Anda di halaman 1dari 32

Menegakkan Diagnosis Demam Tifoid Pada Manusia

Regina Caecilia Setiawan


NIM : 102012280
Kelompok C6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Barat
Alamat Korespondensi : Jalan Terusan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11470
Email : reginacaecilia@yahoo.com

Abstrak
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara
berkembang. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam
penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan
identifikasi secara molekuler. Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan
kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan penelitian
lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau
harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik,
seperti uji TUBEX, Typhidot-M dan lain-lain mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di
Indonesia.
Abstract
Typhoid fever remains a significant health problem in developing countries. Clinical
picture of typhoid fever are often non-specific that the diagnosis requires confirmation with
laboratory tests. Investigations include peripheral blood examination, isolation / bacteria
culture, serological and molecular identification. A variety of new diagnostic methods for
replacement Widal test and blood culture as conventional methods are still controversial and
needs further study. Several diagnostic methods are fast, easy, and affordable for developing

countries with sufficient sensitivity and good specificity, such as Tubex test, Typhidot-M and
others may be able to start pioneered its use in Indonesia.
Pendahuluan
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai Negara berkembang termasuk
Indonesia, terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Beberapa faktor penyebab demam
tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula
keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak
spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan
laboratorium. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui
pemeriksaan laboratorium. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih dise rtai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. Demam tifoid

merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang
tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit
menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang
sehingga dapat menimbulkan wabah.
Anamnesis
Seorang dokter harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau
keluarga dekatnya mengenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat pelayanan
kesehatan. Anamnesis adalah wawancara yang dapat mengarahkan masalah pasien ke
diagnosis penyakit tertentu. Anamnesis memiliki tujuan untuk menentukan diagnosis
kemungkinan sehingga membantu menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk
pemeriksaan fisik dan penunjang. Tehnik anamnesis yang baik disertai dengan empati
merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam
usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien. Empati mendorong
keinginan pasien agar sembuh karena rasa percaya kepada dokter.1
Buatlah catatan penting selama melakukan anamnesis sebelum dituliskan secara lebih
baik didalam status pasien. Status adalah catatan medik pasien yang memuat semua catatan
2

mengenai penyakit pasien dan perjalanan penyakit pasien. Anamnesis dapat langsung
dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantarnya
(alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai. Dalam
melakukan anamnesis, tanyakanlah hal-hal yang logik mengenai penyakit pasien, dengarkan
dengan baik apa yang dikatakan pasien, jangan memotong pembicaraan pasien bila tidak
perlu. Selain melakukan wawancara (verbal), maka selama anamnesis juga harus
diperhatikan tingkah laku non verbal yang secara tidak sadar ditunjukkan oleh pasien.1
Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, anamnesis susunan
sistem dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obatobatan, lingkungan). Pasien dengan sakit menahun, perlu dicatat pasang-surut kesehatannya,
termasuk obat-obatannya dan aktivitas sehari-harinya.1
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama
orang tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku
bangsa dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa
pasien pergi ke dokter yang ditambahkan keterangan waktu mulai keluhan itu dirasakan.
Riwayat perjalanan penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang
berobat. Setelah semua data terkumpul, usahakan untuk membuat diagnosis sementara dan
diagnosis diferensial. Bila mungkin, singkirkan diagnosis diferensial, dengan menanyakan
tanda-tanda positif dan tanda-tanda negatif dari diagnosis yang paling mungkin. Riwayat
penyakit dahulu bertujuan untuk mengetahui kemungkinan hubungan antara penyakit yang
pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.1
Riwayat penyakit keluarga merupakan bagian anamnesa yang penting untuk mencari
kemungkinan penyakit herediter atau penyakit infeksi. Riwayat pribadi meliputi data-data
sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan pula apakah pasien mengalami
kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya.
Kebiasaan pasien yang juga harus ditanyakan adalah kebiasan merokok, minum alkohol,
termasuk penyalahgunaan obat-obat terlarang (narkoba). Pasien-pasien yang sering
melakukan perjalanan juga harus ditanyakan tujuan perjalanan yang telah dilakukan untuk
mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Yang
tidak kalah pentingnya adalah anamnesis mengenai lingkungan tempat tinggalnya, termasuk
3

keadaan rumahnya, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan
sebagainya.1
Dalam skenario kasus kali ini, didapatkan bahwa pasien mengeluh demam sejak 7
hari yang lalu, nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual dan muntah 3 kali sehari. Demam sepanjang
hari dan lebih panas pada malam hari. Serta, belum BAB sejak 4 hari yang lalu dan terdapat
nyeri tekan pada region epigastrium. Selanjutnya, dokter mulai mengarahkan pertanyaanpertanyaan. Beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk pasien tersebut,
ialah:
1. Bagaimana intensitas demamnya?
2. Demamnya saat kapan saja? Sepanjang hari dan memburuk pada soremalam hari ?
3. Adakah nyeri kepala, nyeri ulu hati, mual, muntah?
4. Kapan terakhir BAB? Fesesnya seperti apa?
5. Adakah perdarahan seperti mimisan, muntah darah, petekiae?
6. Adakah rasa kedinginan, menggigil?
7. Apakah pernah pergi ke daerah endemis tinggi malaria?
8. Apakah sebelumnya ada jajan sembarangan?
9. Bagaimana sanitasi lingkungan di sekitar tempat tinggal? Apakah bersih
atau tidak?
10. Riwayat penggunaan obat-obatan?
11. Riwayat penyakit dahulu?
12. Riwayat penyakit keluarga?
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuantemuan dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau
pemeriksaan pandang (inspeksi), pemeriksaan raba (palpasi), pemeriksaan ketok (perkusi),
dan pemeriksaan dengar dengan menggunakan stetoskop (auskultasi). Sikap sopan santun dan
rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien yang sedang diperiksa harus diperhatikan
dengan baik oleh pemeriksa. Inspeksi dilakukan hanya dengan melihat tubuh pasien secara
teliti dan menyeluruh untuk menemukan kelainan yang nampak jelas (misalnya benjolan,
bercak-bercak dsb) dan kelainan yang tersembunyi (misalnya pucat, fasikulasi). Palpasi
dilakukan dengan meraba tubuh pasien untuk mengetahui adana nyeri atau nyeri tekan.
4

Pemeriksaan dimulai dengan penekanan yang ringan dan lembut, lalu dilanjutkan dengan
penekanan yang lebih kuat. Perkusi dilakukan dengan mengketuk-ketuk tubuh pasien dan
membandingkan suara-suara yang terdengar di setiap daerah tubuh pasien. Terakhir,
auskultasi dilakukan dengan menggunakan alat bantu stetoskop untuk mendengarkan suara
seperti suara detakan jantung atau suara saat melakukan inspirasi/ekspirasi.2
Pemeriksaan yang dilakukan pada pemeriksaan fisik terutama adalah pemeriksaan
tanda-tanda vital. Pengkajian tanda vital meliputi pemeriksaan suhu, nadi, pernapasan, dan
tekanan darah adalah tanggung jawab dasar keperawatan dan merupakan metode yang
penting untuk memantau fungsi tubuh yang vital. Pengukuran yang perlu dilakukan adalah
pengukuran tekanan darah, frekuensi denyut nadi, dan frekuensi respirasi. Jika ada indikasi,
ukur juga suhu tubuh. Tanda-tanda vital memberi gambaran tentang fungsi organ-organ
spesifik terutama jantung dan paru-paru dan juga seluruh sistem tubuh. Pekerja kesehatan
mengobservasi tanda-tanda vital untuk membentuk pengukuran dasar, mengamati
kencederungan, mengidentifikasi masalah fisiologis dan memantau respons klien terhadap
terapi. Selama pengkajian fisik lengkap, dokter akan mengukur semua tanda-tanda vital
sekaligus, atau akan menggabungkan tanda vital ke dalam langkah pengkajian yang berbeda.
Karena hasil yang abnormal dapat memberi tahu Anda tentang masalah yang mungkin
timbul, Anda lebih baik melakukan pengukuran semua tanda vital di bagian awal.3,4
Nadi merupakan refleksi perifer dari kerja jantung dan penjalaran gelombang dari
proksimal (pangkal aorta) ke distal. Gelombang nadi tidak bersamaan dengan aliran darah
tetapi menjalar lebih cepat. Intensitas nadi berhubungan dengan karakteristik pembuluh darah
dan tekanan nadi. Kecepatan denyut nadi normal pada dewasa yang sehat berkisar dari 50100 denyut/menit. Kecepatan pernapasan dan polanya dikendalikan oleh kemosensorkemosensor dan otak. Untuk orang normal, peningkatan konsentrasi karbondioksida dan ion
hidrogen dalam darah merangsang peningkatan ventilasi. Pemeriksa harus waspada bahwa,
peningkatan kecepatan pernapasan involunter sering terjadi bila subjek menyadari bahwa
pernapasannya sedang diamati. Untuk alasan ini, penghitungan kecepatan pernapasan
dilakukan secara diam-diam. Kecepatan pernapasan normal adalah 12-18x/menit pada orang
dewasa. Sistem-sistem enzim mamalia dan juga manusia bekerja dengan baik pada satu
rentang suhu yang sempit. Oleh karena itu suhu tubuh manusia berada pada keadaan yang
cukup konstan. Suhu tubuh fisiologis manusia rata-rata adalah 37oC. Tekanan darah diukur
dalam torr, singkatan dari torricelli, satuan tekanan yang sebelumnya dikenali sebagai
milimeter air-raksa. Tekanan darah normal pada kebanyakan orang dewasa sehat berkisar
5

antara 120/80. Pemeriksaan yang cukup penting untuk diagnosis pasien adalah pemeriksaan
abdomen. Yang dilakukan dengan inspeksi, auskultasi, dan perkusi pada abdomen. Palpasi
abdomen dengan lembut, kemudian lakukan palpasi yang dalam. Lakukan pemeriksaan hepar
dan lien dengan perkusi dan kemudian palpasi. Coba meraba kedua ginjal, dan lakukan pula
palpasi aorta serta pulsasinya. 4

Pada pemeriksaan fisik, pasien compos mentis dan didapatkan suhu badan yang
meningkat. Sifat demam adalah sepanjang hari dan lebih panas pada malam hari.

Suhu 38,6 oC

Tekanan darah 110/80 mmHg

Pernafasan 20 x / menit

Nadi 80 x / menit

Pada pemeriksaan abdomen terdapat nyeri tekan (+) di region epigastrium

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu : pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis
dengan isolasi dan biakan kuman, uji serologis, dan pemeriksaan kuman secara molekuler.5
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya
normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis
relatif, terutama pada fase lanjut. Umumnya, terjadi leukopenia sebanyak 45,3% dan yang
normal sebanyak 51,3%. Lekositosis hanya terjadi 3,4%. Leukopenia dapat terjadi karena
adanya perpindahan leukosit dari sirkulasi ke dinding pembuluh darah. Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap
darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya
leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.6
Terjadinya trombositopenia (<150.000/mm3) dapat menjadi penanda akan terjadinya
infeksi tifoid derajat berat bahkan gangguan koagulasi intravaskular. Trombositopenia pada
demam tifoid dipengaruhi dari produksi trombosit yang terjadi di sumsung tulang belakang
6

mengalami penurunan ataupun terjadi peningkatan dari destruksi oleh sistem retikulo-endotel
atau akibat dari koagulasi intravaskular.6
2. Identifikasi kuman menggunakan metode isolasi / biakan (kultur)
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktorfaktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil, perbandingan
volume darah dari media empedu, waktu pengambilan darah, terapi antibiotik, dan riwayat
vaksinasi.7
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya
sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh
antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu
(gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena
hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.8
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. 9
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan
meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan
sumsum tulang mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 5567% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah
mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.8,9
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak
tepat.4,12 Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan
yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 8,9
3. Identifikasi kuman menggunakan uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi
antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting
dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang
luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena
tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk
melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan
penyakit). 5,8,9

Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan
sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi
aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbedabeda terhadap antigen somatik (O) dan flagella (H) yang ditambahkan dalam
jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang
masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Namun sensitivitasnya hanya 47-77% dan spesifisitas 50-92% , sehingga tes

Widal tidak selalu dapat dipakai untuk menegakkan diagnosa demam tifoid,
terutama di daerah endemik . 2,10,11
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji
hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan
secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk
konfirmasi hasil dari uji hapusan. Penderita demam tifoid akan membentuk
aglutinin O, aglutinin H, serta aglutinin Vi. Untuk menegakkan diagnosa
demam tifoid, kita menggunakan aglutinin O dan H. Proses pembentukkan
aglutinin terjadi pada akhir minggu pertama demam yang akan meningkat
nantinya dan mencapai puncak pada minggu keempat. Fase akut tifoid
ditandai dengan munculnya aglutinin O, kemudian aglutinin H. Sedangkan
pada penderita yang sudah sembuh , aglutinin O akan tetap terlihat setelah 4-6
bulan, dan aglutinin H akan menetap 9-12 bulan setelah sembuh. Maka dari
itu, tes Widal tidak bisa untuk menetapkan kesembuhan dari demam tifoid.11
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti
status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis
atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,11
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk
mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline
titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti
Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak
sehat. Pada penderita demam tifoid dengan gejala klinis yang khas , reaksi

Widal dengan titer antibodi O 1/320 ataupun titer antibodi H 1/160 dapat
mendukung diagnosa demam tifoid.11

Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 5 menit) dengan menggunakan partikel
yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan
dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada lipopolisakarida Salmonella serogrup D dan partikel magnetik
yang dilapisi oleh S. typhi. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.12
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX
ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. 4 Sensitivitas
dalam mendiagnosa demam tifoid adalah 78-100%, sedangkan spesifisitasnya 7594% terutama pada penderita tifoid dengan hasil kultur positif. 12

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk
melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG
terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam
spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.13

Uji Typidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat
pada protein membrane luar salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot
didapatkan 2-3 hari setelah infeksi. Tes ini dinyatakan positif apabila IgM dan
10

IgG atau IgM saja berubah warna menjadi lebih gelap . Negatif apabila tidak
terjadi perubahan warna.14

Uji Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S.
typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized
sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di
tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

4,20

Uji ini

terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin
lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis
tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara
luas.15
4. Identifikasi kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.15
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%
dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu
mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.24 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan
sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal
(35.6%).15,16
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses
PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk
11

melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan
sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. 15,16
Pemeriksaan penunjang lainnya
1. Pemeriksaan fungsi hepar
Peningkatan dari serum glutamic pyruvate transaminase (SGPT/ALT) dan
serum glutamic oxaloacetate transaminase (SGOT/AST) terjadi pada 68,3% dan
92,1%. Gangguan dari fungsi hepar dapat disebabkan beberapa factor antara lain
kerusakan akibat endotoksin, proses inflamasi, atau kerusakan mekanisme imun
sekunder pada penderita. Kadar albumin juga dapat diperiksakan, umumnya penderita
tifoid akan mengalami hipoalbuminemia (39,5%). Serta diikuti dengan proteinuria
(75,2%).10
Diagnosis banding
1. Demam Berdarah Dengue (DBD/DHF)
Demam Berdarah Dengue ialah salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh
virus dengue yang merupakan family virus flavivirus dari flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal
dengan berat molekul 4x106. terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4, yang semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue dan
ditularkan oleh nyamuk dari family Stegomyia. Nyamuk Aedes aegypti yang mengigit
pada siang hari diketahui berperan sebagai vektor utama. Nyamuk ini terutama
berkembang biak pada wadah penyimpanan air minum atau air mandi atau pun air
hujan yang tertampung. 17,18
Infeksi dengue sering ditemukan didaerah beriklim tropic dan subtropik.
Indonesia termasuk daerah beriklim tropic, dan sampai sekarang merupakan daerah
endemis infeksi dengue. Demam dengue ini sudah menjadi masalah kesehatan selama
45 tahun sejak tahun 1968. Kasus DBD meningkat seiring waktu menjadi 32 propinsi
(97%) dan 382 kota/ kabupaten ( 77%) pada tahun 2009. Peningkatan ini dipengaruhi
oleh perpindahan penduduk, perubahan iklim, kepadatan penduduk, dan sanitasi
lingkungan yang buruk. 17
Perjalanan klinis terkadang sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh bakteri dan virus lainnya. Pada DBD, penderita akan melalui 3 fase :
12

fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Pasien akan mengalami demam tinggi
dan tiba- tiba berlangsung 2-7 hari. Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari
mungkin tidak disebabkan oleh dengue. Demam disertai kemerahan pada wajah,
eritema, myalgia, atralgia, nyeri retroorbital, sakit kepala, dan eksantem. Karena pada
awal demam, DBD sulit dibedakan dengan demam lainnya. Maka dengan
pemeriksaan tourniquet yang positif akan menguatkan dugaan kerah DBD . Demam
dapat mencapai 39,4-41,1o C. Bercak khas pada penderita demam dengue dapat
bersifat makulopapular ataupun makular saja dan tersebar di daerah muka, toraks, dan
permukaan tubuh lainnya. Bercak ini umumnya baru akan muncul pada hari ketiga
dan bertahan selama 2-3 hari. Lalu, pada masa kritis, pasien akan merasakan tidak
demam dan dapat terjadi rembesan plasma ( plasma leakage) sehingga dapat
menimbulkan syok bila dehidrasi dan tidak ditangani dengan baik. Biasanya pada fase
kritis, pasien akan mengeluh timbulnya gejala warning sign, seperti nyeri perut,
vomitus yang berat, akumulasi cairan, pendarahan mukosa, kesadaran menurun,
peningkatan hematocrit, dan trombositopenia yang cepat. Pada masa demam, DBD
dapat didiagnosis banding dengan demam tifoid, leptospirosis, dan malaria 19,20
2. Malaria
Malaria merupakan penyakit yang muncul pada daerah tropis yang
membahayakan nyawa yang disebabkan oleh infeksi protozoa bernama Plasmodium
yang ditransmisikan oleh nyamuk Anopheles sp. betina. Plasmodium termasuk dalam
famili plasmodidale. Selain menginfeksi manusia juga menginfeksi binatang seperti
golongan burung, reptil dan mamalia. malaria Plasmodium ini pada manusia
menginfeksi eritrosit dan mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit.
Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk. Malaria memiliki masa periodisitas
demamnya pada siang hari. Malaria yang sudah dikenal sejak lama, merupakan salah
satu jenis penyakit yang potensial menyebabkan kematian. Malaria terutama ditandai
dengan gejala klinis yang khas, yaitu berupa demam yang naik turun secara teratur
disertai dengan menggigil, walaupun terkadang malaria disertai dengan gejala-gejala
lain yang lebih bervariasi.21
Malaria mempunyai gambaran karakteristik (trias malaria) yaitu demam
periodik, anemia dan splenomegali. Ciri khas demam malaria adalah periodisitasnya
Keluhan prodormal dapat terjadi sebelum terjadinya demam yaitu berupa kelesuan,

13

malaise, vomitus, sakit kepala, nyeri sendi dan tulang, demam ringan , anoreksia, dan
menggigil.22
Masa tunas intrinsik pada malaria adalah waktu antara sporozoit masuk dalam
badan hospes sampai timbulnya gejala demam (first attact), tergantung pada spesies
parasit (terpendek untuk P. falciparum dan terpanjang untuk P.malariae), beratnya
infeksi dan pada pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Pada
infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya
sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang masuk dalam aliran darah
(sporulasi). Pada malaria vivax, falciparum dan ovale skizon setiap kelompok menjadi
matang setiap 48 jam sehingga periode demamnya bersifat tersiana. Pada malaria
kuartana yang disebabkan oleh plasmodium malariae, hal ini terjadi dalam 72 jam.23
Tiap serangan terdiri atas beberapa serangan demam yang timbulnya secara
periodik, bersamaan dengan sporulasi. Berat infeksi pada seseorang ditentukan
dengan hitung parasit (parasite count) pada sediaan darah. Demam biasanya bersifat
intermitten (febris intermitten) yaitu memiliki periodisitas suhu normal, dapat juga
remitten yang tidak ada periodisitas suhu normal (febris remitens) atau terus menerus
(febris continua).23
Serangan demam yang khas terdiri atas beberapa stadium :
a) Stadium menggigil dimulai dengan perasaan dingin sekali, sehingga
menggigil. Stadium ini berlangsung antara 15 menit sampai 1 jam.
b) Stadium puncak demam ditandai dengan suhu naik sampai 41C (106F) atau
lebih. Stadium ini berlangsung selama 2-6 jam.
c) Stadium sudoris dimulai dengan penderita berkeringat banyak. Suhu turun
dengan cepat. Penderita biasanya dapat tidur nyenyak dan waktu bangun,
merasa lemah tetapi sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam.
Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan
berlangsung 8-12 jam. Setelah itu terjadi stadium apireksia yaitu tidak adanya demam
selama beberapa hari. Lamanya serangan demam ini untuk setiap spesies malaria
tidak sama. Gejala infeksi yang ditimbulkan kembali setelah serangan pertama disebut
relaps. Relaps dapat bersifat jangka pendek, yang timbul karena parasit dalam darah
(daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah
serangan pertama hilang. Bisa juga relaps jangka panjang yang timbul karena parasit
daur eksoeritrosit dari hati biasanya, masuk dalam darah dan menjadi banyak,

14

sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan
pertama hilang.23
Splenomegali atau pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada
malaria yang menahun. Perubahan limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi
kemudian limpa berubah warna menjadi hitam, karena pigmen yang ditimbun dalam
eritrosit yang mengandung kapiler dan sinusoid. Eritrosit yang tampaknya normal dan
yang mengandung parasit dan butir-butir hemozoin tampak dalam histiosit di pulpa
dan sel epitel sinusoid. Pigmen tampak bebas atau dalam sel fagosit raksasa. Terjadi
hiperplasia, sinus melebar dan kadang-kadang trombus dalam kapiler dan fokus
nekrosis tampak dalam pulpa limpa. Pada malaria menahun jaringan ikat bertambah
tebal, sehingga limpa menjadi keras.23
Pada malaria dapat terjadi anemia. Derajat anemia tergantung pada spesies
parasit yang menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria
falsiparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat dan juga pada malaria
menahun. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak.23
Anemia disebabkan beberapa faktor :
a) Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung
parasit terjadi di dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun memegang
peran.
b) Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung
parasit tidak dapat hidup lama.
c) Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi
eritropoesis dalam sumsum tulang.
3. Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh genus Leptospira, famili treponematacae, suatu
mikroorganisme Spirochaeta. Secara sederhana, genus Leptospira terdiri atas dua
spesies : Leptospira interrogans yang patogen dan Leptospira biflexa yang non
patogen. Spesies L. interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini
dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah
ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. Menurut
beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia adalah L. icterohaemorrhagiae
dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing, dan L. pomona dengan
reservoir sapi dan babi.24

15

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua


Antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada
binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut atau binatangbinatang pengerat lainnya seperti tikus, tupai, musang, kelelawar, dan lain sebagainya.
Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal. Tikus merupakan
vektor yang utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia.
Dalam tubuh tikus, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang
biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus menerus dan ikut mengalir
dalam filtrat urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa
puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur, karena temperatur
adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan didaerah
tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan. 24 Manusia biasanya merupakan
hospes akhir, penularan antar manusia sangat langka. Sebagian besar kasus terjadi
pada laki-laki dewasa muda. Kontak tidak langsung dengan hewan terinfeksi, melalui
air atau tanah yang tercemar urin terinfeksi, merupakan sebab yang lebih sering
terjadi pada manusia, bila dibandingkan dengan kontak langsung.25
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara
dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas. Di
Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih
dari seratus kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Manifestasi klinik pada
leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril/dengan gejala demam umum dan tidak
cukup khas untuk menegakkan diagnosis. Secara khas penyakit ini bersifat bifasik,
dengan fase leptospiremik yang diikuti fase leptospirurik/imun. Tiga sistem organ
yang paling sering terkena adalah susunan saraf pusat, ginjal, dan hati.25
Fase leptospiraemia ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan
cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis dan
pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi (peningkatan
sensitivitas dengan menstimulus reseptor) kulit, demam tinggi yang disertai
menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan
16

pada sekitar 25% kasus disertai penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan
sakit berat, bradikardi relatif, dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai
adanya konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang
berbentuk makular, makulopapular atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai
splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika
cepat ditangani pasien akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan
organ-organ yang terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset.
Pada keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas
demam selama 1 -3 hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase
kedua atau fase imun.24,25
Fase imun ini ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat timbul demam
yang mencapai suhu 40 C disertai menggigil dan kelemahan umum. Terdapat rasa
sakit yang menyeluruh pada leher, perut dan otot-otot kaki terutama otot betis.
Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia,
ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura, petechiae,
epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan yang paling sering.
Conjunctiva injection dan conjungtival suffusion dengan ikterus merupakan tanda
patognomosis untuk leptospirosis. Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase
ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis. Tanda- tanda meningeal dapat
menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2 hari. Pada
fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.24,25
4. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi saluran kemih adalah infeksi yang terjadi di sepanjang saluran kemih,
termasuk ginjal itu sendiri, akibat proliferasi suatu mikroorganisme. Infeksi saluran
kemih dapat terjadi karena adanya infeksi di saluran bagian atas, seperti pielonefritis.
Atau dari bagian bawah seperti sistisis atau prostatitis pada laki-laki. Sebagian besar
infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri, tetapi jamur dan virus juga dapat
menjadi penyebabnya. Infeksi bakteri yang paling sering disebabkan oleh E. coli,
suatu kontaminan tinja yang sering ditemukan didaerah anus. Infeksi saluran kemih
sering terjadi pada wanita. Salah satu penyebabnya adalah uretra wanita yang lebih
pendek sehingga bakteri lebih mudah mendapatkan akses ke kandung kemih. Uretra
yang lebih pendek meningkatkan kemungkinan mikroorganisme yang menempel pada
lubang uretra selama berhubungan kelamin memiliki akses ke kandung kemih. Faktor
17

lain yang berperan meningkatkan infeksi saluran kemih pada wanita adalah
kecenderungan untuk menahan membuang urine. Infeksi saluran kemih juga dapat
terjadi pada pria , meskipun jarang terjadi. Biasanya terjadi pada pria dengan usia
lanjut, dikarenakan hyperplasia prostat jinak atau prostatitis. Pemasangan kateter yang
tidak benar juga dapat menyebabkan infeksi salurana kemih.26
Gambaran klinis infeksi saluran kemih akut antara lain nyeri pada saat
berkemih terutama pada sistisis, peningkatan frekuensi berkemih, dapat terjadi nyeri
punggung bawah atau suprapubis terutama pada pielonefritis, demam menggigil,
kurang nafsu makan, vomitus, nyeri pinggang, dan mual. Pada keadaan kornis, dapat
terjadi hipertensi dan akhirnya menimbulkan gagal ginjal.26
Diagnosis kerja: Demam Tifoid
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang
telah dijelaskan diatas. Berdasarkan kasus yang ada, kemungkinan besar yang dialami oleh
pasien tersebut ialah demam tifoid.
Etiologi
Salmonella adalah genus yang termasuk famili Enterobakteriasiae dan berisi tiga
spesies : S. typhi, S. choleraesuis dan S.enteritidis. Dua spesies pertama masing-masing
mempunyai satu serotip, tetapi S. enteritidis berisi lebih dari 1800 serotip yang berbeda. Agar
tidak repot, serotip kadang-kadang secara artifisial diidentifikasi seakan-akan mereka spesies
Salmonella (misal, S. typhimurium).27
Genus Salmonella terdiri lebih dari 2600 serovar/serotype. Berdasarkan rekomendasi
dari WHO, genus Salmonella dibagi menjadi 2 spesies yaitu S.enterica dan S. bongori.
Spesies S.enterica terdiri dari 6 subspesies yang didasarkan pada perbedaan karakter/reaksi
biokimiawi dan sifat-sifat genomiknya. Subspesies I adalah serovar yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dan hewan-hewan berdarah panas (contoh: serotype typhi dan
paratyphi). Salmonella diklasifikasikan menjadi serovar berdasarkan perbedaan susunan
antigen somatik (O) atau lipopolisakarida dan antigen protein flagella (H). Antigen lain
adalah polisakarida kapsul virulen (Vi) ada pada S. typhi dan jarang ditemukan pada strain S.
paratyphi C (S. hirschfeldii).27
Pada umumnya infeksi Salmonella pada hospes terjadi karena pengaruh factor
kemampuan adaptasi serovar Salmonella pada tipe hospesnya. Berdasarkan pada factor
tersebut terdapat 3 kelompok serovar penyebab penyakit pada manusia dan atau hewan.
18

Kelompok I merupakan serovar S. enterica yang bersifat patogen dan menyebabkan penyakit
hanya pada manusia atau primate tingkat tinggi seperti S. typhi, S. paratyphi A,B, dan C.
Kelompok ini merupakan agen penyebab demam tifoid dan paratifoid.27
Salmonella sp. adalah bakteri batang lurus, gram negatif, tidak berspora, bergerak
dengan flagel peritrik, berukuran 2-4 m x 0.5-0,8 m. Salmonella sp. tumbuh cepat dalam
media yang sederhana, hampir tidak pernah memfermentasi laktosa dan sukrosa, membentuk
asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, biasanya memproduksi hidrogen sulfide atau
H2S. Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang lama, bakteri
ini resisten terhadap bahan kimia tertentu (misalnya hijau brillian, sodium tetrathionat,
sodium deoxycholate) yang menghambat pertumbuhan bakteri enterik lain.28
Organisme Salmonella tumbuh secara aerobik dan mampu tumbuh secara anaerobik
fakultatif. Mereka resisten terhadap banyak agen fisik tetapi dapat dibunuh dengan
pemanasan sampai 130oF (54,4oC) selama 1 jam atau 140oF (60oC) selama 15 menit. Mereka
tetap dapat hidup pada suhu sekeliling atau suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat
bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering, agen
farmakeutika dan bahan tinja.24

Gambar 1. Salmonella typhi 1


Epidemiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi yang tersebar di seluruh dunia,
dan menjadi endemis terutama di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Infeksi
Salmonella typhi tetap menjadi salah satu masalah kesehatan terutama di Negara
berkembang. Berdasarkan data tahun 2000, di dunia terdapat episode tifoid sebesar 2,16 juta
yang menyebabkan angka mortalitas tertinggi yakni 90%. 29 Infeksi S.typhi ditransmisikan
secara orofekal maka erat kaitannya dengan kualitas air bersih serta sanitasi buruk. Populasi
di Asia Tenggara yang umumnya terkena adalah usia kurang dari 5 tahun dengan resiko tinggi
terjadinya komplikasi dan rawat inap. Prevalensi dari demam tifoid berdasarkan data dari
19

Communicable Disease Centre ( CDC) dilaporkan sebesar 358-810 per 100.000 populasi
dengan 64% diantaranya terjadi pada usia 3-19 tahun.30
Di Jakarta, demam tifoid merupakan penyebab kedua dari terjadinya gastroenteritis
dengan tingkat mortalitas tinggi. Tingkat mortalitas sebesar 3,1-10,4% diantara penderita
demam tifoid yang rawat inap. Salah satu studi survailans dilakukan di 5 negara Asia,
termasuk Indonesia dan Indonesia mendapatkan peringkat kedua dengan angka insiden
tertinggi setelah India.30
Setelah infeksi nyata atau subklinis, beberapa individu terus menyimpan salmonella di
dalam jaringan selama waktu yang tidak tentu (carrier chronic sehat). Tiga persen individu
yang sembuh dari tifoid menjadi carrier permanen, mempunyai organisme di dalam kantung
empedu, saluran empedu atau kadang-kadang di dalam usus atau saluran kemih. Sumbersumber infeksi yang penting adalah air yang berkontaminasi dengan feses sering
menimbulkan epidemic yang luas, susu dan produk susu apabila pasteurisasi tidak adekuat,
kerang, telur beku atau dikeringkan, daging dan produk daging serta hewan peliharaan seperti
anjing, kucing, kura-kura, dll.28
Patofisiologis dan Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella thypi dan Salmonella parathypi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus selsel epitel (terutama sel M) selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag dan selanjutnya dibawa
ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterimia yang kedua
kalinya dengan disertainya tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.24

20

Gambar 2. Bakteriemi pertama dan diikuti bakteriemi kedua2


Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu dieksresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag yang telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, myalgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan
mental dan koagulasi.24
Di dalam plaque Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan
(S.thypi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lamban, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh
darah sekitar plaque Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat
berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat adanya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lain.24
Manifestasi klinik
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang
timbul sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat, dari yang asimtomatik hingga
gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian. Biasanya jika gejala khas

21

itu yang tampak, diagnosis kerja pun bisa langsung ditegakkan. Gejala- gejala demam tifoid
adalah sebagai berikut.21

Minggu Pertama (awal terinfeksi)


Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama
dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berpanjangan yaitu
setinggi 39C hingga 40C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual,
muntah,batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan
semakin cepat , perut kembung dan merasa tak enak,sedangkan diare dan sembelit silih
berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita
adalah kotor di tengah. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan
terasa kering dan beradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan
menemukan demam dengan gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakitpenyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas
pada abdomen disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung
3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita
golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul
paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat
bila ditekan. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.21

Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang
biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Karena
itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi
(demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung.
Terjadi perlambatan relatif nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama
dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat dibandingkan peningkatan
suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai dengan keadaan penderita yang
mengalami delirium. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun,sedangkan
diare menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan.
Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering berbunyi.21

Minggu Ketiga dan keempat


Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu jika
terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-gejala akan
berkurang dan temperatur mulai turun. Meskipun demikian justru pada saat ini
22

komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari
ulkus. Jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat dengan terjadinya
tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot bergerak terus, inkontinensia alvi
dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen
sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.21

Relaps
Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya
menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam
waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer tetapi dapat
menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.24

Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat
terjadi pada demam tifoid yaitu:21,24

Komplikasi intestinal
-

Perdarahan intestinal
Pada plaque Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
suatu luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain
karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
(KID) atau gabungan kedua factor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfuse darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah dapat ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam
dengan factor hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas
cukup tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila
transfuse yang diberikan tidak mengimbangi perdarahan yang terjadi maka tindakan
bedah perlu dipertimbangkan.21,24

Perforasi usus
Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid
23

yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh dengan
nyeri perut yang hebat terutama di daeraha kuadran kanan bawah yang kemudian
menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus
melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena
adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan
darah turun dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat
menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3)
ditemuka udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan maka hal ini
merupakan nilai yang cukup menentukkan terdapatnya perforasi usus pada demam
tifoid. Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah
umur (biasanya berumur 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya
penyakit dan mobilitas penderita. Antibiotic diberikan secara selektif bukan hanya
untuk mengobati kuman S.thypi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat
fakultatif dan anaerob pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotic spectrum luas
dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus
dapat diberikan gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang
cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfuse darah
dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.21,24

Komplikasi ekstra-intestinal21,24
-

Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis


Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis
biasanya tanpa gejal kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada , gagal
jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan pericarditis sangat
jarang terjadi. Kerusakan miokardium disebabkan oleh S.thypi dan miokarditis
merupakan penyebab kematian utama.

Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis.


Trombositopenia saja sering kita jumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya
trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya dekstruksi
trombosit di system retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan penting.
Penyebab KID demam tifoid belumlah jelas.

Hal-hal yang sering dikemukakan

adalah endotoksin mengaktifkan beberapa system biologic, koagulasi dan fibrinolysis.


Pelepasan kini, prostaglandin dan histamine menyebabkan vasokonstriksi dan
24

kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan


mekanisme koagulasi, baik KID kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID
dekompensata dapat diberikan transfuse darah, substitusi trombosit atau factor
koagulasi bahkan heparin meskipun ada pla yang tidak sependapat tentang manfaat
pemberian heparin pada demam tifoid.
-

Komplikasi paru : pneumonia, empyema, pleuritis

Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesitisis


Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai 50% kasus dengan demam tifoid
lebih banyak dijumpai karena S.thypi daripada S.parathypi. untuk membedakan
apakah hepatitis ini karena tifoid , virus, malaria atau amuba maka perlu diperhatikan
kelainan fisik, parameter laboratorium dan perlu histopatologik hati. Pada demam
tifoid kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin
(untuk membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi
pada pasien dengan malnutrisi dan system imun yang kurang.

Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis

Komplikasi neuropsikiatrik/tifoid toksik


Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor atau
koma) dengan atau disertai kelainan neuroogis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan
otak masih dalam batas normal. Diduga factor social ekonomi buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutris, kebudayaan, dan kepercayaan
yang terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan meningkatkan angka
kematian.

Penatalaksaan
Trilogy penatalaksanaan demam tifoid adalah:24,31
-

Istirahat dan perawatan


Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang
air kecil dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekalidijaga kebersihan tempat tidur, pakaian dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah decubitus

25

dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan
dijaga.24,31
-

Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif)


Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi
penderita akan semakin turun serta proses penyembuhan akan menjadi lama. Di masa
lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring kemudian ditingkatkan
menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi yang perubahan diet tersebut
disesuaikan dengan kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersbut ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini
disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti
menunjukkan bahwa pemberian makanan padat yaitu nasi dengn lauk rendah selolusa
dapat diberikan dengan aman kepada pasien tifoid. 24,31

Pemberian antimikroba
o Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan
secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.
Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan
obat ini dapat menurunkan demam rata rata 2 hari. Penulis lain menyebutkan
penurunan demam dapat terjadi rata rata setelah hari ke-5.
o Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan anemia
aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 x 500 mg, demam rat rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
o Kotrimoksazol
Efektivitas obat inidilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk
orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg
dan 80 mg trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu.
o Ampisilin dan amoksisilin

26

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan


dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB
dan digunakan selama 2 minggu.
o Sefalosporin Generasi Ketiga
Hingga saat ini golongan sofalosporin generasi ke 3 yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama
3 hingga 5 hari.
o Golongan fluorokuinolon
Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan atruan pemberiannya :

Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari.

Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari.

Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/ hari selama 7 hari

Pefloksasin dosis 400 mg/ hari selama 7 hari

Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke-3 atau menjelang hari ke-4.
Hasil penurunan demam lebih sedikit lambar pada penggunaan norfloksasin yang
merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik
fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.
o Kombinasi obat Antimikroba
Kombinasi 2 obat antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu
saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang
pernah terbukti ditemukan dua macam organisme dalam kultur darah selain
kuman Salmonella.
o Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid
mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.24,31
Promosi dan Preventif
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar
biasa ( KLB ) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi
sebagai agen penyakit dan faktor penjamu ( host ) serta faktor lingkungan.24
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu
27

1.

Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid
Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup
sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau daripribadi maupun skala
nasional. Cara pelaksanaanya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun
pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran
aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan dan
minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai pabrik beserta
distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat,
yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lainnya.

2.

Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi

akut maupun

karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui terinfeksi S. typhi.
3.

Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi.


Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di
daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya
endemis dan non-endemis, tingkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat
hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko,
yaitu golongan immunokompromais maupun golongan rentan.24
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a) Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi

pada

wanita

hamil,

ibu

menyusui,

demam,

sedang

mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.


b) Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 12 tahun 0,25 ml dan anak 1
5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.

28

c) Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan


secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun.
Tingkat preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu :
Daerah non endemik. Tanpa kejadian outbreak atau epidemi

Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

Penyaringan pengelola pembuatan/ distributor/ penjualan makanan minuman

Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemik tifoid

Pencarian dan eliminasi sumber penularan

Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

Daerah endemik

Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi


standar prosedur kesehatan ( perebusan > 57C, iodisasi, dan klorinisasi )

Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (sayur/buah )

Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung.24

Prognosis
Umumnya prognosis tifus abdominalis (demam tifoid) baik, asal penderita cepat
berobat. Prognosis menjadi kurang baik bila terdapat gejala klinis yang berat seperti :
kesadaran menurun sekali, koma atau delirium. Selain itu keadaan gizi penderita yang buruk
(malnutrisi energi protein) juga memperburuk prognosis. Sebanyak 3-5% penderita akan
menjadi carrier.32

Kesimpulan
Jadi, pasien tersebut menderita demam tifoid. Demam tifoid disebabkan oleh kuman
Salmonella thpyi yang dapat masuk ke dalam tubuh kita melalui makanan atau minuman
yang sudah terkontaminasi kuman tersebut. Maka diperlukan penatalaksanaan yang tepat
pada penderita demam tifoid.
29

Daftar Pustaka :
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009.h.25-7; 31-3; 2807-11.
2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2003.h.10-20.
3. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik: evaluasi diagnosis dan
fungsi di bangsal. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.h.30-2; 277-82;
310-3.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi ke-8.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.h.11-2.
5. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi
Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang :
IDAI Jawa Timur, 2005, hal.37-50.
6. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
7. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi
Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang :
IDAI Jawa Timur, 2005, hal.37-50.
8. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment
and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
9. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.
10. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever.
BMJ,2006 Jul 8: 333(7558); p.78-82
11. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.
12. Rahman M, Siddique AK, Tam FC, Sharmin S, Rashid H, Iqbal A, et al. Rapid
detection of early typhoid fever in endemic community children by the TUBEX 09antibody test. DIagn Microbiol Infect Dis. 2007 Jul:58(3); p. 275-81
13. Fadeel MA, Crump JA, Mahoney FJ, Nakhla IA, Mansour AM, Reyad B, et al. Rapid
diagnosis of typhoid fever by enzyme-linked immunosorbent assay detection of
30

Salmonella serotype typhi antigens in urine. Am J Trop Med Hyg 2004;70(3):323-8.


[Abstract]
14. Naheed A, Ram PK, Brooks WA, Mintz ED, Hossain MA, Parsons MM, et al.
Clinical value of Tubex and Typhidot rapid diagnostic tests for typhoid fever in an
urban community clinic in Bangladesh. Diagn Microbiol Infect Dis. 2008 Aug;
61(4):381-6
15. Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella typhispecific IgM antibodies and the evolution of the immune response in patients with
typhoid fever. Am J Trop Med Hyg 2002;66(4):416-21.
16. Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata M. Rapid diagnosis
of typhoid fever by PCR assay using one pair of primers from flagellin gene of
Salmonella typhi. J Infect Chemother 2003;9(3):233-7.
17. .Kemenkes RI. Demam berdarah dengue. Buletin Jendela Epidemiologi, 2010. Vol 2;
hal 1-15
18. Noisakran S, Perng GC. Alternate hypothesis on the pathogenesis of dengue
hemorrhagic fever in dengue virus infection, Exp Biol Med, 2008:233; p. 401
19. WHO. Hand Book For Clinical Management of Dengue, 2012; p. 1-83
20. Wahab AS, editor. Ilmu kesehatan anak nelson. Jakarta: EGC; 2004.h.1132-4.1139-41.
21. Mandal BK, Wilkins EGL, Dunbar EM, Mayon-White RT. Lecture notes: penyakit
infeksi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008. h.3-6
22. Mehta PN. Pediatric malaria. Medscape 2012 May 17. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/998942-overview#aw2aab6b2b2aa
23. Djaenudin , Agoes R. Parasitologi kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang diserang.
Jakarta : EGC, 2005; hal 215-6
24. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.25-7; 31-3; 2807-11
25. Muliawan SY. Bakteri spiral patogen. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.h.78-9.
26. Corwin E. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC, 2007; hal 718-20
27. Pietro M, Duncan M. Salmonella infection : clinical, immunological, and molecular
aspects. USA : Cambridge University Press, 2006; p. 2-3
28. Jawetz, et al. Mikrobiologi kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Ed 23. Jakarta :
EGC, 2005; hal 243-7

31

29. Ochiai RL, Acosta CJ, DAnovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini
MD, et al. A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and
implications for controls. Bull World Health Organ, 2008 Apr: 86 (4); p.260-8
30. Moehario LH. The molecular epidemiology of Salmonella Typhi across Indonesia
reveals bacterial migration. J Infect Dev Ctries, 2009:3(8);p 579-84
31. Davey D. At a glance: medicine. Jakarta:Erlangga; 2003.p.298-9
32. Cahyono JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius: Erlangga;
2010.p.143-4

Daftar Gambar :
1. http://www.microbeworld.org/component/jlibrary/?view=article&id=7778
2. http://ramzashiddiq.blogspot.com/2011_02_01_archive.html

32

Anda mungkin juga menyukai