Anda di halaman 1dari 13

Pelayanan Prima pada Sektor Kesehatan*)

Oleh : Muslimin B. Putra **)


*)Disampaikan pada Pelatihan Prajabatan Golongan III di Balai Besar Pelatihan Kesehatan
(BBPK) Makassar pada tanggal 27 Maret 2013
**) Bekerja pada Kantor Ombudsman RI Perwakilan Sulsel

A. Pendahuluan
Didalam negara demokratis, peran negara memiliki tugas untuk memberikan pelayanan publik.
Semakin tinggi mutu pelayanan negara/pemerintah kepada rakyatnya menunjukkan semakin
beradab sebuah negara/pemerintahan. Dinegara-negara maju, telah diatur standar minimal
kualitas pelayanan, sedangkan pada negara-negara berkembang telah mulai mengikuti dengan
menerapkan standar pelayanan minimal.
Pelayanan prima merupakan sebuah tuntutan didalam proses pelayanan publik. Sektor
kesehatan merupakan sektor publik yang mengemban fungsi untuk melaksanakan pelayanan
publik yang berkualitas atau pelayanan prima.
Dalam proses manajemen mutu layanan, sektor kesehatan yang memiliki peran langsung
dalam pelayanan publik seperti rumah sakit dan puskesmas telah berlomba-lomba menerapkan
standar pelayanan prima. Beberapa rumah sakit dan puskesmas telah mendapatkan sertifikasi
pelayanan prima ISO 9001.2008 sebagai bukti komitmen manajemen rumah sakit dan puskesmas
telah dikelola secara profesional sesuai standar mutu layanan.
B. Pelayanan Publik dan Pelayanan Prima
Sebelum membahas tentang Pelayanan Prima, perlu dibahas tentang Pelayanan Publik. Didalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pengertian
Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk
atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik.
Siapa saja yang disebut penyelenggara pelayanan publik? Didalam Pasal 1 ayat (2) UU
Pelayanan Publik disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi

penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UndangUndang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata
untuk kegiatan pelayanan publik.
Sebelumnya, pengertian tentang pelayanan publik yang dianut para aparatur negara
mengacu pada Keputusan Menpan No. 81/1993 yang menyebutkan bahwa pelayanan publik
adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah, BUMN/BUMD
dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Terkait dengan pelayanan publik maka dikenal konsep pelayanan prima (excellent
service). Para ahli, kemudian mengembangkan berbagai konsep tentang mutu pelayanan seperti
Total Quality Service, Total Quality Management, dan sebagainya. Konsep pelayanan prima
dapat diterapkan pada sektor publik maupun sektor privat (swasta). Elemen kunci dari pelayanan
prima adalah kualitas pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dengan
demikian, pelayanan prima dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian layanan dengan
kualitas terbaik yang diberikan kepada penerima layanan (pelanggan/warga).
Menurut Elthainammy (1990), Pelayanan Prima (excellence service) adalah suatu sikap
atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Dari defenisi tersebut dapat
dipahami bahwa pelanggan/penerima layanan merupakan faktor penting dalam unsur Pelayanan
Prima. Kebutuhan dan harapan pelanggan/penerima layanan selalu menjadi alat evaluasi bagi
penyelenggara pelayanan publik agar memenuhi standar kualitas layanan. Karena itu, standar
kualitas layanan terkait erat dengan kepuasan penerima layanan/pelanggan.
Cara mewujudkan kepuasan pelanggan/penerima layanan dengan melakukan beberapa
langkah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi harapan dan kebutuhan para pelanggannya; (2)
Memenuhi harapan dan kebutuhan para kolega dan pelanggan terhadap kualitas produk barang
atau jasa; (3) Mempelajari dan menguasai prinsip-prinsip pelayanan prima; (4) Memahami
teknik pengukuran umpan balik tentang kepuasan.
Dalam konteks pelayanan prima, diterapkan prinsip-prinsip untuk meningkatkan
pelayanan pada pelanggan atau penerima layanan agar lebih maksimal dengan tujuan pencapaian
pelayanan dengan kualitas tinggi. Penerapan prinsip pelayanan prima berupa cara, langkah dan

strategi sebagai pedoman dalam menjalankan organisasi untuk melayani pelanggan/penerima


layanan
Pelayanan prima menggunakan prinsip A3 yakni Attitude (sikap), Attention (perhatian)
dan Action (tindakan). Penjabaran prinsip A3 sebagai berikut:
1. Konsep sikap (attitude)
Keberhasilan organisasi jasa pelayanan akan sangat tergantung pada orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Baik secara langsung atau tidak langsung citra organisasi akan tergambar melalui
bentuk pelayanan yang disajikan. Pelanggan akan menilai organisasi jasa pelayanan dari kesan
pertama dalam berhubungan dengan orang-orang yang terlibat dalam organisasi tersebut.
Prinsip pelayanan prima berdasarkan Attitude adalah:
a). Melayani pelanggan berdasarkan penampilan yang sopan dan serasi.
b). Melayani pelanggan dengan berpikiran positif, sehat dan logis.
c). Melayani pelanggan dengan sikap menghargai.
2. Konsep perhatian (attention)
Dalam melakukan kegiatan layanan, seorang petugas pada organisasi jasa pelayanan harus
senantiasa memperhatikan dan mencermati keinginan pelanggan/penerima layanan. Apabila
pelanggan sudah menunjukkan minat untuk membeli suatu barang/jasa yang ditawarkan, segera
saja layani pelanggan tersebut dan tawarkan bantuan, sehingga pelanggan merasa puas dan
terpenuhi keinginannya. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan menyangkut bentuk-bentuk
pelayanan berdasarkan konsep perhatian adalah sebagai berikut:
a) Mengucapkan salam pembuka pembicaraan.
b) Menanyakan apa saja keinginan pelanggan.
c) Mendengarkan dan memahami kebutuhan pelanggan.
d) Melayani pelanggan dengan cepat, tepat dan ramah.
e) Menempatkan kepentingan pelanggan pada kepentingan utama.
f) Mengamati dan menghargai perilaku pelanggan.
g) Mencurahkan perhatian penuh pada pelanggan.
3. Konsep tindakan (action)
Pada konsep perhatian, pelanggan menunjukkan minat untuk membeli produk yang
ditawarkan. Pada konsep tindakan, pelanggan sudah menjatuhkan pilihan untuk membeli
produk yang diinginkannya. Terciptanya proses komunikasi pada konsep tindakan ini merupakan

tanggapan terhadap pelanggan yang telah menjatuhkan pilihannya sehingga terjadilah transaksi
jual-beli. Bentuk-bentuk pelayanan berdasarkan konsep tindakan adalah sebagai berikut:
a)

Segera mencatat pesanan pelanggan.

b)

Menegaskan kembali kebutuhan/pesanan pelanggan.

c)

Mewujudkan kebutuhan pelanggan.

d)

Menyelesaikan transaksi pembayaran pesanan pelanggan.

e)

Mengucapkan terima kasih diiringi harapan pelanggan akan kembali lagi.

C. Kualitas Pelayanan Prima


Konsep Total Quality Service (TQS) yang dikembangkan Stamatis (1996), adalah

sistem

manajemen strategi dan integratif yang melibatkan semua unsur manajer dan pegawai / karyawan
dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki proses-proses
pelayanan agar dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Tiga dimensi penting dalam
TQS masing-masing adalah strategi, sistem, dan SDM.
Penjabarannya sebagai berikut:
a. Strategi adalah dimensi penggunaan pendekatan dan metode yang dianggap paling efektif
dalam mencapai tujuan organisasi dalam meningkatkan mutu pelayanan.
b. Sistem adalah prosedur atau tata cara yang dirancang untuk mendorong dalam meningkatkan
mutu pelayanan.
c. Sumber daya manusia (SDM) adalah tenaga kerja, pegawai atau karyawan yang memiliki
kapasitas responsip terhadap peningkatan mutu pelayanan.
Tujuan TQS adalah mewujudkan tercapainya pelanggan, memberikan tanggung jawab
kepada setiap orang dan melakukan perbaikan pelayanan secara berkesinambungan. Sistem TQS
kepada empat bidang yakni :
1.

Berfokus kepada pelanggan

Prioritas utama adalah identifikasi pelanggan (internal-eksternal). Setelah pelanggan


diindentifikasi, kemudian mengidentifikasikan keinginan, kebutuhan, dan harapan
pelanggan. Selanjutnya, dirancang sistem yang

dapat

memberikan jasa tertentu

yang

memenuhi keinginan pelanggan tersebut. Dengan demikian, perhatian diarahkan kepada


pelanggan.

2.

Keterlibatan pegawai secara menyeluruh

Semua pihak yang terkait dengan upaya peningkatan pelayanan harus dilibatkan secara
menyeluruh. Karena itu, manajemen harus dapat memberikan peluang perbaikan kualitas
terhadap semua pegawai. Selain itu, kepemimpinan harus pula memberikan kesempatan
berpartisipasi kepada semua pegawai yang ada dalam organisasi, serta memberdayakan
pegawai atau karyawan

dalam merancang

dan

memperbaiki barang,

jasa, sistem dan

organisasi.
3.

Sistem pengukuran

Komponen dalam sistem pengukuran terdiri :


a). Menyusun standar proses dan produk (barang dan jasa)
b). Mengidentifikasikan ketidaksesuaian dan mengukur kesesuaiannya dengan
keinginan pelanggan
c).
4.

Mengoreksi penyimpangan dan meningkatkan kinerja

Perbaikan kesinambungan
a). Memandang bahwa semua pekerjaan sebagai suatu proses
b). Mengantisipasikan perubahan keinginan, kebutuhan dan harapan para pelanggan
c). Mengurangi waktu siklus suatu proses produksi dan distribusi
d). Dengan senang hati menerima umpan balik dari pelanggan
Ada tujuh dimensi dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan menurut Vincent

Gespersz yakni :
1. Ketepatan waktu pelayanan berkaitan dengan waktu tunggu dan proses.
2. Kualitas pelayanan berkaitan dengan akurasi atau ketepatan pelayanan.
3. Kualitas pelayanan berkaitan dengan kesopanan dan keramahan.
4. Kualitas pelayanan berkaitan dengan tanggung jawab dalam penanganan keluhan pelanggan.
5. Kualitas pelayanan berkaitan dengan sedikit banyaknya petugas yang melayani serta fasilitas
pendukung lainnya.
6. Kualitas pelayanan berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir,
ketersediaan informasi, dan petunujuk/panduan lainnya.
7. Kualitas pelayanan berhubungan dengan kondisi lingkungan, kebersihan, ruang tunggu,
fasilitas musik, AC, alat komunikasi, dan lain-lain.

Selain tujuh dimensi diatas, Vincent Gasperasz secara cerdas mengembangkan suatu
konsep perbaikan manajemen mutu yang disebut VINCENT. Konsep VINCENT juga terdiri dari
tujuh strategi perbaikan kualitas pelayanan, yaitu:
1. Visionary transformation (transformasi visi)

2. Infrastructure (kebutuhan akan sarana prasarana)


3. Need for improvement (kebutuhan untuk perbaikan)
4. Costumer focus (fokus pada pelanggan)
5. Empowerment (pemberdayaan potensi)
6. New views of quality (pandangan baru tentang mutu)
7. Top management (komitmen manajemen puncak)
Pada sisi organisasi, ada empat aspek lainnya turut berpengaruh terhadap terciptanya
kualitas pelayanan prima yakni :
1. Struktural. Perbaikan struktural organisasi atau perusahaan harus dilakukan dari tingkat top
manajemen hingga lower manajemen.
2. Operasional. Suatu organisasi atau perusahaan akan dapat mewujudkan kebutuhan pelanggan
apabila peningkatan operasional dilaksanakan artinya secara langsung kualitas pelayanan juga
dilaksanakan.
3. Visi. Suatu organisasi atau perusahaan harus mengetahui arah organisasi dengan cara
mengidentifikasi tentang apa yang harus dilakukan siapa yang akan melaksanakan.
4. Strategi pelayanan. Merupakan cara yang ditentukan oleh organisasi atau perusahaan dalam
meningkatkan pelayanan sehingga visi dapat terwujud, Strategi pelayanan tersebut harus
memperhatikan: perilaku pelanggan, harapan pelanggan, image pelanggan, loyalitas
pelanggan, dan alternatif-alternatif pelanggan.
Dr. William Edwards Deming, seorang ahli manajemen yang dijuluki Bapak TQM,
mengembangkan konsep Siklus Deming. Siklus Deming terdiri dari empat komponen utama,
disingkat PDCA (Plan, Do, Check and Act).
1. Plan (Perencanaan)

a.

Langkah pertama, yaitu menentukan proses yang perlu diperbaiki yaitu kegiatan yang
terkait erat dengan misi organisasi dan dapat memenuhi kebutuhan pelanggan

b.

Langkah kedua, yaitu menentukan perbaikan yang kan dilakukan terhadap proses yang
dipilih. Langkah ini

sama

dengan

penyusunan

hipotesis dalam metode

ilmiah, Hipotesis adalah asumsi sementara mengenai hubungan antara kejadian-kejadian.


c.

Langkah ketiga, yaitu kewajiban pimpinan organisasi untuk menentukan data dan
informasiyang diperlukan untuk dapat menetapkan hipotesis yang paling relevan
untuk melaksanakan perbaikan proses.

2. Do (Pelaksanaan)
a.

Langkah pertama, yaitu mengumpulkan informasi untuk menentukan keadaan yang nyata
sekarang mengenai jalannya proses.

b. Setelah informasi dikumpulkan, perubahan yang diinginkan dapat dilaksanakan. Dalam


tahap ini hipotesis yang telah dirumuskan kemudian di uji menggunakan informasi
tersebut. Pengujian hipotesis terlebih dulu dilakukan pada skala kecil organisasi untuk
menghindari kerugian yang tidak dikehendaki.
c.

Selanjutnya, mengumpulkan data lagi, guna mengetahui perubahan yang terjadi, apakah
membawa perbaikan atau tidak.

3. Check (Evaluasi)
Dalam tahapan

ini pimpinan harus

dapat

menfsirkan informasi yang

terkumpul untuk

mengetahui apakah perubahan yang dilakukan membawa perbaikan atau tidak.


4. Act (Tindak Lanjut)
a. Menetapkan alternatif perubahan yang akan dilaksanakan.
b. Apabila ada perubahan yang dilakukan berhasil terhadap perbaikan maka perlu disusun
prosedur lainnya.
c. Agar perubahan dapat berjalan secara baik, perlu diadakan pelatihan atau penawaran.
d. Pimpinan perlu mengkaji apakah perubahan yang dilakukan mempunyai efek negatif
terhadap bagian lain dalam organisasi.
e. Pelaksanaan perubahan perlu dipantau terus menerus secara berkesinambungan.
Beberapa dimensi kualitas pelayanan menurut Parasuraman, Zeithaml (1998) yang
dikutip oleh Tjiptono (2004) mengemukakan bahwa ada 5 (lima) dimensi yang digunakan untuk
mengukur kualitas pelayanan sebagai berikut :

1.

Kehandalan (realibility) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai


yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan
yang berarti ketepatan waktu,pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa
kesalahan,sikap yang simpatik dan dengan akurasi yang tinggi.

2.

Daya tanggap (Responsiveness),yaitu suatu kemauan untuk membantu dan memberikan


pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat kepada pelanggan,dengan penyampaian
informasi yang jelas.Memberikan konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas
menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan. Harapan pelanggan terhadap
kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan berubah dengan kecendrungan naik dari
waktu ke waktu.

3.

Jaminan (Assurance), berkaitan dengan kemampuan, pengetahuan, keterampilan, staf dalam


menangani setiap pelayanan yang diberikan sehingga mampu menumbuhkan kepercayaan
dan rasa aman pada pelanggan. Assurance adalah dimensi kualitas yang berhubungan
dengan kemampuan perusahaan dan perilaku front-line staf dan menanamkan rasa percaya
dan keyakinan kepada para pelanggannya.

4.

Empati (Emphaty), yaitu memberikan perhatian yang tulus yang bersifat individual atau
pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen.
Suatu perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan,
memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang
nyaman bagi pelanggan. Pelanggan kelompok menengah atas mempunyai harapan yang
tinggi agar perusahaan penyedia jasa mengenal mereka secara pribadi.

5.

Bukti fisik (Tangible), berkenaan dengan bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan
dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan
sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata
dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa yang meliputi fasilitas fisik (gedung,
gudang dan lain sebagainya), perlengkapan dan peralatan yang digunakan (teknologi),serta
penampilan pegawainya. Karena suatu pelayanan tidak bias dilihat, tidak bisa dicium dan
tidak bisa diraba. Aspek tangible menjadi penting sebagai ukuran terhadap pelayanan.

D. Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kualitas pelayanan pada sektor kesehatan biasanya terkait dengan pelayanan rumah sakit
dan puskesmas. Setiap orang menilai kualitas pelayanan kesehatan berdasarkan criteria yang
berbeda-beda, tergantung dari standar kepuasan yang digunakan. Setiap pasien yang berkunjung
ke rumah sakit atau puskesmas tentu mempunyai keinginan atau harapan terhadap pelayanan
yang diberikan. Rumah sakit atau Puskesmas selayaknya memahami keinginan dan harapan
pasien sebagai pelanggan. Bagi pasien rumah sakit atau puskesmas, kualitas pelayanan yang
baik terkait dengan kesembuhannya dari penyakit, meningkatnya derajat kesehatan, kecepatan
pelayanan, kepuasannya terhadap lingkungan fisik sarana kesehatan dan tarif yang dianggapnya
memadai.
Menurut Azrul Azwar (1996), kualitas pelayanan suatu rumah sakit adalah produk akhir
dari interaksi dan ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen atau aspek manajemen
yang menyatu sebagai suatu sistem. Sebagai suatu sistem maka kualitas pelayanan terdiri atas
berbagai komponen yang saling berpengaruh antara input, proses dan output. Input adalah
sarana fisik,perlengkapan atau perlengkapan, organisasi dan manajemen, keuangan dan sumber
daya manusia serta sumber daya lainnya. Proses adalah semua kegiatan dan keseluruhan input
baik itu tindakan medis maupun tindakan non medis dalam interaksinya dengan pemberian
pelayanan kesehatan. Sedangkan Output adalah hasil akhir kegiatan proses yaitu tindakan dokter
dan profesi lainya terhadap pasien dalam arti derajat kesehatan dan kepuasannya.
Maka Azrul Azwar (1996), memberi batasan kualitas pelayanan kesehatan adalah suatu
yang menunjukkan tingkat kesempurnaan kesehatan,yang di satu pihak dapat menimbulkan
kepuasan pada setiap pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta dipihak
lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan kode etik yang telah ditetapkan.
Ada 9 (sembilan) dimensi kualitas pelayanan kesehatan yang telah ditetapkan dalam
sektor kesehatan, yakni:
1. Manfaat; pelayanan yang diberikan menunjukan manfaat dan hasil yang diinginkan.
2. Ketetapan; pelayanan yang diberikan relevan dengan kebutuhan pasien dan sesuai dengan
standar keprofesian.
3. Ketersediaan; pelayanan yang dibutuhkan tersedia.
4. Keterjangkauan; pelayanan yang diberikan dapat dicapai dan mampu dibiayai oleh pasien.
5. Kenyamanan; pelayanan yang diberikan dalam suasana yang nyaman.

6. Hubungan interpersonal; pelayanan yang diberikan memperhatikan komunikasi,rasa


hormat,perhatian dan empati yang baik.
7. Waktu; pelayanan yang diberikan memperhatikan waktu tunggu pasien dan tepat waktu sesuai
perjanjian.
8. Kesinambungan; pelayanan kesehatan yang diberikan dilaksanakan secara berkesinambungan,
pasien yang memerlukan tindak lanjut perawatan perlu di tindak lanjuti.
9. Legitimasi dan akuntabilitas; pelayanan yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan,baik
dari aspek medik maupun aspek hukum (Depkes RI, 2003).
Faktor lingkungan juga berpengaruh pada kualitas pelayanan kesehatan. Lingkungan
yang dimaksud adalah keadaan sekitar yang mempengaruhi proses penyelenggaraan pelayanan
kesehatan, baik lingkungan internal maupun lingkungan eksternal. Faktor lingkungan internal
diantaranya adalah budaya organisasi (corporate culture), pola kepemimpinan dan sebagainya.
Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah terkait dengan kebijakan pemerintah pada sektor
kesehatan.
E. Ombudsman : Pengawas Pelayanan Publik
Sektor kesehatan sebagai bagian dari sektor publik dalam penyelenggaraan pelayanan
publik mendapat pengawasan dari Ombudsman RI. Kewenangan Ombudsman sebagai pengawas
pelayanan publik tertuang didalam Pasal 1 ayat (13) UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik.
Dalam melakukan pengawasan, Ombudsman RI secara reguler mengadakan kegiatan supervisi
ke berbagai instansi pelayanan publik dibidang kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas.
Kegiatan supervisi adalah satu dari beberapa kegiatan pengawasan yang dilakukan
Ombudsman guna memastikan institusi pelayanan publik melakukan pelayanan kepada
masyarakat sesuai dengan standar layanan. Standar layanan setiap instansi berbeda-beda, tetapi
pada prinsipnya harus memiliki standar pelayanan minimal (SPM) dan maklumat layanan.
Demikian pula setiap instansi pelayanan publik harus memiliki prosedur, mekanisme dan sistem
yang terukur dan transparan kepada masyarakat yang dilayaninya.
Prosedur pelayanan publik seharusnya memiliki dasar hukum yang jelas dan pasti guna
tercapainya prinsip kepastian hukum.

Prosedur yang baku menjadi domain dari Hukum

Administrasi Negara (HAN). Prosedur pelayanan publik biasanya memuat persyaratan teknis

maupun administratif dari sebuah atau beberapa layanan. Petugas layanan publik dapat menjadi
obyek hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya.
Terkait dengan prosedur pelayanan publik adalah biaya atau tarif sebuah produk layanan
yang diakses oleh masyarakat. Idealnya, sebuah tarif layanan publik ditentukan bersama antara
penyelenggara pelayanan publik dengan penerima layanan. Namun pada umumnya, instansi
pelayanan publik itu sendiri yang menetapkan biaya yang dikenakan kepada penerima layanan.
Tarif layanan semestinya dikenakan secara sama kepada penerima layanan agar tidak terjadi
praktek diskriminasi layanan. Praktek diskriminasi adalah perbuatan mal-administrasi yang
seharusnya dihindari oleh setiap instansi pelayanan publik.
Setelah

tarif layanan adalah sarana dan prasarana pelayanan publik. Sarana berupa

fasilitas dan peralatan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Fasilitas yang
disiapkan semestinya dapat diakses oleh semua orang, termasuk para penyandang cacat (difable)
dan kelompok rentan lainnya.
Selain itu, masalah waktu penyelesaian sebuah produk atau jenis layanan juga mesti
diatur dalam prosedur pelayanan publik. Kejelasan jangka waktu seyogyanya disebutkan secara
terbuka kepada setiap penerima layanan agar tidak menimbulkan diskriminasi pelayanan. Karena
pada dasarnya setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk menerima layanan publik,
termasuk kecepatan dan ketepatan waktu dari layanan yang ingin diaksesnya. Beberapa instansi
pelayanan publik telah sukses melakukan inovasi layanan dengan menerapkan one day service,
sedang beberapa lainnya masih harus menunggu selama berminggu-minggu hingga berbulanbulan.
Sebenarnya jangka waktu penyelesaian jenis layanan tidak menjadi masalah bilamana
dinyatakan secara resmi dalam mekanisme dan prosedur pelayanan publik pada instansi masingmasing. Yang terpenting dari semua itu adalah jaminan pelayanan yang diberikan harus ada
kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai standar layanan. Demikian pula, aparatur pelayanan
seharusnya memiliki kompetensi berupa kemampuan yang harus dimiliki, baik berupa
pengalaman, ketrampilan maupun pengetahuan teknis tentang jenis layanan yang menjadi bidang
tugas dan kewenangannya.

Kompetensi pelaksana layanan publik seharusnya dikendalikan melalui pengawasan


internal oleh pejabat yang menjadi atasannya. Pengawasan internal yang dimaksud disini adalah
pengendalian yang dilakukan oleh pimpinan satuan kerja atau atasan langsung pelaksana layanan
publik. Pengawasan internal dilakukan secara periodik untuk memastikan aparat pelaksana
melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar layanan yang sudah ditetapkan sebelumnya
didalam Maklumat Layanan atau Standar Pelayanan Minimal.
Pengawasan internal secara periodik dapat menjadi alat evaluasi bagi kinerja aparat
pelayanan publik. Evaluasi berguna untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kegiatan
pelayanan publik diselenggarakan sesuai standar layanan. Evaluasi layanan publik juga bisa
menggunakan pihak ketiga untuk mengukur kualitas sebuah layanan melalui Indeks Kepuasan
Masyarakat atas sebuah atau beberapa jenis layanan yang diselenggarakan.
Biasanya masyarakat yang terpuaskan dari sebuah jenis layanan apabila diberi akses
untuk berpartisipasi dalam mengevaluasi produk layanan. Partisipasi masyarakat bisa
diakomodasi melalui kotak pengaduan atau wahana yang lain untuk menyampaikan pendapat
dan keluhan masyarakat. Karena itu, instansi pelayanan publik memfasilitasi masyarakat untuk
mengadu melalui prosedur penanganan pengaduan yang biasa disebut Internal Complain.
Didalam prosedur layanan, terdapat tata cara pelaksanaan penanganan pengaduan dan proses
tindak lanjut dari pengaduan masyarakat.

Referensi:
Arsi Murti, 2013, Pelayanan Prima dalam Konteks Pelayanan Publik, dalam blog UGM.ac.id
Azrul Azwar, 1996, Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan, Jakarta: Sinar Harapan
Tjiptono, F. dan Diana,A. 1998. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi Offset
HM Ismail, dkk., 2010, Menuju Pelayanan Prima, Konsep & Strategi Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik, Malang: Averroes Community
Muslimin B. Putra, 2012, Supervisi Pelayanan Publik, dalam www.kabarmakassar.com
W. Edwards Deming, 2000, Out of The Crisis, Cambridge: MIT Press

Anda mungkin juga menyukai