Anda di halaman 1dari 8

KARAKTERISTIK HUTAN RAWA GAMBUT DI TUANAN DAN

KATUNJUNG, KALIMANTAN TENGAH

Oleh :
Andriani Diah I.

B1J012011

Linda Anita T.

B1J012021

Nur Ngafifah

B1J012025

TUGAS TERSTRUKTUR EKOLOGI TUMBUHAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015

I; PENDAHULUAN

Indonesia memiliki luas lahan gambut terbesar ke-empat di dunia yaitu


sekitar 17-27 juta hektar dan salah satu provinsi yang memiliki hutan gambut
cukup luas adalah Kalimantan Tengah. Menurut data tahun 2002 dari Badan
Planologi Departemen Kehutanan (Bismark et al., 2005), luas hutan gambut yang
dimiliki sekitar 3.160.000 ha. Data Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
(2008) menyebutkan bahwa luas kawasan hutan rawa gambut di provinsi ini
mencapai 4.361.304 ha, termasuk 1.124.567 ha diantaranya ada di dalam kawasan
hutan konservasi. Hutan rawa gambut merupakan ekosistem unik yang berperan
dalam fungsi ekologis dan hidrologis. Hutan rawa gambut umumnya terletak pada
daerah dengan curah hujan cukup tinggi, drainase buruk dan subtrat yang
teradifikasi. Hutan rawa gambut Indonesia memiliki manfaat sebagai lahan
produksi kayu, penyimpan dan penyedia air, pengendali banjir dan sebagai
perlindungan dan penyangga keanekaragaman hayati khas dari lahan gambut.
Hutan rawa gambut terdapat pada daerah-daerah yang selalu tergenang air
tawar, tidak terpengaruh oleh iklim serta tersebar hampir diseluruh Indonesia
terutama berkembang dengan baik di daerah Kalimantan dan Sumatra. Hutan
Rawa gambut merupakan salah satu tipe hutan rawa yang memiliki ekosistem
yang spesifik dan rapuh baik dilihat dari segi habitat lahannya yang berupa
gambut dengan kandungan bahan organik yang lebih tinggi. Gambut tropis terdiri
dari bahan-bahan organik, seperti cabang, batang dan akar pohon, yang belum
terdekomposisi, atau sebagian terdekomposisi. Berdasarkan tipe pembentukannya,
pada umumnya tipe gambut di Indonesia adalah ombrogenous, yaitu permukaan
atas gambut dikelilingi oleh daratan dan tidak ada hara yang masuk ke dalam
sistem dari tanah mineral, sehingga vegetasi yang tumbuh di atasnya
menggunakan hara hanya dari biomassa hidup, dari gambut atau dari air hujan
(Tata dan Pradjadinata, 2013).
Tuanan dan Katunjung merupakan sebagian kecil dari wilayah yang
memiliki hutan rawa gambut di bagian hulu Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah.
Daerah ini merupakan wilayah Kecamatan Mentangai dan bagian dari kawasan
Proyek Lahan Gambut (PLG). Sebagian dari kawasan PLG tersebut (terutama
yang ada di bagian selatan) vegetasinya telah mengalami kerusakan cukup berat
akibat dari pembuatan kanalkanal yang bertujuan untuk mengeringkan lahan

tersebut, yang selanjutnya diikuti oleh penebangan liar dan kebakaran yang terjadi
hampir pada setiap musim kemarau.
Hutan rawa gambut di Kalimantan dieksploitasi sejak adanya konsesi hak
penguasaan hutan (HPH) di areal hutan rawa gambut. Selama dua dasa warsa
terakhir (1990-2010), luas area rawa gambut di Kalimantan mengalami penurunan
yang sangat drastis. Rusaknya hutan rawa gambut dan perubahan hutan menjadi
perkebunan dan areal pertanian tidak hanya menyebabkan kerusakan ekosistem,
tetapi juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman jenis hayati, penurunan
cadangan karbon, dan peningkatan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Hutan rawa
gambut di Kalimantan Tengah telah mengalami kebakaran sejak puluhan tahun
yang lalu. Hoscilo et al. (2007) melaporkan areal Blok C Proyek Lahan Gambut
(PLG) sejuta hektar diKalimantan Tengah telah mengalami kebakaran sejak tahun
1973 hingga 2005, dengan kebakaran terluas terjadi pada tahun 1973.

II; PEMBAHASAN

Berdasarkan pengamatan vegetasi hutan rawa gambut yang ada di


Kalimantan Tengah khususnya daerah Tuanan dan Katunjung menunjukkan
kondisi vegetasi di lokasi penelitian dicirikan oleh tegakan yang mempunyai
tingkat kerapatan pohon (diameter batang 10 cm) 682 pohon/ha dan luas bidang
dasar 18,054 m/ha. Angka tersebut tergolong rendah karena kondisi hutan pernah
mengalami gangguan penebangan pada masa lampau. Di hutan rawa gambut ini
pohon-pohon yang berdiameter batang <20 cm memiliki jumlah paling banyak
yakni mencapai 76,03% dari seluruh jumlah pohon (2057 pohon). Pohon yang
berdiameter 20-<30 cm ada 17,99%, pohon yang berdiameter 30-<40 cm ada
1,21%, yang berdiameter 50-<60 cm terdapat 0,15% dan yang berdiameter
60 terdapat 0,10%. Pohon-pohon yang berukuran besar presentasi kehadirannya
menurun secara drastis dibandingkan dengan pohon-pohon yang berukuran kecil
atau sedang. Menurunnnya kehadiran pohon-pohon besar ini dapat disebabkan
karena penebangan maupun kebakaran yang dapat membuat pohon-pohon yang
tertekan untuk tumbuh secara bersamaan karena terbukanya ruang tumbuh yang
cukup. Sehingga hutan dibentuk oleh pohon-pohon yang berdiameter batang kecil.
Regenerasi alami hutan setelah terbakar dapat terjadi karena kemampuan tumbuh
bank biji (seed banks) dan adanya bantuan penyebar biji umumnya dibantu oleh
penyebar biji.
Dilihat dari komposisisnya maka hutan dikedua lokasi ini dicirikan oleh
adanya sekurang-kurangnya 124 spesies pohon yang berdiameter

10 cm.

Berdasarkan jumlah spesies yang terdapat dalam setiap suku maka Lauraceae
merupakan suku yang paling umum yakni terdiri dari 14 spesies kemudian diikuti
oleh Guttiferae dan Sapotaceae masing-masing 11 spesies, Myrtaceae 10 spesies,
Annonaceae 7 spesies, Diperocarpaceae Euphorbiaceae dan Ebenaceae dengan
masing masing terdiri dari 6 spesies

dan Myristiceae dengan 5 spesies.

Berdasarkan besarnya indeks nilai penting, maka Neoscortechinia philippinensis


(Euphorbiacheae) merupakan spesies memiliki tingkat kepentingan paling tinggi
terhadap habitat dikedua lokasi, yaitu dengan INP 24,327 % yang kemudian
diikuti oleh Mussaenda beccariana (Rubiaceae) (INP = 19,285%), Diospyros
pilosanthera (Ebenaceae) (INP = 16,585%),
Kondisi vegetasi dilokasi penelitian dicirikan oleh tegakan yang
mempunyai tingkat kerapatan pohon (diameter 10 cm) 682 pohon/ha dan bidang
dasar 18,054 m2/ha. Bila dilihat dari luas bidang dasarnya, angka tersebut
tergolong rendah bila dibandingkan dengan luas bidang dasar pada lokasi hutan

rawa gambut lain di kalimantan. Hal ini karena kondisi hutan yang pernah
mengalami gangguan penebangan pada masa lampau.
Kurangnya jumlah spesies, marga, dan suku pohon di Katunjung,
disebabkan oleh luas petak cuplikannya yang lebih kecil, yakni hanya 1 ha,
sedangkan Tuanan luasnya 2 ha. Berdasarkan nilai indeks kesamaan komposisi
spesies antar tegaka. menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), terlihat
perbedaan vegetasi antar tegakan secara umum cukup besar yang dicirikan oleh
nilai-nilai indeks kesamaan yang kecil (rata-rata kurang dari 50%). Perbedaan
komposisi yang lebih besar justru terlihat pada perbandingan antara petak-petak
yang ada di Tuanan dengan petak-petak yang ada di Katunjung, terutama antara
tegakan pada petak Tuanan-1 dengan petak Katunjung-1 yang hanya memiliki
nilai indeks kesamaan 27,083%.
Perbedaan komposisi tegakan antara kedua lokasi (Tuanan dan Katunjung)
juga diperlihatkan oleh nilai asosiasi antar spesies yang memiliki tingkat
kepentingan tinggi. Di Tuanan, tingkat kepentingan tertinggi ditempati oleh N.
philippinensis, sedangkan di Katunjung ditempati oleh D. pilosanthera.
Keberadaan M. beccariana yang melimpah (67,5 pohon/ha) di Tuanan juga
memberikan gambaran perbedaan yang besar antara tegakan di kedua lokasi,
spesies ini tidak ditemukan di Katunjung. Nilai indeks asosiasi didasarkan atas
tingkat kepentingan setiap spesies, menunjukkan tingkat kepetingan dalam suatau
tegakan tidak selalu sama dengan indeks asosiasi suatu spesies terhadap spesies
yang memiliki tingkat kepentingan paling tinggi. Combretocarpus rotundatus
yang menempati urutan kedelapan dalam tingkat kepentingannya dalam tegakan
tidak memiliki tingkat asosiasi yang tinggi terhadap N. philippinensis. Masuknya
C. rotundatus dan beberapa spesies pohon lainnya yang memiliki nilai indeks
asosiasi kecil ke dalam kelompok 10 spesies pohon penting karena kebanyakan
pohon-pohonnya berdiameter batang besar (Sidiyasa, 2012).
Pengelolaan hutan rawa gambut yang ada di Tuanan dan Katunjung
berkaitan dengan faktor tegakan yang disusun oleh sekurang-kurannya 124
spesies pohon berdiameter batang lebih besar dari 10 cm yang merupakan
indikator penting dalam pengelolaannya. Mengingat pentingnya fungsi hutan
dalam menjaga dan melestarikan semua bentuk kehidupan, maka semua pihak
perlu menjaga dan melindungi hutan Tuanan dan Katunjung dari berbagai bentuk
aktivitas manusia yang bersifat mengganggu dan merusak. Pemerintah daerah
setempat juga haruslah berperan aktif dan melibatkan semua pihak yang
berkepentingan.

III; KESIMPULAN
1;

2;

Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :


Kondisi vegetasi dilokasi Tuanan dan Katunjung dicirikan dengan tegakan
yang mempunyai tingkat kerapatan pohon (diameter batang 10 cm) 682
pohon/ha dan luas bidang dasar 18,054 m/ha dengan dominansi berdiameter
batang <20 cm memiliki jumlah paling banyak yakni mencapai 76,03%.
Komposisi dari kedua lokasi hutan (Tuanan dan Katunjung) dicirikan dengan
adanya sekurang-kurangnya 124 spesies pohon yang berdiameter 10 cm
dengan Neoscortechinia philippinensis (Euphorbiacheae) merupakan spesies
memiliki tingkat kepentingan paling tinggi terhadap habitat dikedua lokasi,
yaitu dengan INP 24,327 % selanjutnya disusul Mussaenda beccariana
(Rubiaceae) dengan INP = 19,285%, Diospyros pilosanthera (Ebenaceae)
INP = 16,585%.

3;

Terdapat perbedaan komposisi tegakan antara kedua lokasi (Tuanan dan


Katunjung) yang diperlihatkan dengan nilai asosiasi antar spesies yang
memiliki tingkat kepentingan tinggi. Tingkat kepentingan tertinggi di Tuanan
ditempati oleh N. philippinensis, sedangkan di Katunjung ditempati oleh D.
pilosanthera. Keberadaan M. beccariana yang melimpah (67,5 pohon/ha).

DAFTAR REFERENSI
Bismark, M., A. Wibowo, T. Kalima, R. Sawitri & T. Partomihardjo. 2005.
Potency, distribution and conservation of ramin in Indonesia. Technical
Report ITTO PPD 87/03 Rev. 2(F). Bogor.
Hoscilo, A., S. E. Page & K. Tansey (2007). The Role of Fire in The Degradation
of Tropical Peatlands: a Case Study From Central Kalimantan.
Proceeding of The International Symposium and Workshop on Tropical
Peatland: Carbonclimate-human Interaction on Tropical Peatland,
Yogyakarta, 27-29 august 2007.
Muller-Dombois, D. & H. Ellenberg. 1974. Aims and methods of vegetation
ecology. New York: John Wiley and Sons.
Sidiyana, K. 2012. Karakteristik Hutan Rawa Gambut di Tuanan dan Katunjung,
Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 9(2):
127-137.
Tata, M. H. L. & S. Prandjadinata. 2013. Regenerasi Alami Hutan Rawa Gambut
Terbakar di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dan Implikasi terhadap
Konservasi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi, 10(3): 327-342.

Anda mungkin juga menyukai