terhadap milik tanah dan campur tangan orang Eropa. Tanam paksa memaksa
penduduk bekerja dan melepaskan tanahnya maupun organisasi desa. Ini
mengakibatkan para petani sangat dirugikan, karena hak milik petani menjadi lemah.
Pengertian tentang milik tanah individu dan keluarga dalam arti barat telah dihapus
dan yang tinggal hanyalah sistem tanah bersama untuk digunakan sebagai lahan
penanaman tanaman yang berguna untuk tanaman pemerintah, terutama yang baik,
dan tempat tenaga buruh dikerahkan. Bahkan akhirnya milik tanah pribadi dibatasi
bagi orang Indonesia asli, dan orang asing atau Indonesia keturunan asing juga tidak
diperbolehkan memilikinya.
Pada abad 19 banyak tanah menjadi tidak terurus, sebagai akibat dari
perindahan untuk melepaskan diri dari rodi yang berat. Campur tangan terhadap milik
tanah ini menjadi lebih membengkak ketika diadakan lagi pembagian kembali tanah
pertanian. Dan dengan demikian jumlah pemilik tanah yang terikat oleh milik tanah
juga bertambah.
Kegagalan secara Struktural-Birokratis dan Ekonomis
Campurtangan orang Eropa tidak hanya terbatas masalah pemilikan tanah saja, tetapi
semakin luas. Pada mulanya orang-orang bumiputera menjadi semakin ahli dalam
bidangnya di pabrik-pabrik gula. Namun dengan berkembangnya pabrik-pabrik yang
menuntut organisasi dan teknik yang lebih maju, keterlibatan orang-orang Eropa tidak
bisa lagi dihindarkan. Akibatnya para pekerja dan kepala desa menjadi bawahan dan
harus tunduk kepada orang-orang Eropa dan sebagian kepada orang-orang Cina, yang
sekligus menjadi pimpinan tekhnik, karena pengaruh teknik inilah timbul
kecenderungan untuk mengesampingkan peranan pegawai bumiputera, yaitu kepala
desa dan bahkan bupati, dan sebaliknya memperbesar pengaruh orang-orang Eropa,
khususnya dalam penanaman gula. Hal ini merupakan suatu penyelewengan terhadap
peraturan bahwa penanaman di atas tanah yang 1/5 dari milik tanah itu harus diawasi
oleh kepala desa. Namun peranan kepala desa dipertinggi menjadi agen yang
tergantung kepada pemerintah Belanda.
Tanam paksa juga memakai sarana pengabdian feudal, yakni Bupati, Patih,
Wedono, Kepala Desa, dsb, disamping orang-orang Eropa. Pengaruh para bupati pada
rakyat diperbesar dalam batasan-batasan tertentu. Mereka yang berambisius terhadap
usaha-usaha komersial, diberi gaji dan hak-hak istimewa. Dengan demikian mereka
menjadi bagian dari pemerintah kolonial, dengan hak-hak yang turun temurun yang
berfungsi menjadi rangsangan meski tidak pernah tertulis. Begitu juga perlakuan
terhadap patih, wedono, dan pangreh praja. Kadangkala bupati menjadi lawan
terhadap Tanam Paksa, karena secara tidak langsung Tanam Paksa itu sendiri
membatasi kekuasaan mereka. Peranan kepala desa pada Tanam Paksa juga
mengalami perkembangan baru dari politik kolonial sebelumnya yaitu VOC. Kepala
desa diberi kuasa mengatur dan mengawasi Tanam Paksa. Bahkan keberhasilan
sebagai kepala desa ini diukur oleh keberhasilan dalam melaksanakan peraturan
pemerintah. Dengan demikian menjadi kepala desa hanya menjadi alat yang
menguntungkan pemerintah kolonial. Dengan cara itu maka ketergantungan terhadap
atasan menjadi lebih besar pula. Sedangkan tidak taat kepada ketentuan ini berarti
menerima hukuman, yaitu marah, pemecatan dari jabatannya.
Hal yang berlaku terhadap lurah ini juga berlaku kepada bupati, wedono,
camat sehingga tidak melakukan tugas sebaik mungkin pasti akan dikenakan
hukuman oleh pemerintah Belanda. Kuasa tradisional-feodal ini juga dijadikan alat
untuk memaksakan aturan Tanam Paksa yang lokal. Dengan dorongan perangsang
finansial, yang disebut kultuurprocenten, maka bupati dan kepala desa mau, kendati
harus memutus hubungan dengan rakyat. Akibatnya peranan kepala desa ini berubah
menjadi sumber penekanan pemerintah Hindia Belanda daripada pemersatu dan
pelindung desa, atau dengan lebih keras dapat dikatakan bahwa pemerintah
bumiputera menjadi lintah darat.
Naiknya peran kepala desa menjadi agen pemerintah atau katakan saja lintah
darat yang menjadi alat penyerap kekayaan pribumi secara halus, menyebabkan
kepercayaan terhadap kepala desa menjadi menurun. Maksud pemerintah kolonial
untuk mengatasi penyelewengan tidak setajam parahnya penyelewengan. Ada
peningkatan sarana-sarana angkutan ditambah. Dalam sebagian terkecil perkebunan
dipekerjakan juga pada para pengangguran dan pengembala dengan ganti rugi upah
dalam jumlah yang tertentu. Namun gaji yang diberikan ini tidak hanya tidak
memadahi sebagai upah kerja, tetapi juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup minimal. Masalah pertambahan penduduk dan faktor ekonomi. Sikap Van den
Bosch yang sangat buruk adalah tindakannya yang tidak mengakui peranan
bumiputera dalam keuntungan ekonomi kolonial. Orang-orang bumiputera tidak
diperhitungkan dalam memajukan eksport tanaman dagang secara cepat itu, karena
mereka bekerja hanya secara paksa dan pada waktu senggang-senggang. Dua
kenyataan yang dikotomis, yaitu sementara penduduk naik secara cepat, tetapi
perkembangan ekonominya mandeg.
Penduduk tidak tahu jalan keluar atas masalah ini, sebalikny semakin parah.
Kelaparan dan kematian tidak dapat dicegah. Tahun 1844, di Cirebon terjadi
kelaparan, di Demak tahun 1848, di Gerobogan tahun 1849, dan dari tahun 18401850, terjadi kematian yang sangat mengerikan di Cirebon dari 336.000 tinggal
120.000 orang, dan di Berobogan dari 89.000 tinggal 9.000 orang. Kematian ini tidak
lain disebabkan oleh parahnya ekonomi saat itu. Kemunduran ekonomi ini
sesungguhnya berproses sejak Raffles. Perluasan sawah dan milik pribadi
mengganggu struktur pedesaan. Penetrasi nilai uang baik dari gaji dan pasar tak
sedikit pengaruhnya terhadap kepasifan penduduk. Sementara itu jelas bahwa
penduduk bumiputera belum siap menerimanya. Akan tetapi kesempatan dikalangan
menengah yang timbul dari perluasan perdagangan asing tidak dinikmati oleh orang
Jawa, tetapi hanya oleh orang Cina. Orang Jawa sendiri menjadi kerja kuli, yang
sedang sekaligus mengalami konflik dengan tradisi pertanian mereka, karena