Alois A Nugroho 1
Alois A Nugroho 1
Pada terang tanah era modern itu, ilmu pengetahuan mencatat beberapa
kemajuan dalam teknologi. Percetakan membuat manusia dapat
memperluas pengetahuan dan dengan demikian juga kekuasaannya. Mesiu
dapat membuat suatu bangsa memperluas jajahan atau setidak-tidaknya
mempertahankan kedaulatan. Perkapalan membuat manusia mengarungi
samudera.(Verhaak dan Imam.1991: 139). “Scientia et potentia humana in
idem coincidunt”. Ilmu pengetahuan dan kekuasaan bertumpang tindih,
karena hanya mereka yang mengetahui sebab-sebab sesuatu akan
menguasainya pula. (Steel, 1989: 69). Dengan mengaitkan ilmu
pengetahuan dengan teknologi, Bacon mengayuh biduk ilmu pengetahuan
ke samudera modernisme. Kita melihat setidaknya ada dua ciri ilmu
pengetahuan modern. Pertama, dalam hubungan antara pernyataan dan
kenyataan, proposisi-proposisi ilmiah harus didasarkan pada kenyataan
empiris, tidak sekadar pada pernyataan-pernyataan lain (firman Illahi
ataupun argumentum auctoritatis lain yang biasa dilakukan dalam ideologi).
Tetapi subyek yang sama sekaligus adalah penindas bagi anak-anak dan
pembantu rumah tangga. Ada “kebijaksanaan” atau “dongeng” yang hampir
serupa dari rumah ke rumah tentang hubungan suami istri yang baik,
hubungan anak-orang tua yang baik, hubungan majikan-pembantu yang
baik. Dalam rezim pengetahuan ada pengetahuan yang ditindas (“minor
knowledge” kata Deleuze). Foucault justru tertarik untuk “menggala”
pengetahuan yang ditindas oleh kekuasaan normalitas itu, karena itu
metode itu disebutnya “arkeologi”. Dengan “arkeologi” Foucault
memaksudkan metode untuk menggali dan menganalisis diskursus-
diskursus lokal atau pengetahuan-pengetahuan “kecil”. Sedangkan
“genealogi” diberinya arti sebagai taktik dimana diskursus lokal atau
pengetahuan kecil itu dioperasikan, sehingga pengetahuan historis tentang
konflik yang nyaris terkubur dapat dihidupkan lagi dan pengetahuan
populer yang dipandang “kelas kambing” dapat diangkat kembali. Disadari
bahwa sejarah bagi Foucault ialah konflik, bahkan perang.
Di sini sekali lagi terjadi pembalikan, kali ini terhadap dalil Clausewitz yang
mengatakan bahwa perang adalah perpanjangan dari diplomasi (politik)
dalam bentuk lain. Foucault menyatakan bahwapolitik adalah perpanjangan
perang dalam bentuk lain. Perdamaian adalah salah satu bentuk perang,
negara (penjamin perdamaian) adalah senjatanya. Kita sendiri dapat
merumuskan lagi dengan mengatakan bahwa normalitas adalah salah satu
bentuk penindasan dengan senjata yang beraneka. Tesis Nietzsche,
“kehendak untuk berkuasa”, menjadi asumsi dasar, baik bagi
postmodernisme Perancis maupun dalam aphoria Mazhab Frankfurt. Tetapi
konflik atau perang antara siapa? Antara dua kelas (katakanlah borjuis
dengan proletar?) “Bellum omnium contra omnes” yang bersifat
komunitarian (baca: “clash of civilization”)? Atau, dapat kita tambahkan,
antar generasi? (seperti kata Jose Ortega y Gasset).
Kepustakaan: