Anda di halaman 1dari 5

MANAJEMEN KASUS GIZI BURUK PUSKESMAS TOGO-TOGO

KEC.BATANG KAB.JENEPONTO
I.

LATAR BELAKANG
Gizi buruk pada anak sampai saat ini masih menjadi masalah di Indonesia. Diketahui
sampai tahun 2011 ini ada sekitar 1 juta anak dari 240 juta penduduk di Indonesia yang
mengalami gizi buruk, kebanyakan berada di daerah timur Indonesia seperti di daerah NTT
dan Maluku. Salah satu faktor penyebanya karena letak geografisnya seperti jarak yang jauh
dari fasilitas kesehatan. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan anak mengalami gizi
buruk yaitu: faktor kesediaan pangan atau faktor kemiskinan, dalam hal ini berhubungan
dengan jual beli seperti tidak tersedianya pangan yang cukup. Faktor perilaku, misalnya di
daerah tersebut pangannya tersedia tapi cara pemberian atau pengolahannya tidak benar
seperti anak baru 1 bulan sudah diberi pisang yang seharusnya mendapatkan ASI eksklusif.
Faktor ketidaktahuan orang tua mengenai pemberian gizi yang baik bagi anak, dan faktor
penyakit bawaan pada anak, seperti jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernafasan dan diare.
Faktor pendidikan, kurangnya edukasi dimasyarakat.
Asupan gizi yang cukup seharusnya sudah dilakukan pada masa kehamilan hingga
usia balita (periode emas), karena kekurangan gizi bisa mempengaruhi kecerdasan dan
pertumbuhan anak. Salah satu solusi jangka panjang yang bisa diberikan adalah masyarakat
harus mendapat penyuluhan mengenai pentingnya gizi dan cara mengolah makanan yang
benar. Serta edukasi mengenai kebersihan, sanitasi yang baik harus diupayakan sesuai
dengan kemampuan ekonomi.

II. PERMASALAHAN DI MASYARAKAT


Pada dasarnya, gizi buruk merupakan penyakit yang tidak terjadi secara akut atau dalam
waktu singkat, melainkan memerlukan waktu beberapa bulan. Sebagian besar kasus gizi
kurang dan gizi buruk dengan tatalaksana gizi buruk dapat dipulihkan di Puskesmas/RS. Hal
tersebut juga tergantung dari ada tidaknya penyakit penyerta misalnya penyakit bawaan
seperti jantung atau metabolisme lainnya.
1

Pada tingkat keluarga, keluarga yang tidak sadar gizi juga merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya kasus gizi buruk. Pengetahuan dan perilaku keluarga khususnya ibu
tentang makanan bergizi yang kurang akan memengaruhi perkembangan status gizi bayi.
Misalnya kebiasaan untuk tidak memakan makanan tertentu padahal memiliki nilai gizi yang
tinggi akan berakibat pada anak/bayi. Sanitasi serta lingkungan yang kurang baik dan tidak
bersih akan membuat bayi sakit-sakitan sehingga memengaruhi proses pertumbuhan bayi.
Serta kondisi ekonomi keluarga yang lemah dapat memengaruhi daya beli keluarga untuk
mengonsumsi makanan yang sehat dan bergizi.
Pada tingkat masyarakat, kebiasaan tertentu di masyarakat dapat menjadi salah satu
faktor yang memengaruhi pertumbuhan bayi. Misalnya pada masyarakat tertentu, imunisasi
pada bayinya baru boleh dilakukan pada bulan ke-2 sehingga pada bulan pertama bayi tidak
dibawa ke posyandu untuk melakukan penimbangan. Sehingga proses terjadinya gizi buruk
dapat juga berlangsung pada masa ini.
Penyebab lain yang juga seriong menjadi kendala adalah ketersediaan fasilitas
kesehatan yang tidak terjangkau oleh ibu dan bayinya. Hal tersebut membuat bayi menjadi
tidak dapat dikontrol berat badannya melalui KMS serta dapat diperburuk jika bayi sakit
sementara pengobatan tidak diberikan di fasilitas kesehatan, misalnya pustu.
III. PEMILIHAN INTERVENSI
Dalam mengatasi masalah gizi buruk dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan harus
dilakukan secara komprehensif serta menyeluruh. Cara dan strategi yang dapat dilakukan
berupa deteksi dini di posyandu dengan melakukan penimbangan balita serta melalui KMS
(Kartu Menuju Sehat) sehingga bisa diketahui grafik pertumbuhannya. Upaya pemulihan
gizi dengan mengadakan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) serta
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu terutama dalam memberi asupan gizi
kepada anak. Selain hal tersebut, pemberian edukasi gizi kepada ibu bayi juga sangat
penting untuk dilakukan.

Menurut petugas gizi di puskesmas togo-togo, selama ini penanganan kasus gizi
buruk sering berhasil memperbaiki kondisi pasien gizi buruk yang terdeteksi, selama tidak
diikuti dengan penyakit penyerta lain.
IV. PELAKSANAAN
Pada tanggal 17 Maret 2012 dilakukan kunjungan rumah terhadap pasien gizi buruk atas
nama An. M, umur 1 tahun 2 hari (12 bulan), di Desa Bungeng, Kecamatan Batang, Kabupaten
Jeneponto. Kunjungan dilakukan untuk memantau kembali tumbuh kembang dan status gizi anak
tersebut dengan penimbangan berat badan setelah pemberian makanan tambahan serta mengingatkan
kembali orang tua yang bersangkutan untuk tetap memperhatikan gizi terbaik untuk tumbuh
kembang anaknya.

V. EVALUASI
Pasien terdeteksi sejak bulan Maret 2012 dengan laporan dari masyarakat sekitar tentang
adanya bayi yang sering sakit-sakitan.
Pada hasil pengukuran antropometri awal, dengan umur 12 bulan, BB 5,3 kg dan PB 61,6
cm, didapatkan status gizi anak tersebut tergolong:
Gizi Buruk, menurut standar Berat Badan menurut Umur (BB/U) anak laki-laki
umur 0-60 bulan dengan Z-score < -3 SD.
Sangat Pendek, menurut standar Panjang Badan menurut Umur (PB/U) anak lakilaki umur 0-24 bulan dengan Z-score < -3 SD.
Kurus, menurut standar Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB) anak laki-laki
umur 0-24 bulan dengan Z-score -2 SD
Dari hasil anamanesis riwayat kelahiran bayi, didapatkan bahwa ibu melahirkan di dukun,
langsung menangis dengan berat badan yang tidak di ukur tetapi menurut ibu dan
penduduk sekitar, normal (tidak kecil). Riwayat kehamilan pun normal. Bayi merupakan
anak pertama dan ibu melahirkan pada usia 43 tahun.
Riwayat kesehatan bayi tidak terlalu baik. Sesuai kebiasaaan masyarakat di daerah
tersebut, bayi biasanya dibawa untuk imunisasi ketika umur 2 bulan. Sementara pada
3

umur 50 hari, bayi sudah mulai sakit-sakitan. Sering mengalami demam, batuk bahkan
sesak. Tiap kali akan dibawa untuk melakukan penimbangan dan imunisasi bayi sakit
lagi, sehingga tidak pernah dibawa ke posyandu. Ketika memasuki umur 8 bulan, mulai
kelihatan terjadi penurunan berat badan yang bermakna. Meskipun bayi sering sakit,
tetapi ibu juga tidak membawa bayinya ke pustu untuk mendapat pengobatan, sehingga
makin memperparah terjadinya penyusutan berat badan. Setelah dilakukan kunjungan
ternyata baru diketahui juga bahwa bayi tersebut menderita Down Syndrome, dengan
adanya tanda-tanda seperti simian line, hipertelorisme, serta makroglosi.
Oleh karena berasal dari keluarga dengan ekonomi lemah, maka ibu memiliki kesulitan
untuk memberikan makanan tambahan ASI yang baik. Sehingga pemberian makanan
selama ini berdasaarkan kemampuan saja berupa ASI, dan beras jagung.
Setelah ditetapkan sebagai kasus gizi buruk, maka tim survey gizi dari puskesmas Togotogo kemudian memberikan intervensi pemberantasan gizi buruk melalui pemberian
makanan tambahan berupa pemberian biskuit dan bubuk taburia. Tim juga memberikan
edukasi gizi kepada ibu bayi yang ternyata tidak memiliki pengetahuan yang baik
mengenai gizi. Intervensi dimulai pada awal Maret 2012, pada bulan selanjutnya yakni
bulan April, dilakukan penimbangan dan didapatkan berat badan bayi menjadi 8 kg.
riwayat sakit pun sudah tidak sering seiring dengan pemberian intervensi. Pemberian
biskuit diberikan tiap pekan, dan menurut ibu, nafsu makan bayi juga semakin meningkat.
Melihat kasus tersebut, selanjutnya hal penting yang harus di evaluasi adalah edukasi ibu
tentang perilaku hidup bersih serta makanan yang sehat dan bergizi. Disamping itu,
dengan adanya diagnosis Down Syndrome pada bayi, maka perlu juga di perhatikan
adanya tanda-tanda kelainan bawaan dikarenakan penyakit ini biasanya juga disertai
penyakit bawaan lain.

PESERTA

PENDAMPING

dr. Zulkaidah

dr. Haryati Indra Hatta

Anda mungkin juga menyukai