kerusakan habitat dan
kematian bagi individu lain yang bukan target
penangkapan.
Hal
ini
disebabkan
oleh
pengoperasian fyke net yang pasif sehingga
interaksi fisik bagian-bagain alat dengan terumbu
karang tidak terjadi dan penempatan terumbu
karang pada bagian tubir yang berada di luar
terumbu karang menjamin biodiversitas terumbu
karang. Rigi-rigi pada mulut kantong fyke net
berfungsi untuk menghalangi penyu untuk
tertangkap, sehingga konstruksi fyke net
dapat menjamin tidak tertangkapnya hewanhewan yang dilindungi seperti penyu. Oleh karena
itu kriteria keramahan alat tangkap yang
dikemukakan Purbayanto et al. (2010)
berdasarkan
dampak
kepada
biodiversitas
dianggap telah ramah lingkungan ditinjau dari
pengoperasian fyke net.

KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN
1. Modifikasi bagian sayap fyke net dengan
menambahkan serambi meningkatkan hasil
tangkapan secara nyata dari segi jumlah dan
berat.
2. Disain fyke net sayap dengan serambi
meningkatkan hasil tangkapan berdasarkan
jumlah individu dan berat ikan karang target
dan tidak menunjukkan peningkatan secara
nyata terhadap jumlah hasil tangkapan ikan
non-target yang umumnya berukuran kecil
dan
merupakan
komponen
tangkapan
sampingan (by-cacth).
3. Hasil tangkapan ikan karang target dengan
menggunakan fyke net modifikasi adalah
dominan berdasarkan berat terhadap ikan nontarget.
SARAN
Hasil
penelitian
menunjukkan
beberapa
kesulitan teknis dalam pengoperasian fyke
net yang dimodifikasi yaitu bahan penyusun
fyke nett lebih besar sehingga disarankan untuk
mengganti bahan penyusun dengan bobot yang

lebih ringan seperti pipa paralon yang diberi semen


pengeras. Hasil penelitian

menunjukkan kelemahan fyke net dari dimensi


yang cukup besar untuk dilakukan operasi
secara berpindah-pindah sehingga perlu
penelitian lanjutan untuk merancang konstruksi
yang dapat dibongkar pasang (portable).
Ukuran mata jaring fyke net untuk memperkecil
peluang tertangkapnya ikan karang target
muda perlu diperbesar.
PERSANTUNAN
Pengadaan fyke net sebagian di bantu
oleh Lembaga Pusat Kajian Ilmu dan Teknologi
Kelautan Universitas Muhammadiyah Makassar,
perampungan tulisan dibantu melalui program
bantuan penulisan tesis pada program Mitra
Bahari COREMAP II tahun anggaran 2008.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
atas dukungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.R. & R. Swainston. 1984. The Marine
Fishes of North-Western Australia. A Field
Guide for Anglers and Divers. Western
Australian Museum. Perth.
Atar HH, M. Olmez, S. Bekcan, & S. Secer.
2002. Comparison of Three Trap for

Catching Blue Crap (Callinectes sapidus


Rathbun 1896) in Beymelek Lagoon. Turkey.
Turkish Journal Veteriner Animal Science,
26:1145-1150
http://www.tubitak.com/
turk.jour/Anim.sci/26(2002).pdf[20
Februari
2008]
Arifin, F 2008. Optimasi alat penangkapan ikan
pada ikan layang (Decapterus spp) di
Kabupaten Kepulauan Selayar. Tesis. IPB.
Bogor.
COREMAP.
2001.
Kebijakan
Nasional
Pengelolaan Terumbu Karang di Indonesia.
Coral
Reef
Rehabilitation
and
Management Program I. Jakarta. 8-21 pp.
Edinger EN, J. Jompa, GV. Limmon, W.
Widjatmoko, & MJ. Risk. 1998. Reef
Degradation and Coral Biodiversity
in
Indonesia: Effect of Land-based Pollution,
Destructive Fishing Practices and Changes
Overtimes. Mar.Poll.Bull. 36: 617-630.
Holzman R, M. Ohavia, M. Vaknin, & A. Genin,
2007. Abundance and Distribution of Nocturnal
Fish Over A Coral Reef
DuringThe
Night. M a r . E c o l . P r o g . S e r . (
h t t p : / /
www.repositories.cblib.org/postprint/3260) [14
Januari 2009]. 342. 205-215.

299

J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 4 Desember 2011 : 293-300

Purbayanto A, M. Riyanto, ADP. Fitri, 2010.


Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan pada
Perikanan Tangkap. PT. IPB Press, Bogor.
Pratt VR. 1996. The Growing Threat of Cyanide
Fishing in the Asia Pacific Region and the
Emerging

Strategies to Combat it. Coastal Management


in
Tropical
Asia.
http://en.wikipedia.org/wiki/Cyanide fishing.html
[27 Maret 2008]. 5:9-11.
Spotte S. 1992. Captive Seawater Fishes
Science and Technology. A Wiley Interscience
Publication. John Wiley & Sons.Inc. New York.
1-25 pp.

300

Anda mungkin juga menyukai