Anda di halaman 1dari 7

Harian Indoprogress

Kemana Arah Gerakan Mahasiswa


Sekarang?: Dari Refleksi Menuju Aksi
25 March 2015
Arif Novianto
Harian Indoprogress

Print PDF
Pendahuluan
PADA perayaan ulang tahunnya yang ke-81 di tahun 2006, Pramoedya Ananta Toer
mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup menarik: mengapa pemuda yang dengan
gemilang menyingkirkan rezim Soeharto, tidak menghasilkan tokoh politik nasional? padahal
pemudalah yang memberikan kepemimpinan dan energi dalam setiap perubahan penting
disepanjang sejarah Indonesia serta tampil menjadi tokoh politik nasional. Mengapa
sekarang tidak?.
Pertanyaan tersebut mencoba mencari apa yang terjadi sebenarnya dalam gerakan mahasiswa
atau pemuda ini di era reformasi. Para mahasiswa bersama rakyat yang telah berhasil
melengserkan Soeharto setelah 32 tahun memimpin pada mei 1998, tidak mampu turut
menyingkirkan orang-orang dalam lingkaran orba. Mereka tidak menghasilkan tokoh populis
yang menuntun agenda besar revolusi nasional bersama rakyat. Akibatnya gerakan mobilisasi
massa yang begitu besar, yang telah dibangun lama dibajak oleh tokoh konservatif yang
masih dalam enclave orba seperti Amien Rais, Gus Dur dan Megawati pada detik-detik
terakhir. Sehingga agenda reformasi tak mampu mendorong perubahan besar, karena kronikroni orba masih tetap bergentayangan di pusat-pusat pengambilan keputusan.
Setelah hampir 17 tahun masa reformasi, banyak sekali kegundahan rakyat terhadap
aktivisme gerakan Mahasiswa. Mitos mahasiswa sebagai agent of change menjauh dari
realita yang ada. Para mahasiswa lebih senang dan bangga jadi juru keplok (tepuk tangan) di
acara-acara TV atau duduk manis di pusat perbelanjaan atau di tempat nongkong modern
yang begitu gemerlap dan jauh dari kesulitan hidup rakyat kecil. Di sana mereka dapat
leluasa berbicara tentang artis idola, film populer serta trend atau mode pakaian terbaru, dan

tak lupa mencibir setiap kali ada demo yang memacetkan jalan atau tak terima ketika upah
buruh naik yang membuat para buruh dapat hidup layak.
Di sisi yang lain gerakan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan cenderung tersandera
dengan isu-isu elit yang menyetir media massa nasional. Mereka seringkali terjebak pada
romantisme masa lalu, seperti seorang ABG yang ditinggal kekasihnya kemudian gagal
move-on. Prestasi bagi mereka adalah ketika berhasil membuat event besar dengan
mendatangkan artis papan atas. Kalau begitu apa bedanya mahasiswa dengan event organizer
(EO)? Coba hitung berapa banyak organisasi mahasiswa yang tetap berada di rel awalnya
untuk mengasah para intelektual muda yang mampu memperjuangkan kehidupan rakyat dan
mengkritisi penguasa?
Problematika tersebut bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit (ahistoris). Tetapi tak dapat
dilepaskan pada akar sejarah. Banyak pengamat menganggap hal ini adalah buah dari
neoliberalisme yang menyebabkan terjadinya komersialisasi pendidikan atau analisa budaya
yang melihat karena pengaruh habitus. Namun analisa tersebut mengandaikan mahasiswa
sebagai makhluk yang tak bergerak yang dapat disetir kesana kemari. Padahal mahasiswa
adalah manusia yang berfikir, berhasrat dan bergerak (hidup). Itu adalah faktor eksternal
sedangkan faktor internal adalah tentang dinamika gerakan di tubuh organisasi mahasiswa
ini. Analisa yang lebih genit lagi adalah ketika menganggap hal tersebut adalah faktor
moralitas, yang solusinya adalah penanaman nilai agama atau ceramah motivasi surgawi.

Sejarah Gerakan Mahasiswa Dari Masa ke Masa


Sejarah pergerakan Indonesia tak bisa dilepaskan pada masa perkembangan 1912-1926 atau
yang menurut Takashi Shiraishi adalah peristiwa Zaman Bergerak. Peran para intelektual
muda yang membawa gagasan baru dalam dunia pergerakan mengalir deras dalam kesadaran
politik rakyat. Zaman pergerakan di Indonesia pada masa itu mulai menampilkan kesadaran
politik baru dalam bentuk yang modern dan akrab dengan kita saat ini, seperti surat kabar,
rapat, pemogokan, serikat, partai dan ideologi. Hal tersebut tidak mungkin dapat ditemui dari
masa sebelumnya dimana gerakan lebih bersifat mesianistik atau yang dipimpin para feodal
dengan cara tradisional.
Kesadaran politik rakyat terbentuk tidak hanya melalui interaksi sosial, namun melalui
aktivitas sosial dan aktivitas politik terorganisasi dengan cita-cita untuk merdeka. Mobilisasi
massa secara besar telah menciptakan radikalisasi dalam gerakan. Rakyat mulai aktif
melakukan berbagai aksi pemogokan dan tuntutan. Gagasan Marxisme atau sosialisme ilmiah
yang dibawa oleh Henk Sneevliet serta Tan Malaka menjadi pijakan penting dalam gerakan.
Ketika gerakan kiri diberangus pada penghujung 1926, kekosongan tonggak gerakan diambil
alih oleh kelompok intelektual muda nasionalis kiri radikal yang telah terbentuk kesadaran
politiknya pada 1920an, seperti Soekarno dengan PNI dan gagasan Marhenismenya.
Datangnya Jepang hingga kemerdekaan pada 1945 tak bisa dipisahkan dari kekuatan gerakan
rakyat ini. Mereka melakukan perang gerilya, mogok, vergadering, aksi massa, berorganisasi,
rapat akbar dan berpartai untuk menuntaskan proses revolusi nasional yang anti neokolonialisme dan anti neo-imperialisme. Para mahasiswa, pemuda bersama rakyat berupaya
menghabisi sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme dengan tuntutan nasionalisasi, land reform
dan berdikari.

Namun pada 1965-1967, terjadi penghancuran gerakan revolusi nasional yang hampir 60
tahun telah terbangun. Pelakunya adalah rezim Orde Baru (orba). Gerakan mahasiswa pada
1965 yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk atas
anjuran Mayor Jendral Syarif Thayib, Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pada
25 Oktober 1965, adalah gerakan yang berselingkuh dengan Angkatan Darat dalam
mendirikan orba. Setelah orba tegap memimpin, para pemimpin KAMI banyak yang masuk
dalam pemerintahan sebagai timbal jasa. Tentu ada yang tak terserap dan bergerak di luar.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1970an, terjebak pada kerangka gerakan moral. Seperti tokoh
dalam gerakan tersebut Arief Budiman, yang menyerukan gerakan Golput atau Golongan
Putih terhadap Pemilu yang tak adil. Gerakan mahasiswa pada masa ini hanya bergulat
dengan teori, membuat sikap pernyataan dan menegur penguasa tanpa pernah melakukan
gerakan mobilisasi massa serta bergabung dengan massa rakyat yang dihisap oleh rezim orba.

Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto

Kebijakan massa mengambang yang digagas oleh Ali Moertopo telah membuat rakyat buta
politik. Keadaan tersebut membuat masyarakat yang marah terhadap penguasa tak dapat
menyalurkan amarahnya dalam gerakan politik yang terorganisasi, sehingga yang terjadi
adalah kerusuhan. Hingga terjadi peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) yang

dilakukan generasi mahasiswa 1973-74. Akibat proses tersebut rezim Soeharto mengambil
tindakan normalisasi kehidupan kampus (NKK) dalam kehidupan politik. Karena kampus
selama periode tersebut menjadi pusat mobilisasi mahasiswa dan pusat kritik terhadap
penguasa.
Gerakan mahasiswa pada era akhir 1980an sampai 1998 mulai belajar dari kekalahan atau
kesalahan gerakan sebelumnya paska 1965, yaitu karena terpisah dari kekuatan rakyat dan
mereka tak memiliki basis massa yang kuat dan luas (analisa Danial Indrakusuma, aktivis
mahasiswa & tokoh pendiri PRD). Belajar dari gerakan mahasiswa di Filipina pada 1980an
yang berhasil menggulingkan diktator Marcos dengan strategi Live-in (hidup dan berjuang
bersama rakyat), maka gerakan mahasiswa pada masa itu melakukan strategi yang sama.
PRD yang terbentuk pada 1994 (diinisasi oleh mahasiswa, aktivis, buruh, petani dan lainnya)
memainkan peran penting dalam kembali menjalankan politik mobilisasi massa dengan cara
Live-in di kawasan perburuhan, kawasan pinggiran kota, dan di tengah konflik agraria.
Hingga akhirnya rezim Soeharto menyatakan PRD sebagai partai terlarang dengan
menangkap para aktivisnya. Hal tersebut membuat PRD melakukan gerakan bawah tanah
dengan membawa bendera berbeda yang mampu mendorong lengsernya Soeharto pada Mei
1998 setelah 32 tahun memimpin.
Seperti yang ditanyakan oleh Pram, gerakan mahasiswa atau pemuda yang berhasil
menggulingkan Soeharto tersebut ternyata tidak menghasilkan tokoh politik nasional pada
periode era reformasi. Bahkan sampai sekarang, tokoh nasional hanya diisi oleh orang-orang
dari enclave orba. Pada 1999 ada Amin Rais, Megawati dan Gus Dur, sedangkan sampai
sekarang hanya diisi oleh SBY, Jusuf Kalla, dan Prabowo. Jokowi memang tidak termasuk
enclave peninggalan orba, namun ia tak terlahir dari proses gerakan dan tak memiliki gagasan
besar tentang ke-Indonesiaan.
PRD sebagai pelopor gerakan melengserkan Soeharto dalam pemilu 1999, juga tidak dapat
berbicara banyak. Jargon mereka Pilih PRD atau Boikot Pemilu bersama Rakyat
menunjukan adanya kebimbangan dan perpecahan di internal partai tersebut dalam terjun
dalam ajang kontestasi politik. Perpecahan terjadi karena ada dua arus pemikiran berbeda,
apakah mereka akan bergerak di luar sistem dengan politik ekstra-parlementer atau bergerak
di dalam. Sebelumnya mereka dikhianati oleh 4 tokoh reformis yaitu Megawati, Abdurahman
Wahid, Amin Rais dan Sultan Hamengkubuwono X melalui pertemuan Ciganjur, yang
kemudian menghentikan sebagian besar kekuatan mobilisasi massa yang memiliki potensi
besar membawa roda pemerintahan kembali menapaki semangat revolusi nasional.
Hingga saat ini, PRD telah mengalami masa degenerasi dan deidiologisasi, karena aktivisaktivis yang bergerak di dalamnya selama periode 1994-2000an telah banyak yang keluar.
Garis politik PRD dari gagasan sosialisme demokrasi kerakyatan, sekarang cenderung
mengarah ke Soekarnoisme. PRD pun pada akhirnya kehilangan pengaruhnya pada basis
massa rakyat. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh hilangnya musuh bersama yaitu Soeharto
pada era orba. Setelah Soeharto sukses dijatuhkan, bayangan akan musuh bersama menjadi
samar. Ketiadaan musuh bersama membuat mereka kehilangan dukungan dari rakyat.
Selain itu faktor yang penting sebagaimana kesimpulan dari Pram dalam menjawab
pertanyaan di awal adalah bahwa: Kita secara nasional dilahirkan oleh revolusi nasional
dan berhasil menghalau Imperialisme disusul perjuangan menuntaskan revolusi: sekarang
itu sudah padam samasekali. Kesimpulan saya: karena perkembangan orba menyalahi

sejarah sebagai titik awal tempat bertolak sehingga kehilangan arah tak tau tujuan, alias
ngawur.
Pembantaian masal pada organ gerakan kiri, penghancuran terhadap gagasan revolusioner
dan pemberangusan mobilisasi rakyat untuk menuntaskan revolusi nasional selama masa
orba, telah membuat rakyat menjadi buta politik. Kekosongan gagasan revolusioner telah
mencuatkan gagasan konservatif. Setelah jatuhnya Soeharto, rakyat yang dibuat menjadi
masa mengambang, banyak yang tak mengetahui kemana mereka harus menyandarkan
pilihan politiknya. PRD tidak mampu melakukan kampanye masif di berbagai media massa
umum, sementara koran yang dibuatnya tidak mampu menyentuh segala lini masyarakat.
Akibatnya rakyat yang tengah berada pada masa krisis menyandarkan pilihan politiknya pada
tokoh-tokoh reformis yang mendapat banyak sorotan oleh media massa. Hilangnya budaya
berserikat, berpartai, rapat akbar, aksi, mogok dan bersuara telah menjadi salah satu penyebab
kegagalan era reformasi ini. Kekosongan politik kiri, membuat para pemuda pengangguran,
pemuda di pinggiran kota, pemuda desa yang tereksklusi dari dunia pertanian dan begitu pula
para mahasiswa pada akhirnya menjatuhkan pilihan politiknya pada gagasan politik relijius
konservatif atau relijius fundamentalis radikal. Para pemuda tersebutlah yang sekarang
menjadi basis masa dari organisasi semacam FPI (Front Pembela Islam).

Apa Yang Harus Dilakukan?


Kini kita dihadapkan pada hasil dari proses penghancuran atau kontra-revolusi gerakan
politik rakyat oleh rezim orba. Konsep massa mengambang yang diterapkan oleh rezim
orba telah membuat mahasiswa begitupula rakyat kebanyakan, terjerat dalam kesadaran palsu
mereka dan imajinasi ketakutan terhadap perjuangan politik. Artinya gerakan mahasiswa ke
depan harus mampu menghubungkan dan membangun kembali atau melampaui perjuangan
politik rakyat yang terbentuk pada 1912-1965.
Gerakan mahasiswa juga harus belajar dari perjuangan gerakan mahasiswa pada masa
sebelumnya. Mereka harus bersikap tegas dengan berbagai kajian dan tidak hanya riuh
dengan selebrasi politik. Tidak hanya bergerak dalam dunia maya seperti dengan gerakan
petisi online, akan tetapi bergerak dalam aksi nyata. Mahasiswa di Chile berhasil mendorong
kebijakan kuliah gratis yang dibiayai dari pajak korporasi, karena mereka turun ke jalan-jalan
untuk aksi massa dengan tuntutan-tuntutan yang menekan penguasa sejak tahun 2006 melalui
apa yang dinamai Penguin Revolution.
Artinya, gerakan mahasiswa selain berkutat dengan teori, mereka harus turun ke massa rakyat
melalui strategi live-in dengan melakukan aktivitas sosial-politik demi menciptakan
kesadaran politik pada massa dan keyakinan atas kekuatannya. Melakukan berbagai kajian
dan membentuk media propaganda seperti Koran menjadi penting untuk memperkuat
argumen dan memperluas kesadaran massa. Kebijakan pemerintah yang masih terjerat dalam
politik neoliberal, membuat terus terjadinya berbagai konflik yang melibatkan rakyat dengan
pemerintah atau swasta serta dengan keduanya. Di sana mereka dapat turut membantu
perjuangan rakyat dengan membentuk blok historis. Dan hal utama adalah untuk
menghidupkan kembali perjuangan menyelesaikan revolusi nasional Indonesia.***

Penulis adalah Mahasiswa Manajemen & Kebijakan Publik di Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu
Politik (ISIPOL) UGM 2010. Berbagai tulisannya dapat dinikmati di
arifnovianto.wordpress.com / Kontak: arif.novianto@mail.ugm.ac.id

Tulisan ini sebelumnya digunakan sebagai pemantik diskusi dalam acara GAMAPI (Keluarga
Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik UGM) CAMP dengan tema Pemuda dan
Gerakan Mahasiswa dalam Organisasi yang dilaksanakan pada 13 Maret 2015.

Kepustakaan:
Bourchier, David & Vedi R Hadiz. 2005. Indonesian Politics and Society. London & New
York: RouledgeCurzon.
Lane, Max. 2014. Unfinished Nation. Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe.
Robinson, Richard & Vedi R Hadiz. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets. London & New York: RouledgeCurzon.
Shiraishi, Takashi. 2005. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.

Anda mungkin juga menyukai