Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronik berulang yang terjadi paling
sering semasa awal bayi dan anak. Walaupun etiologi penyakit tidak sepenuhnya
dipahami, DA dianggap sebagai produk dari interaksi komplek antara lingkungan host,
gen-gen suseptibel, disfungsi fungsi sawar kulit, dan disregulasi system imun lokal dan
sistemik. Elemen utama dalam disregulasi imun adalah sel Langerhans (LC),
inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC), monosit, makrofag, limfosit, sel mast,
dan keratinosit, semuanya berinteraksi melalui rangkaian rumit sitokin yang mengarah
ke dominasi sel Th2 terhadap sel Th1, sehingga sitokin Th2 (IL-4, IL-5, IL-10, dan IL13) meningkat dalam kulit dan penurunan sitokin Th1 (IFN- dan IL-2).
Estimasi terbaru mengindikasikan bahwa DA adalah problem kesehatan masyarakat
utama di seluruh dunia, dengan prevalensi pada anak 10-20% di Amerika, Eropa Utara
dan Barat, urban Afrika, Jepang, Australia dan negara industri lain. Prevalensi DA pada
dewasa berkisar 1-3%. Menariknya, prevalensi DA jauh lebih kecil di negara
agrikultural seperti Cina, EropaTimur, rural Afrika, dan Asia. Rasio wanita/pria adalah
1.3 : 1.0. Beberapa faktor risiko potensial yang mendapat perhatian karena disertai
dengan peningkatan DA termasuk keluarga kecil, meningkatnya penghasilan dan
pendidikan baik pada kulit putih maupun hitam, migrasi dari lingkungan pedesaan ke
kota, meningkatnya pemakaian antibiotik, semuanya dikenal sebagai Western life-style.
Hal tersebut menghasilkan hygiene hypothesis, yaitu bahwa penyakit alergi mungkin
dapat dicegah dengan infeksi pada awal masa anak yang ditularkan melalui kontak tidak
higienis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis atopic (DA) adalah perdarahan kulit berupa dermatitis yang kronis
residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu terutama di wajah pada
bayi (fase infatil) danbagian fleksural eksrimitas (fase anak)
B. Sinonim
s. prurigo besnier, eczema
C. Epidemiologi
Berbagai penelitian DA telah dilakukan, hasilnya bergantung pada kriteria
diagnosis DA yang ditetapkan pada setiap penelitian serta serta negara dan subyek yang
dteliti. Prevalensi DA bervariasi, sebagai contoh prevalensi DA yang diteliti di
Singapura tahun 2002 menggunakan criteria United Kingdom (UK) Working Party pada
anak sekolah (usia 7-12 tahun) sebesar 20,8% dari 12.323 anak. Penelitian di Hannover
(Jerman) prevalensi DA (menggunakan criteria Hanifin Rajka) pada anak sekolah (5-9
tahun) ditemukan sebesar 10,5% dari 4.219 anak.
Penelitian tentang perjlanan penyakit DA, dari berbagai negara industry
memperlihatkan data yang bervariasi. Di negara berkembang, 10-20% anak menderita
dermatitis atopic dan 60% diantaranya menetap sampai dewasa.
D. Etiologi dan Patogenesis
Timbulnya inflamasi dan rasa gatal merupakan hasil interaksi berbagai faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor predisposisi genetic (melibatkan
banyak gen) yang menghasilkan disfungsi sawar kulit serta perubahan pada system
imun, khususnya hipersensitivitas terhadap berbagai alergen dan antigen mikroba.
Hubungan disfungsi sawar kulit dan pathogenesis DA
Dermatitis atopik erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat
menurunnya fungsi gen yang meregulasi kreatinin (filagrin dan lorikrin), berkurangnya
volume seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epidermal-water loss
2

(TEWL). TEWL pada psien DA meningkat 2-5 kali orang normal. Sawar kulit dapat
juga menurun akibat terpajan protease eksogen dari tungau debu rumah dan
superantigen Staphylococcus aureus (SA) serta kelembaban udara.
Perubahan sawar kulit mengakibatkan peningkatan absorpsi dan hipersensitivitas
terhadap alergen (misalnya alergen virus hirup tungau debu rumah). Peningkatan TEWL
dan penurunan kapasitas kemampuan menyimpan air (skin capacitance), serta
perubahan komposisi lipid esensial kulit, menyebabkan kulit DA ebih kering dan
sensitivitas gatal terhadap bebaai rangsangan bertambah. Garukan akibat gatal
menimbulkan erosi atau eksoriasi yang mungkin dapat meningkatkan penetrasi mikroba
dan kolonisasi mikroba di kulit.
Perubahan sistem imun (imunopatologi)
Pada kulit pasien DA terjadi perubahan system imum yang erat hubungannya
dengan faktor genetic, sehingga manifestasi fenotif DA bervariasi. Penelitian genetik
terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang samam dengan pasien dermatitis atopic,
yaitu gen pada 11q13 sebagai gen pengkode reseptor IgE. Ekspresi reseptor IgE tersebut
pada sel penyaji antigen dapat memicu terjadinya rangkaian peristiwa imunologi pada
DA.
Keratinosit, sel Langerhans, sitokin, IgE, eosinofil dan sel T
Kerusakan sawar kulit menyebabkan produksi sitokin keratinosit (IL-1, IL-6,IL-8,
TNF-a) meningkat dan selanjutnya merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler
dermis sehingga terjadi regulasi limfosit dan leukosit.
Pada DA terjadi peningkatan kadar IgE yang menyebabkan reaksi eritema di kulit.
Terjadi stimulasi IL4 terhadap sel T (CD4) dan IL-13 terhadap sel B untuk
memproduksi IgE. Sebaliknya interferon dapat mensupresi sel B. Jumlah dan potensi
IL-4 lebih besar daripada INF . IL-5 berfungsi menginduksi proliferasi sel eosinofil
yang merupakan salah satu parameter DA.
Pada fase akut T-helper 2 melepaskan sitokin (IL-4 dan IL-13) yang menginduksi
pembentukan IgE dan ekpresi molekul adhesi sel endotel, sedangkan IL-5 menginduksi
dan memelihara sel eosinofil pada lesi kronik DA. Sedangkan pada fase kronik sitokin

yang berperan adalah IL-12 dan IL-18 yang dihasilkan oleh sel T-helper1, IL-11 dan
transforming growth factor -1.
Dapat disimpulkan bahwa pada reaksi inflamasi /alergik DA selain faktor alergen
dan IgE, juga berperan berbagai sel inflamasi, mediator (sitokin), sel endotel, serta
molekul adhesi. Alergen yang masuk ke kulit akan ditangkap oleh sel penyaji antigen
(keratinosit) diproses dan disajikan kepada sel T (TH-2), berikatan dengan kompleks sel
T reseptor, sehingga mampu mengeluarkan IL-4 dan membantu sel B memproduksi IgE.
IgE akan menempati reseptor di permukaan sel mast. IgE berikatan dengan alergen
memacu sel mast berdegranulasi dan melepas berbagai mediator serta IL-4 dan IL5.Interleukin tersebut akan menarik eosinofil dan memeliharanya di jaringan.
Faktor lain penyebab pruritus pada DA
Berbagai perubahan abnormal pada pasien DA menyebabkan pruritus dan kelainan
kulit, antara lain perubahan pada respon vascular dan farmakologik. Demikian pula kulit
yang kering pada DA menyebabkan ambang rangsanga gatal lebih rendah. Stimulus
ringan (misalnya mekanis, elektris dan termal) dapat menyebabkan pruritus melalui
jalur reflex akson terminal yang mengeluarkan substansi P, sehingga menyebabkan
vasodilatasi atau rangsangan terhadap sel mast. Kulit yang

kering menyebabkan

diskontinuitas sel keratinosit sehingga bahan pruritogenik yang dikeluarkan merangsang


reseptor dan dapat meningkatkan reaksi hipersensitivitas kulit.
Faktor psikologis
Pada psikoanalisa didapatkan tingkat gangguan psikis pada DA tergolong tinggi, antara
lain berupa rasa cemas, stress, dan depresi. Rasa gatal yang hebat memicu garukan yang
terus menerus sehingga menyebabkan kerusakan kulit rasa cemas makin meningkat.
Rasa cemas bertambah manakala pasien bertemu dengan saudara, teman,dan kesukaran
menghentikan garukan. Pasien DA mempunyai kecendrungan bersifat temperamental,
mudah marah, agresif, frustasi dan sulit tidur.
E. Gambaran klinis
Diagnosis DA didasarkan pada konstelasi gambaran klinis. DA tipikal mulai selama
bayi. Kisaran 50% timbul pada tahun pertama kehidupan dan 30% timbul antara 1-5

tahun. Kisaran 50 dan 80% pasien DA bayi akan mendapat rhinitis alergika atau asma
pada masa anak.

Gambar 1.1 Dermatitis atopic pada bayi.


Lesi kulit
Keluhan gatal dapat intermiten sepanjang hari dan lebih parah menjelang senja dan
malam. Sebagai konsekuensi keluhan gatal adalah garukan, prurigo papules,
likenifikasi, dan lesi kulit eksematosa. Lesi akut ditandai keluhan gatal intens, papul
eritem disertai ekskoriasi, vesikel di atas kulit eritem, dan eksudat serosa. Lesi subakut
ditandai papul eritem, ekskoriasi, skuamasi. DA kronik ditandai oleh plakat kulit tebal,
likenifikasi (accentuated skin markings), dan papul fibrotik (prurigo nodularis).
Distribusi dan pola reaksi kulit bervariasi menurut usia pasien dan aktivitas
penyakit. Pada bayi, DA umumnya lebih akut dan terutama mengenai wajah, scalp, dan
bagian ekstensor ekstremitas. Daerah diaper (popok) biasanya tidak terkena. Pada anak
yang lebih tua, dan pada yang telah menderita dalam waktu lama, stadium penyakit
menjadi kronik dengan likenifikasi dan lokalisasi berpindah ke lipatan fleksura
ekstremitas.

Gambar 1.2. Dermatitis atopik pada anak dengan likenifikasi pada fosa antecubiti dan
plakat ekzematosa generalisata.
DA sering mereda dengan pertambahan usia, dan individu dewasa tersebut mempunyai
kulit yang peka terhadap gatal dan peradangan bila terpajan iritan eksogen. Eksema tangan
kronik mungkin merupakan manifestasi primer dari banyak orang dewasa dengan DA.

Gambar 1.3. Papul, vesikel, dan eosi tipikal pada dermatitis atopic tangan.
Tes Laboratorium
Level IgE serum meningkat pada 70-80% pasien DA, yang disertai dengan sensitisasi
terhadap alergen inhalan dan makanan. Pada 20-30% pasien DA, tidak terjadi
peningkatan IgE dan pasien ini tidak menunjukkan sensitisasi terhadap alergen makanan
dan inhalan, tetapi beberapa pasien masih mempunyai IgE sensitization terhadap
antigen microbial (toksin S aureus, C albicans atau Malassezia sympodialis) dan
menunjukkan reaksi positif memakai atopy patch test walaupun tes kulit imediatenya
negatif. Sebagian besar pasien menunjukkan peningkatan eosinofil darah tepi,

meningkatnya pelepasan histamine spontan dari sel basofil. Sel T CLA+ secara spontan
melepas IL-5 dan IL-13 yang secara fungsuional memperpanjang hidup eosinofil dan
menginduksi sintesis IgE.
F. Klasifikasi dan manifestasi klinis
Klasifikasi DA umumnya didasarkan atas keterlibatan organ tubuh, DA murni
hanya terdapat di kulit, sedangkan DA dengan kelainan di organ lain misalnya asma
bronchial, rhinitis alergika, serta hipersensitivitas terhadap berbagaian poliven( hirup
dan makanan). DA murni dibagi 2 DA intrinsic adalah DA tanpa bukti hipersensitivitas
terhadap allergen poliven dan tanpa peningkatan kadar ige total dalam serum. Tipe
ekstrinsik bila terbukti pada uji kulit terhadap alergen hirup dan makanan.
Berdasarkan usia kejadian DA dibagi menjadi 3 tipe (Mulyono, 1986), yaitu :
1. Tipe Infantil (usia 2 bulan 2 tahun).
2. Tipe anak-anak (usia 2 10 tahun).
3. Tipe dewasa (17 -25 tahun).
Sedangkan Djuanda dan Sularsito tahun 2002, membagi usia pada tipe DA menjadi :
1. Bentuk Infantil (usia 2 bulan 2 tahun).
2. Bentuk anak ( usia 3 tahun 11 tahun).
3. Bentuk remaja dan dewasa ( 12 tahun 30 tahun).

Berdasarkan gejala klinis Dermatitis atopik dapat dibagi 3 fase yaitu:


1. Fase infantil ( 2 bulan 2 tahun )
Lesi awal biasanya muncul setelah usia 2 bulan. Biasanya akut atau
subakut. Predileksi pada kedua pipi dan dahi berupa eritema, papulo-vesikel
yang halus, karena gatal, dogosok, pecah eksudatif dan akhirnya terbentuk
krusta. Lesi dapat meluas ketempat yang lain yaitu scalp, leher, pergelangan
tangan, lengan dan tungkai. Lutut ( pada anak yang sudah bisa merangkak )
bahkan dapat menjadi generalisata. Rasa gatal biasanya menyebabkan anak
susah tidur, gelisah dan sering menangis. Pada usia 18 bulan mulai tampak

likenifikasi. Sebagian besar sembuh setelah usia 2 tahun namun dapat juga
berlanjut menjadi bentuk dermatitis atopik pada anak.
2. Fase anak ( 2 10 tahun )
Sebagian besar kasus (86%) muncul sebelum umur 5 tahun, dapat
merupakan lanjutan fase infantile namun dapat juga timbul sendiri. Predileksi
pada lipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, leher bagian
lateral dan anterior.
Lesi biasanya lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul,
likenifikasi dan sedikit skuama. Akibat garukan terjadi erosi, ekskoriasi,
likenifikasi dan dapat terjadi infeksi sekunder. Akibat garukan, kulit menjadi
menebal dan terjadi perubahan lain yang memicu gatal sehingga lingkaran setan
siklus gatal garuk
3. Fase remaja dan dewasa
Predileksi biasanya pada lipat siku, lipat lutut, samping leher, dahi,
sekitar mata dan ekstensor punggung kaki. Akibat garukan berulang dan perjalan
penyakit yang kronis umumnya lesi cenderung kronik ditandai dengan
hiperpigmentasi, hyperkeratosis dan likenifikasi. Lesi dangat gatal terutama di
malam hari atau jika berkeringat dan penyakit biasanya kambuh bila mengalami
stress. Penyakit cenderung menurun atau membaik setelah usia 30 tahun, hanya
sebagian kasus yang berlanjut sampai usia tua. Penderita DA berisiko menderita
dermatitis tangan kira-kira 70%.
G. Diagnosa
Diagnosis DA dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala utama gatal, penyebaran
simestris ditempat predileksi(sesuai usia) terdapat dermatitis yang kronik- residif,
riwayat atopi pada pasien atau keluarga. Criteria tersebut disebut criteria mayor hanifinrajka untuk memastikan dibutuhkan 3 tanda m inor lainya. Dalam praktek sehari dapat
digunakan criteria William guna menetapkan diagnosis da yaitu:
1. Harus ada : Rasa gatal ( pada anak-anak dengan bekas garukan).
2. Ditambah 3 atau lebih:
-

Terkena pada daerah lipatan siku, lutut, di depan mata kaki atau sekitar leher
(termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun).

Anamnesis ada riwayat atopi seperti asma atau hay fever (ada riwayat
penyakit atopi pada anak anak).

Kulit kering secara menyeluruh pada tahun terakhir.

Ekzema pada lipatan (termasuk pipi, kening, badan luar pada anak <4
tahun).

Mulai terkena pada usia dibawah 2 tahun (tidak digunakan pada anak <4
tahun).

Criteria mayor
1. Pruritus
2.

dermatitis di muka atau

Criteria minor
xerosis
ekstensor 1) Infeksi kulit (khusus: S.aureus dan

pada bayi dan anak

HSV)

3.

Dermatitis di fleksura pada dewasa

4.

Dermatitis kronis atau residif

5.

Riwayat atopi pada penderita atau 3) Iktiosis/ hiperliniar palmaris/ keratosis


keluarga

2) Dermatitis

nonspesifik

pada

tangan&kaki
pilaris
4) Pitiriasis alba
5) White

dermographism

dan

delayed

blanch response
6) Keilitis
7) Lipatan infraorbital Dennie-Morgan
8) Konjungtivitis berulang
9) Keratokonus
10) Katarak subkapsular anterior
11) Orbita menjadi gelap
12) Muka pucat atau eritem
13) Gatal bila berkeringat
14) Intoleransi wol atai pelarut lemak
15) Aksentuasi perifolikular
16) Hipersensitif makanan
17) Dipengaruhi faktor lingkungan

dan

emosi

18) Skin test alergi dadakan (+)


19) IgE serum meningkat
20) Awitan usia dini
Diagnosis::
3 Mayor + 3 Minor
kriteria diagnosis untuk bayi:
Criteria mayor
3 Kriteria Mayor:

Criteria minor
3 Kriteria Minor:

1.

1) Xerosis/ Iktiosis/ hiperliniar palmaris

Pruritus

2.

dermatitis di muka atau

ekstensor 2) Aksentuasi perifolikular

pada bayi dan anak


3.

3) Fisura belakang telinga

Riwayat atopi pada penderita atau 4) Skuama di skalp kronis


keluarga

Derajat keparahan dermatitis atopic


Guna menilai derajat sakit hanifin dan rajaka membuat scoring untik derajat sakit
I.

II.

III.

Luas Lesinya
a. Fase anak/dewasa
i. < 9% luas tubuh (1)
ii. 9-36% luas tubuh (2)
iii. >36% luas tubuh (3)
b. Fase infantil
i. < 18% luas tubuh (1)
ii. 18-54% luas tubuh (2)
iii. >54% luas tubuh (3)
Perjalanan penyakit
a. Remisi > 3bulan/ tahun (1)
b. Remisi < 3 bulan/ tahun (2)
c. Kambuhan (3)
Intensistas penyakit
a. Gatal ringan, gangguan tidur (1)
b. Gatal sedang, gangguan tidur (2)
c. Gatal berat, gangguan tidur (3)

10

Cara lain menilai derajat keparahan penyakit merupakan bagian yang penting
dalam menegakkan diagnosis pada anak dengan eczema. Hal itu penting dilakukan
sebagai evaluasi sebelum memberikan intervensi pengobatan yang tepat. Metode yang
paling banyak digunakan dalam menilai derajat DA yaitu menggunakan skor SCORAD
atauNESS

H. Diagnosis banding
1. Dermatitis kontak (alergik dan iritan)
2. Dermatitis seboroik
3. Skabies
4. Psoriasis

11

5. Iktiosis vulgaris
6. Dermatofitosis
7. Eczema asteatotik
8. Liken simplek kronikus
9. Dermatitis numularis
10. neurodermatitis
Diagnosis banding DA tergantung pada fase atau usia, manifestasi klinis, serta
lokasi DA. Pada fase bayu dapat mirip dermatitis seboroik, psoriasis dan dermatitis
popok. Sedangkan pada fase anak dapat mirip dengan dermatitis numularis, dermatitis
intertriginosa, dermatitis kontak, dermatitis traumatika. Sedangkan pada fase dewasa
lebih mirip dengan neurodermatitis atau liken simpleks kronikus.
I. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang hanya dilakukan bila ada keraguan klinis. Peningkatan
kadar igE dalam serum juga dapat terjadi pada sekitar 15% orang sehat, demekian pula
kadar eosinofil sehingga tidak patogmonik. Uji kulit dilakukan bila ada dugaan pasien
alergik terhadap debu atau makanan tertentu bukan untuk diagnostic.
J. Komplikasi
a.Problem mata
Dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dapat menyebabkan gangguan visus dan
skar kornea. Keratokonjungtivitis atopic biasanya bilateral dan menimbulkan gejala
gatal, terbakar, keluar air mata dan sekresi mukoid. Keratokonus adalah deformitas
konikal kornea akibat gosokan kronik. Katarak dilaporkan terjadi pada 21% pasien DA
berat. Belum jelas apakah ini akibat manifestasi primer DA atau sebagai akibat
pemakaian ekstensif steroid topical dan sistemik.
b.Infeksi
DA dapat mengalami komplikasi infeksi virus berulang yang merupakan refleksi
dari defek local fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah akibat infeksi

12

herpes simplek, menghasilkan Kaposi varicelliform eruption atau eczema herpeticum.


Setelah inkubasi 5-12 hari, lesi vesikopustular, multipel dan gatal timbul dalam pola
diseminata; lesi vesikuler ber umbilated dan cenderung berkelompok, dan sering
mengalami perdarahan dan berkrusta, menghasilkan erosi punch-out dan sangat nyeri.
Lesi dalam bergabung menjadi area besar (dapat seluruh tubuh) yang mengelupas dan
berdarah.

Gambar 1.4. Eksema herpetikum.


Vaksinasi smallpox pada pasien DA (bahkan pajanan pasien dengan individu yang
mendapat vaksinasi), dapat menyebabkan erupsi luas berat (eczema vaccinatum) yang
tampak sangat mirip dengan eczema herpeticum.
Pasien DA menunjukkan peningkatan prevalensi infeksi T rubrum dibandingkan control
nonatopik. Antibodi (IgE) terhadap M furfur biasa dijumpai pada pasien DA, sebaliknya
jarang pada control normal dan pasien asmatik. M furfur dan dermatofit lain penting
karena setelah terapi anti jamur, akan terjadi penurunan keparahan kulit DA.
Staphylococcus aureus dijumpai pada > 90% lesi kulit DA. Krusta kuning madu,
folikulitis, pioderma dan pembesaran KGB regional, merupakan indikasi adanya infeksi
sekunder (biasanya oleh S aureus) dan memerlukan terapi antibiotik. Pentingnya S
aureus pada DA didukung oleh observasi bahwa pasien DA berat, walaupun tanpa
infeksi berat, dapat menunjukkan respon klinis terhadap terapi kombinasi dengan
antibiotik dan steroid topikal.
c.Dermatitis tangan

13

Pasien DA sering mengalami dermatitis tangan nonspesifik. Dermatitis ini sering


dipicu oleh basah berulang dan pencucian tangan dengan sabun, detergen, dan
desinfektan.
d.Dermatitis/eritroderma eksfoliatif
Komplikasi ini terjadi akibat superinfeksi, seperti S aureus penghasil toksin atau infeksi
herpes simplek, iritasi berulang, atau terapi yang tidak mencukupi. Pada beberapa kasus,
penghentian steroid sistemik yang dipakai mengontrol DA berat dapat menjadi factor
pencetus eritroderma eksfoliatif.
K. Tata laksana
Untuk memperoleh keberhasilan terapi DA, diperlukan pendekatan sistematik meliputi
hidrasi kulit, terapi farmakologis, dan identifikasi serta eliminasi factor pencetus seperti
iritan, alergen, infeksi, dan stressor emosional (Gambar 5). Selain itu, rencana terapi
harus individualistik sesuai dengan pola reaksi penyakit, termasuk stadium penyakit dan
faktor pencetus unik dari masing-masing pasien.

14

15

Gambar 1.5. Pendekatan pada pasien dengan dermatitis atopik.

Terapi topical
Hidrasi kulit. Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis yang
berkontribusi untuk terjadinya fissure mikro kulit yang dapat menjadi jalan masuk pathogen,
iritan dan alergen. Problem tersebut akan diperparah selama winter dan lingkungan kerja
tertentu. Lukewarm soaking baths minimal 20 menit dilanjutkan dengan occlusive emollient
(untuk menahan kelembaban) dapat meringankan gejala. Terapi hidrasi bersama dengan
emolien menolong mngembalikan dan memperbaiki sawar lapisan tanduk, dan dapat
mengurangi kebutuhan steroid topical.

16

Steroid topical. Karena efek samping potensial, pemakaian steroid topikal hanya untuk
mengontrol DA eksaserbasi akut. Setelah control DA dicapai dengan pemakaian steroid setiap
hari, control jangka panjang dapat dipertahankan pada sebagian pasien dengan pemakaian
fluticasone 0.05% 2 x/minggu pada area yang telah sembuh tetapi mudah mengalami
eksema. Steroid poten harus dihindari pada wajah, genitalia dan daerah lipatan. Steroid
dioleskan pada lesi dan emolien diberikan pada kulit yang tidak terkena. Steroid ultrapoten hanya boleh dipakai dalam waktu singkat dan pada area likenifikasi (tetapi tidak
pada wajah atau lipatan). Steroid mid-poten dapat diberikan lebih lama untuk DA kronik
pada badan dan ekstremitas. Efek samping local meliputi stria, atrofi kulit, dermatitis
perioral, dan akne rosasea.
Inhibitor kalsineurin topical. Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan
sebagai imunomodulator nonsteroid. Salap takrolimus 0.03% telah disetujui sebagai terapi
intermiten DA sedang-berat pada anak 2 tahun dan takrolimus 0.1% untuk dewasa.
Krim pimekrolinus 1% untuk anak 2 tahun dengan DA ringan-sedang. Kedua obat
efektif dan dengan profil keamanan yang baik untuk terapi 4 tahun bagi takrolimus dan 2
tahun untuk pimekrolimus. Kedua bahan tersebut tidak menyebabkan atrofi kulit, sehingga
aman untuk wajah dan lipatan; dan tidak menyebabkan peningkatan kecenderungan
mendapat superinfeksi virus.

Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus.


Faktor pencetus yang perlu diidentifikasi di antaranya sabum atau detergen, pajanan
kimiawi, rokok, pakaian abrasif, pajanan ekstrim suhu dan kelembaban.
Alergen spesifik. Alergen potensial dapat didentifikasi dengan anamnesis detil, uji
tusuk selektif, dan level IgE spesifik. Uji kulit atau uji in vitro positif, terutama terhadap
makanan, sering tidak berkorelasi dengan gejala klinis sehingga harus dikonfirmasi
dengan controlled food challenges dan diet eliminasi.
Bayi dan anak lebih banyak mengalami alergi makanan, sedang anak yang lebih tua
dan dewasa lebih banyak alergi terhadap aeroallergen lingkungan.

17

Anti-infeksi. Sefalosporin dan penicillinase-resistant penicillins (dikloksasilin, oksasilin,


kloksasilin) diberikan untuk pasien yang tidak dikolonisasi oleh strain S aureus resisten.
Stafilokokus yang resisten terhadap metisilin memerlukan kultur dan uji sensitivitas
untuk menentukan obat yang cocok. Mupirosin topikal dapat berguna untuk lesi yang
mengalami infeksi sekunder terbatas.
Terapi antivirus untuk infeksi herpes simplek kulit,sangat penting untuk pasien DA
luas. Asiklovir oral 3 x 400 mg/h atau 4 x 200 mg/h untuk 10 hari untuk dewasa dengan
infeksi herpes simplek kulit. Sedangkan asiklovir iv diberikan

untuk eczema

herpetikum diseminata.
Infeksi dermatofit dapat menyebabkan eksaserbasi DA, sehingga harus diterapi
dengan anti-jamur topical atau sistemik.
Pruritus. Steroid topikal dan hidrasi kulit untuk mengurangi radang dan kulit kering, sering
mengurangi keluhan gatal. Alergen hirup dan makanan yang terbukti menyebabkan rash pada
controlled challenges, harus disingkirkan. Antihistamin sistemik bekerja terutama memblok
reseptor H1 dalam dermis, karenanya dapat menghilangkan pruritus akibat histamine.
Karena histamine hanya merupakan satu mediator penyebab gatal, beberapa pasien
hanya mendapat keutungan minimal terhadap terapi antihistamin. Keuntungan beberapa
antihistamin adalah mempunyai efek anxiolytic ringan sehingga dapat lebih menolong
melalui efek sedatif. Antihistamin non-sedatif baru menunjukkan hasil yang bervariasi,
dan akan berguna bila DA disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.
Karena pruritus biasanya lebih parah pada malam hari, antihistamin sedatif, hidroksizin
atau difenhidramin, mempunyai kelebihan (oleh efek samping mengantuk) bila diberikan
pada waktu tidur. Doksepin memiliki efek antidepresan dan efek blok terhadap reseptor H1
dan H2. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 10-75 mg oral malam hari atau sampai 2
x 75 mg pada pasien dewasa. Pemberian doksepin 5% topikal jangka pendek (1
minggu) dapat mengurangi pruritus tanpa menimbulkan sensitisasi. Walaupun demikian,
dapat terjadi efek sedasi pada pemberian topical area yang luas dan dermatitis kontak
alergik.

18

Preparat ter. Preparat ter batubara mempunyai efek antipruritus dan anti-inflamasi
pada kulit tetapi tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter dapat mengurangi potensi
steroid topikal yang diperlukan pada terapi pemeliharaan DA kronis. Produk ter
batubara baru telah dikembangkan sehingga lebih dapat diterima pasien berkaitan
dengan bau dan mengotori pakaian. Sampo mengandung ter dapat menolong untuk
dermatitis kepala. Preparat ter tidak boleh diberikan pada lesi kulit radang akut, karena
dapat terjadi iritasi kulit. Efek samping ter di antaranya folikulitis dan fotosensitif.
Terapi foto. UVB broadband, UVA broadband, UVB narrowband (311 nm), UVA-1
(340-400nm), dan kombinasi UVA-B dapat berguna sebagai terapi penyerta DA. Target
UVA dengan/tanpa psoralen adalah sel LC dan eosinofil, sedangkan UVB berfungsi
imunosupresif melalui penghambatan fungsi sel penyaji antigen, LC dan merubah
produksi sitokin oleh keratinosit. Efek samping jangka pendek terapi foto di antaranya
eritema, nyeri kulit, garal, dan pigmentasi; sedangkan efek samping jangka panjang
adalah penuaan kulit premature dan keganasan kulit.
Rawat inap
Pasien DA yang tampak eritrodermik atau dengan penyakit kulit berat dan luas yang
resisten terhadap terapi outpatient, harus dirawat inap sebelum mempertimbangkan terapi
sistemik alternatif, dengan maksud menjauhkan pasien dari alergen lingkungan atau
stress emosional. Bersihnya lesi kulit selama dirawat, memberikan kesempatan untuk
dilakukan uji kulit dan controlled challenge.
Terapi sistemik
Steroid sistemik. Pemakaian prednison oral jarang pada DA kronik. Beberapa pasien
dan dokter lebih menyukai pemberian steroid sistemik karena terapi topical dan hidrasi
kulit memberikan hasil yang lambat. Perlu diingat, bahwa hasil yang dramatis oleh
steroid sistemik sering disertai rebound flare berat DA setelah steroid dihentikan. Untuk DA
eksaserbasi akut dapat diberikan steroid oral jangka pendek. Bila ini diberikan, perlu
dilakukan tapering dosis dan memulai skin care, terutama dengan steroid topical dan
frequent bathing, dilanjutkan dengan pemberian emolien untuk cegah rebound flare DA.

19

Siklosporin. Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terutama


terhadap sel T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Agen mengikat sitopilin, dan
komplek ini seterusnya menekan kalsineurin (molekul yang diperlukan memulia
transkripsi gen sitokin. Pasien DA dewasa dan anak yang refrakter terhadap terapi
konvensional, dapat berhasil dengan siklosporin jangka pendek. Dosis 5 mg/kg
umumnya dipakai secara sukses dalam pemakaian jangka pendek dan panjang (1 tahun),
sedang beberapa peneliti lain memakai dosis tak bergantung berat badan untuk dewasa,
dosis rendah (150 mg) atau 300 mg (dosis tinggi) perhari memakai siklosporin
mikroemulsi. Terapi siklosporin disertai dengan menurunnya penyakit kulit dan
perbaikan kualitas hidup. Penghentian terapi dapat menghasilkan kekambuhan
(beberapa pasien tetap remisi lama). Meningkatnya kreatinin serum atau yang lebih
nyata gengguan ginjal dan hipertensi adalah efek samping spesifik yang perlu
diperhatikan pada terapi siklosporin.
Antimetabolit. Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis purin yang
digunakan sebagai imunosupresan pada transplantasi organ, telah pula digunakan dalam
terapi penyakit kulit inflamatori. Studi open label melaporkan MMF oral (2 g/h) jangka
pendek, dan monoterapi menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa yang resisten
terhadap obat lain (steroid oral dan topical, PUVA). Obat tersebut ditoleransi baik
(hanya 1 pasien mengalami retinitis herpes). Supresi sumsum tulang (dose-related)
pernah dilaporkan. Bila obat tidak berhasil dalam 4-8 minggu, obat harus dihentikan.
Allergen immutherapy. Imunoterapi dengan aeroallergen tidak terbukti efektif dalam
terapi DA. Penelitian terbaru, imunoterapi spesifik selama 12 bulan pada dewasa
dengan DA yang disensitasi dengan alergen dust mite menunjukkan perbaikan pada
SCORAD dan pengurangan pemakaian steroid.
Probiotik. Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain GG) saat
perinatal, menunjukkan penurunan insiden DA pada anak berisiko selama 2 tahun
pertama kehidupan. Ibu diberi placebo atau lactobasilus GG perhari selama 4 minggu
sebelum melahirkan dan kemudian baik ibu (menyusui) atau bayi terus diberi terapi tiap
hari selama 6 bulan. Hasil di atas menunjukkan bahwa lactobasilus GG bersifat
preventif yang berlangsung sesudah usia bayi. Hal ini terutama didapat pada pasien
dengan uji kulit positif dan IgE tinggi.

20

Edukasi dan konseling


Perku diberikan informasi dan edukasi kepada orangtua , pengasuh keluarga
tentang DA perjalanan penyakit serta factor yang mempengaruhi penyakit, factor yang
mempengaruhi kekambuhan di antaranya allergen hirup(tunggau/debu), allergen
makanan pada bayi < 1 tahun( makanan, kacang-kacangan bahan pewarna, penyedap
rasa).namun dijelaskan alergi terhadap mkanan dapat hilang berangsur-angsur sesuai
dengan bertambahnya usia.
Pemilihan obat topical
Obat topical yang digunakan pada DA bayi dan anak sama dengan dewasa,
meliputi

pelembab,

kortikosteroid

dan

obat-obat

penghambat

kalsineurin(mis

pimekrolimus atau takrolimus)


Pelembab
Berfungsi memulihkan disfungsi sawar kulit. Beberapa jenis belembab anatra
lain beruap humektan(gliserin, dan propilen glikol), nstursl moidturising fsctor(mis
urea 10% dalam euserin hidrosa) emolien(mis lanolin 10%\, petrolatum, minyak
tumbuhan dan sintesis, protein rejuvenators (asam amino), bahan lipolifik( asam lemak,
esensial, fosfolipid dan seramid)
Pemakaian pelembab dilakukan secara tersatur 2 kali sehari dioleskan segera
setelah mandi walaupun sedang tidak ada gejala DA

Kortikosteroid topikal
Pada bayi digunakan KS potensi rendah seperti hidrokortison 1,5-2,5%. Pada
dewasa dipakai KS potensi menengah seperti triamsinolon kecuali untuk daerah kulit
wajah, genitalia dan intertriginosa. Bila penyakit telah dapat dikontrol, KS dipakai
secara intermitten misalnya 2x seminggu potensi rendah mencegah penyakit tidak
kambuh.
Imunomodulator topikal
Terdiri dari takrolimus dan pimekrolimus. Preparat ini aman digunakan jangka
panjang dan pada area kulit wajah dan intertriginosa, tidak menyebabkan atrofi kulit.

21

Takrolimus 0,03% untuk usia 2-15 tahun dan 0,03% atau 0,1% untuk dewasa.
Pimekrolimus tersedia dalam konsentrasi 1%. Pemakaian diberikan 2 kali sehari. Obat
ini tidak dianjurkan untuk usia < 5 tahun.
Pengobatan sistemik
Kadang diperlukan terapi sistemik pada DA anak. Antihistamin sistemik mampu
mengurangi rasa gatal sehingga mengurangi frekuensi garukan yang dapat
memperburuk penyakit. Rasa gatal hanya tidak disebabkan histamine, namun masih
disebabkan oleh mediator lain. Anti histamis yang bersifat sedative lebih efektif dalam
mengurangi rasa gatal dibandingkan dengan antihistamin nonsedatif(misalnya loratadin,
ceterizin, terfenadin, feksofenadin). Meskipun demikian, antihistamin nonsedatif
memiliki keungulan, yaitu dapat mencegah migrasi sel inflamasi. Pemberian seterizin
pada bayi atopic selama 18 bulan mampu mencegah bayi dengan DA berkembang jadi
pengidap asma.
Diet makanan pada anak dengan dermatitis atopik
Khususnya pada bayi atau anak kurang dari 1 tahun, allergen makanan lebih
berpengaruh daripada allergen debu rumah. Perlu bukti korelasi riwayat alergi makanan
dengan kekambuhan lesi. Uji kulit diantaranya soft allergen fast test (saft), pricked test
(uji tusuk) atau double blind allergen placebo controlled food challenge test(DBPFCT)
sebelum memberikan diet makanan.
Allergen makanan yang sering dilaporkan berupa telur, susu sapi , ikan. Kacangkacangan, gandum, soya, tomat,dan jeruk bahan pewarna bahan penyedap dan
aditiflainya. Maka apabila terbukti alergi makanan dapat dilakukana penaggulangan.
Pemberian makan tersebut ditunda, dihentikan, dilakukan diet terpimpin, atau ditukar
denagn makanan pengganti. Asi eklusif dan ketelambatanpemberian makanan padat
pada bayi DA dapat mencegah alergi terhadap makanan.
L. Prognosis
Penyakit cenderung lebih berat dan persisten pada anak, dan periode remisi lebih sering
bila anak bertambah usia. Resolusi spontan dilaporkan terjadi setelah usia 5 tahun pada 4060% pasien yang menderita sejak bayi. Walaupun penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
kisaran 84% anak akan terus menderita DA sampai dewasa, tetapi studi yang lebih baru
melaporkan bahwa DA sembuh pada kisaran 20% anak, dan menjadi kurang parah pada 65%.
Faktor prediktif berikut berkorelasi dengan prognosis jelek DA : DA luas pada masa anak,

22

disertai rhinitis alergik dan asma, riwayat DA pada orang tua atau saudara, awitan DA pada
usia lebih dini, anak tunggal, dan level IgE sangat tinggi.

BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. A

Umur

: 55 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Agama

: Islam

Alamat

: Jl. Soekarno Hatta No.23, Bukittinggi

Status

: Menikah

Suku

: Minang

23

Rekam Medik

: 374766

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Bercak kemerahan gatal pada leher bagian kanan, kedua lipat siku, dan kedua punggung
kaki sejak 3 minggu yang lalu
Riwayat Penyakit sekarang:
-

Bercak kemerahan gatal pada leher bagian kanan, kedua lipat siku, dan kedua

punggung kaki sejak 3 minggu yang lalu


Gatal timbul bila berkeringat atau cuaca panas
Terdapat alergi pada makanan tertentu
Tidak ada mengoleh suatu zat atau bahan tertentu pada kulit
Gatal meningkat bila emosional

Riwayat Penyakit Dahulu


-

Timbul bercak berwarna merah-kehitaman dan gatal pada kedua kaki sejak

pasien kecil
Sering diobati dan hilang timbul

Riwayat Penyakit Keluarga


-

Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit yang sama


Riwayat atopi pada keluarga tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan Umum

: tidak tampak sakit

Kesadaran

: kompos mentis kooperatif

Status gizi

: -

Pemeriksaan torak

: diharapkan dalam batas normal

Pemeriksaan abdomen: diharapkan dalam batas normal


b.

Status Dermatologikus

lokasi

: pada leher bagian kanan, kedua lipat siku, dan kedua punggung kaki
24

distribusi

: regional

bentuk

: tidak khas

susunan

: tidak khas

ukuran

: miliar - plakat

efloresiansi

: papul, plak eritem, erosi, skuama, hiperpigmentasi, dan likenifikasi

Gambar:Leher bagian kanan

25

Gambar: Lipat siku

Gambar: Lipat siku

26

27

Gambar: Punggung kaki

D. DIAGNOSIS KERJA
Dermatitis atopi pada dewasa
E. DIAGNOSIS BANDING
- Neurodermatitis
- Dermatitis kontak alergi
F. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan kadar IgE
G. PENATALAKSANAAN

28

Terapi umum
Penjelasan / penyuluhan kepada pasien:

Penyakit bersifat kronik berulang dan penyembuhan sempurna jarang terjadi


sehingga pengobatan ditujukan untuk mengurangi gatal dan mengatasi kelainan

kulit.
Melindungi daerah yang terkena terhadap garukan agar tidak memperparah
penyakitnya
Selain obat perlu dilakukan usaha lain untuk mencegah kekambuhan :
o Pakaian sebaiknya tipis, ringan mudah menyerap keringat
o Udara dan lingkungan cukup berventilasi dan sejuk.
o Hindari faktor-faktor pencetus, misalnya: iritan, debu,makanan dsb
o Hindari faktor yang memperberat dan memicu siklus gatal-garuk
o Mandi menggunakan sabun bayi

Terapi khusus
Topikal

Krim Emolien (lanolin10%) 2 x sehari, dioleskan sesudah mandi


Dexametason krim 0,25% 2x sehari, dioleskan sesudah mandi

Sistemik
Metilprednisolon tablet 4 mg, 2x sehari
Citirizine Hcl tablet 10 mg, 1x sehari
H. PROGNOSIS
Quo ad sanam
: bonam
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad kosmetikum
: dubia ad bonam
Quo ad functionam
: bonam
Resep
RSUD DR. Achmad Mochtar
Poliklinik Kulit dan Kelamin
dr. AK
SIP : 21/01/1012
Telp. (0752) 12632
Bukittinggi, 8 Oktober 2015
R/ Lanolin 10%
ad Vaseline album 10 gr tube no.I
sue

29

R/ Dexametason 0,25% tube no.I


sue
R/ Metilprednisolon tab 4 mg no.XIV
S2dd tab1
R/ Citirizine Hcl tab 10 mg no X
S1dd tab 1
Pro
Umur

: ny.A
: 55th

30

Anda mungkin juga menyukai