Anda di halaman 1dari 6

HUBUNGAN ANTARA KEKUASAAN DAN PENGETAHUAN

Oleh Alois A. Nugroho

Selama ini pengetahuan tentang hubungan antara kekuasaan dan


pengetahuan kita warisi paling-paling dalam bentuk semboyan yang
dianggap berasal dari filsafat ilmu Francis Bacon (1561-1626), yang
berbunyi “Knowledge is power”, pengetahuan ialah kekuasaan. Pengetahuan
menampakkan diri dalam kekuasaan. Atau lebih tepat, pengetahuan
mewujudkan diri dalam teknologi dan teknologi adalah sarana untuk
mengendalikan, khususnya untuk mengendalikan alam.

1. Pengetahuan adalah kekuasaan: Modernisme

Pada terang tanah era modern itu, ilmu pengetahuan mencatat beberapa
kemajuan dalam teknologi. Percetakan membuat manusia dapat
memperluas pengetahuan dan dengan demikian juga kekuasaannya. Mesiu
dapat membuat suatu bangsa memperluas jajahan atau setidak-tidaknya
mempertahankan kedaulatan. Perkapalan membuat manusia mengarungi
samudera.(Verhaak dan Imam.1991: 139). “Scientia et potentia humana in
idem coincidunt”. Ilmu pengetahuan dan kekuasaan bertumpang tindih,
karena hanya mereka yang mengetahui sebab-sebab sesuatu akan
menguasainya pula. (Steel, 1989: 69). Dengan mengaitkan ilmu
pengetahuan dengan teknologi, Bacon mengayuh biduk ilmu pengetahuan
ke samudera modernisme. Kita melihat setidaknya ada dua ciri ilmu
pengetahuan modern. Pertama, dalam hubungan antara pernyataan dan
kenyataan, proposisi-proposisi ilmiah harus didasarkan pada kenyataan
empiris, tidak sekadar pada pernyataan-pernyataan lain (firman Illahi
ataupun argumentum auctoritatis lain yang biasa dilakukan dalam ideologi).

Prinsip verifikasi dari neopositivisme Vienna Circle atau atomisme-logis


dalam abad ke-20 adalah ikrar setia pada modernisme, karena dalam
prinsip itu diteguhkan keyakinan terhadap “supremasi data empiris”.
Prinsip verifikasi mengatakan kurang lebih bahwa suatu proposisi yang
secara ilmiah bermakna harus dapat ditentukan truth valuenya oleh data-
data empiris. Prinsip falsifikasi dari kritisisme-logis yang dipandegani oleh
Karl Raimund Popper yang bahkan menuding beberapa teori ilmiah sebagai
pseudo-science itu (PSA, teori Marx) , pada hemat saya, juga memuat
“fundamentalisme” terhadap kredo “supremasi data empiris”. Kritik Popper
terhadap verifikasionisme menyangkut metode induksi, kalau dianalisis
lebih mendalam, ialah kritik atas induksi sebagai pseudo method yang
menghujat “supremasi data empiris”. Dalam soal status proposisi ini, ilmu
pengetahuan modern menarik garis demarkasi antara proposisi ilmiah dan
proposisi non-ilmiah. Proposisi ilmiah adalah proposisi yang menyatakan
kebenaran dan bukan yang lain selain kebenaran (kesesuaian dengan data
empiris). Ciri ilmu pengetahuan modern yang berpegang pada supremasi
data empiris ini sebenarnya sudah dapat dirunut pada kerja ilmiah
Aristoteles (384-322 SM).

Sewaktu mengritik idealisme Plato, gurunya, Aristoteles sudah mengatakan


bahwa pengetahuan tercapai sebagai hasil kegiatan manusia menganati
kenayataan yang partikular, yang banyak dan berubah-ubah, yang dalam
bahasa kita sekarang kita sebut sebagai kenyataan empiris. Dari yang
partikular inilah kita mencapai yang universal karena rasio manusia
mampu melakukan abstraksi dengan menerapkan logika. Ciri ilmu
pengetahuan modern yang kedua ialah aplikasinya dalam teknologi. Karena
proposisi ilmiah itu berkorespondensi dengan realitas, karena pengetahuan
yang benar itu “identik” dengan realitas, maka pengetahuan itu dapat
mengatur gerak-gerik (merekayasa) realitas, seperti digarisbawahi oleh
Francis Bacon dan dalam bentuknya paling mutakhir seperti ditekankan
oleh pragmatisme Amerika. Rasio Yunani, termasuk fisika dan metafisika
Aristoteles, adalah rasio dalam operasinya yang sejati, yakni daya akal yang
sesudah lepas landas dari pangkalan empiris, mampu bermain-main di
dunia abstraksi yang tidak terganggu oleh “gravitasi” kenyataan empiris dan
kepentingan sehari-hari (“unbearable lightness of being” istilah novelis Milan
Kundera). Ilmu pengetahuan Aristotelian yang aristokratik inilah yang
dikritik oleh Francis Bacon. Bacon membumikannya lagi, kepada
kepentingan manusia dan kesejahteraan manusia, melalui penguasaan
alam (dan juga penguasaan manusia-manusia lain, katakanlah melalui
planning, organizing, actuating, control).

Francis Bacon mengritik Aristoteles sebagai ilmuwan yang terlampau


kontemplatif. Bagi Bacon, ilmu harus memiliki tujuan aplikatif, harus
mewujud dalam teknologi. Yang mungkin kurang ditekankan oleh Bacon
adalah bahwa teknologi juga berkembang di dalam kebudayaan-kebudayaan
lain (piramida di Mesir, kembang api di Cina dan lain-lain) namun ilmu
pengetahuan modern tidak. Dalam kebudayaan-kebudayaan lain, rasio
tidak mengoptimalkan seluruh kemampuannya. Yang berkembang ialah
rasio yang cukup puas memecahkan masalah-masalah empiris, masalah-
masalah yang berhubungan dengan “the unbearable lightness of being”. Ilmu
pengetahuan modern adalah perwujudan dari apa yang disebut oleh Alfred
North Whitehead sebagai “impian nabi Suleiman” yakni bekerjasamanya
rasio pragmatis dengan rasio Yunani atau rasio teoretis
(Whitehead/Nugroho, 2001; 95-195).

2. Kekuasaan adalah Pengetahuan: Postmodernisme

Orang yang memiliki pengetahuan akan memiliki kekuasaan, demikianlah


pemadatan dari pemikiran Francis Bacon yang meresapi “semangat zaman”
modernisme. Menjelang akhir abad ke-20, boleh kita katakan secara agak
menyederhanakan, telah berkecambah “semangat zaman” yang populer
disebut “postmodernisme”. Semangat zaman ini melakukan “pembalikan”
(Kehre) terhadap anggapan Bacon di atas .Michel Fucault (1926-1985) sering
diasosiasi kan dengan semboyan “Pouvoir est savoir”, komunitas yang
memiliki kekuasaan efektif akan dapat menentukan pengetahuan atau
kebenaran apa yang berkembang. Memahami Foucault, atau post-
strukturalisme Perancis, sebenarnyalah hanyalah salah satu cara untuk
memahami semangat zaman postmodernisme ini. Ada dua jalur lain
setidaknya selain jalur Latin atau Roman di atas. Jalur lain ialah jalur
Jerman, utamanya Frankfurter Schule, dan jalur Anglo-Saxon. Narasumber
yang baik bagi jalur Perancis barangkali adalah Dr. Emmanuel Subangun,
Dr. Haryatmoko (Yogya) dan Dr. Bambang Sugiharto (Bandung).

Kita juga dapat sampai pada pemikiran postmodernisme dari jatuh


bangunnya pergulatan pemikiran Mazhab Frankfurt dalam mengusahakan
sikap kritis terhadap apa saja yang berbau ideologis dan dalam
mempertahankan “semangat zaman” Pencerahan. Aphoria yang dihadapi
oleh Theodor Adorno (1903-1969) dan Max Horkheimer (1895-1973) dalam
mengusung agenda modernisme, yang terkenal dengan “dialektika
Pencerahan” (Dialektik der Aufklarung) telah mengantar kita pada
postmodernisme. Nilai-nilai emansipatoris yang dibela oleh teori kritis
melawan pelbagai ideologi (termasuk ideologi “imparsialitas” iptek modern)
adalah juga ideologi, perwujudan dari “der Wille zur Macht” Nietzsche. Tak
kebetulan bila kemudian Adorno dan Horkheimer pergi kepada pengucapan-
pengucapan mistik dan estetik. Namun Juergen Habermas tetap setia
mempertahankan agenda semula dan mengritik pedas postmodernisme. Dr.
Sindhunata yang menulis tentang Adorno dan Horkheimer ini, Dr. Budi
Hardiman yang menulis tentang Habermas, adalah tokoh-tokoh yang dapat
menjadi nara sumber mengenai “jalur Jerman” ini. Jalur Anglo-saxon, atau
jalur “english-speaking” adalah jalur yang, pada hemat saya, bertumbuh
dari “pembalikan” dalam pemikiran Ludwig Wittgenstein (1889-1951),
seorang Austria yang pernah belajar di Manchester dan menjadi profesor
filsafat di Universitas Cambridge. Kebenaran bagi Wittgenstein bukan
pertama-tama kesesuaian dengan data empiris. Kebenaran ditentukan
dalam konteks, dalam bingkai linguistik (language-game), dalam bingkai
sosio-kultural (form of life). Pentingnya bingkai komunitarian ini kemudian
dipakai oleh Thomas Kuhn (1922-1996), profesor filsafat dan sejarah ilmu di
Universitas Berkeley, Universitas Princeton, dan kemudian di MIT, dalam
istilah “paradigma” yang terkenal itu (Kuhn, 1962). Bahkan data empiris
menjadi data empiris karena adanya bingkai itu (“theory-ladenness”).

Kuhn sebenarnya berminat pada “normalitas” dari kerja ilmu pengetahuan


dan perubahan dari normalitas satu ke normalitas lain. Bagi Kuhn,
perubahan itu bersifat revolusioner, dalam bentuk paradigmshift atau
Gestalt-switch, karena tidak ada dua paradigma atau normalitas yang
“incommensurable”. Pemikiran Wittgenstein dan Kuhn ini pada gilirannya
diambil alih oleh postmodernisme Richard Rorty (1931- ). Filsuf Amerika ini
menyebut filsafatnya “neopragmatisme”, tetapi dimusuhi oleh kaum
pragmatis seperti Susan Haack. Kalau mau mempertahankan kata itu,
mungkin filsafat Rorty harus disebut “pragmatisme sosial” atau
“pragmatisme linguistik”. Normalitas pada pemikiran Rorty ini disebut
“conversation”. Kebenaran bagi Rorty adalah ciri dari suatu proposisi yang
“jalan” dalam suatu diskursus, artinya yang dipahami dan dianggap benar
dalam diskursus komunikatif dalam komunitas itu. Artinya lagi, yang
“benar” adalah yang “familiar”, yang “normal” bagi bingkai atau konteks
sosio-kultural tertentu. Pendidikan lebih merupakan “edification” yakni
membuat anak didik terbiasa atau “familiar” dengan diskursus yang ada.
Jalur Anglo-sakson yang sering disebut “filsafat analitis” ini boleh dikatakan
adalah jalur yang bermodelkan bahasa.
Dalam bahasa, tidak mudah melihat asimetri dalam hubungan kekuasaan
yang menopang normalitas (apalagi dalam bahasa Inggris, kasusnya tidak
demikian dalam bahasa – misalnya – Jawa). Rorty, demikian pula
Wittgenstein, tidak menjadikan kekuasaan sebagai isu. Bahkan Rorty tidak
berbicara tentang “benturan diskursus” (baca: benturan peradaban) sebagai
konsekuensi dari pertemuan bingkai-bingkai komunitarian yang
incommensurable itu. Bahwa terjadi rivalitas antara bahasa Perancis dan
bahasa Inggeris tidak dibahas sama sekali. Rorty hanya mengkhotbahkan
“solidaritas” antar kultur dan menggarisbawahi peran “strong-poet” sebagai
katakanlah “virus” dialog multikultural untuk menjalin solidaritas dan
toleransi. (Rorty, 1989). Sebenarnya Kuhn sudah sedikit menyinggung
peranan kekuasaan dalan normalitas ilmiah. Buku teks diobservasi sebagai
salah satu sarana untuk memasukkan siswa atau mahasiswa ke dalam
normalitas ilmiah tertentu. (Kuhn, 1962). Dalam bahasa Paulo Freire buku
teks – sama dengan buku pelajaran membaca dalam kasus Freire – adalah
sarana “domestikasi”, perwujudan kekuasaan “normalitas”. Kuhn juga
mengobservasi bahwa “recalcitrant data” baru dianggap sebagai “anomali”
bila diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam normalitas ilmiah itu.
Kuhn tidak mengolah lebih lanjut peranan kekuasaan dalam normalitas dan
revolusi ilmiah ini. Meskipun demikian, dalam wacana pemikir Anglo-saxon
itu kita sudah dapat menangkap bayang-bayang dari kekuasaan sebagai
“rezim pengetahuan”, rezim diskursus atau – lebih baik – rezim normalitas
itu.

3. Pouvoir/Savoir: Michel Foucault

Adalah Michel Foucault yang menggarap secara eksplisit tema


“pengetahuan dan kekuasaan” seraya membalikkan pandangan
modernisme itu. Pengetahuan dilahirkan dalam bingkai kekuasaan agar
kekuasaan itu dapat efektif dan operasional. Bukan pengetahuan yang
menjelmakan diri dalam kekuasaan agar pengetahuan itu efektif seperti
kata Bacon, tetapi kekuasaanlah yang menjelma ke dalam pengetahuan itu
agar kekuasaan itu efektif. Pemikiran modernisme, dalam kehidupan
sosial, menggambarkan hubungan itu sebagai truth (knowledge), right dan
power. Foucault menggambarkannya sebagai power, right dan truth
(knowledge).

Teori-teori filosofis dan yuridis abad ke-17 dan ke-18 menganggap


pengetahuan sebagai yang utama, menggali kemanusiaan dan hak-hak
setiap manusia sebagai manusia berdasarkan esensi manusia, dan
kemudian apa esensi negara dan hak-hak subyek yang mana dapat
diserahkan kepada negara dan mana yang tidak; jadi penenetuan tentang
kedaulaltan negara dan batas-batasnya. Pengetahuan tentang batas-batas
kedaulatan (sovereignty) negara inilah yang membuat kaum intelekkual
“universal” dan para “penulis” memiliki privilese untuk mengawasi tindak-
tanduk negara dan politik. Pengetahuan yang benar adalah di luar
kekuasaan, merefleksi kekuasaan, bersifat imparsial, karena itu dapat
dipakai untuk mewasiti kekuasaan. Berbeda, malahan berkebalikan,
dengan pendapat yang masih sangat lazim di kalangan kaum terpelajar,
cerdik cendekia dan para aktivis sosial, Michel Foucault mengobservasi
bahwa pengetahuan (kebenaran) tidaklah di luar kekuasaan, tidak
merupakan ganjaran bagi jiwa yang merdeka, atau bagi insan yang
mengendapkan diri dalam keheningan, bukan pula ganjaran bagi mereka
yang berhasil membebaskan diri dari penindasan (Foucault; 1980, 131).

Bagi Foucault, kekuasaan menentukan pengetahuan dalam arti:


“menetapkan” tipe-tipe diskursus yang benar dalam arti yang “works”;
“menetapkan” mekanisme dan patokan yang memungkinkan untuk
membedakan proposisi yang benar dan yang salah; “menetapkan” teknik
dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; “menetapkan” status dari
mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang dianggap benar.
Kekuasaan itu tidak mungkin kita persempit semata-mata hanya pada
“kekuasaan negara”. Kekuasaan itu ialah kekuasaan – dalam bahasa Anglo-
sakson – untuk menjamin “normalitas”, “regularitas”, “familiaritas”. Negara
memang penting, namun kekuasaan untuk menjamin normalitas ini adalah
lebih dari sekedar kekuasaan negara. Pertama, negara tak mencakup semua
hubungan kekuasaan aktual. Kedua, negara hanya dapat beroperasi secara
efektif berdasarkan relasi-relasi kekuasaan lain yang sudah ada,
serangkaian jaringan kekuasaan beraneka yang sudah beroperasi pada
berbagai hal, semisal teknologi, pengetahuan, puak dan marga, keluarga
inti, bahkan tubuh dan seksualitas.

Kekuasaan itu menyebar. Subyek, begitu pun institusi, adalah korban


sekaligus penjelmaan dari kekuasaan. Dalam perjalanan ke sini, tubuh kita
mengendarai mobil di sebelah kiri jalan karena kekuasaan negara. Tetapi
tubuh kita hadir di ruangan ini bukan karena kekuasaan negara. Dan siapa
menganggap pembicaraan tentang “pengetahuan dan kekuasaan” adalah
sebuah pengetahuan penting? Pengetahuan ini menjadi penting karena
adanya jalin-menjalin dari pelbagai kekuasaan, antara lain universitas dan
pasar perbukuan sebagai aparatus kekuasaan itu. Seorang ibu adalah
tertindas dari jaringan kekuasaan patriarki sebagaimana sering disebut
kaum feminis.

Tetapi subyek yang sama sekaligus adalah penindas bagi anak-anak dan
pembantu rumah tangga. Ada “kebijaksanaan” atau “dongeng” yang hampir
serupa dari rumah ke rumah tentang hubungan suami istri yang baik,
hubungan anak-orang tua yang baik, hubungan majikan-pembantu yang
baik. Dalam rezim pengetahuan ada pengetahuan yang ditindas (“minor
knowledge” kata Deleuze). Foucault justru tertarik untuk “menggala”
pengetahuan yang ditindas oleh kekuasaan normalitas itu, karena itu
metode itu disebutnya “arkeologi”. Dengan “arkeologi” Foucault
memaksudkan metode untuk menggali dan menganalisis diskursus-
diskursus lokal atau pengetahuan-pengetahuan “kecil”. Sedangkan
“genealogi” diberinya arti sebagai taktik dimana diskursus lokal atau
pengetahuan kecil itu dioperasikan, sehingga pengetahuan historis tentang
konflik yang nyaris terkubur dapat dihidupkan lagi dan pengetahuan
populer yang dipandang “kelas kambing” dapat diangkat kembali. Disadari
bahwa sejarah bagi Foucault ialah konflik, bahkan perang.
Di sini sekali lagi terjadi pembalikan, kali ini terhadap dalil Clausewitz yang
mengatakan bahwa perang adalah perpanjangan dari diplomasi (politik)
dalam bentuk lain. Foucault menyatakan bahwapolitik adalah perpanjangan
perang dalam bentuk lain. Perdamaian adalah salah satu bentuk perang,
negara (penjamin perdamaian) adalah senjatanya. Kita sendiri dapat
merumuskan lagi dengan mengatakan bahwa normalitas adalah salah satu
bentuk penindasan dengan senjata yang beraneka. Tesis Nietzsche,
“kehendak untuk berkuasa”, menjadi asumsi dasar, baik bagi
postmodernisme Perancis maupun dalam aphoria Mazhab Frankfurt. Tetapi
konflik atau perang antara siapa? Antara dua kelas (katakanlah borjuis
dengan proletar?) “Bellum omnium contra omnes” yang bersifat
komunitarian (baca: “clash of civilization”)? Atau, dapat kita tambahkan,
antar generasi? (seperti kata Jose Ortega y Gasset).

Kepustakaan:

Foucault, Michel, Power/Knowledge: Selected Interviews & Other Writings


1972-1977, New York: Pantheon Books, 1980.
Kuhn, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: University of
Chicago Press, 1962.
Rorty, Richard, Contingency, Irony and Solidarity, Cambridge: Cambridge UP,
1989.
Steel, Carlos, Inleiding tot de Wijsbegeerte, Leuven: Leuven UP, 1989.
Verhaak, C. dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas
Cara Kerja Ilmu-ilmu, Jakarta: Gramedia, 1991.
Whitehead. Alfred North a.b. Alois A. Nugroho, Fungsi Rasio, Yogyakarta:
Kanisius, 2001.
.

Anda mungkin juga menyukai