Anda di halaman 1dari 3

Echo

Saya merasa terharu. Ternyata saya masih seorang manusia terhormat. Paling
tidak, sikap hati-hati yang diperlihatkan si satpam ketika menerima kedatangan
saya, cukup gamblang menjelaskan bahwa saya memiliki kadar "lebih" ketimbang d
ia. Satpam itu boleh jadi memang terpengaruh oleh keseriusan yang selalu hadi
r di wajah saya. Tapi saya yakin bahwa ia sebenarnya takluk oleh suara saya y
ang memiliki echo. Betapa banyaknya orang yang sudah tahu kekuatan dan pengaruh
gema suara saya, tak perlu saya jelaskan. Yang pasti, selama ini hal itu menja
di patokan buat saya: tentang dihargai atau ditolaknya saya di suatu tempat.
Begitulah pagi itu. Setelah menempuh jarak berkilometer dengan ojek dari r
umah, lalu naik bus kota yang melewati jalan tol, lalu menyambung dengan mikr
olet, lalu turun di ujung jalan perkantoran itu, kemudian dilanjutkan jalan kak
i di antara mobil-mobil pribadi yang melaju kencang, maka saya sampai di ruang t
amu kantor tujuan saya itu. "Aaadaaa Baaapaaakkk!" sapa saya dengan napas ngos
-ngosan dengan gema suara yang pasti menyentakkan semua penghuni gedung kantor i
tu.
"Ada, ada, ada!" kata satpam itu terbata-bata. Dia tak bisa menyembunyikan ket
ersentakannya. Itulah yang membuat saya terharu. Dan, saya lebih terharu lagi
ketika dengan tergopoh-gopoh satpam itu kemudian mengantarkan saya ke ruang k
erja teman saya di lantai dua. Lega hati saya, perjalanan jauh yang saya temp
uh pagi itu tidak sia-sia. Paling tidak, sudah berlangsung setengah jalan.
Tapi, H, teman saya, ternyata tak bersedia mengenal saya lagi.
"Maaf, Saudara siapa?" tanya teman saya H dengan wajah tertata rapi, tan
pa senyum sedikit pun, dan tanpa tanda-tanda kegembiraan yang dulu menjadi eks
presi khasnya setiap kali bertegur sapa dengan seorang teman.
"Saya, saaayaaa...!" Suara saya bergema di ruang kerja teman saya itu, seperti
di sebuah ruang luas yang dihampari padang tandus kering dan kosong manusia
. Saya tiba-tiba merasa terluka oleh pertemuan yang telah saya impikan selama t
iga hari itu.
"Cari siapa? Ada perlu apa? Bagaimana? Di mana? Kapan? Dari mana? Kenapa? Menga
pa? Apa? Cari apa? Cari siapa? Siapa? Siapa?"
Selanjutnya, sang satpamlah yang memberondong saya dengan pertanyaan ketika meng
giring saya turun dari lantai dua itu. Si satpam seperti memperoleh kesempatan
yang sangat berharga untuk menegakkan kediriannya selama saya berdiam diri. Tapi
, yang sebenarnya, saya tak pernah berdiam diri. Saya sedang sibuk bercakapcakap dengan teman saya H. Dengan hati berdenyut-denyut perih, saya mengelua
rkan suara saya yang paling sempurna echonya.
"Mengapa kamu mengingkari masa lalu?" tanya saya.
"Tak ada masa lalu," kata teman saya.
"Kita dulu satu geng. Sama-sama bikin tato di tangan. Kita berdua belas. Selal
u seiring sejalan merambahi daerah-daerah yang belum kita kenal. Masa kau lupa?"
tanya saya.
"Tak ada itu. Tak pernah terjadi hal semacam itu," kata teman saya dengan t
atapan tegas.
"Kita pernah berjanji."

"Tak ada janji."


"Kita berdua belas pernah..."
"Tak ada itu."
"Kau...pernah kutolong dengan sepiring nasi ketika...musim kemarau panjang men
ghabiskan persediaan makanan di rumah kalian!"
"Saya tak pernah kelaparan dan musim kemarau tak pernah melewati rumah kami
!"
"Kau terlalu. Bagaimana kalau teman-teman yang lain tahu? Kau tidak merasa ma
lu dengan sikapmu?"
"Anda adalah orang kesebelas yang mengaku-ngaku pernah bermasa lalu bersam
a saya."
"Bangsat!"
"Maaf! Anda berkata apa? Istilah apa itu?"
"Kamu bangsaaat!" Echo suara saya memecahkan sebuah kaca jendela di dalam a
ngan saya. Sementara saya tiba-tiba merasakan adanya beban berat di pundak say
a. Tangan si satpam yang sedang menggiring saya ke lantai bawah itu ternyata me
njepit bahu saya.
Terasa panas dan perih di sana. Telinga saya pun terus-menerus mendengar uca
pan, "Jangan suka mengaku-ngaku kenal! Jangan suka mengaku-ngaku kenal! Jangan
suka sok tahu! Jangan suka sok tahu!"
"Ayo mengeong!" bentak satpam itu. Dia membawa saya ke sebuah ruangan di
lantai bawah tanah gedung perkantoran itu. Hamparan luas di lantai bawah tan
ah itu ternyata dijadikan lapangan parkir. Maka, bau yang serentak menyerbu
penciuman saya adalah bau bensin dan bau besi-besi dari berbagai pabrik.
"Ayo cepat! Mengeong!" bentak satpam itu. Kini ia menyodok perut saya dengan
sebuah pentungan yang kelihatannya terawat baik.
Saya terharu. Ternyata saya masih dihargai sebagai seekor kucing oleh si sa
tpam itu. Saya mengeong. Saya mengeong. Echo suara saya merayap-rayap di udara
lembab ruang bawah tanah itu.
"Nih, sekali-sekali kamu coba minum kopi campur Remy Martin!" kata sat
pam itu sambil menyorongkan segelas kopi ke depan hidung saya.Saya minum. Say
a menjilat. Saya menghirup. Saya bersendawa. Lalu, si satpam itu pun berkisah de
ngan lancar bahwa ia tak pernah memperkirakan kehadiran saya. Menit pertama ia
menyadari kehadiran saya, ia merasakan kelumpuhan di segenap sendi-sendi tub
uhnya. Seperti ada yang tiba-tiba hilang dari dirinya ketika ia mendengar ech
o suara saya. Tubuhnya sesaat tinggal melompong tanpa gairah. Lalu, dadanya pun
berdenyut perih ketika menyadari bahwa satu-satunya yang bisa ia perbuat ada
lah mengantar saya secepatnya ke lantai dua. Dia terlanjur menganggap saya de
mikian penting dan menakutkan. Maka, tanggung jawab harus dilimpahkan kepada
orang yang "lebih" dari dia.
Tapi, ketika melihat "pertemuan" yang gagal itu, ia segera menyadari kesilapa
nnya. Ia segera sadar bahwa dirinya telah tertipu oleh echo suara saya. Ma
ka, untuk selanjutnya ia harus benar-benar siap dengan tanggung jawab sebaga
i seorang satpam yang telah digaji mahal. Maka, untuk selanjutnya ia harus y
akin dengan pendapat barunya bahwa saya cuma seekor kucing yang sedang mengendus
-endus tulang dan sisa makanan.

Saya memang kucing. Begitulah si satpam itu berkata yakin sambil kembali me
nyodok perut saya dengan pentungannya yang resik. Paling-paling saya hanya m
ampu mengeong, mengeong, makan, tidur, lalu terkadang mencuri ikan di meja-meja
makan yang tidak terjaga.
Begitulah empat bulan yang lalu, katanya. Dia sedang makan malam di warung lang
ganannya itu, ketika saya melompat ke sampingnya. Dia sedang kesal dengan sedi
kit daging yang masih melekat pada tulang paha ayam di piringnya. Berkali-kali
ia menggunakan garpu untuk mencungkil daging itu tapi tetap saja belum ber
hasil. Sementara, untuk menggunakan tangan, ia terlanjur malu.
Sebab, meskipun ia seorang satpam, ia toh merasa berhak memberi kan harga "mode
rn" kepada dirinya dengan tak pernah makan menggunakan tangan telanjang selama m
enjadi pelanggan warung tersebut.
Begitulah, katanya. Ia sedang berkutat dengan secuil daging, lalu saya muncul de
ngan lompatan kilat ke sampingnya, yang dilanjutkan dengan sergapan ke atas me
ja makan menyambar tulang paha ayamnya yang saat itu hendak ia cungkil kembali
dengan garpu. Ia benar-benar terganggu oleh cara saya yang tanpa aturan, ta
npa sopan-santun. Ia benar-benar tak nyaman oleh cara saya melenggok dengan tul
ang paha ayam di mulut. Ia benar-benar diejek oleh cara saya yang pergi begitu
saja ke bawah meja lain dengan sejuta kemenangan mengiringi setiap langkah s
aya. Ia benar-benar merasa runyam, karena kemudian yang mampu ia perbuat hanyal
ah pura-pura tambah air minum, lalu menyelesaikan makan malamnya dengan perut
terasa lebih lapar daripada sebelum makan malam yang khusuk itu.
Ia marah, kemudian meminta saya kepada si empunya warung. Jangan pura-pura l
upa, kata si satpam itu. Ia kembali menyodok perut saya, dan kali ini ditamba
h dengan mementungkan dua kali tongkatnya yang berwarna hitam itu ke kepala sa
ya.
"Dasar kucing!" bentaknya. "Ayo mengeong!" bentaknya. "Ayo minum!" bentaknya.
"Jangan bersendawa!" bentaknya.
Saya barangkali memang benar-benar kucing. Maka, saya mengeong. Maka, saya me
ngeong. Echo suara saya tertahan di lipatan perut dan dada saya yang terasa sem
akin perih.
"Begitulah bunyi suara kamu empat bulan yang lalu, ketika saya memukuli kamu
sepanjang malam," kata si satpam itu sambil menyorongkan gelas kopi yang kedu
a ke depan kumis saya.
"Ini masih dicampur Remy Martin!" katanya, kembali menyodok.
Kali ini saya tidak mengeong, tapi mengaduh sebagaimana halnya manusia terho
rmat. Namun, siapa yang bisa mendengar echo suara saya dari lantai bawah tanah
itu?*****

Anda mungkin juga menyukai