Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN KASUS

GENERAL ANESTESI PADA HERNIA REPAIR PASIEN DENGAN


HERNIA INGUINALIS LATERALIS INKARSERATA DEXTRA

Diajukan untuk memenuhi Tugas Akhir Kepaniteraan Klinik Madya Di bagian SMF
Anestesi dan Reanimasi, Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

Pembimbing:
dr. Albinus Cobis, Sp.An, M.Kes

Oleh:
Arif Setiawan, S.Ked
(20180811018021)

SMF ANESTESI DAN REANIMASI, PERAWATAN INTENSIF


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PENILAIAN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar belakang ............................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1. Hernia ........................................................................................................... 3
A. Definisi dan Etiologi ................................................................................... 3
B. Epidemiologi Hernia ................................................................................... 4
C. Klasifikasi Hernia........................................................................................ 4
D. Hernia Inguinalis ......................................................................................... 7
2.2 Anestesi Umum ........................................................................................... 17
A. Definisi ...................................................................................................... 17
B. Anestesi pada anak .................................................................................... 17
C. Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada pasien anestesi..................... 18
D. Persiapan prabedah pada anak .................................................................. 19
E. Klasifikasi status fisik ............................................................................... 20
F. Stadium – stadium Anestesi ...................................................................... 21
G Premedikasi pada Bayi dan Anak ............................................................. 31
H. Tatalaksana Jalan nafas pediatric .............................................................. 32
I. Cairan Perioperatif dan Tranfusi Darah pada Pediatri .............................. 35
J. Tatalaksanaan pasca anestesi ..................................................................... 39
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 42
3.1 Identitas pasien ............................................................................................ 42
3. 2 Anamnesis (Alloanamnesis) ....................................................................... 42
3.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................ 43
3.4 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................... 45
3.5 Diagnosa ...................................................................................................... 46
3.6 Penatalaksanaan ........................................................................................... 46
3.7 Konsultasi Terkait ....................................................................................... 47
3.8 Penentuan PS ASA / Status Anestesi .......................................................... 47

ii
3.9 Status Anestesi ........................................................................................... 47
3.10 Persiapan Anestesi ..................................................................................... 48
3.11 Laporan Durante Operasi .......................................................................... 50
3.12 Laporan Operasi ........................................................................................ 51
3.13 Diagram observasi ..................................................................................... 52
3.14 Intruksi post operasi .................................................................................. 52
3.15 Terapi Cairan ............................................................................................. 53
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 58
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 64
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 65

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Anastesiologi adalah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi
menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah
pembedahan. Anestesiologi berkembang terus sesuai dengan perkembangan
ilmu kedokteran. Secara harfiah anestesi berarti ketiadaan rasa atau sensasi
nyeri. Dalam arti yang lebih luas, anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa
terhadap suatu rangsangan. Pemberian anestesi dilakukan untuk mengurangi
dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan
dengan pembedahan. Anestesi menggambarkan keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan.1
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An- “tidak, tanpa” dan
aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.1,2
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum
ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua
sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri,
kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa
kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan
spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat
diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Anestesi umum biasanya
dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan
pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah
jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain.2
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama
penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung

1
untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi dilakukan.1
Hernia adalah penonjolan isi perut dari rongga yang normal melalui suatu
defek pada fasia dan muskuloaponeuretik dinding perut, baik secara kongenital
atau didapat, yang memberi jalan keluar pada setiap alat tubuh selain yang
biasa melalui dinding tersebut. Lubang itu dapat timbul karena lubang
embrional yang tidak menutup atau melebar, akibat tekanan rongga perut yang
meninggi.3
Hernia Inguinalis merupakan kelainan congenital cukup sering
ditemukan baik oleh dokter umum, dokter anak dan ahli bedah. Dan masih
sering terdapat laporan terjadi keruskan testis, ovarium dan usus akibat
inkarserasi dan strangulasi hernia inguinalis, sehigga dibutuhkan diagnosis dini
dan pembedahan lebih awal untuk mencegahnya.4
Sekitar 75% hernia terjadi di sekitar lipat paha, berupa hernia inguinal
direk, indirek serta hernia femoralis; hernia insisional 10%, hernia ventralis
10%, hernia umbilikus 3% dan hernia lainnya sekitar 3%. Pada hernia
inguinalis lebih sering pada laki-laki daripada perempuan.5

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hernia
A. Definisi dan Etiologi
Kata hernia berarti penonjolan suatu kantong peritoneum, suatu organ atau
lemak praperitoneum melalui cacat kongenital atau akuisita (dapatan). Hernia
terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia. Pada hernia abdomen, isi perut menonjol
melalui defek atau bagian lemah dari lapisan muskuloaponeurotik dinding perut.5
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan
hernia dapatan atau akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya, hernia
diafragma, inguinal, umbilikal dan femoral. Menurut sifatnya, hernia dapat disebut
hernia reponibel bila isi hernia dapat keluar masuk dan bila isi kantong tidak dapat
direposisi kembali ke dalam rongga perut disebut hernia ireponibel.6
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab
yang di dapat. Hernia dapat dijumpai pada setiap usia. Lebih banyak pada laki-laki
dari pada perempuan. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu
masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh
kantong dan isi hernia. Selain itu diperlukan faktor yang mendorong isi hernia
melewati pintu masuk hernia.7 Faktor yang dipandang berperan dalam hernia yaitu:
a. Prosesus vaginalis yang terbuka, kurang dari 90% prosessus vaginalis tetap
terbuka, sedangkan pada bayi umur 1 tahun sekitar 30% prosessus vaginalis
belum tertutup. Tidak sampai 10% dari anak dengan prosessus vaginalis paten
menderita hernia. Pada lebih dari separuh populasi anak dapat dijumpai
prosessus vaginalis paten kontralateral, tetapi insiden hernia tidak melebihi
20%. Umumnya disimpulkan adanya prosessus vaginalis yang paten bukan
merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia, tetapi diperlukan faktor lain,
seperti anulus inguinalis yang cukup lebar.
b. Peninggian tekanan di rongga abdomen yang kronis, seperti batuk kronik,
hipertropi prostat, konstipasi dan acites sering disertai inguinalis
c. Kelemahan otot dinding perut karena faktor usia.

3
B. Epidemiologi Hernia
Sekitar 75% hernia terjadi di sekitar lipat paha, berupa hernia inguinal direk,
indirek serta hernia femoralis; hernia insisional 10%, hernia ventralis 10%, hernia
umbilikus 3% dan hernia lainnya sekitar 3%. Pada hernia inguinalis lebih sering
pada laki-laki daripada perempuan.8
C. Klasifikasi Hernia
Berdasarkan tempat terjadinya, hernia terbagi atas8:
1. Hernia Femoralis
Pintu masuk hernia femoralis adalah anulus femoralis. Selanjutnya, isi hernia
masuk ke dalam kanalis femoralis yang berbentuk corong sejajar dengan vena
femoralis sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar pada fosa ovalis.
2. Hernia Umbilikalis
Hernia umbilikalis merupakan hernia kongenital pada umbilikus yang hanya
tertutup peritoneum dan kulit akibat penutupan yang inkomplet dan tidak
adanya fasia umbilikalis.
3. Hernia Paraumbilikus
Hernia paraumbilikus merupakan hernia melalui suatu celah di garis tengah di
tepi kranial umbilikus, jarang terjadi di tepi kaudalnya. Penutupan secara
spontan jarang terjadi sehingga umumnya diperlukan tindakan operasi untuk
dikoreksi.
4. Hernia Epigastrika
Hernia epigastrika atau hernia linea alba adalah hernia yang keluar melalui
defek di linea alba antara umbilikus dan prosessus xifoideus.
5. Hernia Ventralis
Hernia ventralis adalah nama umum untuk semua hernia di dinding perut
bagian anterolateral; nama lainnya adalah hernia insisional dan hernia sikatriks.
6. Hernia Lumbalis
Di daerah lumbal antara iga XII dan krista iliaka, ada dua trigonum masing-
masing trigonum kostolumbalis superior (ruang Grijinfelt/lesshaft) berbentuk
segitiga terbalik dan trigonum kostolumbalis inferior atau trigonum
iliolumbalis berbentuk segitiga.

4
7. Hernia Littre
Hernia yang sangat jarang dijumpai ini merupakan hernia berisi
divertikulum Meckle. Sampai dikenalnya divertikulum Meckle, hernia littre
dianggap sebagai hernia sebagian dinding usus.
8. Hernia Spiegheli
Hernia spieghell ialah hernia vebtralis dapatan yang menonjol di linea
semilunaris dengan atau tanpa isinya melalui fasia spieghel.
9. Hernia Obturatoria
Hernia obturatoria ialah hernia melalui foramen obturatorium.
10. Hernia Perinealis
Hernia perinealis merupakan tonjolan hernia pada perineum melalui otot
dan fasia, lewat defek dasar panggul yang dapat terjadi secara primer pada
perempuan multipara atau sekunder pascaoperasi pada perineum, seperti
prostatektomi, reseksi rektum secara abdominoperineal, dan eksenterasi
pelvis. Hernia keluar melalui dasar panggul yang terdiri atas otot levator
anus dan otot sakrokoksigeus beserta fasianya dan dapat terjadi pada semua
daerah dasar panggul.
11. Hernia Pantalon
Hernia pantalon merupakan kombinasi hernia inguinalis lateralis dan
medialis pada satu sisi.
Menurut sifatnya hernia terbagi atas7:
1. Hernia reponibel
Hernia reponibel apabila isi hernia dapat keluar-masuk. Usus keluar ketika
berdiri atau mengejan, dan masuk lagi ketika berbaring atau bila didorong
masuk ke dalam perut. Selama hernia masih reponibel, tidak ada keluhan
nyeri atau obstruksi usus.
2. Hernia ireponibel
Hernia ireponibel apabila isi hernia tidak dapat direposisi kembali ke dalam
rongga perut. Biasanya disebabkan oleh pelekatan isi kantong kepada
peritoneum kantong hernia.
3. Hernia Inkaserata atau Hernia strangulate

5
Hernia inkaserata apabila isi hernia terjepit oleh cincin hernia sehingga isi
kantong terperangkap dan tidak dapat kembali ke dalam rongga perut.
Akibatnya terjadi gangguan pasase atau vaskularisasi. Hernia inkaserata
lebih dimaksudkan untuk hernia ireponibel yang di sertai gangguan pasase,
sedangkan hernia strangulata digunakan untuk menyebut hernia ireponibel
yang disertai gangguan vaskularisasi.9

Gambar 1. Klasifikasi Hernia Menurut Sifat

Keterangan gambar 1.: (1) Kulit dan jaringan subkutan (2) Lapisan
otot (3) Jaringan praperitoneal (4) Kantong hernia dengan usus. (A)
Hernia reponibel tanpa inkaserasi dan strangulasi, (B) Hernia
ireponibel, (C) Hernia inkaserata dengan ileus obstruksi usus, (D)
Hernia strangulata.
4. Hernia Richter
Hernia Richter apabila strangulasi hanya menjepit sebagian dinding usus.
Komplikasi dari hernia richter adalah strangulasi sampai terjadi perforasi
usus.

Keterangan:
(A) Hernia Richter tanpa
ileus obstruksi,
(B) Hernia Richter dengan
ileus obstruksi.

Gambar 2. Gambaran hernia Richter

6
5. Hernia Interparietalis
Hernia yang kantongnya menjorok ke dalam celah antara lapisan dinding
perut.
6. Hernia Eksterna
Hernia eksterna apabila hernia menonjol keluar melalui dinding perut,
pinggang atau perineum.
7. Hernia Interna
Hernia interna apabila tonjolan usus tanpa kantong hernia melalui suatu
lubang dalam rongga perut, seperti foramen winslow, resesus retrosekalis
atau defek dapatan pada mesenterium setelah operasi anastomosis usus.
8. Hernia Insipiens
Hernia yang membalut merupakan hernia indirect pada kanalis inguinalis
yang ujungnya tidak keluar dari anulus eksternus.
9. Hernia Sliding
Hernia yang isi kantongnya berasal dari organ yang letaknya
ekstraperitoneal.
10. Hernia Bilateral
Defek terjadi pada dua sisi.
D. Hernia Inguinalis
a. Definisi Hernia Inguinalis
Hernia inguinalis adalah kondisi prostrusi (penonjolan) organ intestinal
masuk ke rongga melalui defek atau bagian dinding yang tipis atau lemah dari
cincin inguinalis. Materi yang masuk lebih sering adalah usus halus, tetapi bisa
juga merupakan suatu jaringan lemak atau omentum.9
b. Anatomi Regio Inguinalis
Kanalis inguinalis adalah saluran yang berjalan oblik (miring) dengan
panjang 4cm dan terletak 2-4cm di atas ligamentum inguinale, Ligamentum
Inguinale merupakan penebalan bagian bawah aponeurosis muskulus oblikus
eksternua. Terletak mulai dari SIAS sampai ke ramus superior tulang pubis.10

7
Dinding yang membatasi kanalis inguinalis adalah10:
1. Anterior
Dibatasi oleh aponeurosis muskulus oblikus eksternus dan 1/3 lateralnya
muskulus oblikus internus.
2. Posterior
Dibentuk oleh aponeurosis muskulus transversus abdominis yang bersatu
dengan fasia transversalis dan membentuk dinding posterior di bagian
lateral. Bagian medial dibentuk oleh fasia transversa dan konjoin tendon,
dinding posterior berkembang dari aponeurosis muskulus transversus
abdominis dan fasia transversal.
3. Superior
Dibentuk oleh serabut tepi bawah muskulus oblikus internus dan muskulus
transversus abdomnis dan aponeurosis.
4. Inferior
Dibentuk oleh ligamentum inguinale dan lakunare bagian ujung atas dari
kanalis inguinalis adalah internal inguinal ring. Ini merupakan defek
normal dan fasia transversalis dan berbentuk huruf “U” dan “V” dan
terletak di bagian lateral dan superior. Batas cincin interna adalah pada
bagian atas muskulus transversus abdominis, iliopubik tract dan
interfoveolar (Hasselbach) ligament dan pembuluh darah epigastrik
inferior di bagian medial.

Gambar 3. Letak Anatomi Inguinalis

8
Kanalis inguinalis pria terdapat duktus deferens, tiga arteri yaitu:
arteri spermatika interna, arteri diferential dan arteri spermatika eksterna,
lalu plexus vena pampiniformis, juga terdapat tiga nervus yaitu: cabang
genital dari nervus genitofemoral, nervus ilioinguinalis dan serabut
simpatis dari plexus hipogastrik dan tiga lapisan fasia yaitu: fasia
spermatika eksterna yang merupakan lanjutan dari fasia innominate,
lapisan kremaster berlanjut dengan serabut-serabut muskulus oblikus
internus, dan fasia otot lalu fasia spermatika interna yang merupakan
perluasan dari fasia transversal.10
Lalu aponeurosis muskulus oblikus eksternus di bawah linea arkuata
(douglas), bergabung dengan aponeurosis muskulus oblikus internus dan
transversus abdominis yang membentuk lapisan anterior rektus.
Aponeurosis ini membentuk tiga struktur anatomi di dalam kanalis
inguinalis berupa ligamentum inguinale, lakunare dan refleksi ligamentum
inguinale (Colles).10
Ligamentum lakunare terletak paling bawah dari ligamentum
inguinale dan dibentuk dari serabut tendon oblikus eksternus yang berasal
dari daerah sias. Ligamentum ini membentuk sudut <45 derajat sebelum
melekat pada ligamentum pektineal. Ligamentum ini membentuk pinggir
medial kanalis femoralis.10
Ligamentum pektinea (Cooper), ligamentum ini tebal dan kuat yang
terbentuk dari ligamentum lakunare dan aponeurosis muskulus obliqus
internus, transversus abdominis dan muskulus pektineus. Ligamentum ini
terfiksir ke periosteum dari ramus superior pubis dan ke bagian lateral
periosteum tulang ilium.10
Konjoin tendon merupakan gabungan serabut-serabut bagian bawah
aponeurosis oblikus internus dengan aponeurosis transversus abdominis
yang berinsersi pada tuberkulum pubikum dan ramus superior tulang
pubis.10
Ligamentum Henle, terletak di bagian lateral, vertikal dari sarung
rektus, berinsersi pada tulang pubis bergabung bergabung dengan
aponeurosis transversus abdominis dan fasia transversalis.10

9
Ligamentum Hasselbach sebenarnya bukan merupakan ligamentum,
tetapi penebalan dari fasia transversalis pada sisi medial cincin interna yang
letaknya inferior.10
Refleksi ligamentum inguinale (Colles), ligamentum ini dibentuk
dari serabut aponeurosis yang berasal dari crus inferior cincin externa yang
meluas ke linea alba.10
Traktus iliopubika merupakan perluasan dari arkus iliopektinea ke
ramus superior pubis, membentuk bagian dalam lapisan muskulo
aponeurotik bersama muskulus transversusu abdominis dan fasia
transversalis. Traktus ini berjalan di bagian medial, ke arah pinggir inferior
cincin dalam dan menyilang pembuluh darah femoral dan membentuk
pinggir anterior selubung femoralis.10
melekat serta menutupi muskulus transversus abdominis. Segitiga
Hasselbach, pada tahun 1814 Hasselbach mengemukan dasar dari segitiga
yang dibentuk oleh pekten pubis dan ligamentum pektinea. Segitiga ini
dibatasi oleh10:
a. Supero-lateral : pembuluh darah epigastrika inferior
b. Medial : bagian lateral rektus abdominis
c. Inferior : ligamentum inguinale
c. Klasifikasi Hernia Inguinalis
Klasifikasi hernia inguinalis yaitu:
1. Hernia inguinalis indirek
Hernia inguinalis indirek disebut juga hernia inguinalis lateralis, diduga
mempunyai penyebab kongenital. Kantong hernia merupakan sisa prosesus
vaginalis peritonei sebuah kantong peritoneum yang menonjol keluar, yang
pada janin berperan dalam pembentukan kanalis inguinalis. Oleh karena itu
kantong hernia masuk kedalam kanalis inguinalis melalui anulus inguinalis
internus yang terletak di sebelah lateral vasa epigastrika inferior, menyusuri
kanalis nguinalis dan keluar ke rongga perut melalui anulis inguinalis
eksternus. lateral dari arteria dan vena epigastrika inferior.11 Hernia ini
lebih sering dijumpai pada sisi kanan. Hernia inguinalis indirek dapat
disimpulkan sebagai berikut:

10
- Merupakan sisa prosessus vaginalis dan oleh karena itu bersifat
kongenital.
- Angka kejadian hernia indirek lebih banyak dibandingkan hernia
inguinalis direk.
- Hernia indirek lebih sering pada pria daripada wanita.
- Hernia indirek lebih sering pada sisi kanan
- Sering di temukan pada anak-anak dan dewasa muda.
- Kantong hernia masuk ke dalam kanalis inguinalis melalui anulus
inguinalis profundus dan lateral terhadap arteria dan vena
epigastrika inferior.
- Kantong hernia dapat meluas melalui anulus inguinalis
superficialis, terletak di atas dan medial terhadap tuberkulum
pubikum.
- Kantong hernia dapat meluas ke arah bawah ke dalam kantong
skrotum atau labium majus.
2. Hernia inguinalis direk
Hernia inguinalis direk disebut juga hernia inguinalis medialis. Hernia ini
melalui dinding inguinal posteromedial dari vasa epigastrika inferior di
daerah yang dibatasi segitiga Hasselbach. Hernia inguinalis direk jarang
pada perempuan, dan sebagian bersifat bilateral. Hernia ini merupakan
penyakit pada laki-laki lanjut usia dengan kelemahan otot dinding
abdomen.11
d. Etiologi
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali kongenital atau karena sebab
yang didapat. Lebih banyak terjadi pada lelaki daripada perempuan. Berbagai
faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu masuk hernia pada anulus
internus yang cukup lebar sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia.
Selain itu, diperlukan faktor yang dapat mendorong isi hernia melewati pintu
yang sudah terbuka cukup lebar.5
Pada orang sehat ada tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya
hernia inguinalis, yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya struktur
otot oblikus internus abdominis yang menutup anulus inguinalis internus ketika

11
berkontraksi, dan adanya fasia transversa yang kuat sehingga menutupi
trigonum hasselbach yang umumnya hampir tidak berotot.8
Proses mekanisme ini meliputi saat otot abdomen berkontraksi terjadi
peningkatan intraabdomen lalu m. oblikus internus dan m. tranversus
berkontraksi, serabut otot yang paling bawah membentuk atap mioaponeurotik
pada kanalis inguinalis. Konjoin tendon yang melengkung meliputi spermatic
cord yang berkontraksi mendekati ligamentum inguinale sehingga melindungi
fasia transversalis. Kontraksi ini terus bekerja hingga ke depan cincin interna
dan berfungsi menahan tekanan intraabdomen.9
Kontraksi m.transversus abdominis menarik dan meregang crura anulus
internus, iliopubic tract, dan fasia transversalis menebal sehingga cincin
menutup seperti spincter (Shutter Mechanism). Pada saat yang sama m. oblikus
eksternus berkontraksi sehingga aponeurosisnya yang membentuk dinding
anterior kanalis inguinalis menjadi teregang dan menekan cincin interna pada
dinding posterior yang lemah. Gangguan pada mekanisme ini dapat
menyebabkan terjadinya hernia.11
e. Patofisiologi
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal pada fetus. Pada bulan ke-8
dari kehamilan, terjadinya desensus testikulorum melalui kanalis inguinalis.
Penurunan testis itu akan menarik peritoneum ke daerah skrotum sehingga
terjadi tonjolan peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis
peritonea.10
Bila bayi lahir umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi, sehingga
isi rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut. Tetapi dalam beberapa hal
sering belum menutup, karena testis yang kiri turun terlebih dahulu dari yang
kanan, maka kanalis inguinalis yang kanan lebih sering terbuka.9
Dalam keadaan normal, kanal yang terbuka ini akan menutup pada usia 2
bulan. Bila prosesus terbuka sebagian, maka akan timbul hidrokel. Bila kanal
terbuka terus, karena prosesus tidak berobliterasi maka akan timbul hernia
inguinalis lateralis kongenital. Biasanya hernia pada orang dewasa ini terjadi
karena lanjut usia, karena pada umur yang tua otot dinding rongga perut dapat

12
melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan jaringan tubuh
mengalami proses degenerasi. 10
Pada orang tua kanalis tersebut telah menutup, namun karena daerah ini
merupakan lokus minoris resistansi, maka pada keadaan yang menyebabkan
tekanan intraabdominal meningkat seperti, batuk kronik, bersin yang kuat dan
mengangkat barang-barang berat dan mengejan, maka kanal yang sudah
tertutup dapat terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis karena
terdorongnya sesuatu jaringan tubuh dan keluar melalui defek tersebut.
Akhirnya menekan dinding rongga yang telah melemas akibat trauma,
hipertropi prostat, asites, kehamilan, obesitas, dan kelainan kongenital.9
f. Gambaran Klinis
Sebagian besar hernia inguinalis adalah asimtomatik, dan kebanyakan
ditemukan pada pemeriksaan fisik rutin dengan palpasi benjolan pada annulus
inguinalis superfisialis atau suatu kantong setinggi annulus inguinalis
profundus.11
Pada umumnya keluhan pada orang dewasa berupa benjolan di lipat paha
yang timbul pada waktu mengedan. Batuk atau mengangkat benda berat, dan
menghilang waktu istirahat baring. Pada bayi dan anak-anak adanya benjolan
yang hilang timbul di lipat paha biasanya diketahui oleh orang tua. Jika hernia
terjadi pada anak atau bayi, gejalanya terlihat anak sering gelisah, banyak
menangis, dan kadang-kadang perut kembung, harus dipikirkan kemungkinan
terjadi hernia strangulata.10
Pada inspeksi diperhatikan keadaan asimetri pada kedua sisi lipat paha,
skrotum atau labia dalam posisi berdiri dan berbaring. Pasien diminta
mengedan atau batuk sehingga adanya benjolan atau keadaan asimetri dapat
dilihat. Palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan hernia, di raba
konsistensinya dan dicoba mendorong apakah benjolan dapat direposisi.
Setelah benjolan tereposisi dengan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak-
anak. Cincin hernia dapat diraba, dan berupa anulus inguinalis yang melebar.11
Gambaran klinis yang penting dalam penilaian hernia inguinalis meliputi
tipe, penyebab, dan gambaran. Hernia inguinais direk, isi hernia tidak
terkontrol oleh tekanan pada cincin internal, secara khas menyebabkan

13
benjolan ke depan pada lipat paha, tidak turun ke dalam skrotum. Hernia
inguinalis indirect, isi hernia dikontrol oleh tekanan yang melewati cincin
internal, seringkali turun ke dalam skrotum.12
g. Diagnosis
1. Anamnesis
Hernia inguinalis lateralis biasanya terlihat sebagai benjolan pada daerah
inguinal dan meluas ke depan atau ke dalam skrotum. Kadang-kadang, anak
akan datang dengan bengkak skrotum tanpa benjolan sebelumnya pada daerah
inguinal.5
Orang tuanya biasanya sebagai orang pertama yang melihat benjolan ini,
yang mungkin muncul hanya saat menangis atau mengejan. Selama tidur atau
apabila pada keadaan istirahat atau santai, hernia menghilang spontan tanpa
adanya benjolan atau pembesaran skrotum. Riwayat bengkak pada pangkal
paha, labia, atau skrotum berulang-ulang yang hilang secara spontan adalah
tanda klasik untuk hernia inguinalis lateralis.11
Keluhan nyeri jarang dijumpai, bila ada biasanya dirasakan di daerah
epigastrium atau paraumbilical berupa nyeri visceral karena regangan pada
mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong hernia.
Nyeri yang disertai mual dan muntah baru timbul kalau terjadi inkarserasi
karena ileus atau strangulasi karena nekrosis atau gangren.12
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada
inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul
sebagai penonjolan di regio inguinalis yang berjalan dari lateral atas ke medial
bawah. Jika kantong hernia kosong kadang dapat di raba pada fenikulus
spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong. Jika kantong hernia berisi
organ, tergantung isinya, pada palpasi mungkin teraba usus, omentum (seperti
karet), atau ovarium.11
Dengan jari telunjuk atau kelingking, pada anak dapat dicoba mendorong isi
hernia dengan menekan kulit skrotum melalui anulus eksternus sehingga dapat
ditentukan apakah isi hernia dapat di reposisi atau tidak. Pada hernia yang dapat
direposisi, pada waktu jari masih berada pada anulus eksternus, pasien diminta

14
batuk atau mengedan (Finger Test). Kalau ujung jari menyentuh hernia, berarti
hernia inguinalis lateralis, dan kalau bagian sisi jari yang menyentuhnya,
berarti hernia inguinalis medialis. Isi hernia, pada bayi perempuan, yang teraba
seperti sebuah masa padat biasanya terdiri atas ovarium.12
Tes lain yang bisa digunakan untuk membedakan hernia inguinalis medialis
dan lateral yaitu Zieman Test dan Tumb Test. Diagnosa ditegakkan atas dasar
benjolan yang dapat di reposisi, atau, jika tidak dapat di reposisi, atas dasar
tidak adanya pembatasan jelas di sebelah kranial dan adanya hubungan ke
kranial melalui anulus eksternus. Hernia harus dapat dibedakan dari hidrokel
atau elevantiasis skrotum. Testis yang teraba dapat dipaka sebagai pegangan
untuk membedakannya.14
Bedasarkan terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kogenital dan
hernia akuisita. Hernia diberi nama menurut letaknya, umpamanya diafragma,
inguinal, umbilical dan femoral. Menurut sifatnya, hernia dapat disebut hernia
reponible bila isi hernia dapat keluar masuk. Usus keluar jika berdiri atau
mengedan dan masuk lagi apabila berbaring atau didorong masuk, tidak ada
keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus. Bila isi kantong hernia tidak dapat
dikembalikan ke dalam rongga disebut hernia irreponibel, hal ini biasanya
didisebabkan oleh pelekatan kantong hernia. Hernia ini disebut hernia akreta
(perlekatan karena fibrosis). Tidak ada keluhan nyeri ataupun tanda sumbatan
usus.13
h. Penatalaksanaan H. Inguinalis
-
Prinsip Pengobatan Operative pada Hernia Inguinalis
Sebelum tindakan operasi pada pasien hernia, terlebih dahulu juga harus
memperbaiki faktor yang memperburuk hernia (batuk kronis, obstruksi prostat,
tumor kolon, ascites.13
-
Jenis-jenis Operasi pada Hernia Inguinalis
Tujuan dari semua perbaikan hernia adalah untuk menghilangkan kantong
peritoneal (pada hernia inguinalis indirek) dan untuk menutupi defek pada fasia
di dinding inguinal. Perbaikan tradisional didekati jaringan asli menggunakan
jahitan permanen.
1. Herniotomi

15
Herniotomi adalah tindakan membuka kantong hernia, memasukkan
kembali isi kantong hernia ke rongga abdomen, serta mengikat dan
memotong kantong hernia. Herniotomi dilakukan pada anak-anak
dikarenakan penyebabnya adalah proses kongenital dimana prossesus
vaginalis tidak menutup.5
2. Herniorafi
Herniorafi adalah membuang kantong hernia di sertai tindakan bedah
plastik untuk memperkuat dinding perut bagian bawah di belakang kanalis
inguinalis. Herniorafi dilakukan pada orang dewasa karena adanya
kelemahan otot atau fasia dinding belakang abdomen.14
3. Hernioplasti
Hernioplasti adalah tindakan memperkecil anulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis.
i. Komplikasi
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia,
isi hernia dapat tertahan dalam kantong hernia pada hernia reponibel. Hal ini
dapat terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri atas omentum, organ
ekstraperitoneal. Di sini tidak timbul gejala klinis kecuali berupa benjolan. Isi
hernia dapat pula terjepit oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia inkaserata
yang menimbulkan gejala obstruksi usus yang sederhana. Bila cincin hernia
sempit, kurang elastis, atau lebih kaku seperti pada hernia femoralis dan hernia
obturatoria, maka lebih sering terjadi jepitan parsial.12
Jarang terjadi inkaserasi retrograd, yaitu dua segmen usus terjepit didalam
kantong hernia dan satu segmen lainnya berada dalam rongga peritoneum
seperti huruf “W”. Jepitan cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi
jaringan isi hernia. Pada permulaan, terjadi bendungan vena sehingga terjadi
edema organ atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong
hernia.14
Timbulnya edema yang menyebabkan jepitan cincin hernia makin
bertambah sehingga akhirnya peredaran darah jaringan terganggu (strangulasi).
Isi hernia menjadi nekrosis dan kantong hernia akan berisi transudat berupa
cairan serosanguinus. Apabila isi hernia terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi

16
yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal, fistel atau peritonitis jika terjadi
hubungan dengan rongga perut.5
j. Prognosis
Prognosis hernia inguinalis lateralis pada bayi dan anak sangat baik. Insiden
terjadinya komplikasi pada anak hanya sekitar 2%. Insiden infeksi pasca bedah
mendekati 1%, dan recurent kurang dari 1%. Meningkatnya insiden recurrent
ditemukan bila ada riwayat inkarserata atau strangulasi.15

2.2 Anestesi Umum


A. Definisi
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:17
1. Hipnotik atau sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
B. Anestesi pada anak
Anestesi pada anak merupakan tindakan yang memerlukan kehati-hatian
dan tingkat kewaspadaan yang tinggi, serta peralatan dan lingkungan yang
mendukung. Menurut American Academy of Pediatric, definisi pasien anak
adalah:

Premature < 37 wks PCA


Neonatus 0-1 months
Infants 1-6 months
Older Infants 6 months - 2 years
Toddlers 2-5 y.o
Child 5-12 y.o
Adolescences 12-18 y.o

17
C. Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada pasien anestesi
- Sistem pernapasan
Anak-anak lebih mudah mengalami sumbatan jalan napas, karena secara
proporsional jika dibandingkan orang dewasa, lubang hidung (nares) sempit,
lidah relative besar mengisi rongga mulut, rahang kecil, leher pendek, dan
lingkar kepala besar (menyebabkan posisi kepala mudah menunduk)
disamping adanya banyak jaringan limfoid. Sedikit tekanan pada jaringan
lunak dileher sudah dapat mengakibatkan obstruksi. Bagian jalan napas yang
paling sempit bukalah pita suara, tetapi pada lingkaran crikoid (subglottic),
karena penampang trachea kecil, sedikit edema saja menyebabkan
penyempitan hebat dan sumbatan aliran udara napas yang serius. Frekuensi
pernapasan pada bayi dan anak lebih cepat dari pada orang dewasa, tipe
pernapasan neonatus dan bayi ialah abdominal dan lewat hidung sehingga
gangguan pada kedua bagian ini memudahkan timbulnya kegawatan
pernapasan.17
- Sistem kardio-sirkulasi
Frekuensi jantung bayi dan anak berkisar antara 100-120 kali permenit.
Hipoksia menimbulkan bradikardia, bayi baru lahir tidak mampu
meningkatkan curah jantungnya (Cardiac output) dengan cara meningkatkan
kontraktilitasnya, CO hanya dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan
denyut jantung (HR). Bayi mempunyai reflex baroreseptor yang immature
dan kemampuan kompensasi yang terbatas hanya dengan cara meningkatkan
denyut jantung (HR). Bayi dan anak mempunyai tonus vagus yang lebih
tinggi sehingga cenderung bradikardia. Penyebab utama bradikardia adalah
hipoksia dan stimulasi vagus.18
Systolic Diastolic Respiration
Age Heart Rate
Pressure Pressure Rate
Preterm >50 x/m
130-150 45 25
1000 gr
Newborn 110-150 60-75 27 35-50 x/m
6 months 80-150 95 45 30-50 x/m
2 years 85-125 95 50 25-32 x/m

18
4 years 75-115 98 57 16-19 x/m
8 years 60-110 112 60 16-19 /m

- Pengaruh suhu
Suhu bayi sangat dipengaruhi oleh suhu udara disekitanya, selama anestesi
tubuh menjadi poikilothermia (tidak adanya kemampuan tubuh mengatur
suhu tubuh sendiri), menyesuaikan diri dengan suhu disekitarnya karena pusat
pengaturan suhu di hypothalamus belum berkembang dengan baik, hal ini,
dapat menimbulkan bahaya hipotermia pada lingkungan yang dingin dan
hipertermia pada lingkungan yang panas.17
D. Persiapan prabedah pada anak
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kesulitan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan optimal.17
1. Penilaian pra bedah
- Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-
gatal atau sesak napas pasca bedah. Beberapa peneliti menganjurkan obat
yang menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya tidak digunakan
ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan,
suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga tidak
dianjurkan untuk diulang penggunaannya. Pada pasien pediatrik digunakan
teknik anamnesis aloanamnesis (anamnesis pada keluarga pasien).18
- Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, area dalam mulut, ukuran lidah yang relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Pada pasien dengan ukuran leher yang pendek juga
akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik

19
tentang keadaan umum tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.17
- Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan penyakit
yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan
(Hb, leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.2
- Puasa
Puasa, dengan aturan sebagai berikut :
Cairan jernih tanpa
Usia Susu formula/ASI
partikel
<6 bulan 4 jam 2 jam
6-36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 1 jam

E. Klasifikasi status fisik


Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan resiko anestesia, karena dampak
samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan.1
Kelas I Pasien sehat organik, fisiologik,
psikiatrik, biokimia.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik
ringan atau sedang.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik
berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Kelas IV Pasien dengan penyakit sistemik
berat tak dapat melakukan aktivitas
rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.

20
Kelas V Pasien sekarat yang diperkirakan
dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24
jam.

F. Stadium – stadium Anestesi


Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek ether. Ether merupakan zat
anestetik volatile yang poten dan digunakan luas pada zamannya. Selama masa
penggunaan ether yang cukup lama, dilakukan observasi dan pencatatan lengkap
mengenai anestesi yang terjadi. Klasifikasi Guedel dibuat oleh Arthur Ernest
Guedel pada tahun 1937, meliputi1,2:
1. Stadium 1: Stadium induksi. Ini adalah periode sejak masuknya obat
induksi hingga hilangnya kesadaran, yang antara lain ditandai dengan
hilangnya reflex bulu mata.
2. Stadium 2: Stadium eksitasi. Setelah kesadaran hilang, timbul eksitasi dan
delirium. Pernafasan menjadi irregular, dapat terjadi pasien menahan
nafas. Timbul gerak-gerakan involuntar, seringkali spastik. Pasien juga
dapat muntah dan ini dapat membahayakan jalan nafas. Stadium 2 adalah
stadium yang beresiko tinggi.
3. Stadium 3: Stadium pembedahan (surgical anestesi), dibagi atas empat
plana, yaitu:
- Plana 1: ventilasi teratur, mata terfiksasi.
- Plana 2: reflex cahaya menurun dsn reflex kornea hilang.
- Plana 3: reflex cahaya hilang, tonus otot makin menurun.
- Plana 4: ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat.
Pada stadium ini otot-otot akan relaks, pernafasan menjadi teratur.
Pembedahan dimulai.
4. Stadium 4: Stadium intoksikasi. Anestesi menjadi terlalu dalam. Terjadi
depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak.
Potensi bahaya yang demikian besar mendorong usaha-usaha untuk
memperbaiki teknik anestesi. Anestesi modern telah berkembang menjadi
prosedur yang mengutamakan keselamatan pasien.

21
E. Jenis – Jenis Obat Anestesi
1. Obat Anestesi Intra Vena
Anestesi intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan
sebagai rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk
membantu prosedur diagnostik misalnya thiopental, ketamin dan propofol,
untuk anestesi intravena total biasanya menggunakan propofol. Propofol
belum direkomendasikan penggunaanya untuk anak dibawah usia 4 tahun,
walaupun sudah banyak digunakan, bahkan pada neonatus, hampir semua
obat induksi intravena menyebabkan hipotensi, kecuali ketamin. Proporsi
curah jantung yang mencapai otak lebih besar pada neonatus dibandingkan
pada anak yang lebih besar, sehingga dosis untuk induksi intravena pada
neonatus menjadi lebih kecil. Fungsi ginjal dan hati yang belum sempurna
menyebabkan ekskresi obat lebih lambat sehingga interval dosis yang
diberikan harus lebih lambat untuk menghindari toksis.17

Dosis intra vena Dosis inisial (mg/kg) Laju infuse ug/kg/menit


Propofol 1-2 mg/kg 100-200 ug/kg/menit
Ketamin 1-2 mg/kg 25-100 ug/kg/menit
Midazolam 0,5-1 mg/kg PO atau PR
0,1-0,2 mg/kg IV atau IM
0,2 mg/kg intranasal
Diazepam 0,2 mg/kg PO atau PR
Thiopental 3,5 mg/kg

2. Obat Anestesi Inhalasi


Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O
dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N2O : O2 = 4 : 2. Aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol %,
dinaikkan secara bertahap 0,5 Vol % tiap 3-5 kali nafas sampai pasien
tertidur. 2
 Enfluran merupakan derivat eter (Kombinasi ikatan eter stabil
dengan halogen). Sifat enfluran yaitu berbau tajam, bentuknya cair
dalam suhu ruangan, berwarna jernih dan tidak mudah terbakar.

22
Enfluran dapat tunggal atau kombinasi dengan N2O, opioid. Sekitar
3% enfluran mengalami metabolisme oksidatif membentuk fluoride
inorganik dan senyawa fluoride organik. Efek pada Otak yaitu dapat
meningkatkan produksi CSF dan resistensi penyerapan CSF
sehingga ICP naik. Enfluran (>2 MAC) menimbulkan frekwensi
cepat & voltasi tinggi pada EEG yang disertai kejang tonik klonik
dari otot skelet wajah dan ekstremitas. Kontraindikasi pemberian
Enfluran yaitu gangguan ginjal, peningkatan ICP, gangguan
hemodinamik, hingga malignant hyperthermia.1
 Isofluran mempunyai sifat bau yang menyengat seperti eter. Tidak
mudah terbakar dan stabil seperti enfluran. efek pada kardiovaskuler
yaitu sedikit memiliki efek β-adrenergik. Kemudian efek pada
respirasi yaitu mengiritasi refleks saluran napas atas. Isofluran juga
merupakan bronkodilator yang baik. Efek pada otak yaitu ICP dapat
naik, apabila MAC > 1. Terjadinya peningkatan ICP dapat dicegah
dengan hiperventilasi (pemberiannya bersamaan). Kontraindikasi
pemberian isofluran adalah dapat menyebabkan hipovolemia berat.17
 Desfluran mempunyai struktur kimia yang mirip dengan isofluran.
Sifatnya bertekanan uap tinggi, masa kerjanya sangat pendek.
Kontraindikasi pemberian desfluran yaitu dapat menyebabkan
hipovolemia berat, dan dapat meningkatkan tekanan intra kranial.18
 Sevofluran mempunyai kelarutan dalam darah sedikit lebih besar
dari desluran (0,69). sifat sevofluran yaitu tidak berbau, MAC
rendah, sangat baik untuk induksi inhalasi dan recovery dari anestesi
lebih cepat. Efek pada kardiovaskuler yaitu depresi kontraktilitas
miokard minimal, kemudian Heart Rate sedikit meningkat, mulai
pada konsentrasi 1,5 MAC, sementara cardiac output relatif tidak
berubah. kemudian efek pada respirasi yaitu dapat menyebabkan
depresi pernapasan. pada otak dapat memberikan efek ICP dan CBF
yang sedikit meningkat, sementara aktifitas kejang tidak terjadi.
pada neuromuskuler, relaksasi otot baik. kontraindikasi pada
pemberian induksi sevofluran yaitu juga dapat menyebabkan

23
hipovolemia berat, riwayat atau dugaan malignant hyperthermia, dan
juga peningakatan Tekanan intra kranial. Ideal untuk intubasi pada
anak diinduksi menggunakan sevofluran sebab recovery pasca
anestesi lebih cepat. Selain itu, sevofluran lebih disenangi karena
pada penggunannya, pasien jarang batuk, walaupun diberikan
langsung dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %, seperti dengan
halotan konsentrasi dipertahankan sesuai dengan yang dibutuhkan.
Induksi dengan enfluran, isofluran, atau desfluran jarang dilakukan
karena pasien sering batuk dan waktu induksi lebih lama. Obat
anestesi inhalasi lebih cepat mencapai otak sehingga lebih mudah
untuk melakukan induksi anestesi, begitu pula dengan waktu pulih
yang lebih cepat. Nekrosis sel hati setelah anesthesia dengan halotan
mungkin saja terjadi, tetapi mekanismenya belum jelas.1,2
3. Obat Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot
depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif,
takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat menyerupai
asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor asetilkolin dan
membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat ini tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak
menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi di
motor-end plate. Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak
dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase.
Efek obat pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya,
metabolisme, ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya
(kolinesteraseinhibitor).18
1. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah
sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan
cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai
dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk

24
golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan
dekametonium.1,2
a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)
Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung.
obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of
action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin
memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini
sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang
dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction. Duration of
action akan memanjang pada dosis besar atau dengan
metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendahnya level
pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini
ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan
beberapa terapi obat.1,2
1). Interaksi obat
a) Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block
pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu
dengan menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin
akan semakin banyak, maka depolarisasi akan
meningkatkan depolarisasi. Dan juga akan menghambat
pseudokolinesterase.1
b) Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot
nondepolarisasi merupakan antagonis dari fase I bock
pelumpuh otot depolarisasi, karena menduduki reseptor
asetilkolin sehingga depolarisasi oleh suksinilkolin sebagian
dicegah.2
2). Dosis
Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang
pendek, banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin

25
masih merupakan pilihan yang baik untuk intubasi rutin pada
dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.1
3). Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac
arrest pada anak dengan miopati tak terdiagnosis,
suksinilkolin masih dikontraindikasikan pada penanganan
rutin anak dan remaja. Efek samping dari suksinilkolin
adalah:
 Nyeri otot pasca pemberian
 Peningkatan tekanan intraocular
 Peningkatan tekakanan intracranial
 Peningkatan kadar kalium plasma
 Aritmia jantung
 Salivasi
 Alergi dan anafilaksis
2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
a. Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan.
Memiliki efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga
dosis rumatan harus dikurangi dan selang waktu diperpanjang.
Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB intravena pada
dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi
trakea 0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4
mg pavulon.17
b. Atracurium
1) Struktur fisik
Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang
berasal dari tanaman Leontice Leontopeltalum.
Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah,
tidak bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak
mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.1

26
2) Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi
intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-
20 menit. Infuse 5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan
bolus. Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan
dewasa. Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan
dalam suhu 2-8OC, potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila
disimpan pada suhu ruangan. Digunakan dalam 14 hari bila
terpapar suhu ruangan.1,2
3). Samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
c. Vekuronium
1). Struktur fisik
Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang
berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik
ini tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang
dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.17
2). Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka
panjang dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena
akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau
terjadi polineuropati. Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi
kortikosteroid yang lama dan sepsis. Efek pelemas otot
memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas otot
memperpanjang penggunaan.1,2
3). Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01
mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit. Umur
tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada
pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.1,2

27
d. Rokuronium
1). Struktur Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih
cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal,
sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan
efek kerja yang lebih lama.17
2). Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi
tidak terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh
kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka
panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong
durasi.17
3). Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya.
0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus
untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit
setelah intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk
anak kecil) adekuat pita suara dan paralisis diafragma untuk
intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit dapat kembali sampai
1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang
pada pasien orang tua.18
4). Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya
mahal. Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk
prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.17
4. Obat Analgetik Opioid pada Bayi dan Anak
Neonatus lebih sensitive terhadap analgetik opiod karena pusat
pernapasan yang belum matur, sehingga dapat meningkatkan resiko
terjadinya sleep apnoe, bersihan morfin pada anak lebih panjang 4 kali
lipat dibandingkan dewasa. Albumin dan 1 acid glycoprotein adalah dua

28
protein utama yang mengikat opioid. Kedua protein ini mengalami
perubahan jumlah dan kematangan sesuai dengan penambahan usia.1,2
Sering terjadi bradikardia dan hipotensi pada pemberian opioid
(dose dependent), dapat terjadi kekakuan dinding dada, terutama pada
penggunaan fentanil, efek samping opioid, seperti depresi pernapasan
dan sedasi sering terjadi pada bayi. Pemberian morfin melalui intratekal
atau epidural harus diawasi dengan ketat.1
1. Fentanil
a. Dosis
Penderita yang belum pernah menerima analgesik opioid kuat;
dosis awal; satu patch '25 mcg/jam' diganti setelah 72 jam;
penderita yang pernah menerima analgesik opioid; dosis awal
didasarkan kebutuhan opioid dalam 24 jam sebelumnya (morfin
sulfat oral 90 mg per 24 jam- satu tapel '24 mcg/jam'; lihat
lembaran informasi untuk perinciannya); pada anak tidak
dianjurkan. Catatan: Bila baru mulai menggunakan Durogesic
penilaian efek analgesiknya jangan dilakukan sebelum cara ini
dipakai selama 24 jam (untuk menaikkan kadar plasma fentanil
sedikit demi sedikit) pemberian analgesik sebelumnya
sebaiknya dihentikan bertahap sejak aplikasi tapel yang
pertama; penyesuaian dosis umumnya dilakukan setiap 72 jam
dengan '25 mcg/jam'. Boleh dipakai lebih dari satu tapel
sekaligus bila dosis lebih besar dari '100 mcg/jam' (tetapi
tempelkan pada saat yang sama supaya tidak bingung)
pertimbangkan pengobatan analgesik tambahan/ alternatif bila
dosis yang dibutuhkan melebihi 300 mcg/jam (penting:
mungkin diperlukan 17 jam/ lebih untuk berkurangnya kadar
fentanil sebanyak 50%; karena itu pengobatan opioid pengganti
sebaiknya dimulai dengan dosis rendah; dinaikkan sedikit demi
sedikit).17

29
2. Morfin
Dosis
Pada Usia 1 bulan 150 mcg/kgBB, usia 1-12 bulan 200 mcg/kgBB,
usia 1-5 tahun 2,5 - 5 mg/kgBB. Usia 6-12 tahun 5-10 mg/kgBB;
dosis tunggal maksimal yaitu 15 mg. cara pemberian morfin bisa
melalui injeksi Subkutan/intramuscular, maupun intravena yang
disuntikkan secara perlahan-lahan. dosisnya seperempat hingga
setengah dosis intramuskular. Catatan: selama pasca bedah, pasien
sebaiknya dimonitor secara saksama pada penghilangan rasa
nyerinya juga efek samping yang mungkin timbul, terutama
penekanan pernapasan.1
5. Mekanisme Kerja Obat Analgetik
Obat analgetik pada dasarnya terbagi dua, yaitu yang bekerja
diperifer dan yang bekerja di sentral. Golongan obat AINS (anti inflamasi
non seroid) berkerja diperifer dengan cara menghambat pelepasan
mediator sehingga aktivitas enzim siklooksigenase terhambat dan sintesa
prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan opioid, bekerja disentral dengan
cara menempati reseptor di kornus dorsalis medula spinal sehingga terjadi
penghambatan pelepasan transmitter dan perangsangan ke saraf spinal
tidak terjadi.2
6. Mekanisme Kerja Opioid
Ada empat tempat yang telah diidentifikasi dimana opioid dapat
bekerja untuk menghilangkan nyeri. Ketika morfin atau jenis opioid lain
diberikan kepada pasien maka terjadi:
1. Aktivitasi reseptor opioid di midbrain dan “turning on” sistem
desending (melalui disinhibisi).
2. Aktivitas reseptor opioid pada trasmisi sel second-order untuk
mencegah transmisi ascending dari sinyal nyeri.
3. Aktivitas reseptor opioid di sentral terminal C-fiber di medulla
spinalis, mencegah pelepasan neurotranmiter nyeri.
4. Aktivasi reseptor opioid di perifer untuk menghambat aktivitas
dari nosiseptor yang dapat melepaskan mediator inflamasi.

30
Ketamin dinyatakan dalam stoelting tahun 2006 dapat beriteraksi
dengan reseptor opioid yaitu Mu, delta, sigma dan kappa. Ketamin sebagai
non kompetitif antagonis reseptor NMDA (N-Methyl D-Aspartat)
berperan dalam menghambat sentisisasi sentral. Pada proses sensitisasi
sentral, salah satu yang berperan sebagai neurotransmitter eksitatori.
Melengketnya glutamate di membran post sinaps akan menyebabkan
transmisi implus saraf dan menyebabkan saraf turun ambang nyerinya.
Keadaan menyebabkan timbulnya allodinia dan hiperalgesia. Ketamin
akan menduduki reseptor NMDA dan bukannya glutamate, sehingga
mengurangi fase awal dari sensitisasi sentral.1,2
G. Premedikasi pada Bayi dan Anak
Tujuan utama melakukan premedikasi pada anak adalah untuk
memberikan kenyamanan kepada pasien, sehingga kecemasan pada saat
induksi anesthesia berkurang, kecemasan sebelum induksi anesthesia dapat
berakibat meningkatnya kadar hormon stress dan dapat menyulitkan proses
induksi anestesi. Bayi berusia kurang dari 6 bulan dapat dipisahkan dengan
mudah dari orang tunya, hanya dengan membuat lingkunganya senyaman
mungkin, seperti diberi selimut atau boneka yang lembut, atau dibiarkan
memakai ‘empeng’. Bayi diatas 6 bulan sampai usia toddler membutuhkan
premedikasi untuk memudahkan pemisahan dengan orang tua, begitu juga
dengan anak yang sudah berkali-kali masuk rumah sakit atau anak dengan
gangguan komunikasi. Berbagi cara dapat dilakukan sebagai premedikasi,
mulai dari kehadiran orang tua saat induksi, premedikasi tanpa obat,
maupun dengan obat. Obat premedikasi yang dapat diberikan juga
bermacam-macam. Yang paling sering digunakan adalah midazolam,
ketamin dan klonidin, dengan cara pemberian yang juga berbeda-beda.
Keputusan untuk menggunakan teknik premedikasi tertentu harus
berdasarkan kebutuhan individual pasien, orang tua dan dokter
anestesiologi. Premedikasi tidak diberikan pada kondisi sebagai berikut17:
- Kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi.
- Pasien sakit kritis.
- Pasien dengan resiko besar terjadi aspirasi atau regurgitasi isi lambung.

31
H. Tatalaksana Jalan nafas pediatric17
 Pengetahuan mengenal anatomi dan fisiologi jalan napas pediatric
merupakan hal yang wajib diketahui sebelum melakukan tatalaksana
jalan napas pada pasien anak.
 Kebanyakan obstruksi jalan napas pada bayi dan neonatus terjadi karena
kesalahan memosisikan leher dan kepala. Fisiologi pernafasan juga tidak
sama dengan pasien ini.
 Laju metabolisme yang tinggi, cadangan O2 yang rendah dibandingkan
dengan berat badannya serta kesulitan dalam memberikan praoksigenasi
yang optimal sering menyebabkan desaturasi pada saat induksi anastesia
pada pasien anak, terutama bayi dan neonatus.
 Evaluasi jalan nafas harus dilakukan sebelum melakukan tindakan
anesthesia atau prosedur sedasi pada anak, yang mencakup anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
 Jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Banyak
gangguan kongenital pada anak yang berhubungan dengan kesulitan
dalam tatalaksana jalan nafas. Riwayat infeksi, trauma, inflamasi dan
neoplasma pada saluran jalan nafas harus ditanyakan pada saat
melakukan anamnesis.
 Adanya suara nafas tambahan pada saat tidur, perubahan posisi untuk
bernafas, riwayat batuk dan sianosis serta riwayat kesulitan intubasi
sebelumnya merupakan faktor yang dapat memprediksi terjadinya
kesulitan.
Hal penting dalam tatalaksana jalan nafas pada anak adalah memosisikan
tubuh pasien :
 Saat melakukan induksi anesthesia, posisikan pasien pada posisi bernafas
paling nyaman. Hal itu karena tubuh dan sistem pernapasan pasien sudah
beradaptasi dengan kondisi pasien.
 Posisi sniffing akan menjaga potensi dari struktur nasofaringeal menjadi
lebih terbuka.
 Posisikan kepala dan leher dengan menggunakan linen gulung dibawah
bahu pasien. Ganjal bahu efektif membuka sudut laring (laryengeal angel

32
= LA), sudut faring (pharyngeal angel = PA), dan sudut bukaan mulut
(oral angel = OA), sehingga memudahkan visualisasi laring.
 Mengangkat mandibula (Jaw Thrust) pada anakk terbukti sangat efektif
dalam membuka jalan nafas. Dengan mengangkat mandibula, glotis akan
lebih terbuka sehingga mulut laring dan faring akan lebih besar. Hal itu
akan memperbaiki ventilasi dan tanda klinis.
 Mengangkat mandibula (Jaw thrust) juga dapat menurunkan patensi jalan
nafas jika terdapat masa jaringan lunak bilateral pada daerah sub dan
retromandibular, sehingga dapat terjadi obstruksi jalan nafas supraglotis
total atau parsil.
7. Pipa trakea (endotracheal tube)
Pipa endotrakea (ETT) yang digunakan untuk anak yang berumur <8
tahun, adalah pipa endotrakea tanpa kaf (balon) dan yang terbuat dari
plastik atau polivinil dan usahakan ukuran pipa agak sedikit longgar.
Ukuran diameter pipa untuk anak diatas 1 tahun ditentukan dengan formula
= 1/n + 4,5 (n dalam tahun).1
Pada neonatus, besarnya diameter EET yang ditentukan sebagai
berikut:
Berat badan Umur kehamilan Diameter PET
<1000 gr < 28 minggu 2,5 mm
1000-2000 gr 28-34 minggu 3,0 mm
2000-3000 gr 34-38 minggu 3,5 mm
>3000 gr > 38 minggu 3,5-4,0 mm

8. Laringoskopi dan intubasi


Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru.Laringoskop
merupakan alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung
supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara
garis besar dikenal dua macam laringoskop2:
1. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.
2. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.

33
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka
maksimal dan lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi
menjadi 4 gradasi.1

Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle


1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -

- Indikasi intubasi trakea


Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi
sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut1:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan
dengan efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

34
- Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
- Komplikasi intubasi
2. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Aspirasi
3. Setelah ekstubasi
a. Aspirasi
b. Gangguan fonasi
c. Edema glottis-subglotis
d. Infeksi laring, faring, trakea
- Ekstubasi
1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:
a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret
dan cairan lainnya.
I. Cairan Perioperatif dan Tranfusi Darah pada Pediatri
Terapi cairan perioperatif digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:
penggantian kekurangan cairan yang terjadi sebelum operasi, pemberian cairan
rumatan dan penggantian kehilangan selama operasi.1
Tujuan pemberian cairan2:
1. Menggantikan kehilangan/defisit.
2. Kebutuhan rumatan.

35
3. Mencukupi volume cairan untuk mempertahankan perfusi jaringan yang
adekuat.
Pemberian tranfusi darah pada neonatus atau bayi, harus didasari oleh
indikasi yang jelas, mempergunakan nilai batas toleransi hematokrit yang
optimal sesuai dengan umur pasien. Hendaknya nilai hematokrit diperiksa
sebelum operasi dan selanjutnya periksa ulang secara periodik selama operasi
berlangsung, sesuai dengan indikasi.1,2
1. Kebutuhan cairan pengganti defisit sebelum operasi
Rehidrasi dapat ditemui pada kondisi klinis yang umum, seperti muntah,
diare atau demam. Derajat dehidrasi dapat diperhitungkan berdasarkan
tanda klinis dan hanya memberikan prediksi kekurangan cairan. Pada
dehidrasi ringan, tanda atau gejala klinis yang berguna adalah rewel,
gelisah, rasa haus dan mukosa yang kering. Pada dehidrasi sedang tanda
tambahan yang lain adalah takipnoe, kulit dingin, akral pucat, turgor kulit
yang menurun, dan mata tampak cekung. Pada dehidrasi berat tanda atau
gejala tambahan lain adalah kondisi umum lemah, letargis/tidak sadar,
nafas cepat dan dalam, mata semakin cekung dan turgor kulit yang
semakin menurun.18
a. Kehilangan darah yang massif
Perdarahan yang banyak (syok hemoragic) akan menyebabkan
gangguan pada fungsi kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena
perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan demikian,
memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat
dilakukan dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah.
Untuk perbaikan sirkulasi, langkah utamanya adalah mengupayakan
aliran vena yang memadai. Kelebihan cairan kristaloid yaitu dapat
pindah menembus membran semipermeabel secara bebas.
kandungannya adalah air dan berbagai elektrolit yang sifatnya isotonik
dengan cairan ekstrasel. Sebelumnya, ambil darah ± 10 ml untuk
pemeriksaan laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross
test. Jika hemoglobin rendah maka cairan pengganti yang terbaik adalah
tranfusi darah. Terapi awal pasien hipotensi adalah cairan resusitasi

36
dengan memakai larutan Ringer Laktat. Secara umum, larutan ringer
memiliki efikasi yang sama dengan larutan salin, tetapi larutan ringer
memilliki keuntungan berupa kandungan natrium dan klorida yang
lebih sedikit serta adanya kalium, magnesium, dan kalsium.1
 EBV (Estimated Blood Volume)
Premature : 100 - 120 cc/kgBB
Neonatus : 80 - 90 cc/kgBB
Infant (umur 3 - 12 bulan) : 75 - 80 cc/kgBB
Dewasa Pria : 70 cc/kgBB
Dewasa Wanita : 65 cc/kgBB
2. Kebutuhan cairan rumatan
Kebutuhan cairan rumatan dihitung berdasarkan rekomendasi dari
holliday dan segar (rumus 4:2:1) untuk anak dan bayi berusia lebih dari 4
minggu, menggunakan berat badannya. Neonatus aterm > 36 minggu usia
kehamilan, kebutuhan cairan rumatan dikurangi pada hari-hari pertama
pasca kelahiran bayi normal akan kehilangan cairan hingga 10-15% berat
badannya pada masa ini. Kebutuhan cairan rumatan harus ditambah pada
anak dengan demam, keringat yang banyak, status hipermetabolik, seperti
luka bakar atau pada penggunaan penghangat dan fototerapi.2

Holliday dan segar 1957 100cc/kg/24jam BB <10 kg


(untuk 24 jam) +50cc/kg/24jam BB 10-20 kg
+20cc/kg/24jam BB > 20 kg
Rumus 4-2-1 10kg pertama
(kebutuhan perjam) 4cc/kg/jam
10-20 kg 2cc/kg/jam
>20cc/kg/jam
Kebutuhan elektrolit Na : 3mmol/kg Dihitung dari jumlah
K : 2mmol/kg elektrolit yang
terkandung dalam
setiap cc ASI

37
Anestesi umum akan menurunkan kebutuhan kalori hingga mendekati laju
metabolisme basal. Selama operasi, hampir semua anak tidak membutuhkan
cairan yang mengandung dekstrosa, kecuali pada keadaan1:
1. Neonatus berusia sampai 48 jam.
2. Bayi prematur dan matur yang sudah diberikan cairan yang
mengandung dekstrose atau dalam terapi nutrisi parenteral sebelum
operasi, harus dilanjutkan pemberian dektrose atau nutrisi parenteral
selama operasi, atau diperiksa kadar gula darahnya secara berkala
sepanjang operasi.
3. Pada bayi dan anak yang lebih muda, dapat diberikan cairan yang
mengandung dektrose 1% atau 2% dalam larutan ringer.
4. Anak dengan berat badan yang lebih rendah atau menjalani operasi
yang panjang harus menerima cairan rumatan yang mengandung
dekstrose (1-2,5% dekstrose) atau diperiksa kadar gula darahnya
secara berkala sepanjang operasi.
5. Anak yang mendapatkan analgesia regional dengan respon stress yang
berkurang harus menerima cairan rumatan yang mengandung
dekstrosa (1-2,5% dekstrosa) atau diperiksa kadar gula darahnya
secara berkala sepanjang operasi.
4. Pengganti kehilangan cairan intraoperative
Terapi cairan intraoperatif meliputi kebutuhan cairan dasar dan
penggantian defisit cairan preoperatif seperti halnya kehilangan cairan
intraoperatif (darah, redistribusi dari cairan, dan penguapan). Pemilihan
jenis cairan intravena tergantung dari prosedur pembedahan dan perkiraan
kehilangan darah. Pada kasus kehilangan darah minimal dan adanya
pergeseran cairan, maka maintenance solution dapat digunakan. Untuk
semua prosedur yang lain cairan Ringer Laktat biasa digunakan untuk
pemeliharaan cairan. Pada kehilangan darah dapat diganti dengan transfusi
sel darah merah. Transfusi dapat diberikan pada kadar Haemoglobin 7-8
g/dL, kadar hematokrit 21 - 24%. Produk darah pengganti yang dapat
diberikan sebagai berikut17:

38
- 10 cc/kg PRC akan meningkatkan kadar hematokrit sampai dengan
3-4%.
- 10-20 cc/kg FFP diberikan jika terjadi perdarahan akut.
- 1 mL FFP mengandung 1 unit factor aktivasi pembekuan darah.
- Pemberian faktor VIII sebanyak 1 unit/kg akan meningkatkan kadar
dalam plasma sebanyak 2%.
- Setiap unit trombosit mengandung sedikitnya 5,5 x10 trombosit
dalam 50-70 mL cairan plasma, dan dapat diberikan sebanyak 1
unit/10 kg atau 20 mL/kg.
Perhitungan jumlah darah yang akan ditranfusikan berdasarkan
persamaan :
𝐛𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐛𝐚𝐝𝐚𝐧 (𝐊𝐠) 𝐱 𝐩𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐇𝐛 ( 𝐠𝐫/𝐝𝐥)𝐱 𝟑
𝐤𝐚𝐝𝐚𝐫 𝐡𝐞𝐦𝐚𝐭𝐨𝐤𝐫𝐢𝐭
.

Persamaan ini memprediksi bahwa dengan standar hematokrit


10cc/kg darah akan meningkatkan kadar hemoglobin sebesar
2g/dL. Pemberian harus hati-hati jangan sampai terjadi
hipervolumia.1,2
- Monitoring perianestesi
Pemantauan tanda – tanda vital merupakan proses pengamatan yang
dilakukan untuk mengetahui adanya penyimpangan dan fungsi yang
normal sedini mungkin agar dapat diambil tindakan yang cepat dan
tepat. Selama anestesi, anestesi yang terlalu dalam, gangguan
pernapasan, gangguan sirkulasi dan fungsi alat anestesi yang tidak
sempurna dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Tiga hal
yang harus diamati selama anestesi dan pasca tindakan bedah yaitu
pernapasan, sirkulasi darah dan kesadaran.17
J. Tatalaksanaan pasca anestesi
Pasien sebelum dapat sadar kembali pasca anestesi, secara rutin
dikelola di kamar recovery room (RR) atau unit perawatan pasca anestesi.
Ideal ketika bangun dari anestesi terjadi secara bertahap, tanpa keluhan dan
mulus, tetapi sering dijumpai beberapa hal yang tidak menyenangkan akibat
stress pasca bedah atau pasca anesthesia yang berupa gangguan napas,

39
gangguan kardiovaskuler, gelisah, nyeri, mual-muntah, menggigil dan
kadang-kadang perdarahan.18
1. Pengelolaan di ruang resusitasi1
Steward Score (anak)
Gerak bertujuan 2
Pergerakan Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0
Batuk, menangis 2
Pernafasan Pertahankan jalan nafas 1
Perlu bantuan 0
Menangis 2
Bereaksi terhadap 1
Kesadaraan
rangsangan
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah skor > 5, maka pasien bisa dipindahkan ke ruangan.
 Prosedur Tindakan pada pediatric pasca anestesi17
1) Observasi tanda vital di kamar pemulihan (Recovery Room/RR)
2) Selama masih dalam kondisi terintubasi, penderita diawasi ketat oleh
perawat atau dokter anestesi
3) Alat suction dapat disiapkan untuk mengantisipasi aspirasi
4) Dapat diberikan terapi oksigen
5) Berikan analgesia
6) Pendertita diposisikan miring (stable side position) agar sekret atau sisa
darah mengalir keluar
7) Pertahankan suhu tubuh
8) Selama diruang pemulihan (Recovery Room/RR) penderita dapat
didampingi oleh orang tuanya

40
Tabel 1. NIPS (Neonatal Infant Pain Scale)17

Interpretasi:
Skor 0 : tidak perlu intervensi
Skor 1-3 : intervensi non-farmakologis
Skor 4- 5 : terapi analgetik non-opioid
Skor 6-7 : terapi opioid

41
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


Nama : By. Ny. E. M. D.
Umur : 2 hari
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Katolik
Suku : Papua
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Berat badan : 2180 gram
Panjang Badan : 45 cm
Lingkar Kepala : 31 cm
Golongan Darah : A (Rh +)
Alamat : Perumnas I
Masuk rumah sakit : 9 Juni 2019
Keluar rumah sakit :-

3. 2 Anamnesis (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama : Edema Scrotum kanan dan kiri serta cairan lambung
warna hijau.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Bayi lahir spontan tanggal 09 Juni 2019 pukul 03.27 di RSUD DOK II
Jayapura, umur kehamilan 32 minggu (HPHT: 28-10-2018; TP: 4-8-2019).
Ditolong bidan, BBL 2500 gr, PB 45 cm. Apgar score menit pertama 5 dan
menit kelima 6. Pasien dirawat di Ruang NICU Perinatologi dengan indikasi
prematur dan mekoneal. Sesak (+), Retraksi (+), demam (-), kuning (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat diabetes melitus : disangkal
- Riwayat Penyakit kardiovaskular : disangkal
- Riwayat Penyakit Pernapasan : disangkal

42
(Asma, TBC)
- Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
- Riwayat Obat yang diminum : disangkal
- Riwayat Anestesi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
5. Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : disangkal
- Riwayat alergi minuman : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak tenang
Kesadaran : Composmentis
Panjang Badan : 45 cm
Berat Badan : 2180 gram

Tanda-tanda Vital
 Nadi : 147 x/menit
 Respirasi rate : 50 x/menit
 Suhu badan : 37,4 0C
 Saturasi Oksigen : 99%

Kepala : Normocephal, jejas (-), oedema (-)


Mata : Sekret (-/-), Conjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-).
Hidung : Pernafasan cuping hidung (+), Deformitas (-), sekret (-),
perdarahan (-),

43
Telinga : Sekret (-), darah (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), Mallampati tidak
dinilai
Thorax
 Paru-paru
Inspeksi : Simetris, ikut gerak nafas, retraksi dinding dada (+),
jejas (-)
Palpasi : tidak bisa dinilai
Perkusi : Sonor pada paru kanan dan kiri
Auskultasi : Suara nafas dasar : bronkovesikuler, Suara tambahan :
wheezing (-/-), ronkhi(-/-)
 Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga ke V, 1 cm ke medial
linea mid clavicularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak
melebar.
Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternalis kiri
Pinggang : ICS III linea parasternalis kiri
Batas kiri : ICS V 2 cm ke lateral linea
midclavicularis kiri
Batas kanan : ICS V linea parasternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung
Auskultasi : Peristaltic (+) normal 4x / menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) , turgor kulit normal, massa (-)
Hepar : tidak dapat dievaluasi
Lien : tidak dapat dievaluasi
Perkusi : Timpani.

44
Ekstremitas
Superior : Akral teraba hangat, kering, merah, sianosis (-/-),
oedem (-/-), ikterik (+), CRT < 3”
Inferior : Akral hangat (+), sianosis (-/-), oedem (-/-), ikterik (+),
CRT < 3”
Genitalia Eksterna : Skrotum oedem (+) Dektra et Sinistra
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 09 Juni 2019
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Hematologi rutin
Hb 17,8 g/dL 11.0 – 16.5
Hct 51,1 % 41.3 – 52.1
RBC 4.48 x 106/uL 3.69 – 5.46
WBC 7.64 x 103/uL 3.37 – 8.38
PLT 186 x 103/uL 140 – 400
Hitung Jenis Leukosit
Sel Basofil 0.0 % 0.3 – 1.4
Sel Eosinofil 5.1 % 0.6 – 5.4
Sel Neutrofil 34.2 % 39.8 – 70.5
Sel Limfosit 53.1 % 23.1 – 49.9
Sel Monosit 7.6 % 4.3 – 10.0
Kimia Darah (10-06-2019)
Albumin 3.5 g/dl 3.5 – 5.2
Natrium Darah 139.90 mEq/L 135 – 148
Kalium Darah 5.08 mEq/L 3.50 – 5.30
CL Darah 115.40 mEq/L 98 – 106
Calcium Ion 1.03 mEq/L 1.15 – 1.35
Kimia Darah (11-06-2019)
Bilirubin Total 12.10 mg/dL 0.20 – 1.000
Bilirubin Indirek 11.27 mg/dL 0.00 – 0.70
Bilirubin Direk 0.83 mg/dL ≤ 0.2

45
Foto Thorakoabdominal

3.5 Diagnosa
- NKB/SMK/Spontan, letak kepala + mekoneal
- RD e.c susp. MAS
- Asfiksia ringan-sedang
- Edema scrotum e.c susp hernia inkarserata
3.6 Penatalaksanaan
- Hangatkan
- Perawatan rutin
- Perawatan tali pusat

46
- O2 CPAP PEEP 7, Flow 7, FiO2 100%
- Kebutuhan cairan = 100 x 2.18 = 218 cc/24 jam
- Infus Aminofluid 88 cc. 3.6 cc/jam
- Infus Cadex 202 cc. 8.4 cc/jam
- Inj. Ampisilin 125/12 jam (H2)
- Inj. Gentamisin 12.5 mg/36 jam
- Puasa
- Konsul bedah
- Foto thoraks
- Periksa bilirubin total-direk, gol. darah
3.7 Konsultasi Terkait

Konsultasi Bagian Bedah


 Operasi Cito
Konsultasi Bagian Anestesi
11 Juni 2019, advice:
 Inform consent
 SIO
 Puasa 4 jam pre operasi
 Pasang IVFD D5 ½ NS per 8jam
3.8 Penentuan PS ASA / Status Anestesi

PS. ASA : PS ASA II - E {pasien dengan penyakit sistemik ringan – sedang


yang tidak mengganggu aktivitas fungsional. Tanda E (emergency/darurat)}.
3.9 Status Anestesi
Pesiapan Anestesi:
- Informed consent
- SIO
- Puasa 4 jam
- Pasang IV line dan pastikan IV line mengalir dengan lancar, ganti baju,
transportasi, pasang monitor dan dilaporkan ke Supervisor.

47
3.10 Persiapan Anestesi

Hari/Tanggal : Selasa, 11 Juni 2018


Persiapan
: Inform consent (+), SIO (+), puasa (+)
Operasi
Makan/Minum
: 4 jam sebelum operasi
Terakhir
BB/PB : 2180 gram / 45 cm
TTV di Ruang Nadi: 130 x/m, reguler, kuat angkat, terisi penuh;
:
Operasi respirasi: 50x / menit; suhu badan:36,6 oC
SpO2 : 99%
Diagnosa Pra
Bedah : Hernia inguinalis lateralis dextra inkarserata

Airway:

Jalan napas bebas, terpasang O2


nasal 2-3 lpm dengan T-Piece
Look : resusitator, PEEP 7 mmHg,
Mallampati Score: tidak dapat
dinilai
Terasa hembusan nafas pasien di
Feel :
pipi pemeriksa.
Listen : Terdengar hembusan napas pasien,
B1 :
Breathing:
Gerak dinding dada simetris,
Inspeksi : retraksi sela iga (+), frekuensi
napas: 50 kali/menit
Vocal fremitus dextra/sinistra tidak
Palpasi :
dapat dinilai
Perkusi : Sonor (+/+)
Suara nafas vesikuler (+/+), suara
Auskultasi
: rhonki (-/-),
suara wheezing (-/-).
Akral: teraba hangat, kering, warna:
merah muda, Capillary Refill Time<
Perfusi : 3”
Nadi: 130x/m, reguler, kuat angkat,
terisi penuh
B2 : Jantung:
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

48
Batas atas : ICS II linea
parasternalis sinistra
Pinggang : ICS III linea
parasternalis sinistra
Perkusi :
Batas kiri : ICS V 2 cm ke medial
linea midclavicularis sinistra
Batas kanan : ICS V linea
parasternalis dextra
Bunyi jantung I-II, regular,
Auskultasi :
murmur(-), gallop (-)
Compos Mentis
Riwayat kejang (-), riwayat pingsan
B3 : Kesadaran : (-)
Pupil: bulat, isokor, ϴ ODS 3 mm,
refleks cahaya (+/+)

Tidak terpasang kateter, produksi urin (+), warna


B4 :
jernih

Inspeksi : Tampak Cembung


Supel (+), nyeri tekan epigastrium (-
), nyeri tekan hipokondrium kanan
Palpasi :
B5 : (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar.
Perkusi : Tymphani.
Auskultasi : Bising usus (+), 2-4 kali/menit
Akral teraba hangat, kering dan merah, Capillary
B6 :
Refill Time < 3”, Edema pada skrotum (+).

49
3.11 Laporan Durante Operasi

a) Laporan Anestesi

Ahli Anestesiologi : dr. A. C, Sp.An, M.Kes


Ahli Bedah : dr. E.A, Sp.B
Jenis Pembedahan : Hernia Repair
Lama Operasi : 12.25-13.20 WIT
Jenis Anestesi : General Anestesi Cuff
Anestesi dengan : Sevoflurance + O2
 Premedikasi
 Preoksigenasi ±5menit
Teknik Anestesi :
 Induksi
 Medikasi
Pernafasan : Spontan dengan O2 masker
Posisi : Supine
Infus : D5 10%
Penyulit Pembedahan : (-)
Obat yang digunakan
Midazolam 0.15 mg
Premedikasi :
Sulfat Atropin 0.125 mg
Ketamin 2 mg
Induksi dan Maintenance :
Sevofluran 1.5%
Medikasi Durante Operasi : Paracetamol 20 mg
Perfusi: dingin, basah, merah
CRT< 3”
Tanda-tanda vital pada akhir
: Nadi : 140x/m
pembedahan
RR : 35x/m
SpO2 : 100% dengan kanul O2 masker

50
3.12 Laporan Operasi
Nama Pasien : By. Ny. E.M.D
Umur : 2 hari
Nomor DM : 46 01 32
Nama Ahli Bedah : dr. E.A, Sp.B
Nama Asisten : dr. T. I
Nama Perawat : Br. V.
Nama Ahli Anestesi : dr. A.C,Sp.An, M.Kes
Jenis Anastesi : Anestesi umum
Diagnosis Pre Operatif : Hernia inguinalis lateralis dextra inkarserata
Diagnosis Post Operatif : Hernia inguinalis lateralis dextra inkarserata
Tanggal Operasi : 11 Juni 2019
Jam mulai operasi : 12.20 WIT
Jam selesai operasi : 13.20 WIT
Lama operasi : 60 menit
berlangsung
Laporan Operasi:
1. Penderita dalam posisi supine dalam stadium anestesi umum.
2. Dilakukan prosedur asepsis – antisepsis.
3. Dilakukan insisi inguinal, diperdalam lapis demi lapis sampai dengan

kantong hernia, buka kantong hernia, didapatkan ileum ±20 cm.

Vaskularisasi baik.
4. Reduksi isi hernia, dilakukan ligasi tinggi.
5. Kontrol perdarahan, tutup luka operasi lapis demi lapis. Operasi selesai.

51
3.13 Diagram observasi

Observasi Durante Operasi


142

140

138
Observasi /5 menit

136

134
Nadi
132

130

128

126
12:20 12:35 12:50 13:05 13:20

3.14 Intruksi post operasi


1. Observasi keadaan umum, nadi, pernafasan, suhu, saturasi O2 dan
perdarahan.
2. Cek Hb Post operasi < 8 g/dl transfuse PRC s/d Hb > 10 g/dl
3. IVFD D 10% 9 cc/jam
4. Antibiotik sesuai TS Anak
5. Program cairan sesuai TS Anak
6. Inj. Parasetamol 3 x 20 mg
7. Bila sadar penuh, residu NGT minimal > Diet ASI

52
3.15 Terapi Cairan

Cairan Yang Dibutuhkan Aktual


PRE OPERASI
1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/24 jam Input : D 10% 150 cc
= 2.18 kg x 100 cc/24jam Output : urin ± 80 cc
= 218 cc/24jam (Holiday segar) IWL = 26 cc/kgBB/hari
2. Kebutuhan per jam = 218 cc/24 Jam = 26 cc x 2.18 kg/ = 56.68
= 9 cc/jam cc/hari
3. Perdarahan = -
4. Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa 12 jam:
9 cc x 12 jam = 108 cc

DURANTE OPERASI
Kebutuhan Operasi Selama 60 Menit Input :
1. Maintenance = BB x Kebutuhan cairan/jam D 10% 12 cc
= 2.18 kg x 100 cc/24jam
= 218 cc/24jam Output :
2. Kebutuhan perjam = 218 cc/24 Jam = 9 cc/jam Urine = -
Kebutuhan cairan durante operasi selama 60 menit Suction : -
= 9 cc/jam Kasa kecil (1) = 10 cc
Stress Operasi Total Perdarahan = 10 cc
Jenis Operasi Kebutuhan Cairan
selama Operasi
Ringan 4 cc/kgBB/jam
Sedang 6 cc/kgBB/jam
Berat 8 cc/kgBB/jam
Operasi Ringan = 4 cc x 2.18 kg/jam = 8.72 cc/jam
3. Replacement
Perdarahan : ± 10 cc (1 kasa kecil)

53
EBV = 85 cc x BB (neonatus)
= 85 cc x 2.18 kg
= 185.3 cc
Catatan 10% EBV = 18,53 cc

Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga


Durante Operasi:

 Input: Pre Operasi (D 10% : 150 cc) + Durante


Operasi (D 10% : 12 cc)
 Output: Pre Operasi (123.6 cc) + Durante Operasi
(10 cc)

= 162 cc – 133.6 cc
= + 28.4 cc

Post Operasi Input :


11 Juni 2019 jam 13.20 s/d besok pagi 08.00 (19 Volume cairan:
jam 20 menit) Minum 5 cc/3 jam = 40 cc/hari
Aminofluid 88 cc/hari = 3.6
cc/jam = 68.4 cc
Kebutuhan cairan harian :
Infus Cadex 183 cc/hari = 7.6
100 cc/kgBB pada 10 kg pertama
100 x 2.18= 218 cc/24 jam = 9 cc/jam cc/jam = 144.4 cc

1. Maintenance Output:
= Kebutuhan cairan/ jam x 19 jam 20 menit
Urine : ± 185 cc
= 9 cc/jam x 19 jam 20 menit
= ± 171 cc Muntah = -

54
FOLLOW UP PASIEN By. Ny. E.M.D (2 hari)

Hari/ Follow Up Planning


Tanggal (Terapi Medikamentosa)
12/6/2019 S : Keluhan Utama: Demam (-), kuning (-),  Hangatkan
sesak (+), retraksi (+), cairan lambung warna  Perawatan rutin
coklat, BAK (+), BAB (-), edema skrotum (-)  Perawatan tali pusat
O:  O2 CPAP, PEEP 5, Flow 7,
B1 : Airway bebas, napas terpasang O2 CPAP, FIO2 100%
PEEP 5. Flow 7, FiO2 100%, RR: 32-34 x/m  Kebutuhan cairan 120 x
B2 : Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), 2.26 kg = 2,7 cc
CRT<3”, HR: 147 x/m  Minum 5 cc/sonde/3 jam
B3 : Kesadaran : Composmentis,  Aminofluid 88 cc/hari = 3.6
Kejang (+). Pupil bulat, Isokor, refleks cahaya cc/jam
(+/+)
 Infus Cadex 183/hari = 7.6
B4 : produksi Urin ± 185 cc
cc/jam
B5 : Cembung, Supel, BU (+) normal ;
 Inj. Ampisilin 125 mg/12
Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Tesar; BAB
jam (H3)
(-), luka bekas operasi (+)
 Inj. Gentamisin 12.5 mg/36
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-), ulkus
jam (H3)
(-)
 Fisoterapi (H2)
Assessment:
 Sibital 2 x 5 mg IV
 NKB (36 minggu)/SMK/Spontan
letak kepala, mekoneal
 Asfiksia ringan – sedang
 RD e.c Susp. MAS
 Post Hernia repair e.c hernia
inguinalis lateralis dextra
inkarserata
 Kejang e.c hipotermia

55
13/6/2019 S : Keluhan Utama: Demam (-), kuning (+),  Hangatkan
sesak (+), retraksi (+), cairan lambung jernih,  Perawatan rutin
BAK (+), BAB (+), edema skrotum (-)  Perawatan tali pusat
O:  O2 CPAP, PEEP 5, Flow 7,
B1 : Airway bebas, napas terpasang O2 CPAP, FIO2 100%
PEEP 5. Flow 7, FiO2 100%, RR: 32-34 x/m  Kebutuhan cairan 120 x
B2 : Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), 2.26 kg = 2,7 cc
CRT<3”, HR: 142 x/m  Minum 4x15 cc/24 jam
B3 : Kesadaran : Composmentis,  Aminofusin 88 cc/hari = 3.6
Kejang (-). Pupil bulat, Isokor, refleks cahaya
cc/jam (stop)
(+/+)
 Infus Cadex 92 cc/hari = 3.8
B4 : produksi Urin ± 120 cc
cc/jam
B5 : Cembung, Supel, BU (+) normal ;
 Inj. Ampisilin 125 mg/12
Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Tesar; BAB
jam (H4)
(-), luka bekas operasi (+)
 Inj. Gentamisin 12.5 mg/36
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-), ulkus
jam (H4)
(-), rash (+)
 Fototerapi (H3)
Assessment:
 Sibital 2 x 4 mg IV
 NKB (36 minggu)/SMK/Spontan
 Cetrizin syrup 1 x 07 ml
letak kepala, mekoneal
 Asfiksia ringan – sedang
 RD e.c Susp. MAS
 Post Hernia repair e.c hernia
inguinalis lateralis dextra
inkarserata H2
 Kejang e.c hipotermia
 Dermatitis kontak alergi

56
14/6/2019 S : Keluhan Utama: Demam (-), kuning (+),  Hangatkan
sesak (+), retraksi (+), cairan lambung warna  Perawatan rutin
coklat, BAK (+), BAB (+), edema skrotum (-)  Perawatan tali pusat
O:  O2 CPAP, PEEP 5, Flow 7,
B1 : Airway bebas, napas terpasang O2 CPAP, FIO2 100%
PEEP 5. Flow 7, FiO2 100%, RR: 32-34 x/m  Kebutuhan cairan 120 x
B2 : Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), 2.26 kg = 2,7 cc
CRT<3”, HR: 153 x/m  Aminofusin 80 cc/hari = 3.3
B3 : Kesadaran : Composmentis, cc/jam
Kejang (-). Pupil bulat, Isokor, refleks cahaya  Infus Cadex 118 cc/hari =
(+/+) 4.7 cc/jam
B4 : produksi Urin ± 140 cc
 Inj. Ampisilin 125 mg/12
B5 : Cembung, Supel, BU (+) normal ;
jam (H5)
Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Tesar; BAB
 Inj. Gentamisin 12.5 mg/36
(-), luka bekas operasi (+)
jam (H5)
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-), ulkus
 Sibital 2 x 3 mg IV
(-), rash (+)
 Cetrizin syrup 1 x 07 ml
Assessment:
(stop)
 NKB (36 minggu)/SMK/Spontan
letak kepala, mekoneal
 Asfiksia ringan – sedang
 RD e.c Susp. MAS
 Post Hernia repair e.c hernia
inguinalis lateralis dextra
inkarserata H3
 Kejang e.c hipotermia
 Dermatitis kontak alergi

57
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang bayi laki-laki berusia 2 hari, dengan keluhan utama edema skrotum.
Edema Scrotum kanan dan kiri serta cairan lambung warna hijau. Bayi lahir spontan
tanggal 09 Juni 2019 pukul 03.27 di RSUD DOK II Jayapura, umur kehamilan 32
minggu (HPHT: 28-10-2018; TP: 4-8-2019). Ditolong bidan, BBL 2500 gr, PB 45
cm. Apgar score menit pertama 5 dan menit kelima 6. Pasien dirawat di Ruang
NICU Perinatologi dengan indikasi prematur dan mekoneal. Sesak (+), Retraksi
(+), demam (-), kuning (-).
Pada pemeriksaan tanda-tanda vital, didapatkan hasil nadi 147 x/m, respirasi
rate 50x/m, suhu badan 37.4oC, SpO2 100% dan pemeriksaan fisik lainnya dalam
batas normal. Hasil laboratorium didapatkan Hb 17,8 g/dl dan Bilirubin total 12,27
mg/dl.
Dari kasus tersebut dengan diagnosis hernia ingunalis lateralis dextra
inkarserata dan akan dilakukan tindakan operasi hernia repair, maka penulis akan
membahas beberapa hal sebagai berikut:
1. Penetapan PS ASA
Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah pemeriksaan fisik
yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien sebelum dilakukan
tindakan anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko apa yang bisa terjadi
pada pasien tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah hal
tersebut.

Teori Kasus
Kelas I : Pasien sehat PS ASA II - E
organik, fisiologik, psikiatrik, Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA II
biokimia. karena pasien merupakan bayi laki – laki
Kelas II : Pasien usia 2 hari (pediatrik) dengan penyakit
dengan penyakit sistemik ringan hernia ingunalis lateralis dextra inkarserata.
atau sedang. Hernia adalah penonjolan isi perut dari
rongga yang normal melalui suatu defek
pada fasia dan muskuloaponeuretik dinding

58
Kelas III : Pasien perut, baik secara kongenital atau didapat.
dengan penyakit sistemik berat, Hernia inkarserata ini mengakibatkan
sehingga aktivitas rutin terbatas. gangguan pasase usus berupa penyumbatan
Kelas IV : Pasien saluran cerna, atau terjadi nekrosis sampai
dengan penyakit sitemik berat, perforasi. Akibat penyumbatan usus terjadi
tidak dapat melakukan aktivitas aliran balik berupa muntah-muntah sampai
rutin dan penyakitnya dehidrasi dan shock dengan berbagai macam
merupakan ancaman akibat lain. Kode E diartikan sebagai
kehidupannya setiap saat. keadaan emergency atau darurat.
Kelas V : Pasien
sekarat yang diperkirakan dengan
atau tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.

Hasil : Sudah tepat


2. Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa General Anestesi?
Teori Kasus

Penatalaksanaan anestesi pada Pada kasus ini teknik anestesi yang


kasus ini, dapat dikerjakan dengan dipakai general anestesi inhalasi karena
general anestesi (anestesi umum). pada kasus ini usia pasien yang masih 2
Anestesi umum dipilih pada pasien hari memiliki risiko tinggi jika dilakukan
ini mengingat beberapa alasan, intubasi dengan ETT. Selain itu anatomi
yaitu sulit dilakukan pada saat jalan napas pada bayi juga masih rapuh
pasien sadar karena menimbulkan sehingga rawan terjadi trauma. Jika yang
ketidaknyamanan dan kecemasan dipilih adalah anestesi regional atau local,
pada pasien, pada anestesi umum maka tidak sesuai dengan area yang akan
juga pasien tidak sadar sehingga dilakukan pembedahan.
mencegah ansietas selama
prosedur medis berlangsung, efek
amnesia meniadakan memori
buruk pasien yang didapat dari

59
ansietas dan berbagai kejadian
intraoperative yang mungkin
memberikan trauma psikologis,
serta memungkinkan
dilakukannya prosedur yang
memakan waktu lama.

Hasil : Sudah tepat

3. Penentuan Obat Anestesi


Pada kasus ini dilakukan pembedahan pada pasien ini dengan general
anestesi. General anastesi yang dipilih yakni anestesi inhalasi menggunakan
Sevofluran. Sevofluran merupakan halogenasi eter yang memiliki kelebihan
dibanding obat inhalasi lainnya, sedangkan dibandingkan dengan halotan yang
20% dimetabolisme dihepar, sehingga penggunaan halotan
dikontraindikasikan pada penderita dengan gangguan hepar seperti pada kasus
ini.
Sevofluran memiliki efek meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga sevofluran banyak
digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner
Pada kasus diatas menggunakan teknik general anastesi maka
dilakukan premedikasi, pasien diberikan obat – obatan pendahulu dalam
rangka pelaksanaan anastesia, pemberian dilakukan di kamar operasi berupa,
menggunakan sedacum 1 mg/ml sebanyak 0.15 ml dan sulfat atropin 0.1 mg/ml
diberikan 1.5 ml Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa
pemberian sedacum merupakan nama dagang untuk midazolam yang berefek
untuk meredakan kecemasan. Pemberian premedikasi (pemberian obat
sebelum induksi anestesi) selama 1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan
induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, yaitu diantaranya meredakan

60
kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi
mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan
lambung, mengurangi refleks yang membahayakan.
Midazolam (sedacum) merupakan golongan benzodiazepin memiliki
efek yang berguna untuk premedikasi meredakan ansietas, sedasi dan amnesia.
Amnesia yang ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang dialami
pasien akibat suatu tindakan karena obat ini bekerja pada sistem limbik dan
menimbulkan amnesia antero grad. Dengan reseptor spesifik GABAA akan
meningkatkan afinitas neurotransmiter inhibisi dengan reseptor GABA. Ikatan
ini akan membuka kanal Cl¯ yang menyebabkan meningkatnya konduksi ion
Cl¯ sehingga menghasilkan hiperpolarisasi pada membran sel pasca sinap dan
saraf pasca sinap menjadi resisten untuk dirangsang. Pada pasien ini diberikan
midazolam 5 mg secara intravena, hal ini dikarenakan pada pemberian
intramuskular dapat menimbulkan rasa nyeri pada daerah suntikan. Dosis
midazolam 1-2,5 mg IV, (mula kerja 30-60 detik, dengan efek puncak 2-3
menit, lama kerja 15-80 menit).
4. Critical point
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai critical point dalam
tatalaksana anestesi pada pasien ini. Dalam keadaan terhipnotis, kemampuan
pasien untuk mempertahankan patensi jalan napas pasien dapat terganggu, bisa
saja terjadi “jatuhnya” pangkal lidah, serta sekret ke jalan napas yang tidak
dapat dikeluarkan dengan mekanisme batuk dan berakibat gangguan
oksigenasi. Pencegahannya yaitu dengan dilakukannya intubasi, pemasangan
tampon, dan pipa endotrakeal, serta pemantauan saturasi oksigen pada saat
operasi berlangsung.
AKTUAL POTENSIAL ANTISIPASI
Airway bebas spontan, - Sumbatan jalan - Chin lift, Head
nafas Tilt, Jaw
Mallampati : tidak dapat
- Regurgitasi Thrush
B1 dinilai - Aspirasi - Pemasangan
- Gangguan balon pipa
pengembangan endotrakeal
paru - Suction

61
Breathing: thorax - Hipoksia - Observasi
- Hiperkarbia EtCO2
simetris, ikut gerak
- Asidosis - Pemberian O2
napas, RR : 50 x/m, resipratory 100% dengan
tekanan positif
palpasi: vocal fremitus
- Hiperventilasi
D=S tidak dapat dinilai, (meningkatakan
Respiratory
perkusi: sonor, suara
Rate)
napas vesikuler +/+,
ronkhi -/-, wheezing -/-
- Peningkatan tekanan - Observasi vital sign
vena sentral (CVP) - Pemberian oksigen
Perfusi: hangat, kering, - Peningkatan denyut - Pemberian cairan
jantung (HR) sebelum insuflasi
merah
- Peningkatan - Posisi tredelenburg
CRT < 3 detik resistensi vaskular - Pemantauan EKG
B2 sistemik (SVR)
N : 147 x/menit
- Penurunan Cardiac
BJ: I-II regular,murmur Ouput (CO)
- Hipertensi
(-), gallop (-)
- Hipotensi
- Disritmia
- Bradikardi
Kesadaran Compos - Observasi GCS
- Penurunan - Evaluasi
B3 Mentis, Riwayat kejang kesadaran kemungkinan
(-), pingsan (-) - Peningkatan TIK tanda-tanda
peningkatan TIK
- Edema Otak Monitor produksi urin,
B4 Produksi urin (+) - Retensi urin
balance cairan
Perut tampak cembung,
palpasi supel, perkusi : - Pemberian ranitidin
B5 - PONV dan ondansetron
tympani, BU (+) 3 – 4 - Pneumoperitoneum
x/m
Hipoperfusi - Balance cairan,
Akral hangat (+), edema pemberian oksigen
B6 superfisial
- Positioning
(-), fraktur (-),
(tredelenburg, anti-
tredelenburg)

62
5. Terapi dan resusitasi cairan
Kebutuhan Input Output Balance

Pre Operasi 108 cc 150 cc 80 cc + 150 cc – 136 cc = + 14 cc


56.68 cc

Durante 17 .72 cc 12 cc 10 cc 12 cc – 10 cc = + 2 cc
Operasi (60
menit)
Post Operasi 171 cc 252.8 cc 185 cc 252.8 cc-185 cc = + 67.8
(19 jam 20 cc
menit)

Kebutuhan cairan preoperasi lebih 14 cc, durante operasi kurang 5.72 cc dan
post operasi lebih 81 cc.

63
BAB V
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan hernia inguinalis lateralis dextra inkarserata.
Klasifikasi status anestesi digolongkan dalam PS ASA II-E.

 Pasien akhirnya menjalani operasi hernia repair dan dipilih General anestesi
Inhalasi dengan menggunakan Sevoflurance + O2 dengan 1.5%.

1.2 Saran
Pada pasien pediatri yang akan melakukan operasi sebaiknya informed
consent harus selalu dilakukan dokter di setiap langkah pemeriksaan dan
tindakan. Harus disampaikan terlebih dahulu semua informasi yang dapat
dipahami oleh pasien dan keluarga, termasuk menyampaikan kondisi
terburuk yang mungkin terjadi, seperti prognosis penyakit, kondisi
penyembuhan pascapembedahan atau rencana home care bila pasien
memasuki kondisi terminal.

64
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief, A. Said dkk. 2001. Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

2. Soenarto, Ratna F. dan Susilo Chandra. 2012. Buku Ajar Anestesiologi.


FKUI/RSCM : Jakarta. Boulton TB. Anestesiologi. Alih Bahasa: Oswari J.
Editor: Wulandari WD. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994 :
134-141.

3. Snell R, S. 2006. Anatomi Klinik. EGC. Jakarta. Indonesia.


4. Schwartz. 2000. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.
Indonesia
5. Ruhl CE dan Everhart JE. 2007. Risk Factor for Inguinal Hernia among
Adults in The US Population. America Journal Of Epidemiology. U.S.A.
(http://aje.oxfordjournals.org/content/165/10/1154.full).
6. Sjamsuhidayat R, De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke 2.
Jakarta. EGC.528-532.
7. Erickson K, M. 2009. Abdominal Hernias. Emedicine Speciaties General
Surgery Abdomen. U.S.A. (http://emedicine.medscape.com/article/189563-
overview#a0103 diakses tanggal 17 Juni 2019).

8. Omar F dan Moffat D. 2004. At Glance Anatomi. Erlangga. Jakarta. Indonesia.

9. Mansjoer, A. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. Media Aesculapius.


Jakarta. Indonesia.

10. Grace PA. dan Borley NR. 2006. At Glance Ilmu Bedah. Erlangga. Jakarta.
Indonesia.

11. Doherty GM dan Way LW. 2006. Current Surgical Diagnosis and Treatment,
12th edition. McGraw-Hill. U.S.A

12. Muttaqin A dan Sari K. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Salemba Medika.


Jakarta. Indonesia.

65
13. Inguinal Hernia: Anatomy and Management
http://www.medscape.com/viewarticle/420354_4 [diakse tanggal 15 Juni
2019]
14. Brunicardi, F Charles. 2005. Inguinal Hernias. Schwartz’s Principles of
Surgery. Eighth edition. New York. Mc Graw-Hill. 1353-1394.
15. Girl MK, Mantu FN. Hernia inguinalis lateralis pada anak-anak National
Digestive Disease Information Clearinghouse (NDDIC). Inguinal Hernia.
[diakses tanggal 18 Juni 2019]
16. Bissonette B, Dalens BJ. Pediatric Anesthesia: Principles And Practice.
McGraw-Hill Medical Publishing Division. New York.2002: 405-413, 483-
503Rupp K, Holzki J,Fischer T, Keller C. Pediatric Anesthesia . 1st Edition.
Drager 1999: Germany
17. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Ilmu Anestesi dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta. 2010. Hal.49-65, hal. 149-159.

18. Boulton TB. Anestesiologi. Alih Bahasa: Oswari J. Editor: Wulandari WD.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994: 134-141.

66

Anda mungkin juga menyukai