Anda di halaman 1dari 3

’’Beyond Pluralism’’

Kritik Implementasi Dialog Agama


Oleh Siti Aisyah

MENGAPA dialog agama sangat diperlukan? Ada beberapa argumen yang bisa menjadi
jawabannya. Antara lain, argumentasi historis yang membuktikan bahwa kehidupan
keberagamaan pernah diwarnai sejarah kelam dengan banyaknya kekerasan atas nama
agama.

Dengan adanya dialog agama, diharapkan sejarah masa depan bangsa tidak lagi diwarnai
tindak kekerasan atas nama agama. Berikutnya terdapat argumentasi etis, yakni dengan
dialog agama diharapkan adanya saling pengertian lalu tercipta kerukunan beragama.

Di Indonesia selama ini paling tidak ada dua paradigma dialog agama yang berkembang:
fenomenologis dan perenial. Fenomenologi mengasumsikan dialog agama adalah berfungsi
untuk menjelaskan secara rasional tentang agama yang dianutnya terhadap umat lain, serta
berusaha memahami serta mengerti keberagamaan orang lain dengan tanpa membuang
keimanan kita. Sementara perenial mengandaikan dialog agama (kaum perenialis lebih
senang menyebut dialog antar-iman) sebagai wahana saling tukar pengalaman religius untuk
saling mendewasakan diri dalam beragama.

Rasanya, sekarang kedua paradigma itu tidak mencukupi bagi terbangunnya sebuah
masyarakat yang damai, adil, dan dewasa dalam beragama. Kenapa? Karena dua
paradigma tersebut tidak mempertimbangkan argumentasi transformasi agama dalam
melakukan dialog. Keduanya menafikan agama sebagai agen transformator dalam sebuah
masyarakat.

Oleh karena itu, pantas direnungkan perihal pemikiran baru tentang paradigma dalam dialog
agama, yakni paradigma liberasi (pembebasan), yakni sebuah paradigma yang
mempertimbangkan elan transformatif agama. Dalam tulisan ini, kita berbicara soal itu lebih
lanjut.

Dialog agama fenomenologis adalah upaya dialog yang lebih didorong semangat
menjelaskan agamanya kepada umat agama lain dan mencoba memahami serta mengerti
agama berikut keberagamaan mereka. Dalam pandangan Komarudin Hidayat, dialog itu
meski masih terasa aspek dakwahnya-suatu penobatan orang lain dari keyakinannya tetapi
sudah cukup positif, karena di samping akan melahirkan kompetisi di bidang intelektual, juga
paradigma ini tidak berpretensi melakukan falsisifikasi terhadap keyakinan orang lain dalam
rangka membenarkan agamanya sendiri (Komarudin Hidayat, 1995:75).

Paradigma ini mengajak untuk bersikap rendah hati dan jujur sehingga bisa melihat
kenyataan dan kebenaran yang ada pada agama lain sebagaimana dipahami dan diyakini
oleh pemeluknya. Oleh karena itu, paradigma dialog agama fenomenologis ini masih
mengandaikan kebenaran hanya ada pada agama yang dia peluk. Namun, mereka bersikap
toleran, dalam pengertian menaruh hormat terhadap keyakinan yang dianut oleh orang lain.

Singkat kata, paradigma ini hanya sampai menghormati (saja) kebenaran yang diyakini umat
lain. Sikap seperti ini oleh Alwi Shihab disebut sebagai keberagamaan yang inklusif, belum
mencapai tataran sikap beragama pluralis.

Berbeda dengan yang pertama, paradigma perenial merekomendasikan bahwa sebuah


dialog hendaknya mengarah pada usaha pencarian kemungkinan adanya apa yang disebut
sebagai transcendent unity of religions (Komarudin Hidayat, 1995:75). Paradigma ini
membawa dialog antar-umat beragama pada tataran mistik, yaitu sebuah pengalaman
kehadiran Tuhan yang tentu saja bersifat unik/khas dan individual.

Paradigma perenial ini, menurut Komaruddin Hidayat, dibangun atas tiga fondasi. Pertama,
setiap umat beragama hendaknya meyakini bahwa Tuhan itu hanyalah Satu yang bisa
ditafsirkan dengan berpusparagam (Satu Tuhan Banyak Nama). Kedua, berpusparagamnya
tafsir tentang Yang Satu harus dipandang sebagai "jalan" menuju hakikat Yang Absolut. Dan
ketiga, setiap umat beragama harus mempunyai komitmen terhadap "jalan" yang ia tempuh
atau dalam bahasa Sayyed Hossein Nasr disebut sebagai relativity absolute.

Oleh karena itu, paradigma perenial ini mengandaikan sebuah pemahaman keberagamaan
yang pluralis; yakni sebuah pemahaman yang memberi pengakuan terhadap kebenaran dari
yang lain. Kebenaran dipandang datang dari Yang Satu, walaupun demikian kebenaran
tersebut dapat didekati dengan berbagai cara.

KEDUA model dialog agama ini di samping mempunyai nilai positifnya masing-masing, di sisi
lain mempunyai kelemahan yang cukup mendasar. Paradigma fenomenologis yang dilandasi
oleh keberagamaan yang inklusif ini selain membawa hal-hal yang positif juga memiliki
beberapa kelemahan mendasar. Paradigma ini masih mendasarkan diri pada semangat truth
claim yang mengandaikan kebenaran hanya ada pada dirinya.

Sikap seperti itu cenderung melahirkan pembenaran kepercayaan diri sendiri walaupun tidak
terang-terangan menyalahkan kepercayaan orang lain yang pada gilirannya tentunya tidak
bisa menghapus kecurigaan terhadap agama lain dengan tuntas. Hasil akhir dari dialog
model ini adalah munculnya sikap menghormati, dan bukan empati terhadap umat lain.
Akibatnya, masih menyisakan "ruang" yang potensial untuk mengubah rasa hormat menjadi
perasaan benci. Ini sangat mungkin terjadi bila suatu saat agama dimuati kepentingan politik
atau ekonomi. Bisa jadi muncul friksi dan kekerasan atas nama agama.

Demikian halnya dengan paradigma perenialis, walaupun dialog agama dalam paradigma ini
didasarkan oleh semangat pluralisme dan relative absolute, dalam konteks Indonesia sikap
keberagamaan yang pluralis saja tak cukup untuk membangun keberagamaan yang damai.
Nilai positif dari paradigma ini adalah dengan watak pluralismenya akan semakin mendorong
hilangnya fanatisme sempit dalam beragama.

Sumbangan perenialis ini sangat penting dalam menghilangkan watak truth claim dari
agama-agama. Paradigma ini memiliki kelemahan karena tidak mempertimbangkan dimensi
sosial agama. Padahal, sulit untuk dibantah bahwa agama sarat dengan tafsir kepentingan
yang punya potensi untuk menindas yang lain.

Satu catatan penting lagi bagi kedua model dialog agama di atas bahwa keduanya
cenderung elitis dan tidak populis. Yang dimaksud elitis adalah dialog tersebut
mengandaikan hanya bisa dilakukan oleh elite-elite dari agama besar saja.

Ruang lingkup dialog tersebut juga tidak memasuki spektrum kepentingan kehidupan
manusia secara luas. Maksudnya, keduanya mengandaikan agama adalah wilayah privat
dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan-kepentingan sosial. Dengan
mempertimbangkan nilai positif dan negatif dua model dialog di atas, maka perlu ada
paradigma baru dalam dialog beragama, yakni paradigma liberasi, paradigma pembebasan.

MENARIK apa yang disampaikan oleh Hans Kung: "there will be no peace for our world
unless there is peace among the religion" ( tidak ada kedamaian dalam dunia tanpa
kedamaian di antara agama-agama). Namun, satu hal yang patut dicatat bahwa agama
hanya bisa menciptakan perdamaian apabila agama tidak berkolaborasi dengan penindas
kemanusiaan. Sebaliknya agama, harus menjadi inspirasi pembebasan atas manusia dari
struktur yang menindas. Dalam konteks inilah seharusnya dialog dilakukan.

Paradigma fenomenologis dan perenial hanya memusatkan pada "kebenaran" abstrak yang
jauh dari realitas kemanusiaan. Di samping mengabaikan elan vital pembebasan dari agama,
kedua paradigma itu hanya berkutat pada masalah elitis, yakni tentang kebenaran dan
pengalaman keberagamaan, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang mempunyai
"kapasitas" individu tertentu.

Dialog hanya ada di ruang-ruang diskusi, kelas, seminar, atau ruang akademis lainnya.
Dialog tidak terjadi dalam keseharian kehidupan masyarakat luas. Akibatnya, terjadilah
fenomena paradoksal, di mana pada satu sisi para elite agama berdialog, namun pada sisi
yang lain kekerasan antar-agama terjadi pada level grass root semakin marak.

Kedua pendekatan tersebut juga tidak mempersoalkan kemungkinannya agama justru


menjadi alat penindas. Padahal, sangat mungkin agama hanya dipakai sebagai alat
mempertahankan status quo kelompok-kelompok mapan, baik secara politik atau ekonomi
maupun sosial budaya.

Dialog bagi keduanya hanya sekadar untuk saling mempertahankan kemapanan agama
masing-masing. Dengan meminjam istilah Garaudi (1990:154), maka dialog ini hanya
berhenti pada ko-eksistensi dan pro-eksistensi. Artinya, dialog agama hanya mengantarkan
manusia pada sikap bahwa setiap agama berhak bereksistensi, dan harus didukung
bersama-sama.

Melampaui kedua model dialog agama tersebut, paradigma liberasi memandang kedamaian
hanya bisa diciptakan bila tidak ada ancaman kemanusiaan di muka bumi.

Tema besar yang diangkat adalah the survival conditions of humanity yang berupa keadilan
sosial, kesejahteraan, dan kemakmuran dunia. Karenanya, dialog agama harus juga
memasuki persoalan-persoalan keadilan struktur ekonomi, krisis ekologi, penjajahan
kebudayaan, diskriminasi serta penindasan, dan seterusnya yang menyangkut persoalan
eksistensi kemanusiaan yang luas.

Konsekuensi lebih lanjut, maka dialog ini tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi dan pro-
eksistensi; dialog harus mencapai koorporasi. Artinya, ada sebuah kerja sama yang real atau
konkret dalam memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang terjadi hari ini. Kalau ini
disepakati, maka pertama-tama yang harus diperbincangkan adalah keberpihakan agama-
agama tersebut. Karena tanpa ada keberpihakan yang sama, koorporasi yang diangankan
tadi tidak pernah akan tercapai.

Memakai pendekatan liberasi ini, maka dialog agama akan benar-benar menyentuh
masyarakat secara luas. Hal ini, saya kira, sangat tepat dalam konteks Indonesia yang
sedang mengalami krisis multidimensional seperti sekarang ini.

Dengan mempertimbangkan elan transformatif keagamaan dalam melakukan dialog agama,


maka sumbangan umat beragama dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara
akan lebih relevan dan kontekstual.

Siti Aisyah, mahasiswa Pascasarjana Prodi Cross Cultural and Religious Studies UGM

Anda mungkin juga menyukai