Anda di halaman 1dari 21

CLINICAL SCIENCE SESSION

PNEUMONIA

Preceptor:
Dr. Emmy Hermiyanti Pranggono, dr., SpPD-KP., KIC
Penyusun:
Adnin Nugroho

1301-1211-0526

Deddy Oskar

1301-1211-0541

Nabilah Binti Mohamed

1301-1211-3543

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


DIVISI RESPIROLOGI & PENYAKIT KRITIS RESPIRASI
RUMAH SAKIT DR HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2012

DEFINISI
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dan dari
bronkiolus terminalis yang mecakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Peradangan paru dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa,
jamur, bahan kimia, lesi kanker, dan radiasi ion.
Istilah pneumonia lazim dipakai bila peradangan terjadi oleh proses infeksi akut
yang merupakan penyebab tersering. Bila proses infeksi teratasi, terjadi resolusi dan
biasanya struktur paru kembali normal.
EPIDEMIOLOGI
Penyebab angka kematian dan kecacatan yang tertinggi di seluruh dunia. Sekitar
80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran nafas
yang terjadi di masyarakat (PK) atau di dalam RS/pusat perwatan (PN). Pneumonia
yang merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah di parenkim paru yang serius
dijumpai sekitar 15-20%.
Kejadian PN di ICU lebih sering dibandingkan dengan ruangan umum, yang
dijumpai pada hampir 25% dari semua infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada saat
ventilasi mekanik. VAP didapat pada 9-27% dari pasien yang diintubasi, Resiko VAP
tertinggi pada saat awal masuk ICU.
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lansia dan sering terjadi pada
PPOK. Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti DM, payah jantung,
penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraf kronik, dan
penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain antara lain seperti merokok, pasca infeksi
virus, DM, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada dan
penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan invasif, seperti infus, intubasi, trakeostomi,
atau pemasangan ventilator. Perlu diteliti faktor lingkungan khsusnya tempat kediaman
seperti di rumah jompo, penggunaan antibiotik (AB) dan obat suntik IV, serta keadaan
alkoholik yang meningkatan kemungkinan terinfeksi kuman gram negatif.
ETIOLOGI
Etiologi pneumonia berdasarkan klasifikasi pneumonia:

Pneumonia komunitas (CAP)


Mycoplasma pneumoniae

Pneumonia nosokomial (HCAP)


Basil enterik gram-negatif

Streptococcus pneumoniae

Pseudomonas aeruginosa

Haemophilus influenza

Staphylococcus aureus

Chlamydia pneumonia

Kuman anaerob oral

Legionella pneumophila
Kuman anaerob oral
Moraxella catarrhalis
Pneumocystis carinii
Nocardia spp.
Virus influenza, sitomegalovirus,
Virus sinsitial pernapasan,
Virus morbili, virus herpes zoster
Histoplasma, Coccidioides, Blastomyces
Organisme penyebab CAP berdasarkan tingkat keparah penyakit:

Organisme penyebab CAP berdasarkan riwayat pasien dan penyakit yang mendasari:

PATOGENESIS
Normalnya saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim
paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis
dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa
filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier apparatus. Mekanisme pertahanan
lanjut berupa sekresi IgA lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah, Agen infeksius masuk ke saluaran nafas bawah melalui
inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran pernafasan bagian atas, dan jarang
yang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi
saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon
imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan pneumonia bakteri didahului oleh
infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru dapat menimbulkan konsolidasi eksudatif


jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkopneumoni), lobar atau intersisial.
Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh
darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin dan infiltrasi neutrofil yang
dikenal sebagai hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan penurunan
compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yang melewati paru yang
terinferksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-perfusion
mismatching) yang kemudian menybabkan peningkatan kerja jantung. Stadium
berikutnya terutama diikuti oleh penumpukan fibrin dan disintegrasi progresif dari selsel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi konsolidasi terjadi
setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk selanjutnya
direabsorbsi dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila

infeksi bakteri menetap dan

meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.


Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun kebanyakan
menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan perlekatan.
KLASIFIKASI

COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)

Pneumonia yang terjadi akibat infeksi di luar rumah sakit atau lingkungan masyarakat.

NOSOCOMIAL PNEUMONIA

Pneumonia yang terjadi setelah dirawat di RS. Terbagi menjadi:


-

Hospital-acquired pneumonia (HAP)


Pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di RS dan belum mengalami
masa inkubasi saat pertama datang ke rumah sakit

Ventilator-associated pneumonia (VAP)


Pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal

Healthcare-associated Pneumonia (HCAP)


1. Telah dirawat 2 hari atau lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi
2. Tinggal di rumah perawatan (nursing home, atau long-term care facility)
3. Mendapat AB intravena, kemoteapi, atau perawatan luka dalam waktu 30
hari proses infeksi
4. Datang ke RS atau klinik hemodialisa

MANIFESTASI KLINIS
Orang dengan pneumonia infeksius sering kali terdapat batuk yang
menghasilkan sputum kehijauan atau kekuningan dan demam tinggi yang dapat disertai
dengan menggigil. Nafas pendek juga umum terjadi, juga dengan nyeri dada pleuritik,
nyeri seperti tertusuk, yang terasa selama bernafas dalam atau batuk. Pasien dengan
pneumonia dapat batuk berdarah, sakit kepala, atau berkeringat dan kulit lembap.
Gejala-gejala lain meliputi hilang nafsu makan, kelelahan, kulit kebiruan, mual, muntah,
dan nyeri persendian atau nyeri otot. Bentuk-bentuk pneumonia yang jarang dapat
menyebabkan gejala-gejala lain yang bervariasi. Contohnya, pneumonia yang
disebabkan oleh Legionella dapat menyebabkan nyeri abdomen dan diare, sementara
pneumonia yang disebabkan oleh tuberkulosis atau Pneumocystis hanya dapat
menyebabkan hilang berat badan dan keringat malam. Pada orang-orang tua,
manifestasi pneumonia mungkin tidak tipikal. Bayi dengan pneumonia dapat memiliki
gejala-gejala di atas, tapi seringnya mereka hanya sekedar mengantuk atau kekurang
selera makan.
Takipnea merupakan gejala klinis yang paling sensitif pada pneumonia anak.
Frekuensi nafas dihitung secara akurat yaitu harus dihitung dalam 60 detik secara
inspeksi

Usia < 2 bulan 60X/menit atau lebih

Usia 2 bulan sampai < 12 bulan 50X/menitatau lebih

Usia 12 bulan sampai < 5 tahun 40 X/menit atau lebih


Umumnya disertai dengan meningkatnya kerja pernapasan yang ditandai oleh

retraksi epigastrium, interkostal, dan suprasternal, serta adanya pernapasan cuping


hidung yang menunjukkan adanya penggunaan otot-otot pernapasan tambahan yang
diperlukan untuk membantu pernapasan
DIAGNOSIS
Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian
terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat penyakit, dan
perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebab infeksi

mengarah kepada pemilihan terapi empiris entibiotik yang tepat. Seringkali bentuk
pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh kuman yang berbeda. Diagnosis
pneumonia didasarkan kepada riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang
teliti serta pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Ditunjukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan
dengan faktor infeksi
a. Evaluasi faktor pasien/predisposisi: PPOK (H. influenzae), penyakit kronik
(kuman jamak), kejang/tidak sadar (aspirasi Gram negatif, anaerob), penurunan
imunitas (kuman Gram negatif seperti Pneumocystis carinii, CMV, Legionella,
jamur, Mycobactorium), kecanduan obat bius (Staphylococcus).
b. Bedakan lokasi infeksi: PK (Str. pneumonia, H. influenzae, M. pneumonia)
rumah jompo, PN (S. aureus, Gram negative).
c. Usia pasien: Bayi (virus), muda (M. pneumonia), dewasa (Str. pneumonia).
d. Awitan: Cepat, akut dengan rusty coloured sputum (Str. pneumonia); perlahan,
dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumonia).
Pemeriksaan Fisik
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan
gejala klinis yang mengarah kepada tipe kuman penyebab/patogenesis kuman tingkat
berat penyakit
a. Awitan akut biasanya oleh kuman pathogen seperti Str. pneumonia,
Streptococcus spp., Staphylococcus. Awitan lebih insidious dan ringan pada
orang tua/imunitas menurun akibat kuman yang kurang pathogen/oportunistik,
misalnya: Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anaerob, jamur.
b. Pneumonia virus ditandai dengan mialgia, malaise, batu kering dan nonproduktif
c. Pneumonia klasik bisa didapat berupa demam, sesak nafas, tanda-tanda
konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring, suara pernafasaan
bronkial). Bentuk klasik pada PK primer berupa bronkopneumonia, pneumonia
lobaris atau pneumonia interstitial. Gejala atau batuk yang tidak khas dijumpai
pada PK yang sekunder (didahului penyakit dasar paru) ataupun PN. Dapat
diperoleh

bentuk

manifestasi

lain

infeksi paru

seperti

efusi

pleura,

pneumotoraks/ hidropneumotoraks. Pada pasien PN atau dengan gangguan imun


dapat dijumpai ganggaun kesadaran oleh hipoksia.
d. Warna, konsistensi dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan.
Pemeriksaan Penunjang
a. Radiologi
X-ray dada merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan
meskipun tidak 100% sensitif. Hasilnya berupa terdapat konsolidasi paru dengan
air bronchogram (+) pada lobus paru yang terkena. Apabila pasien secara klinis
memiliki tanda-tanda yang kuat menderita pneumonia tetapi hasil x-ray dada
menunjukkan hasil yang negatif, maka perlu dilakukan rontgen ulang 24-48 jam
berikutnya atau dilakukan CT scan.
b. Kultur darah
Semua pasien yang dirawat di rumah sakit karena PK harus menjalani 2 kali
pemeriksaan kultur darah. Organisme yang paling sering ditemukan adalah
S.pneumonia, S.aureus, E.coli.
c. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum ini berupa pewarnaan Gram untuk menentukan etiologi,
kultur, serta resistensi tes. Beberapa mikroorganisme yang harus dijadikan
sebagai patogen apabila ditemukan dalam pemeriksaan sputum yaitu:
M.tuberculosis, Legionella, H.capsulatum.
d. Serologi
Deteksi antibodi IgM terhadap organisme patogen atau terjadi peningkatan 4 kali
titer antibodi antara fase akut dan convalescence.
e. PCR
PENATALAKASANAAN
PORT (Pneumonia Patient Outcome Research Team) mengajukan faktor risiko
berkaitan dengan angka mortalitas dan komplikasi yang dapat terjadi sehingga dapat
dijadikan acuan sebagai indikasi rawat inap. Faktor risiko tersebut adalah:

Kemudian poin dijumlahkan dan dibuat stratifikasi pasien ke dalam 5 kelas,


yaitu:

Berdasarkan kelas di atas, pasien dengan kelas I dan II dapat menjalani rawat
jalan, pasien dengan kelas IV dan V dapat menjalani rawat inap, sedangkan pasien

dengan kelas III dapat menjalani perawatan dan observasi dulu di ruang emergency
sebelum diputuskan untuk menjalani rawat inap atau rawat jalan.
Antibiotik Empirik
Pada awalnya pasien diberikan terapi empiric yang ditujukan pada pathogen
yang paling mungkin menjadi penyebab. Bila telah ada hasil kultur dilakukan
penyesuaian obat. Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian antibiotic
(AB) tertentu terhadap kuman tertentu pada suatu tipe dari ISNBA baik pneumonia
ataupun bentuk lain, dan AB ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap kuman
penyebab. Pada pasien rawat inap AB harus diberikan dalam 8 jam pertama dirawat di
RS. Pemberian antibiotik empirik harus berdasarkan stratifikasi perbedaan tempat
perawatan (rawat jalan, rawat ruang umum, dan ruang intensif), adanya penyakit
kardiopulmoner, dan faktor perubah (modifying factor) yaitu faktor risiko oleh
pneumokokus resisten, faktor risiko infeksi Gram negatif (termasuk perawtan di rumah
jompo), dan adanya faktor risiko Ps.aerogenosa (terutama pada rawat di ICU) yang
terbagi ke dalam 4 kelas, yaitu:
Kelompok I

Rawat jalan yang tidak disertai riwayat kardiopulmonal ataupun faktor


perubah.

Kelompok II Rawat jalan yang disertai riwayat penyakit kardiopulmonal dan/atau


faktor perubah
Kelompok III Rawat Inap RS non ICU yang disertai riwayat penyakit kardiopulmonal
dan/atau faktor perubah (termasuk asal dari rumah jompo).
Kelompok IV Rawat di ICU yang : a. Tidak disertai risiko Ps.aerogenosa dan b.
Disertai risiko Ps.aerogenosa

Faktor-faktor yang dipertimbangkan pada pemilihan AB:


a. Faktor pasien.

Yaitu urgensi atau cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit ISNBA dan
keadaan umum atau kesadaran, mekanisme imunologis, umur, defisiensi genetik
atau organ, kehamilan, alergi. Pasien berobat jalan dapat diberikan obat oral
sedangkan pasien sakit berat diberikan obat intravena.
b. Faktor antibiotik.
Tidak mungkin mendapatkan satu jenis antibiotik yang ampuh untuk semua jenis
kuman. Karena itu penting dipahami berbagai aspek tentang AB untuk efisiensi
pemakaian AB. Secara praktis dipilih AB yang ampuh dan secara empirik telah
terbukti merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang
paling mungkin pada pneumonia berdasarkan data antibiogram mikrobiologi dalam
6-12 bulan terakhir. Efektifitas AB tergantung pada kepekaan kuman terhadap AB,
penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksisitas, interaksi dengan obat lain, dan reaksi
pasien misalnya alergi atau intoleransi.
c. Faktor farmakologik.
Farmakokinetik AB mempertimbangkan proses bakterisidal dengan Kadar Hambat
Minimal (KHM) yang sama dengan Kadar Bakterisidal Minimal (KBM) dan proses
bakteriostatik dengan KBM yang jauh lebih tinggi daripada KHM. Farmakodinamik
menilai kemampuan AB untuk melakukan penetrasi ke lokasi infeksi di jaringan
serta keampuhan AB hingga obat ini ampuh untuk dipakai terhadap patogen
penyabab. Obat dengan kadar intraseluler yang tinggi seperti makrolid akan lebih
efektif dalam membunuh kuman intraseluler.
Perubahan antibiotik dari intravena menjadi oral dapat dilakukan dengan aman
jika: kadar leukosit menjadi normal, ada perbaikan suhu badan (< 37,50 C) dalam 2 kali
penilaian dengan jangka waktu 16 jam, perbaikan dari batuk dan sesak nafas. Beberapa
antibiotik seperti amoksisilin dan respiratory quinolone sangat bagus diabsorbsi di
saluran gastrointestinal sehingga pemberian secara intravena hanya dilakukan jika
pasien dalam keadaan hypotensive, nauseated, dan atau muntah-muntah. Standar
pemberian antibiotik pada sebagian besar kasus PK adalah 10-14 hari.
Perawatan di ICU
Pasien dengan PK yang parah harus dirawat di ICU, dengan kriteria:

Selesai rawat inap


Ketika keadaan fisiologis sudah tercapai, maka pasien boleh dipulangkan, yaitu
temperature < 37,50 C dalam 24 jam, nadi <100/min, RR <24/min, tekanan darah
sistolik >90mmHg, saturasi oksigen dengan udara bebas >90%, mampu untuk makan
dan minum dengan baik supaya terhindar dari dehidrasi. Selain itu juga keadaan
komorbid harus stabil dan segala komplikasi yang terjadi karena perwatan dapat
ditangani.
Pneumonia Nosokomial
Strategi penatalaksanaan terapi pada suspek PN, PBV, atau PPK tercantum pada
bagan berikut ini:

Algoritme untuk terapi empirik awal pada PN didasarkan pada pertimbangan


ada/tidak adanya saat onset lambat > 5 hari dan adanya faktor risiko patogen Mutlidrugs
Resistent (MDR), diberikan terapi empirik awal dengan terapi AB spektrum terbatas
atau AB spektrum luas untuk patogen MDR.

Terapi harus segera diberikan karena keterlambatan terapi dapat meningkatkan


mortalitas. Pasien diberikan terapi empirik berdasarkan risiko multydrugs resistent
(MDR), gram negatif dalam bentuk kombinasi, dan monoterapi bila tidak ada risiko
MDR. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi patogen pada saat terapi terhadap P.
aeroginosa, dan pada saat pemberian sefalosporin generasi ke-3 pada infeksi
Enterobacter. Dapat diberikan terapi jangka pendek selama 7 hari bila didapat respon
yang baik dan penyebabnya bukan P. aeroginosa.
Terapi Suportif
1. Terapi CO2 untuk mencapai PaO2 80-100mmHg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan analisis darah.
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat
disertai nebulizer untuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme.
3. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya anjuran untuk batuk dan
napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan

ekspirasi dan pengeluaran CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan
pernapasan.
4. Pengaturan cairan. Keutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia, dan
paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairanterutama bila terdapat pneumonia
bilateral. Pemebrian caira pada pasien harus diatur dengan baik, termasuk pada
keadaan gangguan sirkulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi untuk maksud
mengencerkan dahak tidak diperkenankan.
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan sepsis.
6. Obat inotropik seperti dobutamin atau dopamin kadang-kadang diperlukan bila
terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal.
7. Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilaltor pada pneumonia
adalah:
-

Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100% dengan


menggunakan masker. Konsentrasi O2 yang tinggi menyebabkan penurunan
kompliens paru hingga tekanan inflasio meninggi. Dalam hal ini perlu
dipergunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenasi dan menurunkan FiO2
menjadi 50% atau lebih rendah.

Gagal napas yang ditandai oleh peningkatan CO2 didapat asidosis, henti
napas, retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.

8. Drainase empiema bila ada.


9. Bila terdapat gagal nafas, diberikan nutrisi dengan kalori yang cukup yang
disapatkan terutama dan lemak (>50%), hingga dapat dihindari produksi CO 2
yang berlebihan.

KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi pneumonia ekstrapulmner, misal pada pneumonia
pneumokokkus dengan bakteremi dijumpai pada 10% kasus berupa meningitis, arthritis,
endokarditis, perikarditis, peritonitis, empiema. Terkadang dijumpai komplikasi
ekstrapulmoner non infeksius bisa dijumpai yang memperlambat resolusi gambaran
radio paru, antara lain gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru, atau infark paru, dan

infarkmiokard akut. Dapat terjadi komplikasi lain derupa ARDS (Acute Respiratory
Distress Syndrome), gagal organ jamak, dan komplikasi lanjut berupa pneumonia
nosokomial.
PROGNOSIS
Pneumonia Komunitas
Kejadian PK di USA adalah 3,4-4juta kasus pertahun dan 20% diantaranya perlu
dirawat di RS. Secara umum, angka kematian pneumonia oleh pneumokokus adalah
sebesar 5%, namun dapat meningkat pada orang tua dengan kondisi yang buruk.
Pneumonia dengan influenza di USA merupakan penyebab kematian no.6 dengan
kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada usia lanjut yaitu sebesar 89%. Mortalitas
pasien PK yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%. Mortalitas yang tinggi ini
berkaitan dengan faktor perubah yang ada pada pasien.
Pneumonia Nosokomial
Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50% yang bisa mencapai 70% termasuk
yang meninggal akibat penyakit dasar yang dideritanya. Penyebab kematian
biasanya adlah akibat bakteriemi terutama oleh Ps.aeroginosa atau Acinobacter
spp.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kasper DL, et al. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16 th ed. The McGrawHill Companies, Inc: 2004
2. American Thoracic Society. Guidelines for the Management of Adults with
Community-acquired Pneumonia Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial
Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit Care Med 2001; 163: 1730-54
3. American Thoracic Society. Guidelines for the Management of Adults with Hospitaacquired, Ventilator-associated, Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit
Care Med 2005; 171: 388-416

Anda mungkin juga menyukai