Anda di halaman 1dari 12

Melalui buku ini, Yayasan Sada Ahmo(YSA), lembaga swadaya masyarakat yang sejak 1990

mulai bekerja di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, mengungkapkan hasil studi mengenai
sulitnya perempuan melaksanakan hak politiknya dalam lingkungan masyarakat adat. Studi
kasus ini muncul atas respon terhadap isu kuat yang sedang berkembang di wilayah
Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, yakni dengan pemekaran wilayah menjadi dua kabupaten:
Kabupaten Pakpak Barat dan Kabupaten Dairi. Pertanyaan yang muncul, bagaimana dengan
partisipasi dan representasi kepentingan perempuan? Kepentingan siapa yang diperjuangkan?
Kalau memang kepentingan rakyat, maka bagaimana dengan partisipasi perempuan dalam
perencanaan?
Berlatar belakang soal itu, Yayasan Sada Ahmo melakukan diskusi panel sehari yang
menghadapkan kelompok ide pemekaran kabupaten Dairi yang sangat memahami selukbeluk masyarakt dan geografis Pakpak dengan kelompok yang mengkritisi esensi ekonomi
pemekaran wilayah, kondisi Dairi dan partisipasi perempuan, khususnya perempuan Pakpak.
Sudah diketahui, bahwa kehidupan masyarakat adat sangatlah partriakhal, sehingga tidak
mudah memperjuangkan partisipasi politik perempuan dalam masyarakat tersebut.
Buku ini sebuah bunga rampai paparan narasumber dan proses diskusi panel sehari yang
berbicara banyak mengenai masyarakat adat Pakpak dan pemekaran Dairi yang dari berbagai
sudut pandang dan partisipasi perempuan. Sangat menarik untuk dibaca, karena memberikan
gambaran nyata tentang kondisi dan peran perempuan dalam kehidupan masyarakat adat
Pakpak.
Etnis Pakpak menjadi bagian dari sub-etnis Batak. Ini berdasar pada kemiripan dan kesamaan
bahasa, struktur sosial dan sistem kekerabatan. Masyarakat Pakpak juga menganut
prinsip patrilinieal, yang sama dengan masyarakat Batak. Secara geografis, sub-etnis Pakpak
berbatasan langsung dengan sub-etnis Batak. Wilayah Pakpak dapat dikatergorikan kedalam
lima sub atau dalam bahasa setempat dikenal dengan nama Pakpak selima suak, yakni Suak
Pakpak Simsim, Suak Pakpak Keppas, Suak Pakpak Pegagan, Suak Pakpak Kelasen dan
Suak Pakpak Boang. Ternyata salah satu Suaknya yakni suak Pakpak Boang berwilayah
administrasi di wilayah Aceh (Aceh Selatan dan Aceh Singkel).
Berdasarkan data statistik, Pakpak adalah suku minoritas di Kabupaten Dairi.
Ketidakpercayaan dan ketidakkonsistenan masyakarakat Pakpak dalam mempertahankan
identitas diri suku Pakpak justru memperkuat posisi minoritasnya daripada masyarakat di
Kabupaten Dairi lainnya. Contoh, pemakaian bahasa asli Pakpak. Orang Pakpak ketika
berada di luar Pakpak dengan sukarela menggunakan bahasa orang lain dibanding
memperkenalkan bahasanya sendiri atau pencantuman nama marga. Jarang orang Pakpak
menggunakan marga asli Pakpak. Pasti ada penggantian nama marga. Demikian halnya
dengan adat perkawinan Pakpak sudah mulai pudar, karena orang Pakpak tidak pernah
menggunakan adatnya ketika melakukan perkawinan. Jika dilihat dari sisi positifnya, mereka
orang yang mudah beradaptasi. Dari sisi negatifnya, mudah kehilangan identitas diri dan
budaya.
Dengan kondisi itu timbul pemikiran masyarakat bagaimana cara mencapai kemajuan, maka
harus ada percepatan dan pemerataan pembangunan di segala bidang. Pemekaran wilayah
adalah solusi, menurut mereka. Ini didasarkan pada kebijakan pemerintah tentang
Pemerintahan dan otonomi daerah. Tekad masyarakat Pakpak menjadi kabupaten sendiri

untuk meningkatkan atau memperpendek rentang kendali pemerintahan sehingga efesien


dalam pembangunan dan pelayanan pada masyarakat.
Meskipun dari tingkat SDM, orang Pakpak memerlukan peningkatan kapasitas. Dari sisi lain,
Pakpak mempunyai kekuatan SDA yang bagus (hasil hutan dalam APBD 2,5 milyar pada
2002). Akan tetapi, masalah utama yang disoroti dalam upaya pemekaran ini hanyalah
penguasaan sumberdaya antara daerah dan pusat, kembalinya kekuasaan pemerintahan daerah
ke tangan masyarakat adat, dll. Masalah otonomi perempuan seakan-akan luput bahkan tidak
mendapatkan prioritas dalam upaya pemekaran. Meskipun posisi dan peran perempuan di
masyarakat adat Pakpak sangat minim.
Pendampingan YSA selama 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa posisi perempuan Pakpak
marginal. Karena mengalami bentuk kekerasan dan diskriminasi karena memandang laki-laki
lebih penting daripada perempuan. Salah satunya, partisipasi politik perempuan dalam
pemerintahan daerah. Di Dairi diakui oleh anggota Komite Pemekaran bahwa belum ikutnya
perempuan dalam rencana pemekaran. Sangat jelas para pencetus kebijakan di Dairi
umumnya, Masyarakat Pakpak khususnya, tidak mempunyai perhatian terhadap isu
kesetaraan dan keadilan gender. Dalam pelaksanaan pemerintahan, tidak pernah melibatkan
perempuan secara aktif. Perempuan hanya dilibatkan secara pasif. Suara perempuan tidak
pernah didengar dalam proses pengambilan keputusan. Dukungan perempuan diperoleh
secara significant bila perempuan dilibatkan secara aktif dalam proses pemekaran.
Perbelakuan otonomi daerah memiliki makna penting bagi kehidupan politik perempuan.
Perempuan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses politik
pemerintahan di daerah masing-masing. Akan tetapi, yang terjadi jauhnya posisi dan peran
perempuan dalam prose situ. Untuk itu, dituntut kemauan politik Pemerintahan Daerah untuk
mengubah paradigma dan sikap yang sesuai dengan democratic governance yakni semangat
yang mendorong partisipasi warga perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan
keputusan publik.
Kasus yang terjadi di Dairi yakni tidak adanya transparansi dan akuntabilitas proses-proses
politik pemerintahan daerah, missal proses pemilihan anggota Badan Perwakilan
Desa (BPD). Perempuan tidak pernah tahu dan tentu tidak dilibatkan partisipasinya dalam
proses pemilihan tersebut. Mereka hanya mengetahui hasil pemilihannya tanpa mengetahui
siapa calonnya. Dalam hal ini, partispasi politik perempuan telah dikebiri dengan jelas.
Pertanyaan yang muncul oleh narasumber dalam discus itu: akankah sama dalam
pelaksanaan? Bagaimana komitmen para pencetus pemekaran wilayah terhadap kaum
perempuan?
Buku ini memberikan gambaran kasus nyata tentang kuatnya sistem partriarkhal dalam
kehidupan masyarakat adat. Diskriminasi dan peminggiran kaum perempuan jelas terjadi.
Dukungan dan bantuan berbagai pihak sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan
kapasitas dan kemampuan perempuan di masyarakat adat Pakpak khususnya dan masyarakat
adat lain umumnya, sehingga mereka akan mampu memperjuangkan hak-hak politiknya.
*****(LS)
Judul
: Etnis Pakpak Dalam Fenomena Pemekaran Wilayah
Penyusun : Wahyudhi, Dina Lumbantobing, Lister Berutu
Penerbit : The Aisa Foundation & Yayasan Sada Ahmo

Cetakan : Agustus, 2002


Halaman : 122 hal+v
Ketua Lembaga Adat Dalihan Natolu (LADN) Tapanuli Utara Drs BP Nababan bersama
Ketua Pengadilan Tarutung Saur Sitindaon dan Pdt Rostety Lumbantobing Waka Biro
Pembinaan HKBP, membuka pelaksanaan seminar tentang kedudukan dan peranan
perempuan Batak di Kabupaten Tapanuli Utara. Seminar tersebut dilaksanakan Selasa (9/10)
di Tarutung.
Kisah pembagian harta warisan dalam adat Batak yang menganut aliran Patrilinear
(Mengambil garis keturunan dari Ayah) seperti yang terjadi pada kisah Si Boru Tumbaga
yang tidak memiliki saudara laki-laki, di mana harta orangtuanya di Tean (Diwarisi) kepada
saudara ayahnya. Untuk saat ini tidak akan terulang lagi.
Hal ini sesuai dengan Amanah dalam UUD Tahun 1945 pasal 4 ayat (1) dan pasal 27 ayat (1),
UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kepres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarus
utamaan gender (PUG) dan Surat edaran Mendagri, Tanggal 26 Juli 2001 tentang pelaksanaan
PUG.
Demikian diungkapkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tarutung Saur Sitindaon SH MH,
Sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD tahun 1945, bahwa setiap warga negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu sendiri. Namun dalam sistem kekerabatan suku Batak, kaum perempuan
hanya merupakan bagian dari kelompok ayahnya sebelum dia menikah. Setelah menikah,
kerabat suaminya akan membayar mas kawin (Sinamot), saat itulah dia meninggalkan
orantuanya dan dimasukkan ke dalam satuan kekrabatan suaminya.
Di mana dalam berbagai literatur mengenai aturan-aturan (Ruhut-ruhut ni adat Batak)
disimpulkan bahwa anak laki-lakilah yang berhak atas barang-barang pusaka orangtuanya.
Sehingga jelas kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Akan tetapi,
perumpamaan orang Batak ada yang menyatakan Dompak marmeme anak, dompak
marmeme boru yang berarti kedudukan anak perempuan dan laki-laki adalah sama.
Namun praktiknya, dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya
memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek
(Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Akan tetapi saat ini kedudukan perempuan
dalam hukum sudah banyak berubah. Khususnya jika terjadi sengketa di pengadilan.
Dalam hal perempuan tidak memiliki saudara laki-laki, berhak mendapat harta warisan dari
orangtuanya, kecuali terhadap barang-barang pusaka yang diterima dari kakeknya, ujar Saur
Sitindaon.
Sedangkan Ketua Lembaga Adat Dalihan Natolu (LADN) Taput Drs BP Nababan
menjelaskan, bagi masyarakat Batak sebenarnya kedudukan perempuan sangat dihormati, hal
ini terbukti dengan berbagai gelar kehormatan yang diberikan, seperti Soripada, Parsonduk
bolon, Tuan boru, Boru ni raja dan lain-lain. Dan di dalam kehidupan sehari-hari pun seorang
perempuan harus dihormati, seperti dalam pepatah Batak: Huling-huling tali pasa, holi-holi
sakkalia, Hormat ma lakka ni Ama, molo rap dohot akka Ina.

Akan tetapi dalam hal perkawinan, kedudukan perempuan Batak tidak begitu
menggembirakan, karena sering ada ucapan: Na Tinuhor (Yang dibeli), Na Nialap (Yang
dijemput) dan Partalaga (Yang di bawah). Demikian juga dengan istilah Molo Dung
Magodang Boru Pamulion (Kalau anak perempuan sudah besar dikawinkan), kata
Pamulion seolah-olah menyuruh pergi atau siap untuk diperjualbelikan. Maka muncul lah
istilah adat Batak, Mangallang tuhorni boru (Memakan mas kawin anak perempuan) atau
Mangallang juhut.
Akhirnya, keberadaan kaum perempuan itu lebih menyedihkan kalau mendengarkan syair
lagu:
Pangeol-eolmi da solu, solu na ditonga tao
Molo matipul hole mi, maup tudia nama ho
Pengeol-eolmi da boru, boru naso mariboto
Molo mate amangmi boru, maup tudia nama ho
Tinallik randorung, sai bontar gotana, dos do anak dohot boru, nang pe asing marga
namangalapsa (Sama anak perempuan dan anak laki-laki walaupun sudah dibeli), sesuai
dengan perubahan hukum yang baru di negara kita ini, demikian juga dengan masuknya
agama ke tanah Batak, ujar BP Nababan.
Apa yang dikemukakan Nababan didukung oleh pernyataan Ketua PN Tarutung Saur
Sitindaon SH MH dan Pdt Rostety Lumbantobing (Biro Pembinaan HKBP) yang
mengatakan, bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama di mata Tuhan.
Hadir dalam acara seminar tersebut, Kabag Pemberdayaan Perempuan Taput T boru Perdosi,
para istri camat se-Taput dan undangan lainnya.
Sumber : (Fernando Hutasoit) Harian Global, Taput

Ada 6 tanggapan untuk artikel Peranan Perempuan dalam Adat dan Budaya
Batak Diseminarkan
1. Tanggapan bony Silitonga:
Pada tanggal 25 November 2007 jam 3:52 pm

tipe kekerabatan dalam suatu masyarakat (patrilineal,matrilineal, ataupun


bilineal)merupakan dasar dalam penarikan garis keturunan. ketiga tipe bentuk tersebut
terlalu jauh untuk dijadikan dasar dalam melihat masalah gender yang terbentuk di
masyarakat yang bersangkutan.
masalah gender dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari bentuk masyarakat itu
sendiri. matriarkat atau patriarkat. bentuk-bentuk tersebut menjelaskan akses-akses,
kedudukan, serta peranan laki-laki dan perempuan di suatu masyarakat.
masyarakat batak merupakan masyarakat patriarkat dengan tipe kekerabatan
patrilineal.hal itu dapat menjelaskan bahwa masyarakat batak menarik garis keturunan

dari pihak ayah. garis ketunan tersebut ditandai dengan sistem marga. selain itu
masyarakat Batak dalam kehidupannya kontrol, kekuasaan serta akses-akses ekonomi
ada di tangan laki-laki. dan untuk menjaga atau melestarikan bentuk kepatriarkatan ini
salah satu strateginya terwujud dalam sistem pewarisan yang lebih mengutamakan
anak laki-laki, contoh anak laki-laki terakhir berhak atas rumah tinggal orang tua,
jatah laki-laki pertama lebih besar dari adik-adiknya (yang laki-laki juga).
dalam sistem waris batak, kaum perempuan terlihat tidak terperhatikan. harta bisa
diperoleh perempuan bukan lewat media hukum waris, akan tetapi dengan meminta
kepada sang ayah (ulos pauseang).
meninggalkan bentuk-bentuk budaya batak yang menunjukkan ketimpangan gender
tidaklah mudah. tersedianya hukum negara yang lebih memperhatikan kesetaraan
gender harus diakui merupakan salah satu jalan pemecahan. akan tetapi, pertanyaan
selanjutnya apakah aksesnya mudah untuk diraih oleh semua perempuan Batak?
apakah semua perempuan Batak tahu akan hal tersebut?
penutup dari tanggapan saya apakah ada dan bagaimanakah tindakan selanjutnya
setelah terciptanya hukum negara mengenai kesetaraan gender dalam hal waris
khususnya di masyarakat Batak agar benar-benar terlaksana?
salam
bony Silitonga
2. Tanggapan sabar tambunan:
Pada tanggal 14 Desember 2007 jam 1:59 pm

Horas,
Bagi Boni Silitonga,
Budaya, termasuk didalam adat istiadat bagi suatu komunitas disepakati dan
dilaksanakan demi kebaikan dan kemajuan dari masyarakat itu sendiri. Artinya
produk2 budaya seharusnya bersifat dinamis. Bila kondisi didalam dan lingkungan
komunitas itu berubah, otomatis dituntut perubahan dalam budaya itu juga.
Bangsa Yahudi adalah bangsa yang paling maju didunia, sekaligus termasuk bangsa
yang paling kolot. Bangsa Batak juga kolot, tapi kok ngga maju?? Soal posisi
wanita Yahudi dalam adat, sepintas atau dari sudut pandang nilai2 modern sekarang
bahkan lebih parah dari bangsa Batak.Tapi pernahkan kita mendengar keluhan dari
pihak wanita Yahudi??
Saya kira wanita Yahudi memang puas dengan posisinya dalam tata-nilai adat Yahudi
mereka. Isu tentang kesetaraan gender, yang merupakan perjuangan banyak kaum
wanita di banyak tempat dibelahan bumi, tidak terjadi di masyarakat Batak.
Coba kita hayati betul2 konsep Dalihan Natolutidak ada peluang sedikitpun bagi
kaum laki2 Batak untuk menindas kaum perempuannya. Holong dan menjaga
martabat perempuan sangat kuat di tata nilai Dalihan Natolu

Menyangkut warisan yang diatur oleh adat, untuk masyarakat agraris jaman dulu,
ditambah lagi sistem marga dan Dalihan Natolumemang kebutuhannya
mengharuskan demikian. Bayangkan apabila warisan tanah saat itu tidak diatur
demikian?? Sistem marga dan Dalihan Natolu tidak akan bisa berjalan dengan yang
seharusnya.
Memang masalahnya saat ini sebagian besar masyarakat Batak sudah menjadi
masyarakat urban, bukan lagi petani. Lahir , besar dan meninggal di tanah perantauan.
Tapi jangan khawatir, khan adat itu dinamis !? Yang saya maksud adalah, isu
kesetaraan gender di masyarakat batak bukan masalah besar.
Yang lebih penting saya kira, bagaimana dengan kekuatan adat dan tata nilai
HOLONG yang bersumber dari dalihan natolu mampu membuat orang batak maju!!.
Bayangkanlah bagaimana kondisi tanah batak 50 tahun lagi. Apabila hanya
mengandalkan pertanian semata, pastilah tidak akan mampu menghidupi jumlah
penduduk yang meningkat lebih dari 2 kali nantinya.
Menjadi Orang Batak adalah melakukan dua hal sekaligus, yaitu bermarga dan
terikat sistem nilai dalihan natolu. Sungguh, sebuah modal sosial yang sangat besar
apabila bisa dikembangkan dan dimanfaatkan lebih dari sekedar untuk kepentingan
acara2 adat semata, seperti kelahiran, perkawinan atau kematian. Modal sosial yang
harusnya bermanfaat juga dalam kehidupan dan problem sehari2..termasuk
sebagai masyarakat urban !!
Dengan modal Marga dan Dalihan Natolu sebagai modal sosial ini harusnya kita
mampu membuat pinjaman/kredit untuk usaha2 pertanian, perternakan dan UKM di
tano Batak dengan bunga kredit yang sangat rendah. Sumber dananya dari sumbangan
seluruh masyarakat batak, gratis..! Operasionalnya, serahkan saja kepada Bank yang
sudah mapan dan profesional untuk melakukannya.
Juga harusnya kita bisa membuat gerakan pendidikan untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa Inggris (TOEFL for 500) dan ketrampilan ber-ICT (Internet
Go TO School.
Sayang memang apabila aplikasi dari budaya kita jauh tertinggal dengan kebutuhan
akan masa depan !!
Muliate.
3. Tanggapan Maridup Hutauruk:
Pada tanggal 21 Februari 2008 jam 1:55 am

Dalihan Natolu dan Tarombo sudah pas menjadi nafas kehidupan Bangsa Batak.
Kesetaraan gender sudah terkandung didalamnya. Kebetulan saya baru submit sebuah
comment atas sebuah artikel berjudul Boru Raja, maksudnya Boru ni Raja barulah
saya masuk ke artikel ini, tetapi sepertinya ke-dua artikel ini ada kaitannya. Saya
setuju dengan dua komentator diatas tetapi ada sedikit hata tambaan terutama
menanggapi artikel ini.

Kutipan: Amanah dalam UUD Tahun 1945 pasal 4 ayat (1) dan pasal 27 ayat (1), UU
No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kepres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarus
utamaan gender (PUG) dan Surat edaran Mendagri, Tanggal 26 Juli 2001 tentang
pelaksanaan PUG.
Comment:
1) Amanah ini tidak boleh diberlakukan dalam hal pembagian harta-warisan pada
Bangsa Batak ataupun apabila ada konflik harta warisan, oleh karena apabila
diberlakukan maka akan terjadi Ketidak setaraan Gender yang merugikan pihak
laki-laki dalam satu marga, oleh karena perempuan sudah mendapatkan haknya dari
marga suami.
2) Kutipan: ., dalam hal pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya
memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari
Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Akan tetapi saat ini
kedudukan perempuan dalam hukum sudah banyak berubah. Khususnya jika terjadi
sengketa di pengadilan. Comment:[Inikan sudah menunjukkan keutuhan Hukum
Adat Batak terhadap perempuan. Mau apalagi comment-1]
3) Kutipan: Sedangkan Ketua Lembaga Adat Dalihan Natolu (LADN) Taput Drs BP
Nababan menjelaskan, bagi masyarakat Batak sebenarnya kedudukan perempuan
sangat dihormati, hal ini terbukti dengan berbagai gelar kehormatan yang diberikan,
seperti Soripada, Parsonduk bolon, Tuan boru, Boru ni raja dan lain-lain. Dan di
dalam kehidupan sehari-hari pun seorang perempuan harus dihormati, seperti dalam
pepatah Batak: Huling-huling tali pasa, holi-holi sakkalia, Hormat ma lakka ni Ama,
molo rap dohot akka Ina. Comment:[Penghormatan secara spiritual sudah sedemikian
tingginya kedudukan perempuan dalam keluarga marga suami]
4) Kutipan: Akan tetapi dalam hal perkawinan, kedudukan perempuan Batak tidak
begitu menggembirakan, karena sering ada ucapan: Na Tinuhor (Yang dibeli), Na
Nialap (Yang dijemput) dan Partalaga (Yang di bawah). Demikian juga dengan istilah
Molo Dung Magodang Boru Pamulion (Kalau anak perempuan sudah besar
dikawinkan), kata Pamulion seolah-olah menyuruh pergi atau siap untuk
diperjualbelikan. Maka muncul lah istilah adat Batak, Mangallang tuhorni boru
(Memakan mas kawin anak perempuan) atau Mangallang juhut.
Comment:[Yang diistilahkan bukanlah mengandung makna yang sebenarnya. Istilahistilah yang disebutkan ini baru muncul setelah Bangsa Batak tersentuh dengan
budaya baru yang lebih materialistik, apakah itu karena pengaruh agama, atau budaya
kemerdekaan? perlu juga ada kajiannya. Istilah sebenarnya adalah Sinamot. Kata ini
mengandung makna yang sangat dalam dan bukan seperti yang diistilahkan]
5)Kutipan: Apa yang dikemukakan Nababan didukung oleh pernyataan Ketua PN
Tarutung Saur Sitindaon SH MH dan Pdt Rostety Lumbantobing (Biro Pembinaan
HKBP) yang mengatakan, bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama di mata
Tuhan.
Comment: [Tuhan tentu tidak mempersoalkan harta dan benda karena dia sipencipta?
Bangsa Batak yang menganut faham budaya perkawinan yang patriarchie tentu lakilaki yang menentukan pembagian harta warisan (bukan maksudnya memiliki semua!)
Kalaupun manusia laki-laki dan perempuan harus masuk surga kemungkinannya

perempuan yang lebih banyak masuk oleh karena statistiknya memang lebih banyak
perempuan. Inikan tidak juga ada kesetaraan gender?]
Kesimpulan comment, bahwa masyarakat Bangsa Batak masa sekarang ini sudah
memahami hukum adat yang berlaku sekarang ini sesuai dengan Dalihan Natolu dan
Tarombo dan memang adil dan tidak ada unsur ketidak setaraan gender dalam hukum
sebagaimana diutarakan dalam comment-1). Kalau masyarakat harus condong kepada
UU dan perundangan hukum negara, maka konsep kesetaraan Dalihan Natolu dan
Tarombo harus dibubarkan juga?. Yah.. begitulah orang batak seperti di artikel dan
@Bony Silitonga, laki-laki yang mengakui dan membela adanya ketimpangan gender
bagi perempuan. Hati-hati dengan apa yang tersirat pada perangkat yang
berkembang sekarang ini! Budaya Bangsa Batak akan habis dan punah tanpa kita
sadari. Seharusnya para ahli hukum Batak yg meng-counter UU & Peraturannya agar
ada addendum yang menilai kesetaraan dalam Dalihan Natolu dan Tarombo yang
applicable pada Batak.
Hata on hata tambaan, Horas.
4. Tanggapan Bony Silitonga:
Pada tanggal 29 April 2008 jam 1:21 am

HORAS!!!
terkejut saya ketika mengetahui bahwa saya mendapatkan teman-teman bercerita di
bagian ini.
terima kasih Amang S. Tambunan.
saya sangat senang membaca empat paragraf terakhir Amang. sungguh saya sangat
setuju bahwa menjadi orang Batak itu adalah melakukan dua hal sekaligus yaitu
bermarga dan terikat sistem nilai dalihan na tolu. Kedua hal tersebut adalah salah
sekian hal yang menunjukkan identitas kesukubangsaan kita, yaitu Batak. Dan hal
tersebut tanpa disadari (karena masih ada yang belum mengetahuinya) dapat menjadi
modal sosial bagi kita, Orang-orang Batak. Akan tetapi Amang, di kehidupan rantau
terutama di kota-kota besar, contoh Jakarta, kedua hal tersebut memang amat terlihat
dalam acara adat saja. Dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut belum terlalu terlihat.
kalau saya melihatnya karena faktor letak tempat tinggal yang berjauhan.
oleh karena itu saran amang di paragraf2 akhir sangat setujui, dan saya mau ikut serta.
tidak banyak yang bisa saya berikan kecuali tenaga saya.
teruntuk Amang M. Hutauruk.
terima kasih amang atas komentnya,tapi saya bukan bermaksud untuk menampilkan
diri sebagai pembela perempuan Batak. saya hanya ingin menyampaikan pandangan
saya bahwa ada penelitian yang menunjukkan hal tersebut. dan saya tidak bertujuan
untuk membubarkan DNT. DNT menurut saya merupakan struktur masyarakat yang
wah!!!akan tetapi kedahsyatannya sangat terasa di saat masyarakat tersebut masih
berada dalam tahap kehidupan yang sama.
saat ini kondisi berbeda, sekiranya perlulah dilakukan beberapa penyesuaian. saya
hanya menyampaikan bahwa ada pandangan seperti itu terhadap adat atau kebiasaan
kita. jadi bukan maksud saya untuk tampil ataupun hal lainnya.

Mauliate
bony Silitonga
5. Tanggapan Bony Silitonga:
Pada tanggal 29 April 2008 jam 1:24 am

HORAS!!!
terkejut saya ketika mengetahui bahwa saya mendapatkan teman-teman bercerita di
bagian ini.
terima kasih Amang S. Tambunan.
saya sangat senang membaca empat paragraf terakhir Amang. sungguh saya sangat
setuju bahwa menjadi orang Batak itu adalah melakukan dua hal sekaligus yaitu
bermarga dan terikat sistem nilai dalihan na tolu. Kedua hal tersebut adalah salah
sekian hal yang menunjukkan identitas kesukubangsaan kita, yaitu Batak. Dan hal
tersebut tanpa disadari (karena masih ada yang belum mengetahuinya) dapat menjadi
modal sosial bagi kita, Orang-orang Batak. Akan tetapi Amang, di kehidupan rantau
terutama di kota-kota besar, contoh Jakarta, kedua hal tersebut memang amat terlihat
dalam acara adat saja. Dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut belum terlalu terlihat.
kalau saya melihatnya karena faktor letak tempat tinggal yang berjauhan.
6. Tanggapan Bony Silitonga:
Pada tanggal 29 April 2008 jam 1:24 am

oleh karena itu saran amang di paragraf2 akhir sangat setujui, dan saya mau ikut serta.
tidak banyak yang bisa saya berikan kecuali tenaga saya.
teruntuk Amang M. Hutauruk.
terima kasih amang atas komentnya,tapi saya bukan bermaksud untuk menampilkan
diri sebagai pembela perempuan Batak. saya hanya ingin menyampaikan pandangan
saya bahwa ada penelitian yang menunjukkan hal tersebut. dan saya tidak bertujuan
untuk membubarkan DNT. DNT menurut saya merupakan struktur masyarakat yang
wah!!!akan tetapi kedahsyatannya sangat terasa di saat masyarakat tersebut masih
berada dalam tahap kehidupan yang sama.
saat ini kondisi berbeda, sekiranya perlulah dilakukan beberapa penyesuaian. saya
hanya menyampaikan bahwa ada pandangan seperti itu terhadap adat atau kebiasaan
kita. jadi bukan maksud saya untuk tampil ataupun hal lainnya.
Boru ni raja sudah sepatutnya untuk dikenang dan dimuliakan. Dalam pengertian,
bahwasanya perempuan Batak patut ditempatkan di tempat terbaik. Budaya Batak sendiri,
sebenarnya telah sedari dulu menempatkan wanita pada urutan teratas.
Bukan tanpa alasan, atau untuk membela perempuan Batak secara sepihak atau
mengedepankan perempuan dibanding laki-laki, tapi, kenyataan, ada aturan yang mesti
diingat adalah acuan untuk hal ini. Masyarakat Batak yang memang menganut system
patrilineal, tidak berarti kaum Adam Batak menjadi pemegang kedudukan superior di dalam
keluarga dan masyarakat.

Perempuan Batak bukan perempuan biasa. Perempuan Batak yag dalam kenyataannya juga
kita bias jumpai lengkap dengan perjuangannya bertahan hidup, yang selalu tahu bagaimana
bersikap menghadapi dunia yang kian hari kian terjal dan kejam. Perempuan Batak,secara
umum, benar-benar menonjolkan sikap rajani yang memang patut dihormati. Perempuan
Batak dipersiapkan untuk memegang posisi penting di tengah-tengah keluarga. Terlebih
setelah menikah. Setelah menikah, maka seorang perempuan Batak diharuskan memegang 4
posisi dalam keluarga, yaitu, menjadi istri bagi suaminya, menjadi ibu kedua bagi adik-adik
suaminya, menjadi ibu dari anak-ananknya, dan menjadi boru dalam tiap ulaon-ulaon
keluarga dari pihaknya, sebagaimana yang Gobatak kutip dari blog Sitohang Par Bintan.
The problem is, sejauh apa kita menyadari peran penting seorang perempuan Batak dalam
hidup kita, baik dalam acara adat maupun di luar konsep adat tersebut? Sadarkah bahwasanya
tanpa kehadiran seorang boru, maka acara adat tak akan bias terlaksana? Sudahkan kita
menghargai boru, dan meletakkan sejenak superior kita?

ukiran boru batak


Seorang ibu bagi Batak adalah guru yang paling handal bagi keluarganya. Sosok seorang ibu
Batak adalah media paling ampuh dalam menularkan dan menurunkan dalil dan falsafah
hidup Batak kepada anak-anaknya. Kelembutan dan kecerewetan berpadu dalam diri seorang
perempuan Batak, tidak peduli apakah perempuan itu masih berstatus lajang atau sudah
menikah. Namun, perempuan Batak tidak begitu saja bersikap tanpa tahu situasi dan kondisi.
Perempuan Batak adalah wanita terkuat di dunia yang bisa dengan sukses berpegang teguh
pada konsep kehormatan dan penghormatan, yaitu, kepatutan, moral, etika, sensitivitas,
dignity, pride, wisdom, tradisi dan adat istiadat, dan sebagainya.

Sudah saatnya mengubah pola pikir yang menganggap perempuan Batak sebagai kaum
interior. Perlu diingat, wanita Batak telah didaftarkan dan ditetapkan untuk dihormati. Hal
ini dibuktikan dengan adanya 4 bulatan dengan titik hitam pada relief Rumah Adat Batak.
Sebagaimana yang Gobatak peroleh dari Dangstart Blog, keempat bulatan dengan titik hitam
tersebut adalah symbol payudara wanita, yang melambangkan Ibu, Kasih Sayang, Kehidupan
dan Kesuburan. Perempuan Batak bukan perempuan biasa. Mereka lebih dari apa yang ada di
atas canda tawa. Mereka adalah sumber hidup yang patut dihormati, bukan dikuasai.
BERBAHAGILAH SEBAGAI BORU BATAK

Memang dalam keluarga batak yang membawa garis keturunan adalah laki-laki. Bila ada keluarga
yang tidak mempunyai anak laki-laki maka keluarga akan kurang terhormat. Garis keturunan akan
terputus yang dikenal denga istilah Mate Pusuk/ Mati Pucuk. Keturunan adalah hal yang paling
didambakan oleh setiap keluarga. Hal ini nyata kita temui dalam pesta pernikahan baik secara adat
na gok, adat na met-met atau na mangalua sekalipun. Sai gabe-gabean ma hamunamaranak nang
marboru. Bintang na rumiris ombun nasumorop anak pe riris boru pe torop,, dan , emma tutu! Ya anak
adalah salah satu bukti kehormatan pada orang batak.
Namun apa yang kita temui dilapangan? Dalam keluarga batak perempuan kurang mendapat
peran baik dalam pengambilan keputusan apalagi dalam pembagian harga gono-gini (harta warisan).
Dalam acara-acara adat, misalnya martonggo raja, marhusip atau yang lainperempuan batak
kebanyakan hanya sebagai pelengkap. Dalam pembagian harta warisan, perempuan batak tidak
mendapat hak sama sekali kecuali hanya sebatas tanda kasih (tanda ni holong). Bila ada keluarga
batak yang hanya memiliki anak perempuan, harta yang dikumpulkan orang tuanya, misalnya Rumah,
tanah maka harta itu menjadi hak dari anak saudaranya laki-laki. Anak kandungnya hanya mendapat
sebahagiankecil saja. Sungguh tragis memang. Pada kondisi demikian maka
siperempuantersebutpun akan mendapat suatu tekanan dari masyarakat. Penulis pernah
mendengar seorang perempuan batak dihina oleh lawan bertengkarnya hanya karena hal sepele. Ai
aha na naeng asangkononmu, ai soadong ibotom. Suatu kata-kata yang sangat pedih. Beliau juga
sangat berharap mempunyai saudara kandung laki-laki untuk melindungi dan menjaganya.?
Namun bila kita amati dalan struktur segitiga pengaman Dalihan Na Tolu, perempuan batak
ditempatkan pada tempat yang terhormat. Dalam Dalihan na Tolu wanita batak ditempatkan pada
posisi puncak. Beberapa alas an yang mengungkapkan demikian antara lain:
1. Karena wanita batak laki-laki batak akan menjadi parbohas diulaon ni wanita batak (pihak
parboru/hula hula) perduli laki-laki batak itu mempunyai status social yang tinggi. Tidak perduli bahwa
beliau itu seorang Jenderal, Menteri atau Presiden-pun (semoga ada orang batak yang menjadi
pemimpin negeri ini) tetap harus di talaga/di dapur dan menjadi parhobas. Dia harus tunduk sesuai
aturan yang berlaku dan menghormati pihak perempuan batak (hula-hulanya) walau hula-hulanya itu
mokkik-okkik di paradongan.
2. Sebutan-sebutan dalam keluarga batak.Dalam keluarga batak ada sebutan-sebutan antara :
i. Untuk Laki-laki : Amang, Amang Siadopan, Amang Raja Doli
ii. Untuk perempuan : Inang, Inang Boru, Parsonduk Bolon, Inang Raja Boru, Inang Boru ni Raja,
Inang Soripada.
3. Memang orang batak adalah anak dohot boru ni raja. Namun dalam pengunkapan dilapangan
maupun dalam Rumah tangga batak jarang disebut untuk kepala Rumah tangga Amang anak ni Raja
tetapi kalau Inang boru ni raja sering diungkapkan. Hal ini menandakan walaupun sama-sama anak
dan boru niraja tetapi untuk perempuanbatak diperjelas dan diperdalam lagi pengungkapan untuk
menghormati bahwa perempuan batak bukan hanya sekedar boru ni raja tetapi jelas-jelas boru dan
keturunan raja.
4. Dalam pemberian tanda jasa atau gelar atau dalam pemberian ulos selalu kita dengar sebutan
untuk perempuan batak dengan Inang Soripada. Asa dipasahat hami songan silas ni roha nami ro
ma tu joloan Amang,,,, dohot Inang Soripada (walau sebenarnya pemberian tanda jasa itu hanya
untuk suaminya tetapi wanita batak selalu dipanggil dengan sebutan yang sangatterhormat). Kalau
kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Inang Soripada mempunyai arti yang lebih tinggi dari
Istri Tercinta, Istri Tersayang, Ibunda tercinta, bahkan juga lebih tinggi dari Tuan Putri, Permaisuri,
Rani ataupun Ratu.

Maka apakah perempuan batak tidak bangga dengan sebutan yang disandangnya?Walaupun
kadang mendapat tekanan dalam kehidupan social tetapi berbahagialah perempuan yang terlahir
sebagai perempuan batak.
Catatan:
1. Tulisan ini bukan menganjurkan agar wanita batak harus menikah denganlelaki batak, tetapi
kalau boleh menikahlah dengan lelaki batak.
2. Kalau wanita batak rindu dengan sebutan-sebutan tersebut menikahlah denganlelaki batak.
Tetapi jangan menikah hanya karena sebutan-sebutan tersebut.
3. Tulisan ini sebagai salah satu bentuk penghormatan saya pribadi kepada perempuan batak
terlebih
Horas mauliateJangan Lupa komentnya

Anda mungkin juga menyukai