Anda di halaman 1dari 4

KONFERENSI SKOTKHOLM DAN KONFERENSI RIO DE JENEIRO

Setelah bertahun-tahun sejak revolusi industri pertengahan abad ke-18, baru pada
pertengahan abad ke-20 dunia mengalami kejutan yang merangsang kepedulian akan
gawatnya masalah lingkungan yang kita hadapi. Akhirnya atas usul Pemerintah Swedia
diselenggarakanlah

Konferensi Internasional PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia

(United Nations Conference on the Human Environment) di Stockholm, Swedia tahun 1972,
adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang
lingkungan hidup. Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan
lingkungan hidup secara global.
Konferensi diselenggarakan dengan harapan untuk melindungi dan mengembangkan
kepentingan dan aspirasi negara berkembang. Pertemuan yang digagas PBB ini menghasilkan
Deklarasi Stockholm berupa Rencana Kerja, khususnya tentang perencanaan dan pengelolaan
permukiman manusia serta rekomendasi kelembagaan United Nations Environmental
Programme (UNEP), yang markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya. Dalam konferensi
ini

Indonesia

menyampaikan

laporan/pandangan

tentang

lingkungan

hidup

dan

pembangunan. Laporan ini merupakan hasil Seminar Nasional Lingkungan dan


Pembangunan di Universitas Padjadjaran, Mei 1972 yang diselenggarakan atas prakarsa Prof.
Soemarwoto (Soerjani,1997).
Konferensi tingkat tinggi Lingkungan Hidup pertama di dunia yang diikuti oleh
wakil dari 114 negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup : Rencana Aksi
Lingkungan Hidup Manusia (actionplan) dan Rekomendasi tentang kelembagaan dan
keuangan yang mendukung rencana aksi tersebut. Dalam konferensi Stockholm inilah
menyepakati pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup melalui kesadaran dengan motto
Hanya Ada Satu Bumi (The Only One Earth) untuk semua manusia, yang terdiri dari 109
rekomendasi dan deklarasi mengenai 26 prinsip-prinsip lingkungan. Diperkenalkannya motto
itu sekaligus menjadi motto konferensi. Selain itu konferensi Stockholm, menetapkan tanggal
5

Juni

sebagai

Hari

Lingkungan

Hidup

sedunia

World

Environmental

Day (http://pin_impala.brawijaya.ac.id//earth summit.htm)


Setelah Konferensi Stockholm, problematika lingkungan hidup tidaklah surut,
bahkan semakin parah, ternyata banyak negara yang masih belum menjalankan kesepakatan,
walaupun ikut menandatangani. Masalah lingkungan hidup terjadi karena perilaku manusia
selama ini telah mengubah keteraturan alam. Alam tidak lagi sepenuhnya dapat berkompromi
dengan kebutuhan manusia dalam melangsungkan kehidupannya, maka kenestapaan manusia

dengan mudah dapat ditemui di banyak sudut muka bumi. Pengkajian yang dilaksanakan 10
tahun kemudian pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya, justru menunjukkan bahwa kerusakan
lingkungan hidup semakin meningkat. Isu yang mengemuka dalam dekade ini mencakup
hujan asam, penipisan lapisan ozon, pemanasan global (perubahan iklim), perusakan hutan,
pengguguran, pelestarian keaneka ragaman hayati, perdagangan internasional bahan-bahan
berbahaya dan beracun serta limbah, serta permasalahan mengenai perlindungan lingkungan
pada saat konflik bersenjata (Sdede, Androniko, 1993 dalam Koesdiyo, Purwanto, 2007).
Menginat kompleksitas permasalahan yang dihadapi maka beberapa perjanjian
internasional pada periode ini lebih mengarah kepada tercapainya konsensus global, yang
mencakup Viena Convention for the Protection of the Ozone Layer, Viena 1985 dan
Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, Montreal 1987, yang
bertujuan mereduksi dan mensubsitusi bahan-bahan perusak ozon dengan bahan lain serta
ketentuan yang mengikat khususnya mengenai produksi dan penggunaan lima macam bahan
kimia, CFC (Chloro Fluoro Carbon). The United Nations Convention on the Law og the Sea
(UNCLOS) tahun 1982,menetapkan pengaturan yang luas mengenai kelautan termasuk
ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan lingkungan laut. Selain itu disepakati pula
Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hozardous Wastes and
Disposal, Basel 1989, The United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNICEF) 1992, dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological
Diversity /CBD) 1992, tentang pelesterian keanekaragaman hayati.
Menyadari semakin kompleksnya masalah lingkungan, perkembangan penting lain
pada periode ini adalah pembentukan lembaga independen oleh Majelis Umum PBB pada
tahun

1983

membentuk World

Commission

on

Environment

and

Development

(WCED), Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, yang diketuai oleh Ny. Gro
Brundtland, Perdana Menteri Norwegia. Komisi ini menyelesaikan tugasnya pada 1987
dengan menerbitkan laporan Our Common Future yang dikenal dengan Laporan
Brundtland.

Tema

laporan

ini

adalah Sustainable

Development

(pembengunan

berkelanjutan). Komisi ini mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai suatu upaya


yang mendorong tercapainya kebutuhan generasi kini tanpa mengorbankan kemampuan
generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep ini menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan standar lingkungan yang tinggi. Inilah
underlying concept pembangunan berkelanjutan yang hingga saat ini terus berkembang
mengikuti dinamika perubahan.

Dua puluh tahun setelah Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm, atau lima
tahun setelah tebitnya Laporan Brundtland, PBB menyelenggarakan United Nations
Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang
Masalah lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan KTT Bumi (Earth
Summit) pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Jargon Think globally, act locally, yang
menjadi tema KTT Bumi menjadi popular untuk mengekspresikan kehendak berlaku ramah
terhadap lingkungan. KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan
(multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara
upaya-upaya melasanakan pembangunan dan upaya-upaya melestarikan lingkungan.
Dalam KTT Rio de Janeiro, dihasilkan lima dokumen meliputi:

Deklarasi Rio juga dikenal dengan Earth Chapter


Pernyataan Prinsip-Prinsip Kehutanan
Konvensi tentang perubahan iklim
Konvensi Keanekaragaman Hayati
Agenda-21

merupakan action

plan yaitu

merupakan

aksi

pembangunan

bewrkelanjutan. Untuk mengawasi dan melaporkan pelaksanaan keefektifan tindak lanjut dari
KTT Bumi maka dibentuklah Komisi Pembangunan Berkelanjutan/Commission on
Sustainable Development (CSD) pada bulan Desember 1997 agar tidak terjadi
penyelewengan.
Agenda-21 di tingkat nasional diselesaikan tahun 1996, dokumen itu dicapai lewat
proyek yang dibiayai oleh UNDP dan dilaksanakan oleh Kantor Menteri Nergara Lingkungan
Hidup. Pokok pokok cakupan Agenda 21 yang merupakan program aksi pembangunan
berkelanjutan adalah sebagai berikut :
a). Social and Economic Dimension yang meliputi : (1) Kerjasama internasional untuk
mempercepat

pembangunan

berkelanjutan

negara berkembang

serta kebijakan

domestiknya. (2) Memerangi kemiskinan. (3) Merubah pola konsumsi. (4) Dinamika
demografi dan sustainibilitasi. (5) Proteksi dan peningkatan kesehatan manusia. (6)
Promosi pembangunan pemukiman manusia berkelanjutan. (7) Integrasi lingkungan dan
pembangunan dalam pengambilan keputusan.
b). Conservation and Manajement of Resources for Development yang meliputi : (8)
Proteksi atmosfer. (9) Pendekatan terintegrasi dealam perencanaan dan manajemen
sumber daya lahan. (10) Memerangi deforestasi. (11) Pengelolaan ekosistem yang rawan,
memerangi desertifikasi dan kekeringan. (12) Pengelolaan ekosistem yang rawan,
pembangunan pegunungan berkelanjutan. (13) Mempromosikan pertanian yang

berkelanjutan dan pembangunan pedesaan. (14) Konservasi keanekaragaman hayati. (15)


Pengelolaan

bioteknologi

berwawasan

lingkungan.

(16)Proteksi

samudera,

keanekaragaman kelautan, termasuk lautan dan semi tertutup, kawasan pesisir serta
proteksi dan penngunaan secara rasional berikut pengembangan sumber alam hayati. (17)
Proteksi kualitas dan supply air. (18) Pengelolaan kimia toksik dan bahaya. (19)
Pengelolaan limbah beracun dengan wawasan lingkungan, termasuk pencegahan llintas
internasional secara illegal dalam limbah beracun dan berbahaya. (20) Pengelolaan
limbah padat dan limbah cair berwawasan lingkungan. (21) Pengelolaan yang aman dan
berwawasan lingkungan dari limbah radio aktif.
Permasalahan inti dalam KTT Bumi Rio de Janeiro adalah permasalahan polusi,
perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, penggunaan dan pengelolaan sumber daya air dan
lautan, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah
berbahaya serta berkurangnya keanekaragaman hayati.
Oleh karena itu, kita sebagai bagian dari bumi yang kian lama kian bertambah sudah
sepatutnya untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga serta memelihara bumi beserta seluruh
sumber daya alam yang ad di dalamnya. Tidak harus melakukan hal besar untuk itu, dimulai
dari hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, menananm pohon di lingkungan
sekitar kita dan hal-hal kecil lainnya. Hal ini mungkin membutuhkan kesadaran pada diri
masing-masing individu, sebuah catatan bahwa jika hal ini dilakukan mulai sekarang maka
bukan hanya manusia yang hidup sekarang yang bias menikmatinya tetapi yang jauh lebih
penting adalah kelangsungan hidup anak cucu kita nanti. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau
bukan sekarang kapan lagi.
GO GREEN, FROM ZERO TO HERO BY TALK LESS DO MORE

ADITIO SURYANTO (14513075)

Anda mungkin juga menyukai