60
Mind Map
Syok
Fraktur
Syok
Hipovolemik
Syok Neurogenik
Syok Obstruktif
Syok Distributif
60
Primary survey
(ABCDE)
Secondary
survey
60
I.
Analisis Skenario
Pasien tampak pucat dan berkeringat dingin.
syok
neurogenik.
Kecenderungan
untuk
terjadinya
sindrom
kompartemen juga disingkirkan karena masih teraba adanya pulsasi arteri dorsalis
pedis
dextra,
dimana
sindrom
kompartemen
memiliki
gejala
berupa
60
II.
SYOK
Syok merupakan sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam
mencukupi kebutuhan oksigen jaringan.
Syok adalah gangguan sistem sirkulasi yang menyebabkan tidak
adekuatnya perfusi dan oksigenasi jaringan atau suatu sindrom klinis akibat
kegagalan akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakcukupan perfusi
jaringan
dan
oksigenasi
jaringan
dengan
akibat
gangguan
mekanisme
homeostasis.
Syok sangatlah berpotensi mematikan, dan potensi mematikan tersebut,
kurang lebih didasari oleh faktor sel dan jaringan dimana kesehatan dari kedua
komponen di atas, tidak hanya bergantung pada sirkulasi yang utuh untuk
mengirimkan oksigen dan membuang sisa metabolisme lainnya, tetapi juga
bergantung pada homeostasis cairan normal.
Perlu ditekankan
bahwa
1. Syok kardiogenik
2. Syok Hipovolemik
3. Syok Distributif
a. Syok Neurogenik
b. Syok anafilaktik
c. Syok Septik
4. Syok Obstruktif
SYOK KARDIOGENIK
Syok kardiogenik adalah sindroma klinis akibat dari tidak cukupnya curah jantung
untuk mempertahankan fungsi otot-otot vital akibat disfungsi otot jantung sehingga jantung
tidak dapat mempertahankan perfusi yang cukup untuk permintaan metabolis dari jaringan.
Syok kardiogenik adalah syok yang disebabkan karena fungsi jantung yang tidak adekuat
seperti pada infark miokard atau obstruksi mekanik jantung ; manifestasinya meliputi
hipovolemia, hipotensi, kulit dingin, nadi yang lemah, kekacauan mental, dan
kegelisahan. (Kamus Kedokteran Dorland,1998).
60
Dari segi hemodinamik syok kardiogenik adalah kelainan jantung primer yang
mengakibatkan hal hal berikut :
Tekanan arteri systole kurang dari 90mmHg ( hipotensi absolute ) atau paling tidak 60
mmHg dibawah tekanan basal ( hipotensi relatif )
Etiologi
Syok kardiogenik biasanya disebabkan oleh karena gangguan mendadak fungsi jantung
atau akibat penurunan fungsi kontraktil jantung kronik. Secara praktis syok kardiogenik
timbul karena gangguan mekanik atau miopatik, bukan akibat gangguan elektrik primer.
Etiologi syok kardiogenik adalah :
1. Gangguan kontraktilitas miokardium.
2. Disfungsi ventrikel kiri yang berat
3. Infark miokard akut.
4. Stenosis valvular.
5. Miokarditis
6. Kardiomiopati
7. Regurgitasi valvular akut.
8. Penyebab yang tidak langsung (indirect causes) adalah dari emboli paru
(pulmonary embolism, PE), aortic dissection, pericardial tamponade, atau
vascular disease.
Adapun penyebab syok kardiogenik (cardiogenic shock) atau edem paru (pulmonary
edema) menurut Fauci AS, et al. (2008) adalah sebagai berikut ini:
1.
Post-cardiac arrest
Post-cardiotomy
Refractory sustained tachyarrhythmias
Acute fulminant myocarditis
End-stage cardiomyopathy
Left ventricular apical ballooning
Takotsubo cardiomyopathy
Hypertrophic cardiomyopathy dengan severe outflow obstruction
Aortic dissection dengan aortic insufficiency atau tamponade
Pulmonary embolus
Severe valvular heart disease
Toxic-metabolic
Epidemiologi
Menurut Wolfe RE dan Fischer CM (2007), mortalitas (angka/rerata kematian) penderita
syok kardiogenik sangat tinggi, mencapai 50-80 persenMenurut Fauci AS, et al. (2008), syok
kardiogenik merupakan penyebab utama (leading cause) dari kematian pasien dengan infark
miokard (myocardial infarct; MI) yang dirawat di rumah sakit. Terapi reperfusi dini untuk
infark miokard akut (acute MI) menurunkan insidens syok kardiogenik.Penderita syok
kardiogenik dengan komplikasi infark miokard akut sekitar 20 persen pada tahun 1960-an,
namun telah berfluktuasi sekitar 8 persen selama lebih dari 20 tahun. Syok terutama
berhubungan dengan ST elevation MI (STEMI) dan kurang umum berkaitan dengan non-ST
elevation MI. Dua pertiga penderita syok kardiogenik memiliki flow-limiting stenoses di
ketiga arteri koronaria mayor (major coronary arteries), dan 20% meninggalkan (left)
stenosis di arteri koronaria utama (main coronary artery stenosis).
Manifestasi klinis/tanda dan gejala
60
Nyeri dada yang berkelanjutan (continuing chest pain), dyspnea (sesak/sulit bernafas),
tampak pucat (appear pale), dan apprehensive (= anxious, discerning, gelisah, takut,
cemas)
Hipoperfusi jaringan.
Nadi teraba lemah dan cepat, berkisar antara 90110 kali/menit, atau bradikardi berat
(severe bradycardia) karena terdapat high-grade heart block.
Diaphoresis(diaforesis,
diaphoretic,
berkeringat,
mandi
keringat,
hidrosis,
Suara nafas dapat terdengar jelas (clear) pada mulanya, atau rales (= rattles, rattlings)
dari edem paru akut (acute pulmonary edema).
S1 terdengar lembut (soft). Dapat juga terdengar suara jantung abnormal (abnormal
heart sounds), misalnya: S3 gallop, S4, atau murmur dari ruptured papillary muscle,
regurgitasi mitral akut, atau septal rupture.
Patofisiologi
Syok kardiogenik dicirikan oleh lingkaran setan (vicious circle) dimana terjadi
penurunan kontraktilitas miokardium (depression of myocardial contractility), biasanya
karena iskemia, menyebabkan pengurangan cardiac output dan tekanan arteri (arterial
60
pressure), dimana menghasilkan hipoperfusi miokardium dan iskemia lanjutan dan penurunan
cardiac output.
Disfungsi miokardial sistolik mengurangi stroke volume; dan bersama dengan disfungsi
diastolik, memicu peninggian tekanan end-diastolic ventrikel kiri dan pulmonary capillary
wedge pressure/PCWP (> 18 mmHg) seperti pada kongesti paru.
Jantung tidak mampu memusatkan secara sinkron atau penekanan dan aliran darah ke
aorta dihindarkan. LEVD (The Left Ventrikular End Diastolik Pressure) dan Arterial
Pressure (LAP) meningkat dari sistolik outflow yang tidak efisien. Pada akhirnya, tekanan
arteri pulmonary selaput interstisial dan alveoli menurunkan daerah permukaan untuk
pertukaran gas.
Penurunan/pengurangan perfusi koroner memacu pemburukan iskemia, disfungsi
miokardium progresif, dan spiral menurun yang cepat (rapid downward spiral), bilamana jika
tidak diputus, seringkali menyebabkan kematian.
Asidosis laktat dari perfusi jaringan yang buruk dan hipoksemia dari edem paru
(pulmonary edema) dapat sebagai hasil dari kegagalan pompa dan kemudian berkontribusi
terhadap lingkaran setan ini dengan memburuknya iskemia miokardium dan hipotensi.
Asidosis berat (pH < 7,25) mengurangi daya kemanjuran/efektivitas (efficacy) yang secara
endogen dan eksogen telah diberi katekolamin (catecholamines).
Gangguan
mekanis
akut
Bedah
pintas
kardiopulmo
Am
i
Necrosis miokard
Kerusakan otot jantung
Gangguan kontraktilitas
miokardium
60
Disfungsi ventrikel kiri
Payah
jantung
kongestif
Syok kardiogenik
Penurunan curah jantung
Nutrisi dan O2
Ke jaringan
I.
Gangguan
Perfusijaringa
Hipoksia
Metabolisme
myokardium
anaerob
basal terganggu Mekanisme
Energi
Kelelahan dan
kelemahan
Darah ke pulmonal
Kerusakan pertukaran
gas
Pola nafas tidak
efektif
Nyeri dada
Gangguan
rasa
Intoleransi
aktifitas
Pemeriksaan diagnostik
1.
Electrocardiography (elektrokardiografi)
Hasil/pembacaan
electrocardiogram
menurut
Fauci
AS,
et.al.
(2008):
Pada pasien karena infark miokard akut dengan gagal ventrikel kiri (LV failure),
gelombang Q (Q waves) dan/atau >2-mm ST elevation pada multiple leads atau left
bundle branch block biasanya tampak. Lebih dari setengah (> 50%) dari semua infark
yang berhubungan dengan syok adalah anterior. Global ischemia karena severe left
main stenosis biasanya disertai dengan depresi ST berat (>3 mm) pada multiple leads.
2. Radiografi
Radiografi dada (chest roentgenogram) dapat terlihat normal pada mulanya atau
menunjukkan tanda-tanda gagal jantung kongestif akut (acute congestive heart
failure), yaitu:
a.Cephalization karena dilatasi pembuluh darah-pembuluh darah pulmoner.
b.Saat tekanan diastolik akhir ventrikel kiri (left ventricular end-diastolic pressures)
meningkat, akumulasi cairan interstitial ditunjukkan secara radiografis dengan
adanya gambaran fluffy margins to vessels, peribronchial cuffing, serta garis Curley
60
A dan B. Dengan tekanan hidrostatik yang sangat tinggi, cairan dilepaskan (exuded)
ke alveoli, menyebabkan diffuse fluffy alveolar infiltrates.
Gambaran foto/rontgen dada (chest x-ray) lainnya yang mungkin tampak pada
penderita syok kardiogenik:
a. Kardiomegali ringan
b. Edema paru (pulmonary edema)
c. Efusi pleura
d. Pulmonary vascular congestion
e. Ukuran jantung biasanya normal jika hasil syok kardiogenik berasal dari infark
miokard yang pertama, namun membesar jika ada riwayat infark miokard
sebelumnya.
3.Ekokardiografi
Ini berguna untuk menunjukkan:
a.Fungsi ventrikel kiri yang buruk (poor left ventricular function).
b.Menilai keutuhan katub (assessing valvular integrity).
c. Menyingkirkan penyebab lain syok, seperti: cardiac tamponade.
Selain itu penting untuk menilai hipokinesis berat ventrikel difus atau segemental (bila
berasal dari infark miokard), efusi pericardial, katup mitral dan aorta, rupture septum
dan pintasan intrakardiak.
4. Kateterisasijantung.
Umumnya tidak perlu kecuali pada kasus tertentu untuk mengetahui anatomi pembuluh
darah koroner dan fungsi ventrikel kiri untuk persiapan bedah pintas koroner atau
angioplasty koroner transluminasi perkutan. Untuk menunjukkan defek mekanik pada
septum ventrikel atau regurgitasi mitral akibat disfungsi atauy rupture otot papilaris.
5. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah tetap diperlukan untuk evaluasi
secara keseluruhan meskipun tidak berguna di dalam membuat diagnosis awal (initial
diagnosis).
b. Pemeriksaan enzim jantung.
c. CBC and serum electrolyte panel.
d. Kadar kreatinin dan blood urea nitrogen (BUN).
e. Gas darah arteri.
f. Studi koagulasi.
Penemuan laboratorium (Laboratory findings) menurut Fauci AS, et.al. (2008):
a. Hitung leukosit secara khas meningkat disertai dengan left shift.
60
b. Tidak adanya prior renal insufficiency, fungsi ginjal pada mulanya normal, namun
blood urea nitrogen (BUN) dan creatinine meningkat secara cepat (rise
progressively).
c. Hepatic
transaminases
jelas
meningkat
karena
hipoperfusi
hati
(liver
hypoperfusion).
d. Perfusi jaringan yang buruk (poor tissue perfusion) dapat menyebabkan anion gap
acidosis dan peningkatan (elevation) kadar asam laktat (lactic acid level).
e. Gas darah arteri (arterial blood gases) biasanya menunjukkan hypoxemia dan
metabolic acidosis, dimana dapat dikompensasi oleh respiratory alkalosis.
f. Petanda jantung (cardiac markers), creatine phosphokinase dan MB fraction-nya,
jelas meningkat, begitu juga troponins I dan T.
Penatalaksanaan
Langkah-langkah tata laksana syok kardiogenik adalah :
a. Etiologi syok harus ditentukan secepat mungkin
b. Pemantauan hemodinamik (kalau mungkin memakai kateter Swan-ganz)
c. Pemberian oksigen (kalau ungkin oksigen 28-48% dengan venture fase mask)
d. Menghilangkan nyeri dengan morfin 4-8 mg intravene.
e. Berikan dopamine 2-15 m/kg/m atau Dobutamin 2,5-10m/kg/m untuk meninggikan
tekanan perfusi arterial dan kontraktilitas. Boleh juga diberikan amrinon intravena
(kalau ada).
f. Cairan intravena, kalau mungkin diberikan dextran 40.
g. Furosemid 40-80 mg atau asam etakrinik 50 mg (bila ada bendungan paru). Diuretic
menyebabkan vasodilatasi vena dan diuresis, hingga bendungan bendungan paru
berkurang dan oksigenasi darah meningkat. Juga ukuran jantung serta kebutuhan
oksigen dikurangi .
h. Digitalis hanya diberikan pada takikardi supraventrikel dan fibrilasi atrial.
i. Vasodilator hanya diberikan bila dijumpai vasokontriksi perifer hebat dan penderita
dipantau ketat secara klinik dan hemodinamik.
j. Tindakan pintaskoroner dan angioplasty darurat kalau perlu.
Prognosis
Prognosis syok kardiogenik secara umum sangat buruk meskipun insidennya telah
60
menurun. Pada penderita syok akibat IMA, prognosis tergantung pada luasnya infark
miokard. Mortalitas rata-rata dari berbagai pusat perawatan jantung sekitar 60-70%.
Mortalitas tinggi bagi mereka yang menunjukkan tekanan pengisisan ventrikel kiri sangat
tinggi dan penurunan indeks jantung. Bila tekanan tersebut normal atau sedikit dan
hipovolemia relative, prognosis lebih baik. Sekitar 30% penderita menunjukkan respon
terhadap ekspansi volume darah dengan dekstran atau albumin. Penderita dengan perubahan
tekanan pengisisan ventrikel kiri dan indeks jantung ringan biasanya menunjukkan hasil yang
baik dengan obat-obatan vasopresor.
Prognosis menurut pembagian KILLIP adalah sebagai berikut:
Kelas I : Tidak ada tanda kongesti paru atau vena, mortalitas 0-5 persen.
Kelas II: Gagal jantung kanan, kongesti hepar dan paru, gagal jantung kiri sedang, ronki pada
basis paru, mortalitas 10-20 persen.
Kelas III : Gagal jantung berat, edema paru, mortalitas 35-45 persen.
Kelas IV : Syok, tekanan sistolik < 80-90 mmHg, sianosis perifer, gangguan mental, oliguri,
mortalitas 85-95 persen.
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh yang biasanya terjadi akibat perdarahan yang masif.
Epidemiologi
Setiap individu di dunia berisiko cedera traumatik . Etiologi cedera beragam seperti
gaya hidup dan latar belakang sosial ekonomi dari korbannya , mulai dari kekerasan
interpersonal dan kecelakaan kendaraan bermotor dan kecelakaan kerja . Di seluruh dunia,
diperkirakan 5 juta orang meninggal akibat cedera pada tahun 2000 , dengan angka kematian
83 per 100.000 penduduk . Cedera mewakili 9 % dari kematian di seluruh dunia dan 12 %
dari penyakit. Tingkat kematian tertinggi dari cedera terjadi di negara-negara kurang kaya di
Eropa Timur , dengan harga terendah di Amerika Utara , Eropa Barat , Cina , Jepang , dan
Australia.
Etiologi
Beberapa penyebab tersering pada syok hemoragik:
Terapi antitrombosis
60
Koagulopati
akan menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah jantung menurun di bawah
normal dan timbul syok.
Patofisiologi
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan nadi.
Perubahan ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium. Dengan
berkurangnya volume darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis.
Reaksi ini menimbulkan peningkatan frekuensi nadi, vasokonstriksi, dan penurunan
distribusi aliran darah pada organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran pencernaan, dan
ginjal.
Pada perdaharan, terjadi respon-respon hormonal. Corticotropin-releasing hormone
terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan glukokortikoid dan betaendorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopressin, menyebabkan retensi
air pada tubulus distal. Renin dilepaskan oleh kompleks juxtamedularis sebagai respon
dari penurunan MAP (Mean Arerial Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron dan
berujung resoprsi natrium dan air. Hiperglikemia sering didapatkan pada perdarahan
akut karena glukagon dan growth hormone meningkat pada gluconeogenesis dan
glikogenosis. Peredaran katekolamin menghambat pelepasan dan aktivitas insulin
secara relative sehingga terjadi peningkatan
60kadar gula darah.
survei primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika
korban mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistem yang cedera.
Prinsip pengelolaan dasar syok hemoragik ialah menghentikan perdarahan dan
menggantikan kehilangan volume darah. Hal penting yang harus diperiksa adalah tanda-tanda
vital, produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan pasien yang lebih rinci akan
menyusul bila keadaan penderita memungkinkan.
Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya
pertukaran
ventilasi
dan oksigenasi.
Diberikan tambahan
oksigen untuk
mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%. Menilai jalan nafas bebas.
Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ? Jika ada obstruksi maka
lakukan :
Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah)
Suction / hisap (jika alat tersedia)
Guedel airway / nasopharyngeal airway
Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral
Breathing
Menilai pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
60
kontraindikasi mutlak bagi pemasangan kateter uretra sebelum ada konfirmasi radiografis
tentang uretra yang utuh.
Pengobatan dengan posisi kepala di bawah.
Dengan menempatkan penderita dengan kepala 5 inci lebih rendah daripada kaki akan
sangat membantu dalam meningkatkan alir balik vena dan dengan demikian menaikkan curah
jantung. Posisi kepala di bawah ini adalah tindakan pertama dalam pengobatan berbagai
macam syok.
Terapi awal cairan
Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat
badan. Volume darah rata-rata pada orang dewasa kira-kira 7% dari berat badan. Bila
60
penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan ideal. Volume
darah anak-anak dihitung 8% - 9% dari berat badan (80-90 ml/kg).
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita. Kehilangan sampai
10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih
banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk
sementara dengan cairan sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2-4 x volume yang hilang.
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi
intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara
menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Larutan ringer
laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua karena berpotensi
menyebabkan terjadinya asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini bertambah besar jika
fungsi ginjal kurang baik.
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal
adalah 1-2 liter pada dewasa dan 11 ml/kg pada anak, diberikan dalam 30-60 menit pertama.
Jumlah cairan yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada awal evaluasi
penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara akut
diperlukan adalah mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml cairan
kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang hilang ke dalam ruang
interstitial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai hukum 3 untuk 1 (3 for 1 rule). Namun
lebih penting untuk menilai respon penderia kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan
oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluar urin, tingkat kesadaran dan perfusi
perifer.
Tabel Respon terhadap pemberian cairan awal
Tanda vital
Respon cepat
Kembali ke normal
Respon sementara
Perbaikan
Tanpa respon
Tetap abnormal
sementara, tekanan
darah
Dugaan kehilangan Minimal
dan
nadi
kembali turun
(10% - Sedang, masih ada Berat (>40%)
darah
Kebutuhan
11%)
Sedikit
(11% - 40%)
Banyak
Banyak
kristaloid
Kebutuhan darah
Sedikit
60
Sedang-banyak
Segera
Persiapan darah
crossmatch
Operasi
Mungkin
Kehadiran dini ahli Perlu
Sangat mungkin
Perlu
Emergensi
Hampir pasti
Perlu
bedah
Resusitasi hipotensi pada syok hemoragik
Perdarahan tetap menjadi penyebab utama dari kematian yang dapat dicegah setelah
terjadinya trauma. Pada fase akut perdarahan, prioritas terapi dokter adalah untuk
menghentikan pendarahan secepat mungkin. Syok hemoragik adalah keadaan patologis di
mana volume intravaskular dan pengiriman oksigen terganggu. Selama perdarahan ini tidak
terkontrol, dokter harus menjaga suplai oksigen untuk membatasi hipoksia jaringan,
peradangan, dan disfungsi organ. Prosedur ini melibatkan resusitasi cairan, penggunaan
vasopresor, dan transfusi darah untuk mencegah atau memperbaiki koagulopati traumatik.
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan adalah terapi intervensi pertama pada kasus syok hemoragik
traumatik. Keuntungan yang dimiliki oleh cairan koloid dibandingkan cairan kristaloid adalah
60
bahwa koloid dapat menginduksi ekspansi plasma yang lebih cepat dan persisten karena
dapat meningkatkan
memperbaiki sirkulasi. Meskipun golongan kristaloid lebih murah, hasil penelitian telah
menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari pemberian koloid bagi kelangsungan hidup.
Namun, resusitasi dengan kristaloid dalam volume besar telah dikaitkan dengan terjadinya
edema jaringan, peningkatan insiden terjadinya sindrom kompartemen abdomen dan asidosis
metabolik hiperkloremik.
European Guidelines terbaru untuk manajemen pendarahan setelah cedera yang parah
[11] merekomendasikan bahwa kristaloid harus diterapkan sebagai terapi awal untuk
menangani pendarahan pada pasien trauma dan bahwa penambahan koloid harus
dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Di antara golongan
koloid, larutan HES atau gelatin
merekomendasikan penggunaan generasi HES terbaru dalam batas yang ditentukan karena
risiko terjadinya AKI dan perubahan dalam koagulasi.
Agen Vasoaktif
Resusitasi cairan adalah strategi pertama untuk mengembalikan tekanan arteri ratarata pada kasus syok hemoragik. Namun, agen vasopresor juga diperlukan untuk menopang
hidup dan mempertahankan perfusi ke jaringan pada kasus hipotensi persisten, bahkan ketika
ekspansi cairan berlangsung dan hipovolemia belum diperbaiki. Hal ini sangat penting karena
perfusi ke jaringan secara langsung berhubungan dengan tekanan (perbedaan antara tekanan
kapiler di lokasi masuk dan keluarnya cairan), radius pembuluh darah, dan kepadatan kapiler;
dan sebagai tambahan bahwa perfusi ke jaringan berbanding terbalik dengan viskositas darah.
Dengan demikian, tekanan arteri merupakan penentu utama perfusi ke jaringan.
Norepinefrin (NE), yang sering digunakan untuk mengembalikan tekanan arteri pada
syok septik dan hemoragik, merupakan agen yang saat ini direkomendasikan sebagai pilihan
selama terjadinya syok septik. NE adalah agen simpatometik dengan efek predominan
sebagai vasokonstriktor. NE menstimulasi reseptor -Adrenergik baik di arteri maupun
vena. Selain sebagai arterial vasokonstriktor, NE juga menginduksi venokonstriksi, yang
menginduksi peningkatan tekanan dalam kapasitansi pembuluh darah dan secara aktif
menggeser volume darah vena menjadi sirkulasi sistemik. Stimulasi adrenergik vena ini dapat
melibatkan darah dari volume vena tanpa tekanan, yaitu volume darah yang mengisi
pembuluh darah tanpa menghasilkan tekanan intravaskular. Selain itu, stimulasi 2 reseptor
adrenergik menurunkan resistensi vena dan meningkatkan aliran balik vena. Penggunaan
60
awal NE dapat mengembalikan tekanan darah secepat mungkin, mengurangi resusitasi cairan,
dan hemodilusi. Namun, perlu diketahui bahwa efek penggunaan NE pada manusia dengan
syok hemoragik traumatik belum diteliti dengan ketat.
Sebagai kesimpulan, vasopresor dapat sangat berguna jika digunakan sementara untuk
mempertahankan tekanan arteri dan mempertahankan perfusi jaringan selama hipotensi
persisten dan juga untuk resusitasi cairan (Gambar 1). Selain itu penggunaan awal NE dapat
membatasi resusitasi cairan dan hemodilusi. Jika kita menggunakan NE pada tahap awal, kita
harus mencatat nilai objektif tekanan arteri yang direkomendasikan (SAP 80- 100 mmHg).
Dengan demikian, dosis NE harus dititrasi sampai kita mencapai target SAP (Gambar 1).
Resusitasi cairan harus dilakukan dan dititrasi sesuai dengan indikator respon preload, output
jantung, dan penanda oksigenasi jaringan. Karena vasopresor dapat meningkatkan afterload
jantung ketika infus berlebihan atau gangguan fungsi ventrikel kiri, maka merupakan hal
penting untuk menilai fungsi jantung pada pemeriksaan USG awal. Disfungsi jantung pada
pasien trauma setelah memar jantung, efusi perikardial, atau cedera otak sekunder dengan
hipertensi intrakranial dapat diperbaiki. Terjadinya disfungsi miokard membutuhkan
pengobatan dengan agen inotropik, seperti dobutamin atau epinefrin. Tidak adanya evaluasi
terhadap fungsi jantung atau pemantauan output jantung, yang sering diamati pada pasien
dalam fase akut syok hemoragik, membuat kita harus mencurigai suatu disfungsi jantung jika
terjadi respon yang buruk terhadap ekspansi cairan dan NE.
Transfusi dan Pencegahan Koagulopati Akut pada Kasus Trauma
Koreksi dan pencegahan terjadinya koagulopati traumatik (koagulopati akut trauma,
ACoT) telah menjadi tujuan utama dari manajemen awal resusitasi pada syok hemoragik.
Seperti diilustrasikan pada Gambar 2, beberapa mekanisme yang saling berinteraksi
berkontribusi pada peningkatan insiden koagulopati traumatik:
1) Fenomena Kehilangan-dilusi: perdarahan dan hemodilusi sekunder pada resusitasi
cairan menyebabkan hilangnya faktor koagulasi dan trombosit
2) Aktivasi koagulasi yang berlebihan: aktivasi koagulasi yang diadaptasi dalam
menanggapi cedera hemoragik dapat menjadi berlebihan akibat pengaruh fenomena
lokal maupun umum. Sebagai contoh, jaringan cedera dapat menyebabkan cedera
endotel yang terkait dengan reaksi inflamasi lokal dan sistematis; reaksi-reaksi ini
penting untuk memproduksi faktor jaringan dan faktor VII yang dapat mengaktifkan
koagulasi secara berlebihan
3) Fibrinolisis: dengan aktivasi koagulasi berlebihan, respon fibrinolitik dapat melebihlebihkan peran fisiologisnya dalam mengendalikan koagulasi
60
10 sampai 15 ml / kg [11]. Dosis tambahan akan tergantung pada hasil pemantauan parameter
koagulasi. FFP dianjurkan bila PT atau APTT 1,5 kali nilai normal.
Pemantauan awal terjadinya pembekuan sangat penting untuk mengidentifikasi
koagulopati selama trauma dan untuk memfasilitasi dilakukannya goal-directed transfusion.
Namun, tes konevensional plasma berbasis koagulasi, seperti prothrombin time (PT),
activated partial thromboplastin time (APTT), international normalized ratio (INR),
fibrinogen, dan kadar platelet, hanya mencerminkan inisiasi dari proses hemostatis dan tes
tidak bisa digunakan untuk mengevaluasi amplifikasi propagasi atau peningkatan fibrinolisis.
Tes darah menyeluruh (whole blood assays) seperti TEG atau ROTEM, memberikan evaluasi
yang cepat terhadap pembentukan bekuan, kekuatan, dan lisis, yang mencerminkan
keseluruhan proses hemostatis.
Transfusi Trombosit dan Fibrinogen Konsentrat
Transfusi trombosit dianjurkan untuk dilakukan jika jumlah trombosit <50.109 L-1.
Jumlah trombosit harus dipertahankan pada tingkat yang lebih tinggi dalam kasus-cedera otak
traumatik, yaitu, 100.109L-1.
Fibrinogen adalah komponen wajib dalam jalur
plasma harus dikoreksi untuk mengantisipasi terjadinya pembekuan. Ambang batas untuk
melakukan terapi dengan fibrinogen konsentrat atau cryoprecipitate selama perdarahan akut
baru saja ditingkatkan yaitu kadar fibrinogen plasma < 1,5 hingga 2,0 g / L. Ambang batas
terbaru ini didasarkan pada data eksperimental dan klinis TEG di mana penggunaan
fibrinogen selama fase akut syok hemoragik mampu memperbaiki abnormalitas TEG.
Penggunaan FFP tidak berhasil memperbaiki hipofibrinogenemia dengan cepat setelah
terjadinya perdarahan.
Asam Traneksamat
Baru-baru ini, uji coba terkontrol secara acak yang termasuk 20.211 pasien trauma
menunjukkan bahwa pemberian rutin asam traneksamat (loading dose 1 gr selama 10 menit,
kemudian diinfus 1 g selama 8 jam) pada pasien dengan syok hemoragik dikaitkan dengan
penurunan angka kematian tanpa peningkatan komplikasi tromboemboli. Dengan demikian,
asam traneksamat dapat dikelompokkan dalam manajemen segera pasien dengan syok
hemoragik traumatik (Gambar 1 dan 2). Efek optimal obat ini diamati dalam 3 jam pertama
penggunaannya.
60
Faktor VIIA
Mengingat kegagalan Faktor VIIA rekombinan dalam menurunkan angka kematian
pasien syok hemoragik, penggunaan faktor ini harus didiskusikan kasus-per-kasus ketika
syok hemoragik tidak bisa dikendalikan oleh hemostasis bedah dan/atau angiografi dan ketika
parameter biologis yang bermacam-macam (yaitu hematokrit, trombosit, PT, APTT,
calcemia, dan pH) dapat dikoreksi dengan memadai. Merupakan hal yang penting untuk
menyeimbangkan penggunaannya dengan resiko nyata insiden tromboemboli.
Terapi Adjuvan Syok Hemoragik
Syok hemoragik traumatik dikaitkan dengan respon intensif inflamasi yang sistemik.
Selama beberapa dekade yang lalu, strategi terapi banyak diuji dalam penanganan syok
hemoragik, seperti recombinant human activated protein C (APC), antagonis reseptor IL-1,
anti-TNF atau agen anti-LPS, atau pengontrolan gula darah yang ketat. Namun, penangananpenanganan ini akhirnya menunjukkan ketidakefektifannya dan kadang-kadang berbahaya.
Prognosis
Syok hemoragik dapat cepat fatal. Tujuan utama adalah untuk menghentikan
pendarahan. Resusitasi mungkin tergantung pada estimasi keparahan perdarahan . Sekarang
tampak bahwa pasien yang memiliki hipotensi moderat dari perdarahan moderat mungkin
manfaat dari keterlambatan resusitasi masif untuk mencapai fasilitas perawatan definitif . Di
sisi lain , ketika pasien jelas shock hemoragik berat, penggunaan kristaloid intravena atau
koloid dan produk darah bila tersedia dapat menyelamatkan nyawa . Ketidakpastian tetap
mengenai metode terbaik untuk resusitasi , jenis cairan , berapa banyak , ketika apa , dan
seberapa cepat .
Sistem rujukan
Pasien dirujuk apabila rumah sakit tidak mampu menangani pasien karena keterbatasan
SDM maupun fasilitas serta keadaan pasien yang masih memungkinkan untuk
dirujuk.
Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan dan kebutuhan penderita selama perjalanan
serta komunikasikan dengan dokter pada pusat rujukan yang dituju.
60
SYOK DISTRIBUTIF
Syok distributif diartikan sebagai maldistribusi aliran darah oleh karena adanya
vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai
untuk perfusi jaringan (Kamus Dorland, 2006). Seperti halnya tipe kolaps kardiovaskular
lainnya, syok distributif juga dikarakterisasi oleh perfusi jaringan yang inadekuat, dengan
manifestasi klinis berupa perubahan kondisi mental, takikardi, hipotensi, maupun oliguria.
Dalam definisi yang lebih kompleks, syok distributif dikaitkan dengan perubahan
resistensi pembuluh darah ataupun akibat perubahan permeabilitasnya, dimana faktor inilah
yang mencetuskan terjadinya hipoperfusi sistemik. Perubahan-perubahan tersebut langsung
mempengaruhi distribusi volume darah yang beredar secara efektif untuk kebutuhan jaringan
tubuh, sehingga sebagai dampaknya akan muncul hipotensi, diikuti dengan gangguan perfusi
jaringan serta hipoksia sel. Meskipun efek hipoksik dan metabolik akibat hipoperfusi pada
mulanya hanya menyebabkan jejas sel secara reversibel, syok yang terus terjadi pada
akhirnya akan mengakibatkan jejas jaringan secara ireversibel dan dapat berpuncak pada
kematian pasien (Robbins dkk, 2007).
Ada berbagai penyebab dari syok distributif. Beberapa di antaranya adalah sepsis,
SIRS, kegagalan tonus vasomotor dan reaksi anafilaksis. Syok septik adalah bentuk
paling umum dari syok distributif dengan angka kematian yang cukup besar. Sama halnya
dengan sepsis, systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang merupakan kondisi
inflamasi sistemik, juga menjadi penyebab kematian tersering di negara barat khususnya
Amerika Serikat (Sudoyo et al, 2009). Anafilaksis dan kegagalan tonus vasomotor adalah
pencetus lain dari syok distributif. Namun demikian, semua faktor di atas cukup adekuat
untuk memicu berbagai reaksi berantai dalam tubuh yang bila dibiarkan berlanjut tanpa
terapi, akan menimbulkan konsekuensi yang sifatnya fatal bagi pasien (Duane, 2008).
Etiologi Syok Distributif
Karena syok biasanya disebabkan oleh curah jantung yang tidak adekuat, maka setiap
keadaan yang menurunkan curah jantung jauh di bawah normal akan sangat mungkin
menyebabkan syok (Guyton & Hall, 2008). Namun demikian, faktor tersebut tidak selamanya
berlaku mengingat dalam mekanismenya, syok distributif mencakup dinamika yang lebih
kompleks.
60
Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau oleh
pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel, karena itu, kondisi-kondisi yang menempatkan
pasien pada resiko-resiko di atas tergolong sebagai etiologi dari syok distributif itu sendiri
(Robbins dkk, 2007).
umum,
SIRS
penyebab
dapat
Etiologi Pencetus
Infeksius (sepsis)
viremia,
fungemia,
Bakteremia,
mycobacteria,
dibagi
dll
Non-infeksius (SIRS) : Trauma, luka
bakar masif,
dapat
dipicu
oleh
eksotoksin/enterotoksin
yang dihasilkan oleh bakteri
Insufisiensi adrenal
Syok Anafilaksis
pituitari
(sarkoid,
Protein Heterolog :
Seperti racun serangga, makanan,
serbuk sari, dan produk serum darah
Heat Stroke
(Kanaparthi, 2012).
Suhu tubuh yang meningkat melebihi
suhu kritis, dalam rentang 105o sampai
Syok neurogenik
(Cheatham, 2003).
(Data dirangkum kembali dari berbagai sumber)
Patofisiologi
Upaya untuk menjelaskan patofisiologi dari syok telah mencapai perkembangan yang
signifikan setelah beberapa dekade terakhir (Cheatham, 2003). Melalui serangkaian
pengamatan, telah diketahui bahwa semua tipe syok dikarakterisasi oleh gangguan perfusi,
dan karena sifat-sifat khasnya cenderung dapat berubah pada berbagai derajat keseriusan,
mekanisme syok kemudian dibagi lagi menjadi 3 tahapan utama yaitu :
Tahap awal nonprogresif
Selama tahap ini, mekanisme kompensasi refleks akan diaktifkan dan perfusi organ vital
dipertahankan sehingga pada akhirnya menimbulkan pemulihan sempurna tanpa
-
bentuk syok lainnya. Namun demikian, meskipun tahapan dari berbagai macam syok pada
teorinya sama, di sisi lain mekanisme yang terlibat dapat bervariasi tergantung pada
penyebabnya.
Dalam syok distributif, perfusi jaringan yang inadekuat disebabkan oleh
meningkatnya tahanan vaskular sistemik dengan
60peningkatan curah jantung sebagai hasilnya
Nilai Acuan
60atau > 38 C (100 F)
< 36 C (97 F)
Denyut jantung
Pernafasan
WBC
> 90/min
> 20/min atau PaCO2 <32 mmHg (4,3 kPa)
< 4x10 9 / L (< 4000/mm ), > 12x10 9 / L
( > 12.000 / mm), atau > 10% stab
(Janotha, 2002)
Suatu reaksi inflamasi yang masif mendasari baik SIRS maupun sepsis, dan
karena respon inflamasi yang mirip pada kedua kasus ini, dipikirkanlah
patofisiologi yang sama. Akibat dari jejas lokal atau infeksi, mediator-mediator
proinflamasi sepertin TNF- dan IL-1 dilepaskan untuk melawan antigen-antigen
asing dan mempercepat proses penyembuhan luka. Kemudian akan diikuti
pelepasan mediator-mediator anti-inflamasi (IL-4, IL-10 dan IL-13) untuk
meregulasi proses ini.
Kelangsungan hidup bergantung pada tercapainya homeostasis. Bila respon
proinflamasi sistemik yang terjadi sifatnya berat, atau bila respon anti-inflamasi
sebagai kompensasinya tidak adekuat sehingga gagal meregulasi respon
proinflamasi, terjadilah ketidakseimbangan dengan predominan proinflamasi. Pada
keadaan ini didapatkan tanda-tanda SIRS, dan mulai didapat ancaman disfungsi
organ. Sebaliknya, jika terjadi predominansi respon anti-inflamasi, dengan akibat
anergi dan imunosupresi, keadaan ini dinamakan compensatory anti-inflammatory
response syndrome atau biasa disingkat CARS (Sudoyo et al, 2009).
60
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera
-
dilakukan.
Terapi cairan
Hipovolemia pada syok distributif perlu segera diatasi dengan pemberian
cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer laktat) maupun koloid.
Kristaloid merupakan pilihan terapi awal karena mudah didapatkan, tetapi
perlu diberikan dalam jumlah banyak. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Pada keadaan
albumin < 2 gr/dl koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit
diperlukan pada keadaan pendarahan aktif atau bilamana kadar hemoglobin
rendah pada keadaan iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar HB yang
dicapai pada SIRS dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl. Namun
pertimbangan kadar HB bukan hanya berdasarkan kadar HB semata,
melainkan juga keadaan klinis pasien, sarana yang tersedia, serta keuntungan
dan kerugian pemberian transfusi.
Kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian
secara enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara parenteral.
Pengendalian kadar glukosa darah juga perlu dilakukan oleh karena berbagai
penelitian menunjukkan manfaatnya
penurunan mortalitas.
-
Kortikosteroid
Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan pemberian
kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan perbaikan syok dan
infeksi sekunder
serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS.
Pembedahan
Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh trauma.
Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-kadang diperlukan
pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi berasal dari
intra-abdomen.
Kontrol kausa lainnya
Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai fraktur dapat
memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi patah tulang yang lebih
dini, debridemen luka bakar, reseksi usus yang iskemik atau jaringan mati
c.
jaringan.
Manipulasi kaskade pembekuan darah
Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada pasien sebesar
6% (Bone, 1992).
SYOK NEUROGENIK
Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi
Manifestasi Klinis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat
tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat
(bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau
paraplegia . Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah
nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan
vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.
Diagnosis
Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat
tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat
(bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau
paraplegia.
Diagnosis Banding
60
Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan
menggunakan masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang
berat, penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan.
Langkah ini untuk menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi
distres respirasi yang berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong
menstabilkan hemodinamik dengan menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot
respirasi.
Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan.
Cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus
secara cepat 250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan
darah, akral, turgor kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.
Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif
(adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
o Dopamin
Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek
serupa dengan norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.
o Norepinefrin
Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor
terjadinya hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal
dalam menaikkan tekanan darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan,
diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus. Obat ini
merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih
besar dari pengaruh terhadap60jantung (palpitasi). Pemberian obat ini
dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat
ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
o Epinefrin
Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan
dimetabolisme cepat dalam badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat
dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum pemberian obat ini harus
diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik. Perlu
diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh
diberikan pada pasien syok neurogenic
o Dobutamin
Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya
cardiac output. Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui
vasodilatasi perifer.
Resistensi
Obat
Dosis
Cardiac
Tekanan
Pembuluh
Output
Darah
Darah
Sistemik
Dopamin
Norepinefrin
Epinefrin
Fenilefrin
Dobutamin
2,5-20
mcg/kg/menit
0,05-2
mcg/kg/menit
0,05-2
mcg/kg/menit
2-10
mcg/kg/menit
2,5-10
mcg/kg/menit
++
++
++
++
++
++
+/-
SYOK ANAFILAKTIK
Syok
anafilaktik
adalah
suatu
respons
hipersensitivitas
yang
diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
60
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigen-
antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
Mekanisme anafilaktik
1. Fase Sensitisasi
Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit,
mukosa, saluran nafas atau saluran makan ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera
mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T, dimana ia akan mensekresikan
sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi limfosit B berproliferasi menjadi sel plasma
(plasmosit). Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (IgE) spesifik untuk antigen
tersebut. IgE ini kemudian terikat pada reseptor permukaan sel mast (mastosit) dan
basofil.
2. Fase Aktivasi
Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama. Mastosit
dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh.
Alergen yang sama tadi akan diikat oleh IgE spesifik dan memicu terjadinya reaksi
segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin
dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang disebut dengan istilah Preformed
mediators. Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut Newly formed mediators.
3. Fase Efektor
Yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator
yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ-organ
tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas
kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mukus dan vasodilatasi. Serotonin
meningkatkan permeabilitas vaskuler dan bradikinin menyebabkan kontraksi otot
60
polos. Platelet Activating Factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
Umum
Prodromal
Pernapasan
Hidung
Laring
Lidah
Bronkus
Lesu, lemah, rasa tak enak, rasa tak enak di dada dan perut, rasa
Kardiovaskuler
Gastrointestinal
Kulit
Mata
Susunan
saraf
pusat
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.
Diagnosis
Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik yang
muncul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor
pencetusnya.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak sesak, frekuensi nafas meningkat, sianosis
karena edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada
syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi kongjungtiva.
Tanda prodromal pada kulit dapat berupa urtikaria dan eritema.
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih
setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka
American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria (IDI,
2013).
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga
beberapa jam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintikbintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah,
uvula), dan salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala
yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).
60
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah
terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam),
yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh
tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia);
penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia); dan gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram,
muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen
yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anakanak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih
dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat
membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal dan beberapa pemeriksaan
digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung
eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering
kali menunjukan nilai normal. Pemeriksaan ini hanya berguna untuk prediksi kemungkinan
alergi pada anak kecil atau bayi dari keluarga dengan derajat alergi yang tinggi.
Penatalaksanaan
Dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam memberikan terapi pada pasien
anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi
berjalan baik; 2). Sistem kardiovaskular juga harus berfungsi dengan baik sehingga perfusi
jaringan memadai.
Sistem Pernapasan
a. Memelihara saluran pernapasan tetap memadai. Penyebab tersering kematian pada
anafilaksis adalah tersumbatnya salauran napas baik karena edema larings atau
spasme bronkus. Kadang diperlukan tindakan trakeostomi. Karena trakeostomi hanya
dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat
dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum
60
besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke Rumah Sakit.
pasien dengan asma, late reaction ini dapat terjadi lebih berat daripada initial
reaction (American Academy of Allergy, Asthma & Immunology, 2012).
Terapi medikamentosa
Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosis dan
pengelolaannya.
a. Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3
faktor yaitu :
60
chemical
mediators
yang
lepas
dan
tidak
menghentikan
2.
Terapi Suportif
Terapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan
sebaiknya dilakukan secara bersamaan (Cook, 1971).
a. Pemberian Oksigen
Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 5 ltr /
menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi
atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
b. Posisi Trendelenburg
Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal
dengan kursi) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah
ikut meningkat.
c. Pemasangan infus.
Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap
rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander
(Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler
secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis
dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya
dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.
d. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)
Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi
kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan
seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok
anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter
tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga
perangkat resusitasi (Resucitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya.
SYOK OBSTRUKTIF
Merupakan gangguan kontraksi jantung akibat dari luar atau gangguan aliran balik
60
Syok obstruktif terjadi akibat aliran darah dari ventrikel mengalami hambatan secara
mekanik, diakibatkan oleh gangguan pengisian pada ventrikel kanan maupun kiri yang dalam
keadaan berat bisa menyebabkan penurunan Cardiaac Output. Hal ini biasa terjadi pada
obstruksi vena cava, emboli pulmonal, pneumotoraks, gangguan padapericardium (misalnya :
tamponade jantung) ataupun berupa atrial myxoma.
Emboli Paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh suatu
embolus, yang terjadi secara tiba-tiba. Suatu emboli bisa merupakan gumpalan darah
(trombus), tetapi bisa juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau
gelembung udara, yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh
darah.
Tamponade jantung yaitu pengumpulan cairan di dalam kantong jantung (kantong
perikardium, kantong perikardial), yang menyebabkan penekanan terhadap jantung dan
kemampuan memompa jantung. Tamponade jantung terjadi secara mendadak jika begitu
banyak cairan terkumpul sehingga jantung tidak dapat berdenyut secara normal. Sebelum
timbulnya tamponade, penderita biasanya merasakan nyeri samar-samar atau tekanan di dada,
yang akan bertambah buruk jika berbaring dan akan membaik jika duduk tegak. Dasar
kelainan : terkumpulnya banyak cairan dalam kavum perikard.
Tamponade jantung merupakan suatu sindroma klinis akibat penumpukan cairan
berlebihan di rongga perikard yang menyebabkan penurunan pengisian ventrikel disertai
gangguan hemodinamik. Jumlah cairan yang cukup untuk menimbulkan tamponade jantung
adalah 250 cc bila pengumpulan cairan tersebut berlangsung cepat, dan 100 cc bila
pengumpulan cairan tersebut berlangsung lambat, karena pericardium mempunyai
kesempatan untuk meregang dan menyesuaikan diri dengan volume cairan yang bertambah
tersebut.
Manifestasi klinis
Penatalaksanaan
Pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg atau telentang dengan kaki ditinggikan.
Untuk syok yang tidak terdiagnosis :
-
Komplikasi
-
Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan.
Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler
karena hipoksia.
DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang
luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.
III.
FRAKTUR FEMUR
a. Etiologi
Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, kita
harus mengetahui kondisi fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat
menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat
menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing).
Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
membengkok, memutar dan tarikan. Trauma dapat bersifat :
Trauma langsung
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi
fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan
jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.
menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak
tetap utuh.
Tekanan pada tulang dapat berupa :
Tekanan berputar yang dapat menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik
Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal
Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi,
Fraktur traumatik
Yang terjadi karena trauma yang tiba-tiba
Fraktur patologis
Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat kelainan patologis di
dalam tulang
Fraktur stres
Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada suatu tempat tertentu.
Klasifikasi klinis
60
Bersampingan
Angulasi
Rotasi
Distraksi
Over-riding
Impaksi
60
IV.
RHABDOMOLISIS TRAUMATIK
Crush syndrome adalah keadaan klinis yang disebbakan kerusakan oto, yang jika
tidak ditangani akan menyebabkan kegagalan ginjal akut. Kondisi ini terjadi akibat crush
injury pada massa sejumlah otot, yang tersering pada dan betis. Keadaan ini disebabkan oleh
kombinasi cidera otot langsung, gangguan perfusi otot, iskemia dan kematian sel disertai
dengan pelepasan myoglobin. Trauma otot adalah penyebab terbanyak rhabdomyolisis,
dengan dari tanpa gejala disertai dengan peningkatan kreatinin kinase sampai kondisi
mengancam nyawa yang berhubungan dengan gagal ginjal akut dan disseminated
intravascular coagulation (DIC).
Rhabdomiolosisi merupakan salah satu penyebab AKI yang terjadi akibat kerusakan
otot yang ekstensif dan pelepasan myoglobin. Myoglobin di dalam otot akan berada dalam
bentuk ferrous myoglobin (Fe2+) dan di dalam ginjal akan berada dalam bentuk ferric
myoglobin (Fe3+). Oksidasi myoglobin oleh peroksidase akan membentuk frryl-myoglogin
(Fe4+) yang merupakan oksidator kuat dan dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Alkalinisasi
akan menstabilkan ferryl-myoglobin sehinga mengurangi efek oksidatornya.
Etiologi:
a. Trauma otot (Misalnya crush syndrome) atau pasca latihan fisik yang berat
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Manifestasi klinis:
Secara klinik akan tampak otot yang bengkak dan nyeri, oliguria dan urin berwarna
coklat. Bila rabdomiolisis disertai hipokalsemia, maka pemberian infus kalsium harus
dihindari karena akan menyebabkan kalsifikasi metastatic yang akan makin merusak otot dan
nekrosis jaringan. Walaupun demikian, pada rabdomiolisis dengan hyperkalemia, tetap dapat
diberikan infus kalsium.
60
Pemeriksaan:
Mioglobin menimbulkan urine berwarna kuning gelap dengan tes yang akan positif
adanya hemoglobin. Pemeriksaan khusus myoglobin perlu untuk menunjang diagnosis.
Rabdomiolisis adapat menyebabkan asidosis metabolic, hyperkalemia, hipokalsemia dan
DIC.
Pengelolaan:
Pemberian cairan IV awal dan secara agresif selama resusitasi sangat penting untuk
melindungi ginjal dari gagal ginjal pada pasien dengan rabdomiolisis. Gagal ginjal yang
disebabkan oleh myoglobin dapat dicegah dengan pemberian caairan dan diuresis osmotic
untuk meningkatkan isi tubulus dan aliran urine. Dianjurkan untuk mempertahankan output
urine pasein 100mL/jam sampai bebas dari myoglobin uria.
60
PENUTUP
Kesimpulan
Syok merupakan keadaan kegawatdaruratan yang membutuhkan penanganan yang
cepat dan tepat. Keadaan Syok sering terjadi pada pasien trauma. Keadaan syok harus segera
dikenali tanda-tandanya, kemudian kenali penyebabnya. Penanganan pasien syok dilakukan
sesuai prosedur penangan emergency/kegawatdaruratan yaitu dengan melakukan primary
survey dan secondary survey.
60
Daftar Pustaka
American College of Surgeons Committee on Trauma, 2012. Advanced Trauma Life Support
for Doctors ATLS Student Course Manual 9th Edition. USA: American College of Surgeons.
Guyton A.C. and J.E. Hall 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.
60
60