Anda di halaman 1dari 10

1.

Pendahuluan
Dewasa ini banyak terjadi mengenai tuduhan dokter gigi melakukan malapraktek.
Tuduhan kesalahan tidakanan medis ini sering dijumpai melalui surat pembaca di sebuah
surat kabar. Alasan pasien yang dikemukakan terhadap tuduhan tersebut, antara lain hasil
tindakan medis tidak memenuhi harapan, pelayanan yang tidak memuaskan, tidak
mendapatkan informasi yang jelas tentang langkah-langkah tindakan medis yang akan
dilakukan, beaya yang terlalu mahal dllnya. Hal semacam ini memungkinkan dapat
berkembang menjadi sengketa medis bilamana pasien telah berkonsultasi dengan
keluarganya atau melalui kerabatnya . Penyelesaian sengketa medis yang ditempuh oleh
pasien dengan cara, yaitu melalui jalur hukum atau organisasi profesi. Tindakan medis
adalah upaya yang dilakukan dengan menggunakan peralatan kedokteran dan kedokteran gigi
berdasarkan kaidah-kaidah pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi yang telah teruji.
Dari segi hukum yang berkaitan dengan tindakan medis, ada tiga hal yang harus
dipenuhi dalam melaksanakan tindakan medis hingga dianggap sah menurut hukum, yaitu
ada tujuan, siapa pelakunya dan syarat legalnya. Tujuan utamanya untuk menegakkan
diagnosis dan melakukan rencana terapi. Pelaku tindakan medis yang diperbolehkan adalah
dokter gigi yang berkompeten dan sah menurut hukum. Adapun syarat legalnya tindakan
medis ini, yaitu adanya izin dari pihak pasien, alasan dilakukannya tindakan medis dan cara
baku melakukan-nya, atau standar profesi. Dokter gigi harus bekerja sesuai dengan standar
profesi dan melaksanakan kode etik agar terhindar dari sengketa medis, selain itu
diharapkan dokter gigi yang menyelenggarakan praktek swasta memahami tentang aspek
hukum yang berlaku di Indonesia. Pentingnya jaminan hukum dalam menyelenggarakan
praktek swasta amat dibutuhkan oleh dokter gigi. Peran organisasi profesi dalam menyikapi
anggotanya yang tersangkut dalam sengketa medis harus bijaksana.
Berdasarkan pasal 7 ADRT tahun 2008, PDGI membentuk Badan Pembelaan dan
Pembinaan Anggota (BPPA). Tugas dan wewenangnya, antara lain melaksanakan tugas
pembelaan dan pembinaan pelaksanaan etik kedokteran gigi, disiplin dan hukum, memberi
pertimbangan atau usul kepada yang berwenang atas pelanggaran etika, disiplin dan hukum,
mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terkait sehubungan dengan pembelaan
dan pembinaan anggota.
2. Kedudukan Dokter Gigi di Depan Hukum
Sebagai warga negara seorang dokter gigi memiliki hak dan kewajiban yang sama
dengan rakyat Indonesia lainnya, sehingga mendapatkan perlakuan yang sama pula. Dokter
gigi yang melanggar hukum akan mendapat sangsi hukum, sehingga seorang dokter gigi tidak
ada yang kebal terhadap hukum. Setiap orang adalah sama didepan hukum, dapat diadili
untuk tindak pidana yang dilakukan. PDGI telah menyiapkan BPPA untuk kepentingan
membela anggotanya; namun bilamana seorang dokter gigi melanggar peraturan dan
perundangan yang berlaku tidak akan dilindungi. BPPA akan melindungi anggotanya yang
dituduh melanggar hukum yang berkaitan dengan dokter gigi dalam melaksanakan tugas
profesinya, dilaksanakan sesuai kode etik kedokteran gigi, lafal sumpah dokter gigi, standar
profesi, peraturan dan perundangan bagi tenaga kesehatan yang berlaku.
1

3. Aspek Hukum Dokter Gigi


Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat belakangan ini akan berdampak
terhadap dokter gigi yang menyelenggarakan praktek swasta. Dampak negatif yang terjadi
akan semakin banyak dokter gigi yang tersangkut tuduhan atau tuntutan hukum. Untuk
mengantisipasi hal ini dipandang perlu seorang dokter gigi yang menyelenggarakan praktik
swasta meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap aspek hukum.
Peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan hukum kesehatan, antara lain:
- KUHPerdata dan KUHPidana
- Undang-Undang No. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan
- Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
- Peraturan Pemerintah No, 10 tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 512/Menkes/ Per/IV/2007 Tentang Izin Praktek dan
Pelaksanaan Praktek Kedokteran
- Peraturan Menteri Kesehatan No.290/Menkes/ Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
- Peraturan Menteri
Medik/Medikal Record

Kesehatan

No.749a/Menkes/

Per/XII/1989

Tentang

Rekam

- Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No. 17/ KKI/Kep/VIII/2006 Tentang Penegakan


Disiplin Profesi Kedokteran
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 15/ KKI/Per/VIII/ 2006 Tentang Organisai dan
Tata organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedoteran Indonesia di Tingkat
Provinsi
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 16/ KKI/Per/VIII/2006 Tentang Tata Cara
Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi Oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Di Tingkat Provinsi
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 42/ KKI/Per/XII/2007 Tentang Tata Cara
Registrasi Ulang, Registrasi Sementara dan Registrasi Bersyarat Dokter dan Dokter Gigi.
- Dan lain-lain
Hubungan hukum antara dokter gigi dan pasien
Hubungan hukum antara dokter gigi dan pasiennya yang terjadi dalam pelayanan
bidang kedokteran gigi, disebabkan adanya persetujuan atau kesepakatan. Dalam persetujuan
atau kesepakatan ini terjadi perjanjian karena antara kedua belah pihak saling berjanji
melakukan sesuatu, yaitu pengobatan atau perawatan gigi dan mulut. Akibat dari perjanjian
ini timbul perikatan antara dokter gigi dan pasien. Dalam undang- undang dijelaskan
2

pengertian perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih, dimana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain itu
berkewajiban memenuhi tuntutan. Sesuatu yang dituntut tersebut menurut undang-undang
dapat berupa: menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, tidak melakukan suatu
perbuatan. Terkait hubungan dokter gigi dan pasien, yang menjadi tuntutan disini, yaitu
melakukan suatu perbuatan. Yang dimaksud melakukan suatu perbuatan disini adalah
tindakan medis. Selanjutnya perikatan ini diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Untuk
sahnya suatu perikatan diperlukan 4 syarat, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.
Hubungan dokter dan pasien mempunyai peranan penting, karena saling berjanji
untuk mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan bagi pasien sehingga terbentuklah
suatu perikatan. Dalam hal ini dokter gigi dan pasien sudah dianggap sepakat melakukan
perikatan, apabila dokter gigi telah mulai melakukan anamnesis dan menentukan rencana
perawatan terhadap pasienya. Menurut Syamsul Bachri, pada saat seorang pasien memasuki
ruang dokter untuk berobat dan dokter itu telah memulai melakukan anamnesa dan rentetan
pemeriksaan, ketika itu sesungguhnya telah terjadi suatu persetujuan atau perjanjian
(transaksi) terapetik antara dokter dan pasien. Dokter gigi dan pasiennya yang melakukan
perikatan tindakan medis dikenal dengan perjanjian terapetik. Sifat perjanjian terapetik
adalah suatu perjanjian berusaha melakukan perbuatan sebaik mungkin dan tidak menjamin
hasilnya. Meskipun demikian menurut Leenen suatu tindakan medis harus memenuhi syarat:
1) Harus ada indikasi medis,
2) Dilakukan berdasarkan standar profesi
3) Dilakukan dengan teliti dan hati-hati
4) Harus ada informed consent Sebaliknya bilamana perikatan ini akan dibatalkan,
tidak bisa begitu saja dilakukan oleh satu pihak.
Untuk itu harus ada persetujuan atau kesepakatan kedua belah pihak yang telah diatur
dalam pasal 1338 KUHPerdata. Kenyataan hubungan dokter gigi dan pasien pada perjanjian
terapetik dilakukan saling percaya mempercayai yang senantiasa diliputi segala emosi,
harapan dan kekhawatiran mahluk insani. Mengingat hak-hak pasien maka pasien dapat saja
membatalkannya secara sepihak tanpa persetujuan dokter gigi yang merawatnya. Hal ini
dapat membahayakan pihak dokter gigi yang merawatnya karena pasien dapat melakukan
secunder opinion, merasa berhak mememperoleh perlindungan hukum dan pasien tidak
mendapatkan harapan yang sesuai dari dokter giginya.
4. Tanggung Jawab Hukum Dokter Gigi dalam Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran
Hubungan pasien-dokter dalam pelayanan kesehatan terbagi menjadi dua yakni
hubungan kontrak terapeutik dan hubungan karena adanya peraturan perundangan. Hubungan
kontrak terapeutik diawali dengan perjanjian kedua belah pihak hingga tercapainya
kesepakatan bersama berupa persetujuan atau penolakan rencana tindakan medis. Hubungan
3

karena peraturan perundangan muncul sebagai kewajiban dokter terhadap pasien. Kedua
hubungan tersebut melahirkan tanggung jawab hukum, profesi dan etika dari dokter.
Pertanggung jawaban hukum dalam dunia kesehatan terutama dalam pelaksanaan suatu
pelayanan medis terbagi menjadi 3 antara lain:
a. Pertanggung jawaban secara hukum perdata
Mengandung unsur ganti rugi jika terdapat kelalaian atau kesalahan tindakan medis.
Jenis tindakan yang dianggap melanggar hukum perdata adalah Wanprestasi yakni
kegagalan tindakan medis yang telah mendapat informed consent dari pasien atau keluarga
pasien sebagaimana diatur dalam pasal 1234-1289 Kitab UU Hukum Perdata. Hukum perdata
dikaitkan dengan UU No. 36 tahun 2009 pasal 29 bahwa Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi. Mediasi merupakan upaya dari pihak-pihak berpekara untuk
berdamai demi kepentingan pihak-pihak terkait dan biaya yang dikeluarkan menjadi
tanggung jawab pihak yang memiliki perkara.
b. Pertanggung jawaban secara hukum pidana
Terbukti jika suatu tindakan pelayanan kesehatan memiliki unsur pidana sesuai dengan Kitab
UU Hukum Pidana dan UU lainnya.
c. Pertanggung jawaban secara hukum administrasi
Pelanggaran terhadap hukum yang mengatur hubungan hukum antara jabatan dalam
negara. Hukum administrasi dalam lingkungan kesehatan yakni adanya Surat Izin Praktek
tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat, sebagaimana ditur dalam UU No.36 tahun
2009 tentang Kesehatan pasal 23 ayat 3 dan pasal 24 ayat 1. Permenkes RI 512/2007 pasal 2
ayat 1 bagi dokter yaitu setiap dokter dan dokter gigi yang akan melakukan praktik
kedokteran wajib memiliki SIP, bagi perawat menyebutkan bahwa setiap perawat yang
menjalankan praktik wajib memiliki SIPP. UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran pasal 76 menyatakan setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa surat izin praktik sebagaimana dalam pasal 36 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00.
Sanksi pelanggaran hukum administrasi dapat berupa teguran (lisan atau tertulis), mutasi,
penundaan kenaikan pangkat, penurunan jabatan, skorsing bahkan pemecatan.
d. Sengketa Medis
Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit
menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan pasien
dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran. Pasal
66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang mengetahui atau
kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik
kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua majelis Kehormatan Disiplin
Kedoktern Indonesia. Dengan demikian sengketa medik merupakan sengketa yang terjadi
4

antara pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik dalam hal ini pasien
dengan dokter.
5. Malpraktik Medis
Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktik mempunyai arti
pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan yang
salah. Definisi malpraktik medis menurut World Medical Association (WMA) adalah adanya
kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau
kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung
terhadap terjadinya cedera pada pasien. Profesi tenaga kesehatan berlaku noram etika dan
hukum, oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktik maka harus diukur
atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika
disebut ethical malpractice sedangkan dari sudut pandang hukum disebut yuridical
malpractice. Apabila terjadi kesalahan praktik perlu dilihat aspek norma apa yang dilanggar,
karena etika dan hukum mempunyai perbedaan yang mendasar menyangkut substansi,
otoritas, tujuan dan sanksi. Menurut Leenen, untuk mengetahui seorang dokter melakukan
malpraktik atau tidak maka dapat dilihat unsur standar profesi meliputi apakah dokter berbuat
secara teliti atau seksama dikaitkan dengan culpa atau kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik,
kemampuan rata-rata disbanding kategori keahlian medik yang sama, situasi dan kondisi
yang sama, sarana upaya yang sebanding (asas proporsionalitas) dengan tujuan tindakan
medik yang jelas. Selain itu, malpraktik juga dapat ditentukan berdasarkan 4D of Nigligence
meliputi Duty, Dereliction of that duty, Direct caution dan Damage.
6. Penyelesian tuntutan perkara hukum
Penyelesaian masalah tuntutan perkara hukum dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu
secara kekeluargaan, jalur hukum, dan MKDKI.
a. Penyelesaian secara kekeluargaan
Salah satu cara penyelesaian sengketa medis melalui Alternative Dispute Resolution
(ADR) atau penyelesaian melalui mediasi. Penyelesaian ini dapat dilaksanakan oleh pihak
ke tiga baik diluar sistem peradilan maupun di dalam sistem peradilan. Berdasarkan
PERMA No. 1 tahun 2008, Mahkamah Agung mendorong mediasi di Pengadilan menjadi
kewajiban bagi para pihak sebelum pemeriksaan sengketa medis dimulai, hal ini untuk
mengurangi penumpukan perkara di pengadilan. Mediasi dapat menyelesaikan masalah
dengan cepat, efektif dan efesien. Penyelesaian secara mediasi ini dapat dilakukan oleh
BPPA, sebagai usaha melakukan pembelaan terhadap anggota PDGI.
b. Penyelesaian di tangan penyidik
Akhir-akhir ini sengketa medis banyak juga diadukan kepada pihak kepolisian.
Apakah hal ini lazim? Jika dibandingkan dengan India, Supreme Court of Justice menentukan
hanya perkara yang termasuk malapraktek medik berat, yaitu kelalaian berat (gross
negligence) dan sifatnya kriminal saja yang bisa diadukan ke polisi. Di Indonesia masyarakat
sudah salah kaprah, karena tidak ada pengaturan, tidak ada hukum dan penjelasan harus ke
5

mana mengadukan. Dengan demikian masyarakat perlu diberi informasi tentang duduk
persoalannya tentang pengaduan sengketa di bidang medis. Perkara yang ditangani oleh
penyidik berkaitan dengan kelalaian berat dan bersifat kriminal atau ada kesengajaan yang
dilakukan oleh dokter gigi dalam pelayanan kesehatan.
Untuk membuktikan adanya kelalaian ada 4 alat bukti yang harus diperhatikan:
a) Apakah tindakan medis tersebut sudah sesuai dengan standar profesi
b) Bagaimana data medis yang tertuang dalam rekam medik pasien tersebut
c) Apabila telah dibuat visum et repertum
d) Bagaimana pendapat ahli yang mempunyai keahlian dalam bidang tersebut dengan
masalah yang terjadi.
Pihak penyidik akan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dan
masalah dianggap selesai apabila masalah tersebut telah ditangani oleh penyidik dan ternyata
tidak ada bukti kuat adanya kelalaian.
c. Penyelesaian melalui peradilan
Penasehat hukum yang paham dengan hukum kesehatan diperlukan bilamana
masalah sengketa medis menjadi perkara hukum sampai di sidang pengadilan. Disamping itu
diperlukan juga saksi ahli dan saksi a de charge (yang meringankan) agar tercapai keputusan
yang seadil-adilnya.
d. Penyelesaian melalui MKDKI
KKI dalam menjalankan tugas untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi
dalam penyelenggaraan praktik kedokteran diserahkan kepada Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI). Majelis ini merupakan lembaga otonom KKI yang
keberadaannya berdasarkan pasal 1 (14) UU No. 29 tahun 2004 Tentang Praktik Praktek
Kedokteran. Tugas MKDKI adalah menegakkan aturan-aturan dan ketentuan penerapan
keilmuan kedokteran dalam pelaksanaan pelayanan medis yang seharusnya diikuti oleh
dokter dan dokter gigi. Oleh karena itu, MKDKI merupakan badan yang ditunjuk oleh KKI
untuk menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran atau kedokteran gigi
dan menetapkan sangsi. Dengan demikian MKDKI merupakan lembaga peradilan profesi
yang independent bagi tenaga kesehatan yang berdiri berdasarkan undang-undang, yang
bertugas menerima pengaduan, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara yng
berkaitan dengan perkara medis.
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan atau ketentuan
penerapan keilmuan, yang pada hakekatnya dapat dikelompokkan dalam 3 hal, yaitu:
1) Melaksanakan praktik kedokteran yang tidak kompeten

2) Tugas dan tanggung jawab professional pada pasien tidak dilaksanakan dengan
baik
3) Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
MKDKI dalam menangani perkara dugaan pelanggaran disiplin kedokteran dan
kedokteran
gigi
berdasarkan
Keputusan
Konsil
Kedokteran
Indonesia
No.17/KKI/KEP/VIII/2006 Tentang Penegakaan Disiplin Profesi Kedokteran. Ketentuan
pelanggaran disiplin, dapat dilihat dalam buku tentang penyelenggaraan praktik kedokteran
yang baik di Indonesia yang diterbitkan berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia
No.18/ KKI/KEP/IX/2006.
e. Upaya bantuan hukum
Pelaporan kepada PDGI wilayah tempat menjalankan praktek harus segera dilakukan
bilamana terjadi masalah antara dokter gigi dan pasien yang menyangkut tuntutan perkara
hukum. Sebagai induk organisasi, PDGI bersama MKEKG.dan BPPA akan melakukan
verifikasi kesalahan berdasarkan pelanggarannya Pasien dan keluarganya akan dipanggil
untuk memperjelas persoalan yang sebenarnya, dengan demikian dapat diperoleh persoalan
atas kerugian yang diderita oleh pasien: apakah akibat kelalaian dokter gigi atau kesalahan
pasien atau apakah terjadi pelanggaran etik, disiplin ataupun hukum. Pelanggaran etik antara
lain dapat disebabkan dokter gigi yang melakukan pelayanan kesehatan tidak memahami hak
pasien, bilamana terdapat pelanggaran etik maka PDGI berhak menegur anggotanya. Namun
demikian ada beberapa pelanggaran etik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat
berakibat sangsi hukum, antara lain : pembocoran rahasia pasien yang seharusnya disimpan
atau tindakan asusila terhadap pasien yang dirawatnya. BPPA akan memberikan bantuan
mencarikan konsultan hukum yang memahami aspek hukum kesehatan yang berkaitan
dengan profesi dokter gigi dalam rangka melawan perkara hukum yang dihadapi anggotanya.
Konsultan hukum ini bertugas membela dan mendampingi dokter gigi yang dituduh
melanggar hukum, menyediakan saksi dan saksi ahli selama penyidikan dan proses peradilan.
BPPA membantu penyelesaian sengketa medis anggota PDGI melalui mediasi di luar maupun
di dalam sistem peradilan. Bilamana sengketa medis telah menjadi perkara hukum yang
harus melalui proses peradilan, BPPA akan mendampinginya di dalam sidang pengadilan dan
mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terkait. PDGI harus mengajukan
permohonan kepada MKDKI untuk sahnya verifikasi terhadap pelanggaran disiplin.
Berdasarkan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia pasal 6(3) No.16 / KKI/PER/VIII/2006
tentang tata cara penanganan dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi, MKDKI
mengangkat Majelis Pemeriksaan Awal (MPA) yang terdiri 3 orang dan bekerja dalam 14
hari. Tugas MPA antara lain memeriksa keabsahan aduan, keabsahan alat bukti, menetapkan
pelanggaran etik atau disiplin, menolak pengaduan karena tidak memenuhi sayarat
pengaduan atau tidak termasuk dalam wewenang MKDKI, dan melengkapi seluruh alat bukti.
Berdasarkan pasal 7(1), selambat-lambatnya 14 hari setelah laporan MPA tentang
adanya pelanggaran disiplin, MKDKI membentuk Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) yang
terdiri 3 5 orang dan bekerja selambat-lambatnya 28 hari.Tugas MPD mengadakan sidang
7

untuk memeriksa, pembuktian dan menetapkan sangsi terhadap pelanggaran disiplin yang
dilakukan dokter gigi. Dalam sidang peradilan profesi dihadiri oleh pasien atau keluarga /
kuasanya, saksi, dokter gigi yang bersangkutan. Bilamana diperlukan MPD dapat meminta
keterangan tenaga ahli agar memperoleh keputusan yang seadil-adilnya. Berdasarkan pasal
31(2) dokter gigi yang mendapat sangsi pelanggaran diberikan kesempatan menyatakan
keberatannya selambat-lambatnya selama 30 hari. Terhadap keberatan yang diajukan maka
MPD akan melakukan sidang ulang untuk mengadakan peninjauan kembali. Keputusan
sidang MPD merupakan keputusan MKDKI yang mengikat KKI, dokter gigi yang dituntut,
penuntut, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan daerah dan institusi terkait.
Persoalan tersebut akan lebih mudah diatasi bilamana keberadaan MKDKI-P sudah
dibentuk sampai ke propinsi.7 Dengan demikian memudahkan dan mempercepat proses
sidang yang dibutuhkan dalam peradilan profesi. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung no.
B 006/R 31/I/ 1982 tanggal 19 Oktober 1982 Tentang Perkara Profesi Kesehatan, bahwa
agar tidak meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan atau
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Juga berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 4/PVVV-V/ 2007, bahwa perkara medis diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan
profesi,7,11 maka peran PDGI sangat penting guna penyelesaian tuntutan perkara etik,
disiplin dan hukum.
Dokter gigi yang mendapatkan tuntutan perkara hukum hendaknya segera melapor
kepada PDGI agar mendapat pembelaan dalam upaya penyelesaian tehadap pihak pasien.
PDGI akan mencegah tuntutan perkara yang langsung diadukan oleh pasien kepada pihak
kepolisian. Dalam hal ini BPPA akan mengingatkan institusi tersebut agar menghentikan
penyidikan sebelum dilakukan proses melalui MKDKI, mengadakan konsultasi timbal balik
dengan instansi terkait, juga memberi pertimbangan atau usulan kepada yang berwenang atas
sanksi pelanggaran etik, disiplin dan hukum yang terjadi. Penyelesaian tuntutan perkara
harus melalui MKDKI terlebih dahulu sebelum dilaporkan kepada petugas penegak hukum,
karena MKDKI merupakan lembaga peradilan profesi. Upaya hukum terhadap perkara
hukum yang sudah terlanjur ditangani jalur hukum dapat dilakukan melalui praperadilan.
Dasar hukum penyelesaian perkara medis melalui peradilan profesi sudah sangat
jelas, yaitu pasal 54 (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, pasal 1 (14) Undang-Undang
No. 24 Tahun 2004, Surat Edaran Kejaksaan Agung No. B006/ R-31/ I/1982 Tentang Perkara
Profesi Kesehatan dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PVV-V/ 2007. Dokter gigi yang
dituntut perkara hukum dapat melakukan upaya hukum praperadilan apabila terlebih dahulu
telah diperiksa penyidik dan dimasukan dalam peradilan umum. Alasan upaya praperadilan
karena peradilan umum merupakan lembaga yang tidak berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutuskan perkara medis sebelum ada rekomendasi dari MKDKI.
Upaya penyelesaian yang ditempuh pasien langsung melalui jalur hukum, karena
pasien tidak mengenal proses penyelesaian hukum kesehatan karena keberadaan MKDKI
kurang atau belum disosialisasikan. Selain itu lokasi MKDKI yang terletak di Jakarta tidak
dapat menjangkau seluruh masyarakat Indonesia, sedangkan MKDKI-P yang seharusnya
berada di wilayah ibukota propinsi belum banyak dibentuk. PDGI sebagai induk organisasi
8

profesi dituntut lebih berperan aktif untuk menggiatkan keberadaan MKDKI-P untuk
mempercepat proses peradilan profesi di daerah- daerah. Sebelum terbentuknya MKDKI-P,
sebaiknya dokter gigi yang menyelenggarakan praktek swasta di daerah bilamana
mendapatkan tuntutan perkara hukum agar segera melapor kepada PDGI cabang. PDGI
cabang yang menerima laporan bersama dengan BPPA segera mengadakan verifikasi
masalah, jika MKDKI-P belum terbentuk. Selanjutnya, mengambil langkah penyelesaian
secara kekeluargaan. Jika tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan, maka BPPA
bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Kesimpulan yang dapat diambil adalah dokter gigi mendapat tuntutan dari pasiennya
karena tidak menghargai hak pasien dan kurang memahami aspek hukum. Sebaliknya pasien
dalam perjanjian terapetik didasarkan atas hak dan kewajiban serta dilakukan atas saling
percaya sehingga dengan mudah membatalkan secara sepihak. Secunder Opinion dan
pengaruh pihak keluarga atau kerabat dapat memperkuat perasaan pasien untuk mendapat
perlindungan hukum.

Daftar Pustaka

1. Afandi D. 2009. Mediasi: Alternatif Penyeleesaian Sengketa Medis. Maj Kedokt


Indonesia, Vol 59, No.5
2. Budi, Ananta. Januari, 2010. Upaya bantuan hukum Dokter Gigi dalam menghadapi
sengketa medis. Jurnal PDGI. Volume 59, No.1.
3. Suryono. 2013. Best Practice dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan,
http://ebookbrowse.com/best-practice-mediasi-pdf-d349636054, diunduh pada 15
November 2015.

10

Anda mungkin juga menyukai