PENDAHULUAN
A.
Umumnya
setiap
pasangan
suami
istri
mendambakan
mengarah
pada kondisi
bubarnya
perkawinan
(broken
marriagge).
Pada tataran terakhir, harta bersama akan menjadi ajang
persengketaan. Dan tidak dapat dipungkiri lembaga peradilan pun
akan cukup berperan dalam proses penyelesaian persengketaan yang
perceraian
ataupun
sesudah
putusan
perceeraian
sekarang,
penggunaan
berbagai
macam
istilah
keseragaman
penyelesaian
dan
hukum
pembagian
harta
positif
tentang
bersama
bagaiman
apabila
terjadi
perceraian.
Menurut pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
bersama suami istri. Dari segi redaksi, ketentuan ini lebih tegas dari
pasal 190 KUH Perdata. Karena di dalamnya terdapat perkataan
menjamin terpeliharanya harta bersama. Namun terlepas dari itu,
hampir
tidak
ada
perbedaan
antara
keduanya.
Sama-sama
10
judul. PENETAPAN
putusan
perkara
Pengadilan
Agama
Malang
Nomor
2198/Pdt.G/2012/PA.Mlg).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tesis ini akan mengangkat
pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta bersama dalam
perkara poligami setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ?
2.
C Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penetapan pembagian harta perkawinan dalam
perkawinan poligami di Pengadilan Agama Malang.
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan
7 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan ,Hukum Kewarisan,Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,1995), hal. 3536.
11
poligami.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi para praktisi di lembaga Pengadilan Agama Malang,
masyarakat dan peneliti lain. Sekaligus sebagai informasi dalam
mengembangkan rangkaian peneltian lebih lanjut dalam karya
keilmuan yang lebih berbobot khususnya dalam penetapan harta
bersama dalam perkara ijin poligami (Studi terhadap putusan
perkara
Pengadilan
2198/Pdt.G/2012/PA.Mlg dan
Agama
Malang
Nomor
rumusan
masalah,
tujuan
dan
kegunaan
definisi operasionil
tentang
perkawinan
yang
berisi
pengertian
13
BAB III :
Metode Penelitian
Dalam
bab
ini
dikemukakan
tentang
metode
yang
ada
hubungannya
dengan
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menetapkan definisi
perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara tujuan pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
pria
dengan
Perkawinan
seorang
menutup
wanita.
Artinya,
kemungkinan
Undang-Undang
dilangsungkannya
15
yang
mengatur
mengenai
Larangan
Perkawinan,
tidak
Perkawinan
harus
dilakukan
berdasarkan
peraturan
lelaki
dan
perempuan
dalam
rangka
mewujudkan
16
sebab
KUHPerdata
tidak
definisi
perkawinan.11
Pasal 26 KUHPerdata menyimpulkan, bahwa undang-undang
hanya memandang perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata.
Hal yang sama, juga dapat dilihat dalam Pasal 1 HOCI (Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesiers), yang menetapkan bahwa tentang
perkawinan undang-undang hanya memperhatikan hubungan perdata
saja12. Undang-undang hanya mengenal perkawinan perdata yaitu
perkawinan yang dilakukan dihadapan seorang Pegawai Catatan
Sipil.13
Beberapa ahli hukum telah memberikan defenisi tentang
perkawinan yaitu, sebagai berikut:
Menurut Wirjono Prodjodikoro, peraturan yang digunkan untuk
mengatur
perkawinan
inilah
yang
menimbulkan
pengertian
12 Ibid, hal. 8.
13 H. F.A. Voolmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta : Rajawali, 1983),
hal. 50.
17
2. Syarat-syarat Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyatakan
bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya, hal ini diatur dalam.
Di samping itu ada keharusan untuk melakukan pencatatan
perkawinan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan, adapun bunyi pasal tersebut ialah Tiap-tiap perkawinan
14 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung, Sumur,
1974), hal.
15 Loc.Cit.
16 Ali Afandi, Op. Cit., hal. 98
17 R. Soebekti, Op. Cit., hal. 23
18 Mulyadi, Op. Cit, hal. 9.
18
sebagaimana
dimaksud
dalam
Undang-Undang
agama
Islam,
dilakukan
oleh
pegawai
pencatat
peraturan
yang
berlaku,
tata
cara
pencatatan
19
mengenai
nama,
agama/kepercayaan,
20
lebih.
f. Ijin
tertulis
dari
pejabat
yang
ditunjuk
oleh
Menteri
Perkawinan
dalam
pelaksanaannya
diatur
itu
perlu
untuk
kepastian
hukum,
maka
21
yang kuat sebagai alat bukti otentik berupa akta nikah (akta
perkawinan), yang di dalamnya memuat sebagai berikut :
a. Nama, tanggal dan tempat lahir, agama atau kepercayaan,
pekerjaan dan tempat kediaman suami istri. Jika pernah kawin
disebutkan juga nama suami atau istri terdahulu.
b. Nama, agama atau kepercayaan, pekerjaan, dan tempat
kediaman orang tua mertua.
c. Ijin kedua orang tua bagi yang belum mencapai umur 21
tahun/dari wali atau pengadilan.
d. Dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua bagi yang melakukan perkawinan dibawah
umur 19 tahun bagi pria dan di bawah umur 16 tahun bagi
wanita.
e. Ijin pengadilan bagi seorang suami yang akan melangsungkan
perkawinan lebih dari seorang istri.
f. persetujuan dari kedua calon mempelai.
g. Ijin dari pejabat yang ditunjuk Menteri Hankam/Pangab bagi
anggota ABRI.
h. Perjanjian perkawinan jika ada
i. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan
dan
kediaman para saksi, dan wali nikah bagi yang beragama Islam.
j. Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan dan tempat
kediaman kuasa apabila perkawinan dilakukan melalui seorang
22
kuasa.
Pegawai pencatat nikah harus bertindak aktif dalam arti tidak
hanya
menerima
apa
saja
yang
dikemukakan
oleh
yang
3. Akibat Perkawinan
Perkawinan yang sah menurut hukum akan menimbulkan akibat
hukum sebagai berikut :
1. Timbulnya hubungan antara suami-istri
2. Timbulnya harta benda dalam perkawinan
3. Timbulnyan hubungan antara orang tua dan anak.
Akibat perkawinan yang menyangkut harta benda dalam
perkawinan, diatur dalam Pasal 35 sampai Pasal 37 UU No. 1 Tahun
1974, yang menetapkan sebagai berikut :
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama,
2. Sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah
atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing,
sepanjang tidak ditentukan lain oleh suami-isteri.
3. Apabila ditentukan oleh suami isteri, maka harta bawaan suami
20 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia,
1980), hal. 19.
23
24
harta
bawaan
masing-masing,
suami
isteri
atau
memakai
harta
bersama
dengan
Syahrani
adalah
sewajarnya,
mengingat
hak
diatur
menurut
hukumnya
masing-masing
Menurut
Tinjauan Umum
25
26
cara
dilaksanakan
pengajuan
sesuai
permohonan
dengan
tata
pembatalan
cara
perkawinan
pengajuan
gugatan
perceraian.
(3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan,
27
28
hal. 24
29
30
untuk
menjaga
agar
poligami
tidak
31
monogami.
Hanya
apabila
dikehendaki
oleh
yang
32
33
keterangan
mengenai
penghasilan
suami
yang
34
35
36
dan
mendengar
isteri
yang
bersangkutan
izin
sengketa,
beristeri
oleh
lebih
sebab
dari
itu
seorang
pada
tidak
hakekatnya
dalam
Jurisdictio
Voluntaria
merupakan
penetapan
(beschiking).
Selanjutnya apabila belum ada izin dari pengadilan untuk
beristri lebih dari seorang, maka Pegawai Pencatat Perkawinan
dilarang melangsungkan, mencatat atau menyaksikan poligami.
Dahulu sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 secara
efektif, menurut tafsir lama sebagaimana yang berlaku dalam
37
enundukkan poligami
38
menurut
bahasa
adalah
al
Ikhtilath
sebelum
atau
sesudah
berlakunya
atau
39
usahanya
masing-masing
merupakan
milik
bersama suami istri. Lain halnya harta yang diperoleh masingmasing suami dan istri sebelum akad nikah, yaitu harta asal
atau harta bawaan. Harta asal itu, akan diwarisi oleh masing-
40
Artinya: Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada
apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.
Kompilasi
Hukum
Islam
(KHI)
Indonesia,
36 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam , (Jakarta, Bumi Aksara th. 1999),
hal 65.
41
selama
42
Sebagai
bahan
perbandingan,
ada
baiknya
43
terjadi perceraian harta tersebut kembali kepada masingmasing keluarga yang memberikan semula.
c. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tetapi
bukan karena usahanya, misalnya karena hibah, wasiat atau
warisan, harta inipun manakala terjadi perceraian kembali
kepada keluarga asal.
d. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam
hubungan perkawinan berlangsung, atas usaha mereka
berdua atau usaha salah seorang dari mereka. Harta ini
manakala
terjadi
perceraian
dibagi
secara
imbang
44
40
45
42 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal.
232
46
warisan,
adalah
dibawah
penguasaan
masing-masing
Pasal 36:
1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak
atas persetujuan kedua belah pihak.
2) Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan istri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan mengenai
perbuatannya.
Pasal 37:
1) Jika perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing. Pada dasarnya
menurut hukum Islam antara harta suami dan istri itu
terpisah, baik harta bawaan masing-masing sebelum terjadi
perkawinan ataupun harta yang diperoleh masing-masing
pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan
usaha bersama, misalnya menerima warisan, hibah, hadiah
dan lain sebagainya.43 Akan tetapi apabila keperluan rumah
tangga diperoleh karena usaha bersama antara suami dan
43 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,()
Jakarta: Rajawali ,1992), hal. 99
47
48
untuk
49
Pasal 91
1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85
diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak
berwujud.
2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda
tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga.
3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupah
hak maupun kewajiban.
4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang
jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak
lainnya.
Pasal 92:
Suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan
menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93:
50
harta
bersama,
maka
ketika
terjadi
perceraian
pembagian hartanya dikembalikan kepada hukumnya masing45 Ibid Kompilasi Hukum Islam, hal 99
51
52
bahwa
apabila
perkawinan
putus
baik
karena
perdamaian,
maka
pembagiannya
bisa
ditentukan
melalui
putusan
pengadilan
agama
atau
melalui
53
54
bahwa harta bersama atau syirkah akan dibagi sama banyak atau
seperdua bagian antara suami dan istri, hal ini dapat dilakukan
langsung atau dengan bantuan pengadilan 49. Di dalam Hukum
Perdata, harta atau kekayaan bersama ini disebut dengan
gemeenschap. Gemeenschap ini berakhir dengan berakhirnya
perkawinan, apabila gemeenschap ini dihapuskan, maka dibagi
dalam dua bagian yang sama dengan tidak mengindahkan asal
barangnya satu persatu dari pihak siapa. Hanya barang-barang
yang sangat rapat hubungannya dengan satu pihak dapat diberikan
pada yang bersangkutan dengan memperhitung harganya dalam
pembagian.50
Dalam sistem Hukum Adat harta benda dalam perkawinan dibagi
menjadi emapat yaitu:
1. Harta yang diperoleh sebelum perkawinan oleh masing-masing
pihak.
2. Harta yang pada saat mereka menikah diberikan kepada kedua
mempelai.
3. Harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, tetapi
bukan karena usahanya, misalnya karena hibah atau warisan.
49 Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk
Wetboek dan Undang-Undang Perkawinan,(Laksbang Grafika: Yogyakarta,2012),hal. 97
55
perkawinan
semata-mata
untuk
memenuhi
kebutuhan suami dan istri secara bersama-sama beserta anakanak mereka, sehingga penggunaan harta bersama harus atas
persetujuan bersama suami dan istri, tidak boleh dikuasai secara
sepihak dan semena-mena. Oleh karena itu, apabila ada
persangkaan atau terindikasi adanya tindakan penyalahgunaan
oleh salah satu pihak di antara suami atau istri, dengan memindah
tangankan kepada pihak lain, memboroskan atau menggelapkan
atas harta bersama tersebut, maka undang-undang memberikan
jaminan agar keutuhan harta bersama dalam perkawinan itu tetap
51
52 Ibid Hukum Perkawinan Islam,hal. 229
56
diajukan
pihak
suami
atau
istri
serta
pihak
yang
dalam
perkawinan,
misalnya;
sita
konservatoir
bersama,
seperti
perjudian,
pemborosan,
dan
sebagainya.53
Akan tetapi, semata-mata untuk menjamin keselamatan barang
harta bersama agar tidak dialihkan penguasaannya kepada pihak
ketiga.
53 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Sinar Grafika: Jakarta, 2011), hal.
377.
57
BAB III
METODE PENELITIAN
58
kemudian
mengusahakan
suatu
pemecahan
atas
59
a. Dokumentasi
Yaitu suatu cara memperoleh data dengan cara mempelajari
berkas perkara berupa putusan penetapan harta bersama tanpa
ada perceraian (ijin poligami).
b. Wawancara
Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal, jadi
semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. 56
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan hakim yang
pernah menangani penetapan harta bersama tanpa ada
perceraian (ijin poligami) di Pengadilan Agama Malang.
D.
60
alasan-alasan
Hakim
terhadap
penetapkan
harta
61
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Nomor 1 Tahun
62
63
tiap-tiap
perkawinan
diharuskan
adanya
pencatatan
perkawinannya
menurut
agamanya
dan
dalam
berbagai
perundang-undangan
mengenai
pencatatan perkawinan.
Pencatatan perkawinan ini juga diatur secara tegas dalam
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menyatakan bahwa:
a. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
64
perundang-undangan
mengenai
pencatatan
perkawinan.
c. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan khusus berlaku
bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai
peraturan yang berlaku, tata cara. pencatatan perkawinan
dilakukan sebagaimana di tentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Pencatatan
perkawinan
ini
berguna
sebagai
suatu
65
memperlancar
aktivitas
Pemerintah
di
bidang
(1)
Undang-Undang
Nomor
Tahun
1974
tentang
wanita
hanya
boleh
mempunyai
seorang
suami.
66
(2)
Undang-Undang
Nomor
Tahun
1974
tentang
menyatakan
bahwa
untuk
dapat
mengajukan
adanya
kepastian
bahwa
suami
mampu
67
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada
kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
dari Hakim Pengadilan.59
Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan isteri tidak
dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Juncto Pasal 41
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Hal
yang paling penting bagi Pengadilan dalam memberikan putusan
apakah seorang suami diperbolehkan beristeri lebih dari seorang
atau tidak adalah apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan
dari calon suami mengizinkan adanya poligami (beristeri lebih dari
satu).60
Praktik yang terjadi di masyarakat, banyak terjadi kasus
perkawinan poligami yang pelaksanaannya tidak mengajukan
68
permohonan
izin
kepada
Pengadilan,
maka
69
70
poligami
menemukan
bentuk
masyarakat
Arab
sehingga
perkawinan
yang
terkenal
ketika
itu
sulit
sekali
monogami,
termasuk
pada
jahiliyah.
Poligami
yang
berlangsung saat itu tidak mengenal batas, baik dalam hal jumlah
isteri maupun syarat moralitas keadilan. Lalu Islam datang
melakukan koreksi total secara radikal terhadap perilaku poligami
yang tidak manusiawi itu. Koreksi Islam menyangkut dua hal:
Pertama, membatasi jumlah isteri hanya empat, dan kedua, ini
yang paling radikal bahwa poligami hanya dibolehkan bagi suami
yang menjamin keadilan untuk para isteri. Perubahan drastis inilah
yang diapresiasi Robert Bellah, sosiolog terkenal asal Amerika
sehingga menyebut Islam sebagai agama yang sangat modern
untuk ukuran masa itu.64
Pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam
seharusnya dimaknai sebagai suatu cita-cita luhur dan ideal Islam
untuk menghapuskan poligami secara gradual dalam kehidupan
71
melainkan
dilarang
secara
bertahap
sehingga
Pesan
moral
keagamaan
dibalik
ayat-ayat
poligami,
Tuhan
yang
paling
bermartabat.
Manusia
harus
72
dan
memberikan
keperluan
isteri
sesuai
kemampuannya.
c. Memberi kesempatan belajar pengetahuan yang bermanfaat.
d. Sesuai kemampuannya menanggung:
1)
2)
4)
menyediakan
tempat
kediaman
bagi
isteri
dan
73
74
selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masingmasing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sedangkan Pasal 36
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan
bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing,
suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.
68
bersama
adalah
harta
benda
yang
diperoleh
selama
sebagai
hadiah
atau
warisan
termasuk
harta
75
bawaan.69
Tujuan dilaksanakannya perkawinan adalah membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Namun, apabila tujuan pelaksanaan perkawinan tersebut tidak
dapat dicapai oleh suami atau isteri, maka suami atau isteri tersebut
diberikan suatu pilihan terakhir yaitu melakukan pemutusan perkawinan.
Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian
dan atas keputusan Pengadilan. Putusnya perkawinan karena kematian
merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat dielakkan
oleh manusia, sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian berarti
gagalnya pelaksanaan tujuan perkawinan.
Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa
perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan
Pengadilan. Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian
dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Hal ini
sesuai dengan Pasal 114 Kompilasi Hukum Islam (KHI).70
Berdasarkan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka
perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan sebagai berikut
76
:
a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. kedua, salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. ketiga, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. keempat,
salah
satu
pihak
melakukan
kekejaman
atau
77
78
pembagian
harta
dalam
perkawinan
melalui
pengadilan agama biasanya terjadi karena tidak adanya titik temu antara
para pihak (dalam hal ini suami-istri yang akan atau telah bercerai) dalam
porsi pembagiannya. Permohonan pembagian harta dalam perkawinan
melalui pengadilan agama, dapat dilakukan secara bersamaan dengan
pengajuan gugatan perceraian (kumulatif) atau dapat pula digugat secara
terpisah setelah putus perceraian. Apabila gugatan cerainya ditolak, maka
permohonan pembagian harta bersamanya dapat ditolak. Hal ini
disebabkan oleh karena pembagian harta perkawinan tersebut bahagian
dari gugatan cerai. Syarat-syarat untuk dapat mengajukan gugatan
permohonan pembagian harta dalam perkawinan ialah :
1. Mendaftarkan perkara yang akan diajukan berikut dengan surat
79
harta
bersama
yang
telah
diperoleh
selama
perkawinan.
4. Adanya akte perceraian (apabila sudah cerai)
5.
80
dan anaknya.
2. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta
gono-gini yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua
atau berikutnya itu terjadi.
3. Semua istri mempunyai hak yang sama atas harta gono-gini yang
terjadi sejak perkawinan masing-masing.
Istri pertama dari suami yang berpoligami mempunyai hak atas
harta gono-gini yang dimilikinya bersama dengan suaminya. Istri kedua
dan seterusnya berhak atas harta gono-gininya bersama dengan
suaminya sejak perkawinan mereka berlangsung. Kesemua istri memiliki
hak yang sama atas harta gono-gini tersebut. Namun, istri-istri yang kedua
dan seterusnya tidak berhak terhadap harta gono-gini istri yang pertama.
Ayat (2) pasal yang sama mengatur jika pengadilan yang memberi izin
untuk beristri lebih dari seorang, dan undang-undang ini tidak menentukan
lain, berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) Pasal 65 ini. 77
Berdasarkan pada Pasal 65 ayat (1) Huruf b Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa
pembagian harta bersama akibat perceraian dalam perkawinan poligami
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah kedudukan isteri kedua, ketiga dan keempat dalam perkawinan
poligami akibat perceraian tidak mempunyai hak atas harta bersama dari
perkawinan suami dengan isteri yang pertama, isteri ketiga dan keempat
77 Hasil wawancara dengan Drs. Munasik, M.H, Hakim Pengadilan Agama
Malang, tanggal 25 Juni 2014
81
tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami dengan
isteri pertama dan kedua, sedangkan isteri keempat tidak mempunyai hak
atas harta bersama dari perkawinan suami dengan isteri pertama, kedua
dan ketiga. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 K/AG/1995
tanggal 28 September 1995 telah dinyatakan bahwa jika di antara para
pihak telah terjadi kesepakatan untuk menyelesaikan perkara harta
bersama secara damai, maka penyelesaiannya harus didasarkan
pembagian yang sama rata atas kesepakatan tersebut dan secara damai
mengikat pihak-pihak yang mengadakannya.78
Berdasarkan Pasal 65 ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan,
maka
dapat
dikatakan
bahwa
79 Hasil wawancara dengan Dra.Hj. Sriyani, M.H, Hakim Pengadilan Agama Malang,
tanggal 24 Juni 2014
82
pembagian
harta
bersama
akibat
perceraian
dalam
prinsipnya,
ketentuan
tentang
harta
gono-gini
dalam
83
suami
istri
karena
meninggalnya
suami/istri.
84
85
ada
perjanjian
perkawinan,
penyelesaian
dalam
dalamnya.
Jika
tidak
ada
perjanjian
perkawinan,
86
gugatan
perceraian,
atas
permohonan
87
Yuridis
terhadap
dasar
pertimbangan
hakim
dalam
perkara
dan
dasar
pertimbangan
Hakim
dalam
mendaftarkan
permohonannya
di
2012
dengan
Nomor
Perkara
88
2198/Pdt.G/2012/PA.Mlg.,
perihal
izin
poligami
dan
82 Ibid., 1-2
83 Ibid., 2.
84 Ibid
89
sudah
bermusyawarah
dengan
Termohon
dan
90
86 Ibid.
87 Ibid.,4.
91
pengadilan
Agama
Kota
Malang
bersesuaian
dan
mendukung
alasan
permohonan
93
dan
berdasarkan
pengakuan
isteri
pemohon
dan termohon
pertama), sehingga
ada
permohonan
izin
poligami
terlebih
dahulu
96
ketentuan
diatur
dalam
97
pemohon dan termohon telah mengangkat 1 orang anak lakilaki yang bernama setiyo pranoto. Namun meskipun sudah
mengangkat anak pemohon berkehendak beristri lebih dari
seorang (poligami) dengan perempuan berstatus janda
bernama Dewi Sinem (38 tahun). Alasan yang mendasari
pemohon mengajukan poligami adalah antara pemohon dan
termohon tidak dikaruniai anak.
Untuk
keperluan
pemeriksaan
kemudian
pemohon
penghasilan,
Nomor
dikeluarkan
oleh
Kepala
Kelurahan
Madyopuro,
Akta
Nikah
Nomor
54A/62/1979,
tanggal
17
98
Silver Metalik, Nopol 0526 CG, Merk Daihatsu atas nama H.L,
dengan Nomor Mesin K003377 tahun 2005 (P.11), Microlet
Warna Biru, Nopol N 0428 UB, Merk Suzuki atas nama L, H.
dengan Nomor mesin MHYE SL 4103J658366, dan nomor
rangka MHYESL4103J658366; (P.12), Microlet Warna Biru,
Nopol N 1002 UA, Merk Canga atas nama L, H. dengan
nomor mesin JL 46501015111637, dan nomor rangka
LSCAA10D61A023875; (P.13), Microlet Warna Biru, Nopol N
1530 UB, Merk Suzuki atas nama L, H. dengan nomor mesin
F10AID708398, dan nomor rangka MHYESL4109J602675;
(P.14), Foto Copy Kartu Tanda penduduk atas nama H. L
Nomor 3573031707590003 dan kartu tanda penduduk atas
nama HJ. S Nomor 3573035007600007 serta kartu tanda
99
penduduk
atas
nama
DEWI
PERSIK
Nomor
bersama
sesuai
dengan
permohonan
pemohon
100
tersebut
ayat
(1),
dihitung
pada
saat
menjamin
keutuhan
dan
keselamatan
harta
102
103
104
seperdua.
Hanya
saja,
pembagian
harta
105
poligami
karena
kematian
ataupun
karena
106
suami bersama istri pertama, istri kedua, istri ketiga dan istri
keempat.92
Pembagian harta bersama perlu didasarkan pada aspek
keadilan untuk semua pihak yang terkait. Keadilan yang
dimaksud mencakup pada pengertian bahwa pembagian
tersebut
tidak
mendiskriminasikan
salah
satu
pihak.
diantara
kedua
pasangan
yang
tidak
mempunyai
Hukum
Perdata,
dan
Kompilasi
Hukum
Islam
92 Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, hal 132
107
bapak
Drs. Munasik, MH
tidak
mengganggu harta
antara pemohon
(suami)
fungsinya
dan
termohon
(istri)
yang
untuk
108
tidak
diklaim
oleh
istri
baru.
Namun
gugatan
perceraian
perceraian
memperoleh
ataupun
kekuatan
sesudah
hukum
putusan
tetap.
Dan
Peradilan
Agama
yang
dikeluarkan
oleh
94 Pasal 66 ayat (5) dan pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
109
pasal
diatas
tidak
ada
ketentuan
tentang
keharusan
dalam
perkara
izin
poligami
110
111
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelaksanan pembagian harta gono-gini dalam perkawinan
poligami adalah sama dengan pembagian harta gono-gini dalam
perkawinan
monogami,
yaitu
masing-masing
pasangan
112
113
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Basyir, Ahmad Azhar. 1978. Hukum Perkawinan Islam, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Yogyakarta.
Bisri Cik Hasan. 1998. Peradilan Agama di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, 1998, Jakarta.
Harahap Yahya. 2009. Kedudukan dan Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama, Jakarta.
Mulia Siti Musdah. 2008. Posisi Perempuan dalam Hukum Islam
di Indonesia, Kencana, Jakarta.
Ramulya M. Idris. 1995. Hukum Pekawinan, Hukum Pewarisan,
Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika,
Jakarta.
Tihami,H.M.A, M.A.,M.M. 2008. Fikih Munakahat,
Grafindo Persada, Jakarta.
PT.Raja
Bumi Aksara,
Sinar Grafika,
115
Azhar.
2000.
Hukum
Perkawinan
Islam,
UII
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, (Citra Umbara: bandung, 2010),hal 267
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam.
116
117