Anda di halaman 1dari 5

HIPOGLIKEMIA

PENDAHULUAN
Hipoglikemia adalah suatu simptom kompleks yang diawali dengan turunnya kadar
glukosa darah sampai tidak mencukupinya kebutuhan metabolik yang diperlukan oleh sistem
saraf sehingga menimbulkan berbagai keluhan dan gejala yang karakteristik. Hipoglikemia post
prandial dikemukakan pertama kali pada tahun 1924, pada waktu itu belum diketahui secara jelas
mengenai gejala-gejala dan tidak diperkirakan adanya hipoglikemia. Sejak digunakan obat
insulin dan sulfonilurea untuk diabetes melitus (DM), banyak dilaporkan mengenai hipoglikemia
akibat obat-obat tersebut. Timbulnya keadaan tersebut karena kurang penerangan kepada
penderita akan pengaruh obat atau dosis yang diberikan terlalu tinggi atau tidak menurut aturan.
Kemajuan dalam pengobatan diabetes mellitus dalam beberapa tahun terakhir ini serta tingkat
pendidikan masyarakat yang semakin maju maka akhir-akhir ini adanya hipoglikemia akibat
pemberian obat-obat hipoglikemia semakin berkurang. Namun demikian perlu diketahui secara
dini untuk mencegah perlangsungan selanjutnya karena hal ini dapat membahayakan hidup
penderita. Di Indonesia frekuensi hipoglikemia pada penderita diabetes mellitus sampai saat ini
masih belum pernah dilaporkan dalam skala besar.
DEFINISI
Hipoglikemia adalah kondisi dimana kadar glukosa darah lebih rendah dari tingkat
normal glukosa darah. Hipoglikemia ini dapat didefinisikan "ringan" jika dapat ditangani sendiri
dan "berat" jika bantuan oleh pihak ketiga diperlukan. Bagi penderita diabetes yang memerlukan
rawat inap, setiap glukosa darah kurang dari 4.0mmol / L harus dirawat.
ETIOLOGI
Hipoglikemia pada DM dapat ditemukan pada penderita yang mendapat pengobatan
insulin atau penderita yang mendapat obat hipoglikemia oral (tablet). Pada umumnya lebih
sering ditemukan pada penderita DM yang mendapat insulin. Terjadinya hipoglikemia pada
penderita ini adalah akibat pemberian dosis obat yang melebihi dari yang semestinya dengan

kata lain dosis yang diberikan terlalu besar, atau penderita melakukan kegiatan dan aktifitas fisik
yang berlebihan, atau penderita kurang makan sedang pemberian dosis obat yang
diberikan tidak diturunkan. Pada umumnya timbulnya hipoglikemia sering ditemukan pada saat
sebelum makan siang dan malam hari. Hal ini disebabkan karena penderita terlambat makan
siang (karbohidrat yang dimakan tidak mencukupi). Aktifitas fisik yang berlebihan, dosis insulin
yang berlebihan, perubahan jenis suntikan insulin dari insulin babi/sapi ke insulin murni tanpa
menurunkan dosis insulin, semuanya dapat mempercepat timbulnya hipoglikemia.
Beberapa keadaan tersebut di bawah ini dapat mempermudah penderita DM masuk ke
dalam hipoglikemia :
1. Kerja

insulin

akan

lebih

lama

bila

pada

penderita

yang

mendapat

insulin juga mendapat obat-obat seperti, propranolol, oxytetracycline, ethylene diamino tetra
acetic acid (EDTA).
2. Penderita dengan insufisiensi ginjal atau gagal ginjal mempunyai kecenderungan untuk
mengalami hipoglikemia akibat gangguan inaktifasi insulin oleh ginjal.
3. Adanya hipoglikemia sering juga ditemukan pada penderita DM usia lanjut yang mendapat
tablet golongan sulfonylurea yang kerjanya lama seperti, chlorpropamide (Diabinese) atau
acetohexamide oleh karena :
a. kerjanya yang lama merangsang sel beta, sehingga sekresi insulin dapat berlangsung lama.
b. pada orang tua sering disertai dengan gangguan faal ginjal, sehingga walaipun obat
hipoglikemia oral sudah dihentikan masih dapat timbul ulangan hipoglikemia karena kerja
obat ini yang lama.
c. pada penderita uasia lanjut mungkin produksi glukosa oleh hati berkurag sehingga timbul
suatu keadaan hipolikemia.
PATOGENESIS
Pada waktu makan cukup tersedia sumber energi yang diserap dari usus. Kelebihan
energi disimpan sebagai makromolekul dan dinamakan fase anabolik. Enam puluh persen dari
glukosa yang diserap usus dengan pengaruh insulin akan disimpan di hati sebagai glikogen,
sebagian dari sisanya akan disimpan di jaringan lemak dan otot sebagai glikogen juga. Sebagian
lagi dari glukosa akan mengalami metabolisme anaerob maupun aerob untuk energi seluruh

jaringan tubuh terutama otak. Sekitar 70% pemakaian glukosa berlangsung di otak. Otak tidak
dapat menggunakan asam lemak bebas sebagai sumber energi.
Pencernaan dan penyerapan protein akan menimbulkan peningkatan asam amino di
dalam darah yang dengan bantuan insulin akan disimpan di hati dan otot sebagai protein. Lemak
diserap dari usus melalui saluran limfe dalam bentuk kilomikron yang kemudian akan dihidrolasi
oleh lipoprotein lipase menjadi asam lemak. Asam lemak ini akan mengalami esterifikasi dengan
gliserol membentuk trigliserida yang akan disimpan di jaringan lemak. Proses tersebut
berlangsung dengan bantuan insulin.
Pada waktu sesudah makan atau sesudah puasa 5-6 jam, kadar glukosa darah mulai turun,
keadaan ini menyebabkan sekresi insulin juga menurun, sedangkan hormon kontraregulator,
yaitu glukagon, epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan akan meningkat. Terjadilah
keadaan sebaliknya (katabolik), yaitu sintesis glikogen, protein, dan trigliserida menurun
sedangkan pemecahan zat-zat tersebut akan meningkat. Pada keadaan penurunan glukosa darah
yang mendadak, glukagon dan epinefrinlah yang sangat berperan. Kedua hormon tersebut akan
memacu glikogenolisis, glukoneogenesis, dan proteolisis di otot dan lipolisis di jaringan lemak.
Dengan demikian tersedia bahan untuk glukoneogenesis, yaitu asam amino terutama alanin,
asam laktat, piruvat, sedangkan hormon kontraregulator yang lain berpengaruh sinergistik
terhadap glukagon dan adrenalin tetapi perannya sangat lambat. Secara singkat dapat dikatakan,
dalam keadaan puasa terjadi penurunan insulin dan kenaikan hormon kontraregulator. Keadaan
tersebut akan menyebabkan penggunaan glukosa hanya di jaringan insulin yang sensitif dan
dengan demikian glukosa yang jumlahnya terbatas hanya disediakan untuk jaringan otak.
Walaupun metabolit rantai pendek asam lemak bebas, yaitu asam asetoasetat dan asam
hidroksi butirat (benda keton) dapat digunakan oleh otak untuk memperoleh energi, tetapi
pembentukan benda-benda keton tersebut memerlukan waktu beberapa jam pada manusia.
Karena itu ketogenesis bukan merupakan mekanisme protektif terhadap terjadinya hipoglikemia
yang mendadak.
Selama homeostatis glukosa tersebut di atas berjalan, hipoglikemia tidak akan terjadi.
Hipoglikemia terjadi jika hati tidak mampu memproduksi glukosa karena penurunan bahan
pembentuk glukosa, penyakit hati, atau ketidakseimbangan hormonal.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala-gejala hipoglikemia terdiri dari dua fase, yaitu:
1. Fase I, gejala-gejala akibat aktivasi pusat autonom di hipotalamus sehingga hormon epinefrin
dilepaskan. Gejala awal ini merupakan peringatan karena saat itu pasien masih sadar sehingga
dapat diambil tindakan yang perlu untuk mengatasi hipoglikemia lanjut.
2. Fase II, gejala-gejala yang terjadi akibat mulai terganggunya fungsi otak, karena itu
dinamakan gejala neurologis.
Penelitian pada orang bukan diabetes menunjukkan adanya gangguan fungsi otak yang lebih
awal dari fase I dan dinamakan gangguan fungsi otak subliminal. Di samping gejala peringatan
dan neurologis, kadang-kadang hipoglikemia menunjukkan gejala yang tidak khas.
Kadang-kadang gejala fase adrenergik tidak muncul dan pasien langsung jatuh pada fase
gangguan fungsi otak. Terdapat dua jenis hilangnya kewaspadaan, yaitu akut dan kronik. Yang
akut, misalnya pada pasien DM Tipe 1 dengan glukosa darah terkontrol sangat ketat mendekati
normal, adanya neuropati autonom pada pasien yang sudah lama menderita DM, dan penggunaan
- bloker yang nonselektif. Kehilangan kewaspadaan yang kronik biasanya ireversibel dan
dianggap merupakan komplikasi DM yang serius.
Sebagai dasar diagnosis dapat digunakan trias Whipple, yaitu hipoglikemia dengan
gejala-gejala saraf pusat; kadar glukosa kurang dari 50 mg%; dan gejala akan menghilang
dengan pemberian glukosa.
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan hipoglikemia berat dan berkepanjangan adalah
kegagalan sekresi hormon glukagon dan adrenalin (pasien telah lama menderita DM), adanya
antibodi terhadap insulin, blokade farmakologik (-bloker nonselektif), dan pemberian obat
sulfonilurea (obat anti DM yang berkhasiat lama).
PENATALAKSANAAN

Pengobatan harus cepat dilakukan. Bila pasien masih sadar, tindakan dapat dilakukan
oleh pasien itu sendiri dengan minum larutan gula 10-30 g. Pada pasien tidak sadar diberi bolus
dekstrosa 15-25 g. Bila tindakan tersebut belum dapat dilakukan, dioleskan madu atau sirop ke
mukosa pipi.

Bila hipoglikemia terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi insulin, maka selain
dekstrosa dapat juga digunakan suntikan glukagon 1 mg im, lebih-lebih bila suntikan dekstrosa
iv sulit dilakukan.
Bila koma hipoglikemia terjadi pada pasien yang mendapat sulfonilurea sebaiknya pasien
tersebut dirawat di rumah sakit, karena ada risiko jatuh koma lagi setelah suntikan dekstrosa.
Pemberian dekstrosa diteruskan dengan infus dekstrosa 10% selama 3 hari. Monitor glukosa
darah setiap 3-6 jam sekali dan kadarnya dipertahankan 90-180 mg%. Hipoglikemia karena
sulfonilurea ini tidak efektif dengan pemberian glukagon.
Sebagian kecil pasien tidak berespons terhadap pengobatan di atas dan tetap tidak sadar
walaupun kadar glukosa darah sudah di atas normal. Pada pasien ini biasanya terjadi edema
serebri dan perlu pengobatan dengan manitol atau deksametason. Dosis manitol 1,5-2 g/kg BB
diberikan setiap 6-8 jam. Dosis awal deksametason 10 mg bolus dilanjutkan 2 mg setiap 6 jam.
Pasien tetap mendapat infus dekstrosa 10% dan glukosa darah di sekitar 180 mg%, di samping
dicari penyebab koma yang lain. Hindari fluktuasi kadar glukosa yang besar karena akan
memperberat edema serebri. Bila koma berlangsung lama perlu diberikan insulin dalam dosis
kecil.
PROGNOSIS
Kematian dapat terjadi karena keterlambatan dalam pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai