Anda di halaman 1dari 5

1.

Nyeri adalah suatu gejala yang berfungsi sebagai isyarat bahaya tentang adanya
gangguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik atau kejang otot.
Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisik (kalor,
listrik) dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut
memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri, yaitu histamin,
brakidin, leukotrien dan prostaglandin. [1]
Mekanisme nyeri [2]:
a. Teori spesifik, yaitu nyeri karena serabut saraf
bermasalah.
b. Teori gerbang, yaitu nyeri karena sistem saraf pusat.

pada jaringan

yang

2. Analgetik: [3]
Obat-obat analgesik dapat diberikan secara oral pada pasien anak di atas 1
tahun untuk jangka pendek (maksimal 3 hari)
a. Paracetamol : Dosis awal 30-40 mg/kg, diikuti dengan 60-90 mg/kg/hari,
diminum 4 kali/hari.
b. Diclofenac

: 3 mg/kg/hari, diminum 2-3 kali sehari.

c. Naproxen

: 10-15 mg/kg/hari, diminum 2 kali sehari.

d. Ibuprofen

: 20-40 mg/kg/hari, diminum 3 kali sehari.

e. Celcoxibe

: 2-4 mg/kg/hari, diminum sekali sehari.

3. Trauma adalah cedera yang dikarenakan oleh gaya eksternal. Traumatic injury
dapat melibatkan gigi geligi, rahang, atau keduanya. [4]
Klasifikasi traumatik injury menurut Ellis [5]:
a. Kelas 1
: Fraktur pada mahkota, sedikit atau tidak melibatkan dentin.
b. Kelas 2
: Fraktur pada mahkota, melibatkan sebagian besar dentin tetapi
belum mengenai pulpa.
c. Kelas 3
: Fraktur pada mahkota, melibatkan sebagian besar dentin yang
mengakibatkan tereksposnya pulpa.
d. Kelas 4
: Terjadi nekrosis, dengan atau tanpa hilangnya struktur
mahkota.
e. Kelas 5
: Hilangnya gigi karena trauma.
f. Kelas 6
: Fraktur pada akar, dengan atau tanpa hilangnya struktur
mahkota.
g. Kelas 7
: Bergesernya gigi, tanpa adanya fraktur.
h. Kelas 8
: Kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi yang
menyebabkan fraktur mahkota yang besar tetapi gigi tetap pada tempatnya
dan akar tidak mengalami perubahan.
i. Kelas 9
: Traumatic injury pada gigi sulung.
Menurut WHO, traumatic injury diklasifikasikan sebagai berikut [3]:
A. Cedera pada jaringan keras gigi dan pulpa
a. Infraksi enamel (S 02.50), yaitu fraktur tidak sempurna pada enamel,
hanya berupa retakan tanpa lepasnya bagian enamel.

b. Fraktur enamel (S 02.50), yaitu patah dan lepasnya enamel gigi.


c. Fraktur enamel-dentin (S 02.51), yaitu hilangnya struktur email dan
dentin, tetapi tidak melibatkan pulpa.
d. Complicated crown fracture (S 02.52), yaitu fraktur yang melibatkan
enamel dan dentin, mengakibatkan tereksposnya pulpa.
B. Cedera pada jaringan keras gigi, pulpa dan tulang alveolar
a. Fraktur mahkota-akar (S 02.54), yaitu fraktur yang melibatkan email,
dentin dan sementum. Dapat mengenai pulpa atau tidak.
b. Fraktur akar (S 02.53), yaitu fraktur yang melibatkan dentin, sementum
dan pulpa. Fraktur akar dapat diklasifikasikan lagi menurut pergeseran
mahkota atau menurut letak frakturnya.
c. Fraktur pada dinding soket tulang alveolar (S 02.60).
d. Fraktur pada processus alveolaris (S 02.60)
C. Cedera pada jaringan periodontal
a. Konkusi (S 03.28), yaitu cedera pada jaringan periodontal yang ditandai
dengan perkusi positif, tetapi tanpa disertai perubahan posisi atau goyang
pada gigi.
b. Subluksasi (S 03.28), yaitu goyangnya gigi tanpa disertai perubahan
posisi.
c. Luksasi ekstrusif (S 03.21), yaitu keadaan dimana gigi bergerak keluar
dari alveolus, tetapi tidak sampai lepas.
d. Luksasi lateral (S 03.20), yaitu bergesernya gigi ke arah lateral.
e. Luksasi intrusif (S 03.21), yaitu masuknya gigi ke dalam tulang alveolar.
Hal ini menyebabkan cedera pada soket tulang alveolar.
D. Cedera pada gingiva dan mukosa mulut
a. Laserasi gingiva/mukosa (S 01.50), yaitu luka yang dangkal atau dalam
pada mukosa dikarenakan oleh robekan.
b. Kontusi gingiva/mukosa (S 01.50), yaitu luka memar pada mukosa karena
benda tumpul, tidak disertai dengan terbukanya permukaan luar mukosa,
biasanya menyebabkan pendarahan submukosa.
c. Abrasi gingiva/mukosa (S 01.30), yaitu luka superfisial yang terjadi karena
gesekan pada permukaan mukosa.
4. Pemeriksaan Ekstraoral [3]
Dilakukan pengamatan pada wajah dan bibir, apakah terjadi pembengkakan,
memar atau laserasi. Luka yang dalam diperiksa, apabila terdapat benda asing
dikeluarkan.
Pemeriksaan Intraoral [3]
Dilakukan pengamatan secara sistematik terhadap:
a. Pembengkakan, laserasi dan pendarahan mukosa
b. Abnormalitas pada oklusi
c. Gigi yang tanggal, bergeser, goyang, retak atau patah..
Berikut hal-hal yang perlu diperhatikan saat pemeriksaan:
a. Perubahan posisi gigi

b. Mobilitas gigi
c. Reaksi pasien terhadap perkusi
d. Warna gigi

Pemeriksaan radiografi [3]


Dilakukan untuk mengamati kondisi jaringan periodontal, melihat letak fraktur
tulang alveolar dan fraktur akar, serta untuk mengecek keberadaan abses. Pada
gigi sulung dibutuhkan pemeriksaan radiografi untuk melihat kondisi gigi
permanen pengganti yang belum erupsi.

5. Diagnosis adalah identifikasi penyakit atau kondisi yang berdasarkan pada


evaluasi ilmiah dari tanda fisik, gejala, riwayat, hasil uji laboratorium, atau
prosedur lainnya. [6]
Diagnosis pada kasus:
a. Pada gigi 11 dan 21 terjadi pulpitis irreversible e.c. post traumatic. Gigi
mengalami fraktur 1/3 insisal, pada pasien (10 tahun) yang ruang pulpanya
masih besar, kemungkinan terjadi exposure pulpa. Kemungkinan lain yaitu
pulpa tidak terekspos tetapi fraktur mencapai atap pulpa, sehingga bakteri
mudah masuk ke dalam pulpa melalui tubulus dentinalis dan mengakibatkan
inflamasi pada pulpa, apalagi pada scenario pasien tidak langsung dibawa ke
rumah sakit. Pada pasien sakit terjadi terus-menerus walaupun tanpa
stimulus, yang merujuk ke pulpitis irreversible. [7,8]
b. Pada gigi 12, 22, 13 dan 23 terjadi subluksasi dengan mobile derajat 2.

6. Klasifikasi fraktur menurut Bennet [5]:


a. Kelas 1
: Trauma pada gigi tanpa terjadinya fraktur.
b. Kelas 2
: Fraktur mahkota
a) Enamel
b) Enamel dan dentin
c. Kelas 3
: Fraktur mahkota yang menyebabkan tereksposnya pulpa.
d. Kelas 4
: Fraktur akar
a) Dengan fraktur mahkota
b) Tanpa fraktur mahkota
e. Terjadi avulsi.
7. Perawatan pada fraktur tergantung dengan struktur gigi yang bermasalah [7]:
a. Fraktur enamel
: Ujung patahan yang tajam cukup diperhalus
dengan rotary sander.
b. Fraktur enamel & dentin : dilakukan restorasi dengan GIC atau komposit.
c. Fraktur hingga ke pulpa
: pulpotomi atau pulpektomi, diikuti dengan
restorasi/
d. Fraktur akar
: dilakukan pencabutan.

8. Derajat mobilitas dapat diklasifikasikan sebagai berikut [9]:


a. Derajat 0
: Normal (mobilitas fisiologi)
b. Derajat 1
: Gigi goyang 0.2-1.0 mm secara horizontal
c. Derajat 2
: Gigi goyang >1.0 mm secara horizontal
d. Derajat 3
: Gigi goyang secara horizontal dan vertikal
9. Gigi yang mengalami subluksasi dapat ditangani dengan periodontal splinting
sebagai fiksasi. Periodontal splinting dapat dilakukan dengan menggunakan
klamer, periodontal paste atau self-cure composit. Pada penggunaan self-cure
composite tidak perlu dilakukan pengetsaan, cukup diaplikasikan pada
permukaan enamel beberapa gigi secara bersambung dan horizontal, biasanya
dilakukan pada permukaan labial/ palatal. Selain itu pasien diberikan antibiotik
untuk mencegah infeksi, mengingat kondisi gigi yang mobile mengakibatkan
longgarnya kontak antara gigi dan jaringan periodontal dan memungkinkan
masuknya mikroorganisme. [7]
10.Dampak apabila
a. Mengganggu
b. Mengganggu
c. Mengganggu

tidak ditangani [10]:


estetik
fungsi fonetik
pengunyahan

Daftar Pustaka:
1. Tjay TH, Rahardja K. Obat-obat penting: khasiat, penggunaan dan efek-efek
sampingnya, 6 ed. Jakarta: Elex Media Komputindo: 2007. P. 312-319
2. Walton RE, Torabinejad M, Fouad AF. Endodontic: principles and practice, 5 ed.
Missouri: Elsevier Health Science; 2014. P. 584.
3. Koch G, Poulsen S. Pediatric dentistry: a clinical approach, 2 ed. Oxford:
Blackwell Publishing; 2009. P. 266-268, 53.
4. John PR. Essentials of dental radiology. New Delhi: Japee Brothers Medical
Publishers; 2008. P. 140.
5. Ongole P, BN Praveen. Clinical manual for oral medicine and radiology. New
Delhi: Japee Brothers Medical Publishers; 2007. P. 166-168.
6. OToole MT. Mosbys medical dictionary, 9 ed. Missouri: Elsevier Mosby; 2013.
P. 526.
7. Wolfson AB, Hendey GW, Ling LJ, et.al. Hardwood-Nuss clinical practice of
emergency medicine. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2010. P.
176-178.
8. Ingle JI, Bakland LK, Baumgartner JC. Ingles endodontics, 6 ed. Ontario: BC
Decker; 2008. P. 528.
9. Marya CM. A textbook of public health dentistry. New Delhi: Japee Brothers
Medical Publishers; 2011. P. 417.

Anda mungkin juga menyukai