Anda di halaman 1dari 10

ISLAM NUSANTARA

'Islam Nusantara', istilah yang belakangan ini menemukan


momentum popularitasnya, terutama setelah PBNU
mengangkatnya menjadi tema Muktamar ke-33 NU di Jombang,
Jawa Timur, pada 1-5 Agustus 2015. Tema itu persisnya
berbunyi Meneguhkan Islam Nusantara sebagai Peradaban
Indonesia dan Dunia. Istilah dan tema ini-terlepas beberapa hal
problematik terkait-sangat relevan dan tepat waktu waktu dalam
konteks nasional maupun internasional.

Istilah 'Islam Nusantara' juga menjadi wacana Wakil Presiden


Jusuf Kalla dalam berbagai kesempatan. Terakhir sekali,
Presiden Jokowi juga menggunakan istilah 'Islam Nusantara'
dalam kesempatan 'istighatsah kubra' yang diselenggarakan NU
di Jakarta (14/6/15) dalam rangka Munas Alim Ulama NU dan
menyambut Ramadhan 1436 H/2015 M.
Penulis Resonansi kemudian diminta tanggapan oleh BBC
London tentang 'Islam Nusantara' yang juga disinggung
Presiden Jokowi tersebut (Haedar Affan, Polemik di Balik Istilah
'Islam Nusantara', BBC London, 15/6/15). Apakah maksud istilah
'Islam Nusantara'? Apakah istilah ini sesuatu yang baru?
1

Dalam seminar internasional pra-Muktamar NU yang


diselenggarakan Harian Kompas (27/5/2015) dan Panitia
Muktamar ke-33 NU, penulis Resonansi ini berusaha
menjelaskan makna istilah 'Islam Nusantara'. Istilah
mengandung konsep dan konotasi berbeda ketika diterapkan
pada wilayah berbeda di Nusantara.

Istilah 'Islam Nusantara' pada dasarnya tidaklah baru. Istilah ini


mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim
(nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan yang
sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim
Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan
(Moro), dan juga Champa (Kampuchea).

Dengan cakupan seperti itu, 'Islam Nusantara' sama sebangun


dengan 'Islam Asia Tenggara' (Southeast Asian Islam). Secara
akademik, istilah terakhir ini sering digunakan secara bergantian
dengan 'Islam Melayu-Indonesia' (Malay-Indonesian Islam).
Masalahnya kemudian, apakah abash berbicara tentang 'Islam
Nusantara' atau 'Islam Asia Tenggara' atau 'Islam MelayuIndonesia'? Apakah 'Islam Nusantara' memiliki distingsi, baik
pada tingkat doktrin normatif maupun kehidupan sosial, budaya,
2

dan politik?
Dalam pandangan penulis Resonansi, secara normatif
doktrinal, 'Islam Nusantara' menganut Rukun Iman dan Rukun
Islam yang sama dengan kaum Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah
(Sunnah atau Sunni) lain di bagian dunia Islam manapun seperti
disepakati jumhur (mayoritas) ulama otoritatif. Meski demikian,
dalam batas tertentu 'Islam Nusantara' memiliki distingsi sendiri.
Kenyataan ini bisa terlihat dari, misalnya ortodoksi Islam
Nusantara yang terbentuk mapan khususnya sejak abad ke-17
ketika murid-murid Jawi seperti Nuruddin ar-Raniri, 'Abdurrauf alSingkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke
Nusantara setelah belajar selama hampir dua dasawarsa dan
terlibat dalam 'jaringan ulama' yang berpusat di Makkah dan
Madinah.

Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur


utama, pertama, kalam (teologi) Asy'ariyah; kedua, fiqh Syafi'i-meski juga menerima tiga mazhab fiqh Sunni lain; ketiga,
tasawuf al-Ghazali, baik dipraktikkan secara individual atau
komunal maupun melalui tarekat Sufi yang lebih terorganisasi
lengkap dengan mursyid, khalifah dan murid, dan tata cara zikir
terentu. Sebagai perbandingan, ortodoksi Islam Nusantara ini
3

berbeda dengan ortodoksi Islam Arab Saudi. Dalam dua


konferensi dengan kalangan ulama dan intelektual Arab Saudi di
Riyadh dan wadi sekitar 300 kilometer dari Riyadh (3-7/1),
penulis Resonansi ini menyatakan, ortodoksi Islam Arab Saudi
mengandung hanya dua unsur, yaitu pertama, kalam (teologi)
Salafi-Wahabi dengan pemahaman Islam literal dan penekanan
pada Islam yang 'murni'.

Dengan pandangan kalam seperti itu, dalam perspektif doktrin


ortodoksi Islam Arab Saudi, tidak heran jika banyak Muslimin lain
dianggap sebagai pelaku bid'ah dhalalah (ritual tambahan sesat)
yang bakal membawa mereka masuk neraka. Termasuk ke
dalam bid'ah dhalalah itu adalah merayakan Maulid Nabi
Muhammad SAW yang ramai dirayakan kaum Muslimin
Indonesia. Unsur ortodoksi Islam Arab Saudi kedua adalah fiqh
Hanbali yang merupakan mazhab paling ketat dalam
yurisprudensi Islam. Ortodoksi Islam Arab Saudi tidak mencakup
tasawuf, justru tasawuf ditolak karena dianggap mengandung
banyak bid'ah dhalalah.

Dalam kedua konferensi ini selalu muncul pertanyaan dari


peserta Arab Saudi yang ditujukan kepada penulis Resonansi
ini. Kenapa Muslim Indonesia gemar mempraktikkan tasawuf
4

yang menurut mereka mengandung banyak bid'ah dhalalah.\"


Pertanyaan ini bisa dipahami berangkat dari bias dan prasangka
terhadap tasawuf yang sebenarnya secara historis memainkan
peran penting dalam peningkatan maqamat spiritualitas Muslim
dan sekaligus pemeliharan integritas kaum Muslimin
menghadapi berbagai tantangan dan realitas historis.

Ortodoksi Islam Salafi-Wahabi Arab Saudi terlalu kering dan


sederhana bagi kaum Muslimin Nusantara. Umat Muslimin
Nusantara telah dan terus menjalani warisan tradisi untuk
mengamalkan Islam yang kaya dan penuh nuansa. Penulis
Resonansi ini menyebutnya sebagai 'Islam berbunga-bunga'
(flowery Islam) dengan 'ritual' sejak tahlilan, nyekar atau ziarah
kubur, walimatus-safar (walimatul haj/umrah), walimatul khitan,
tasyakuran, sampai empat bulanan atau tujuh bulanan
kehamilan.
Islam Nusantara memiliki distingsi tidak hanya dalam tradisi dan
praktek keislaman yang kaya dan penuh nuansa, tetapi juga
dalam kehidupan sosial, budaya dan politik. Karena itu,
penyebutan Islam Nusantara dengan memandang praktik
keagamaan adalah valid belaka.

Memang terdapat kalangan ulama dan intelektual Muslim yang


menganggap Islam hanyalah satu entitas; sama bagi setiap
wilayah dan bangsa. Profesor Abdel-Moneem Fouad, Dekan
Dirasah Islamiyah untuk Mahasiswa Internasional Universitas alAzhar, Kairo, dalam seminar pra-Muktamar NU-Kompas
menyatakan Islam hanya satu. Tidak ada Islam Nusantara,
Islam Arab atau Islam Mesir.

Pandangan Fouad menurut penulis Resonansi ini berdasarkan


kerangka idealistik. Pandangan ini tidak mempertimbangkan
realitas historis empiris perjalanan Islam sepanjang sejarah di
berbagai wilayah beragam yang memiliki realitas sosial, budaya,
politik yang berbeda.

Dalam pandangan penulis Resonansi ini, Islam satu hanya ada


pada level Alquran. Tetapi al-Quran (beserta hadits) perlu
rumusan rinci agar amar (perintah) al-Quran dapat dilaksanakan
setiap dan seluruh umat Muslim. Pada tahap inilah ayat-ayat
Alquran tertentu perlu ditafsirkan dan dijelaskan maksudnya.
Hasilnya adalah kemunculan penafsiran dan penjelasan yang
dalam batas tertentu berbeda satu sama lain, yang kemudian
menjadi mazhab dan aliran.

Kaum Muslimin Nusantara mengikuti mazhab dan aliran tertentu


yang kemudian menjadi ortodoksinya yang bisa berbeda dengan
umat Islam di bagian lain Dunia Islam. Sekali lagi, ortodoksi
Islam Nusantara adalah; kalam (teologi) Asyariyah, fiqh Syafii,
dan tasawuf al-Ghazali.

Pembentukan ortodoksi Islam Nusantara terkait dengan


perbedaan-perbedaan (khilafiyah atau furuiyah) di kalangan
ulama otoritatif sesuai mazhab dan alirannya. Selanjutnya juga
terkait dengan dinamika dan perkembangan historis kaum
Muslim Nusantara sendiri. Sejak abad ke-17 misalnya, para
ulama Jawi (Nusantara) yang kembali dari Makkah dan
Madinahpusat jaringan ulama kosmopolitan di mana mereka
termasuk di dalamnya; mereka mengkonsolidasi doktrin dan
praksis ortodoksi Islam Nusantara. Ortodoksi Islam seperti itu
diwarisi dan dipegangi setia kaum Muslimin Nusantara sampai
hari ini.

Kaum Muslim Nusantara tidak hanya memiliki ortodoksi Islam


yang bersumber dari para ulama otoritatif, tetapi wilayah
Nusantara sendiri terbentuk menjadi ranah budaya Islam
(Islamic cultural spheres) distingtif. Wilayah Muslim Nusantara
adalah salah satu dari delapan ranah budaya Islam yang
7

memiliki distingsi masing-masing.

Kedelapan ranah budaya Islam tersebut adalah; Arab; Persia


atau Iran; Turki, Anak Benua India; Nusantara; Sino-Islamic atau
Asia Timur; Sudanic Afrika atau Afrika Hitam atau Afrika subSahara; dan Belahan Dunia Barat (Western hemisphere).
Masing-masing ranah budaya Islam memiliki faktor pemersatu
seperti bahasa, budaya dan tradisi sosial khas, sehingga
ekspresi sosial-budaya dan politiknya pun berbeda-beda.

Ranah budaya Islam Nusantara mengandung sejumlah faktor


pemersatu, yang membuat kaum Muslimin Indonesia dari
bermacam suku, tradisi, dan adat istiadat berada dalam
kesatuan. Faktor-faktor pemersatu itu antara lain; tradisi
keulamaan dan keilmuan Islam yang sama, bahasa Melayu
sebagai lingua franca dan tradisi sosial-budaya dan adat istiadat
yang memiliki lebih banyak komonalitas daripada perbedaan.
Berkat fluiditas (kecairan) dunia maritim, dunia maritim
Nusantara menjadi terintegrasi dalam ranah budaya Islam khas.

Tetapi ranah budaya Islam Nusantara juga tidak monolit. Sejak


masa yang lama terdapat keragaman dalam pemahaman dan
praksis doktrin atau ekspresi sosial-budaya kaum Muslimin.
8

Perbedaan ini terkait banyak dengan watak budaya suku bangsa


yang juga sangat beragam. Karena itu, ekspresi keislaman suku
Aceh misalnya mengandung perbedaan tertentu dengan
ekspresi keislaman suku Jawa atau suku Sunda dan seterusnya.

Perbedaan ini juga terlihat jelas di masa pasca-Perang Dunia II


ketika wilayah Asia Tenggara mencapai kemerdekaan.
Perbedaan di antara negara-negara itu terutama terkait modus
relasi antara Islam-negara. Di Malaysia dan Brunei Darussalam,
misalnya, Islam merupakan agama resmi negara. Sedangkan di
Indonesia, meski kaum Muslimin mayoritas mutlak, Islam tidak
menjadi dasar negara atau agama resmi negara. Kaum Muslim
merupakan umat minoritas di Singapura, Thailand dan Filipina;
di dua negara terakhir kaum Muslimin terlibat konfrontasi dengan
pemerintahan pusat di Bangkok dan Manila.

Dalam relasi itu, Islam Malaysia dan Brunei sepenuhnya


terkoptasi negaramenjadi bagian integral struktur dan birokrasi
negara. Sebaliknya di Indonesia, kaum Muslimin hampir
sepenuhnya independen vis--vis negara. Karena itu Islam
Indonesia seperti diwakili ormas mainstream bergerak bebas
sebagai organisasi dakwah, pendidikan, kepenyantunan sosial
dan masyarakat madani/masyarakat sipil (civil society) hampir
9

tanpa intervensi negara.

Karena itu, jika berbicara tentang Islam Wasatiyah Nusantara,


representasinya paling sempurna adalah Islam Indonesia. Inilah
Islam inklusif, akomodatif, toleran dan dapat hidup
berdampingan secara damai baik secara internal sesama kaum
Muslimin maupun dengan umat-umat lain.

10

Anda mungkin juga menyukai