Anda di halaman 1dari 21

PRAKTIKUM PEMERIKSAAN MALARIA

A. Tujuan Praktikum
1. Mengetahui pembuatan preparat malaria sediaan darah tipis secara
mikroskopis.
2. Mengetahui pewarnaan sediaan darah dengan Giemsa yang
digunakan secara mikroskopis.
3. Mengetahui identifikasi spesies dan stadium Plasmosdium malaria
secara mikroskopis dengan pengobatan yang tepat dan cepat.
B. Landasan Teori
Penyakit infeksi parasit Plasmodium yang menyerang eritrosit
disebut dengan malaria. Infeksi ini ditandai dengan adanya bentuk
aseksual parasit dalam darah. Malaria dapat menginfeksi secara akut atau
kronik, tanpa komplikasi sistemik atau mengalami komplikasi sistemik
yang dikenal dengan malaria berat (Roswati, 2012).
Menurut WHO dalam penelitian Yudhastuti dan Hargono (2006)
menjelaskan malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit
malaria bentuk aseksual yang masuk ke dalam tubuh manusia oleh
nyamuk malaria Anopheles spp. betina. Penyakit ini menular karena agent
yang infektif dengan perantara suatu vektor dan dapat disebarkan dari
suatu sumber kepada host.
Di Indonesia diketahui ada empat jenis parasit malaria yaitu P.
vivax sebagai penyebab malaria tertiana, P. falciparum penyebab malaria
tropika, P. malariae penyebab malaria quartana dan P. ovale penyebab
malaria ovale. Ada satu spesies parasit malaria yang sangat berbahaya
yaitu parasit P. falciparum karena bisa menyerang otak dan
mengakibatkan kematian mendadak. Untuk parasit P. ovale sudah jarang
ditemukan lagi (Friaraiyatini et.al., 2006)

World Health Organization (WHO) menyatakan dalam penelitian


Roswati (2012) bahwa saat ini di dunia diperkirakan tiap tahunnya muncul
kasus malaria baru sekitar 200-300 juta dan 1-3 juta penduduk dunia
meninggal karena penyakit ini (Notobroto dan Hidajah, 2009).
Sedangkan di Indonesia, pada tahun 2009 dilaporkan penyebab
malaria tertinggi adalah plasmodium vivax sebanyak 55,8%. Namun pada
tahun 2010 data dari RISKESDAS menyatakan bahwa penyebab tertinggi
malaria adalah plasmodium falciparum dengan presentase 86,4% dan
plasmodium vivax sebanyak 6,9%. Untuk tahun 2012 terjadi penurunan
menjadi 417.819 kasus dengan nilai annual parasite incidence (API) 1, 69
per 1.000 penduduk. Sedangkan untuk tahun 2011 nilai API sebesar 1, 96
per 1.000 penduduk (Soepardi, 2011).
Di Papua pada tahun 2012 tercatar ada lebih dari 341.000 warga
menderita dengan resiko kejadian 96 kasus per 1.000 kelahiran.
Sementara di daerah Jayapura, ibukota Provinsi Papua tercatat 21.000
penderita (www.radioaustralia.net.au, 2013)
Pada umumnya, siklus perkembangbiakan plasmodium malaria
memiliki dua hospes yaitu manusia dan nyamuk. Siklus yang terjadi pada
manusia yaitu siklus aseksual disebut skizogoni dan siklus sekual yang
membentuk sporozoit terjadi di dalam nyamuk biasa disebut sporogoni
(Zein, 2005). Lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Pada perkembangan siklusnya, plasmodium malaria yang


menginfeksi manusia akan berkembang secara bertahap. Infeksi parasit
malaria pada manusia memiliki stadium-stadium yang berbeda dari tiaptiap parasit. Perbedaan stadium bisa dilihat dari struktur eritrosit yang
terjangkit. Perlu diketahui bahwa pada parasit yang sama terdapat empat
macam stadium yaitu ring, trophozoites, schizont dan gametocytes. Jika
sudah mencapai stadium gametocytes maka tingkat kematian akan lebih
tinggi (Arsin, 2012). Perbedaan antara tiap-tiap stadium bisa dilihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar 1. Stadium pada Plasmodium Falciparum

Gambar 2. Stadium pada Plasmodium Vivax

Gambar 3. Stadium pada Plasmodium Malariae

Gambar 4. Stadium pada Plasmodium Ovale

C. Waktu dan Tempat Praktikum


Hari/Tanggal

: Selasa, 14 Mei 2013

Waktu

: 15.30 17.30 WIT

Tempat

: Laboratorium Biologi dan Mikrobiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih.

D. Alat dan Bahan


- Alat:
1. Mikroskop Binokuler CX
2.
3.
4.
5.
6.
7.

21
Slide Bersih
Lancet steril/Penusuk jari
Tempat sampah khusus
Rak pewarnaan
Pipet tetes
Pensil dan Kertas label

- Bahan:
1. Kapas
2. Tisu basah dan tisu
3.
4.
5.
6.
7.

kering
Minyak immersi
Larutan Giemsa 10%
Air mineral
Methanol/alkohol absolut
Hand scoen

E. Prosedur Kerja
1. Pasien/terperiksa dimintai izin untuk mengambil darah tepi pad
ujung jari manis.
2. Jari manis dibersihkan dengan kapas beralkohol dan tunggu 12
detik sampai kering.
3. Kemudian ditusuk dengan mantap menggunakan lancet steril dan
lancet langsung dibuang pada tempat sampah khusus.
4. Darah pertama diusap dan tetes kan satu tetes darah pada bagian
ujung slide.
5. Dibuat apusan tipis pada tetesan darah tadi.
6. Apusan difiksasi dengan methanol dan diletakakan di rak
perwanaan.
7. Ditunggu selama 3 menit sampai kering sempurna.
8. Sedian apusan darah ditetesi dengan giemsa 10% memakai pipet
tetes.
9. Ditunggu selama 10 menit.
10. Apusan dibilas dengan aquades atau air mineral secara hati-hati.
11. Diamati dengan mikroskop pada perbesaran 1000 kali
menggunakan minyak immersi.
12. Dihitung jumlah eritrosit yang terinfeksi plasmodium.
13. Dilakukan identifikasi pada ertrosit yang terinfeksi, stadium dan
jenis parasitnya.
-

Cara Pembuatan Apusan Darah Tepi


-

Gambar Apusan Darah Tepi

F. Hasil Praktikum
N
o
1

Identitas

Citra
-

Nama inisial
Umur
Jenis Kelamin
Alamat

:BK
: 20 tahun
: Laki-Laki
: Jln. Raya Sentani, Belakang

Tanggal Pemeriksaan
Pada Perbesaran

Gambar

Abepura, Jayapura
: Selasa, 14 Mei 2013
: 100x
Keteranga

n
1. Eritrosit
Normal
-

Nama inisial
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Tanggal Pemeriksaan
Pada Perbesaran

Gambar

: AS
: 19 tahun
: Laki-Laki
: Kotaraja
: Selasa, 14 Mei 2013
: 100x
Keteranga
n
-

1. Eritrosit
normal
2. Eritrosit
Terinfeksi
parasit P.
falciparum
(ring)

N
o
3

Identitas

Nama inisial
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Tanggal Pemeriksaan
Pada Perbesaran

Gambar

:NN
: 29 tahun
: Laki-Laki
: RSUD Abepura
: Selasa, 14 Mei 2013
: 100x
Keteranga
n
1. Eritrosit
terinfeksi
P.
falciparum
(gametocy
tes)

Nama inisial
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Tanggal Pemeriksaan
Pada Perbesaran

Gambar

: NN
: 32 tahun
: Laki-Laki
: RSUD Abepura
: Selasa, 14 Mei 2013
: 100x
Keteranga
n
1. Eritrosit
Terinfeksi

parasit P.
vivax
(gametocy
te)

G. Pembahasan
-

Pada percobaan kali ini, kami melakukan pemeriksaan

malaria. Dari 13 apusan darah tepi yang diperiksa, ditemukan tiga darah
yang terinfeksi parasit plasmodium malaria. Pada hasil pengamatan yang
pertama digambarkan apusan darah yang eritrositnya normal. Eritrosit
normal berdiameter sekitar 8 m, berbentuk bikonkaf dengan warna
merah (Sherwood, 2011).
Pada gambar kedua, diperoleh apusan darah yang
eritrositnya terinfeksi oleh P. falciparum stadium ring. Eritrosit tidak
membesar tapi eritrosit yang terinfeksi memiliki bentuk seperti cincincincin halus yang khas, seringkali terlihat juga titik kromatin rangkap. Pada
stadium ini parasit masih muda dimana masa infeksi sudah berlangsung
selama 12 jam. Orang yang terinfeksi biasanya mengalami demam
paroksismal yang irregular (Arsin, 2012).
Pada gambar ketiga, didapati gambar apusan yang
eritrositnya juga terinfeksi P. falciparum, namun pada stadium
gametocytes. Pada stadium ini eritrosit sudah berubah bentuk seperti
pisang atau bulan sabit dan terdapat bintik Maurer. Gejala yang dialami
penderita biasanya yaitu sakit kepala, kejang-kejang, disfungsi organ
ginjal, koma atau pingsan dan jika tidak segera diobati dapat
menyebabkan kematian (Hiswani, 2004).

Pada gambar keempat adalah gambar apusan yang

eritrositnya terinfeksi P.vivax stadium gametocyte. Pada stadium ini


eritrosit sudah dipenuhi dengan gametosit. Inti terlihat besar berwarna
merah muda dan sitoplasma berwarna biru. Terdapat bintik-bintik merah
yang disebut titik Schuffner (Harmendo, 2008). Gejala yang dialami
penderita yang sudah berada pada stadium ini adalah keringat dingin,
kejang-kejang, lemas, tidak nafsu makan dan terdapat keluhan rasa sakit
pada tulang dan sendi (Arsin, 2012).
Pada praktikum ini, didapati eritrosit yang terinfeksi P.
falciparum stadium ring dan stadium gametocytes serta terinfeksi P.vivax
stadium gamet. Dalam penelitian Roswati (2012), menjelaskan beberapa
pengobatan yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan penderita yang
terinfeksi parasit di atas. Pengobatan diantaranya adalah:
- Golongan ACT (Artemisinin-based combination therapy)
- WHO sudah merekondasikan untuk menggunakan obat jenis ACT
secara global, tetapi ada petunjuk penggunaannya.
1. Kombinasi ini dapat berupa fi xed dose dan non-fi xed dose.
a. Contoh kombinasi dosis tetap (fi xed dose)
- (1) co-artem (artemeter 20 mg + lumefantrin 120 mg), dosis
4 tablet 2 x sehari selama 3 hari
- (2) artekin (dihidroartemisinin 40 mg + piperakuin 320 mg),
dosis awal 2 tablet, 8 jam kemudian 2 tablet, 24 jam dan 32 jam

kemudian masing-masing 2 tablet.


b. Contoh kombinasi dosis tidak tetap (non-fi xed dose)
- (1) artesunat + mefl okuin
- (2) artesunat + amodiakuin
- (3) artesunat + klorokuin
- (4) artesunat + SP (sulfadoksin-pirimetamin)
- (5) artesunat + pironaridin
- (6) artesunat + klorproguanil- dapson
- (7) dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim
- (8) dihidroartemisinin + piperakuin + trimetoprim + primakuin
- (9) dihidroartemisinin + naptokuin.
Dari kombinasi tersebut, yang tersedia di Indonesia saat ini

adalah artesunate + amodiakuin. Dosis orang dewasa, yaitu artesunate


200mg (4 tablet) pada hari 1-3, amodiakuin (200mg/ tablet): 3 tablet hari

1-2 dan 1 tablet hari 3. Dosis amodiakuin adalah 25-30mg/kgBB selama 3


hari.
- Obat non-ACT, yaitu:
1. Klorokuin difosfat/sulfat, 250 mg garam (150 mg basa). Dosis 25
mg basa/kgBB untuk 3 hari; hari I-II 10mg/kgBB dan hari III 5 mg/
kgBB. Pada orang dewasa, biasa dipakai dosis 4 tablet hari I-II dan
2 tablet hari III. Dipakai untuk P. falciparum maupun P. vivax.
2. Sulfadoksin-Pirimetamin (SP) (500 mg sulfadoksin + 25 mg
pirimetamin). Dosis orang dewasa 3 tablet (dosis tunggal). Pada
anak, dosis pirimetamin 1,25 mg/kgBB. Hanya dipakai untuk P.
falciparum dan tidak efektif untuk P. vivax. Dapat digunakan jika
gagal dengan pengobatan klorokuin.
3. Kina sulfat (1 tablet 220 mg). Dosis yang dianjurkan 3 x 10
mg/kgBB selama 7 hari. Dapat dipakai untuk P. falciparum maupun
P. vivax. Kina dapat dipakai sebagai obat cadangan untuk
mengatasi resistensi terhadap klorokuin dan SP.
4. Primakuin (1 tablet = 15 mg). Dipakai sebagai obat
pelengkap/pengobatan radikal terhadap P. falciparum maupun P.
vivax. Pada P. falciparum, dosisnya 45 mg (3 tablet) dosis tunggal
untuk membunuh gamet. Untuk P. vivax, dosisnya 15 mg/hari
-

selama 14 hari untuk membunuh gamet dan hipnozoit (antirelaps).


Apabila pola resistensi masih rendah dan belum terjadi

multiresistensi, juga belum tersedia obat golongan artemisinin, dapat


menggunakan kombinasi obat standar sebagai berikut:
(1) klorokuin + sulfadoksin-pirimetamin (SP).
(2) SP + kina.
(3) klorokuin + doksisiklin/tetrasiklin.
(4) SP + doksisiklin/tetrasiklin.
(5) kina + doksisiklin/tetrasiklin.
(6) kina + klindamisin.
-

Pengobatan di atas adalah untuk tipe stadium ringan, belum

ada gejala malaria cereblium. Sedangkan jika sudah pada stadium paling

berbahaya yaitu gametosit, maka terdapat pula pengobatan yang lebih


komplek. Roswati (2012) menjelaskan juga dalam penelitiannya tentang
pengobatan tahap lanjut, diantaranya:
1. Derivat artemisinin
2. Kina (Kina HCl/Kinin Antipirin)
(a) Loading dose 20 mg/kgBB kina HCl dalam 100-200 mL cairan
isotonis selama 4 jam, dilanjutkan dengan dosis 10 mg/kgBB
dalam 200 mL selama 4 jam setiap 8 jam. Apabila pasien sudah
sadar, diberikan kina peroral dengan dosis 3 x 400-600 mg
selama 7 hari, dihitung dari pemberian pa-renteral hari I (10
mg/kgBB/8 jam).
(b) Digunakan dosis tetap 500 mg kina HCl (BB rata-rata 50 kg),
dilarutkan dalam cairan isotonis selama 6-8 jam
berkesinambungan, tergantung kebutuhan cairan tubuh.
(c) Dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 20
mg/kgBB, terbagi pada 2 tempat suntikan, dilanjutkan dengan
dosis 10 mg/ kgBB tiap 8 jam sampai pasien dapat minum
peroral.
3. Kuinidin. Bila kina tidak tersedia, kuinidin (isomernya) cukup aman
dan efektif. Loading dose 15 mg basa/kgBB, dilarutkan dalam 250
mL cairan isotonik selama 4 jam, dilanjutkan dengan 7,5 mg
basa/kgBB dalam 4 jam, tiap 8 jam, dilanjutkan peroral setelah
pasien sadar.
4. Klorokuin. Loading dose: 10 mg basa/kgBB, dilarutkan dalam 500
mL cairan isotonis diberikan dalam 8 jam, dilanjutkan dengan dosis
5 mg basa/kgBB per infus selama 8 jam, diulang 3 kali (dosis total
25 mg basa/kgBB selama 32 jam). Bisa juga diberikan secara
intramuskuler atau subkutan dengan dosis 3,5 mg basa/ kgBB tiap
-

6 jam atau 2,5 mg basa/kgBB tiap 4 jam.


Bila penderita sudah dapat minum oral, pengobatan

parenteral segera dihentikan. Exchange transfusion (transfusi tukar) dapat


dipertimbangkan pada malaria berat walaupun indikasi pemberiannya
belum disepakati. Transfusi tukar dapat menurunkan keadaan parasitemia
secara cepat. Pada malaria berat, transfusi tukar berguna untuk
mengeluarkan eritrosit yang berparasit, mengurangi toksin hasil parasit

dan metabolismenya (sitokin dan radikal bebas), serta memperbaiki


anemia. Indikasi transfusi tukar (exchange blood transfusion):
Parasitemia >30% tanpa komplikasi berat .
Parasitemia >10% disertai komplikasi berat lainnya, seperti
malaria serebral, gangguan ginjal akut, ikterus (bilirubin total >25

mg%) dan anemia berat .


Parasitemia >10% disertai gagal pengobatan setelah 12-24 jam

pemberian antimaantimalaria yang optimal.


Parasitemia >10% disertai prognosis buruk (misalnya, lanjut usia,
adanya parasit stadium lanjut/skizon pada darah perifer).
-

H. Kesimpulan
-

Dari praktikum yang telah kami lakukan, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:


1. Apusan darah tipis dibuat dengan bantuan pewarnaan giemsa baik
10% maupun 20%.
2. Parasit malaria ada empat jenis dan masing-masing jenis
mempunyai empat stadium yang berbeda-beda yang menyerang
eritrosit.
3. Parasit malaria yang paling mematikan adalah plasmodium
falciparum yang dapat menyebabkan malaria cerebral.
4. Pengobatan yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan penderita
ada beberapa macam, yaitu dengan obat golongan ACT, Non ACT

(primakuin dan klorokuin) dan untuk stadium lanjut digunakan


pengobatan yang lebih kompleks lagi.
-

I. Daftar Pustaka
Arsin, A, A,. 2012. Malaria di Indonesia. Makassar: Masagena
Press.
Friaraiyatini., Keman, S., dan Yudhastuti, R., 2006. Pengaruh
Lingkungan dan Perilaku Masyarakat Terhadap Kejadian Malaria di Kab.
Barito Selatan Propinsi Kalimantan Tengah. Dinas Kesehatan Kab. Barito
Selatan, Kalimantan Tengah dan Bagian Kesehatan Lingkungan
FKM, Universitas Airlangga, Surabaya.
-

Harmendo., 2008. Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Wilayah


Kerja
Puskesmas Kenanga Kecamatan Sungailiat
Kabupaten Bangka.
Tesis Program Pasca Sarjana,
Universitas Diponegoro Semarang.

Hiswani., 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria di


Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera
Utara.
Roswati, E., 2012. Malaria Berat. Departemen Ilmu Penyakit
Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan,
Sumatera Utara, Indonesia.
-

Sherwood, L., 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. EGC:


Jakarta.

Soepardi, J., 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Buletin


Jendela
Data dan Informasi Kesehatan Volume I, Triwulan I 2011,
Kementrian Kesehatan RI.
Yudhastuti, R., dan Hargono, R., 2006. Pengendalian Malaria di
Daerah
Endemis dengan Pendamping Key Person. Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya.
http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/radio/onairhighlights/ma
laria- pembunuh-nomor-satu-di-papua/1121524. [Diakses pada tanggal
07 Juli 2013, pukul 20:50 WIT].

Anda mungkin juga menyukai