Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PERMASALAHAN DALAM NIKAH


a. Akad nikah dengan tulisan
Pertayaan :
Sahkah akad nikah memakai tulisan atau isyarah ?
Jawaban :
Imam Syafii, Imamiyah dan Hambali berpendapat bahwa akad nikah dengan
tulisan itu tidak sah sedangkan Hanafi mengatakan sah, apabila orang yang melamar dan
dilamar tidak berada dalam satu tempat. Selanjutnya semua mazhab sepakat bahwa orang
bisu cukub dengan memberikan isyarah secara jelas yang menunjukan maksud nikahnya,
manakala dia tidak pandai menuis, tetapi apabila dia pandai menulis, maka dipadukan
antara tulisan dan isyarahnya.
a. Mendahulukan Qabul dan mengakhirkan Ijab
Berdasarkan hukum asalnya ijab itu datangnya dari pengantin wanita, sedangkan qabul
dari pengantin laki-laki. Andaikata Qabul didahulukan, dan Ijab diakhirkan, dimana
pengantin laki-laki mengatakan pada wali Nikahkan saya dengan dia Lalu wali berkata
saya nikahkan kamu dengannya.
Pertayaan :
Sahkah akad nikah diatas ?
Jawaban :
Imamiyah, Syafii, Maliki dan Hanafi sepakat bahwa akad nikah sah, tetapi Hambali
mengatakan tidak sah1[17]
b. Nikah karena Hamil diluar Nikah
Akibat pergaulan bebas dan tidak terkontrol, banyak sekali anak perempuan hamil diluar
nikah, dan untuk menutupi aib keluarga biasanya perempuan tadi dikawin paksa dengan
laki-laki yang menghamilinya atau bahkan dengan lelaki lain yang dibayar untuk

1.
2.
3.
1.
2.

menikahinya.
Pertayaan :
Sahkah pernikahan tersebut?
Dan anak yang dilahirkan dinasabkan kepada siapa?
Siapa wali nikah jika anak tersebut perempuan?
Jawaban2[18] :
Pernikahan tetep sah, baik dengan lelaki yang menghamilinya atau dengan lelaki lain
Tafsil : jika anak tersebut lahir setelah lebih dari enam bulan dari akad nikah, maka
nasabnya kepada lelaki yang menikahinya. Jika kurang dari enam bulan maka nasabnya

dari ibunya saja


3. Bapak nasabnya, dan kalau anak zina maka walinya hakim
c. Anak kandung menjadi wali bagi ibu
Permasalahan ini kadang terjadi diakibatkan tidak ada lagi keluarga yang tinggal hannya
anak dan ibu yang ingin menikah dalam permasalahan ini bagaimana setatus anak menjadi
wali nikah adakah imam yang memperbolehkan.
Pertayaan:
Adakah Ashab Syafii yang memperbolehkan anak kandung menjadi wali dari ibunya
sendiri ?
Jawaban :
Ada yaitu Imam Muzani
Dasar pengambilan hukum perkataan seseorang anak tidak boleh mmenikahkan dari
yang dinikahkan (ibu) tetapi, hal ini berbeda dengan Imam Muzani dan Imam
Tsalasah3[19]
d. Nikah dengan mahar di muka
1
2
3

Pertayaan :
Akad nikah dengan mahar muqoddam/sebelum akad ?
Jawaban :
Sah nikahnya maupun maharnya
Dasar pengambilan hukum jika sesorang melamar wanita kemudian dia memberi
sesuatu kepada wanita tersebut tanpa menjelaskann pemberiannya dan itu diberikan
sebelum akad, kemudian diantara kedua terjadi ketidak cocokan, maka orang tersebut
diperkenankan kembali untuk menarik kembali pemberiannya. Sebagaimana keterangan
yang telah dikelaskan oleh sekelompok Ulam Muhaqiqun, dan jika ada lelaki memberi
sesuatu kepada wanita lamarannya dan wanita tersebut mengatakan sebagai hadiah,
sementara lelaki tersebut mengatakan sebagai mahar maka pengakuan lelaki yang
diterima dengan sumpahnya4[20].
e. Hukum memakai kondom ketika bersetubuh
Pertayaan :
Bagai mana hukumnya memakai kondom ketika bersetubuh
Jawaban :
Khilaf diantara ulama : Ada yang mengatakan Makruh ada juga yang mengatakan Boleh,
namun menurut Qaul yang shahih hukumnya boleh dengan syarat Ridhonya sang istri5[21]
f. Memecah selaput darah dengan hal yang tidak lazim
Pertayaan :
Kalau seorang selaput darah istrinya dengan jari-jari atau dengan sesuatu alat apakah itu
hukumnya sama dengan melakukan seksual dalam kaitannya membayar mahar
jawaban:
Menurut Ayatollah Sayyid Abu Qasim Al Khui suami harus membayar mahar secara
penuh akibat selaput darah yang dia pecahkan, berdasarkan riwayat Ali bin Riab.
BAB III
CACAT DALAM NIKAH
Mazhab-mazhab fiqh merinci dari jumlah cacat yang menyebabkan terjadinya faskh
(kerusakan) perkawinan berikut hukum hukumnya :
A. Impotensi
Impotensi adalah penyakit yang menyebabkan

seorang

laki-laki

tidak

mampu

melaksanakann tugas seksualnya. Dalam keadaan seperti itu menurut seluruh mazhab, istri
dapat membatalkan perkawinan. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang,
apabila suami impoten terhadap istrinya tidak terhadap wanita lain, apakah istri dapat
membatalkan perkawinannya ?
SyafiI, Hambali dan Hanafi mengatakan apabila suami tidak mampu melaksanakan
tugas seksualnya, maka istri berhak menjatuhkan pilihan berpisah, walaupun suaminya itu
mampu melakukannya pada wanita lain, sebab dinisbatkan pada istrinya itu, laki-laki
tersebut disebut impoten. Apalah manfaat yang bisa dia peroleh dari kemampuan
suaminya melakukan seksual pada wanita lain sedangkan pada istrinya tidak. Imamiyah
berpendapat bahwa pilihan untuk membatalkan nikah ditetapkan kecuali dengan adanya
impotensi kepada semua wanita.
B. Al Jubb dan Al Khasha
Al Jubb adalah terpotongnya dzakar, sedangkan

Al khasha adalah kehilangan atau

pecahnya buah dzakar. Adanya dua hal ini pada seorang laki-laki, menurut kesepakatan
semua mazhab menyebabkan istri berhak membatalkan perkawinan, tanpa keharusan
menunggu bila hal itu sudah ada sebelum hubungan seksual sedangkan bila baru terjadi
4
5

setelah akad dan hubungan seksual maka istri tidak berhak untuk membatalkan
perkawinan.
Hanafi mengatakan bahwa, manakala dzakar yang empelirnya kering itu masih bisa
ereksi, sekalipun tidak bisa mengeluarkan seperma, maka istri tidak berhak membatalkan
perkawinan. Sedangkan mazhab mazhab lain sependapat bahwa bisa ereksi maupun tidak,
sepanjang tidak bisa mengeluarkan mani, pilihan atau membatalkan ada pada istri, sebab
tidak bisa mengeluarkan mani sama saja dengan impoten.
Imam Al Syahid Al Tsani dalam kitabnya al Masalik mengatakan bahwa keringnya
buah dzakar masih bisa melakukan senggama dan memberikan organisme, kondisinya jauh
lebih baik dibandingkan kemandulan, bedanya yang disebut terdahulu tidak bisa
mengeluarkan mani, ini yang merupakan cacat yang istri berhak menjatuhkan pilihan,
berdasarkan hadits yang mengatakan bahwa suami dari istri yng mengalami hal itu boleh
menjatuhkan pilihan.
C. Gila
Maliki, Syafii, dan Hambali sepakat bahwa suami boleh mem-faskh akad karna
penyakit gila yang diderita istrinya, demikian pula sebaliknya, perbedaan pendapat,
terdapat dalam rincian-rinciannya, syafii dan hambali mengatakan, karna penyakit gila,
faskh di tetapkanbagi keduanya, baik penyakit gila tersebut terjadi sebelum akad atau
sesudahnya, serta sesudah percampuran atau belum, tanpa harus menunggu beberapa
waktu seperti pada impotensi.
Maliki mengatakan bahwa, apabila gila itu terjadi sebelum akad, kedua pihak pihak
boleh melakukan faskh dengan syarat ada ancaman bahaya bagi yang waras bila bergaul
dengan yang gila itu, tetapi apabila terjadi sesudah akad, yang berhak faskh hanyalah istri,
sesudah di beri tenggang waktu satu tahun. Sebab, terdapat kemungkinan sembuh dalam
masa tenggang tersebut. Sedangkan suami, tidak berhak atas faskh karena istrinya
menderita gila yang terjadi sesudah akad.
Imamiyah mengatakan bahwa, suami tidak boleh mem-faskh perkawinan karna istrinya
terkena gila yang terjadi sesudah akad, karna masih terbuka kemungkinan baginya
menjatuhkan talaq. Tapi seorang istri boleh melakukan faskh karna suami nya gila, baik
terjadi sebelum maupun sesudah akad, atau setelah persenggamaan
Sementara itu, Imamiyah, hambali, syafiI, dan maliki sepakat bahwa wanita
tersebut berhak atas mahar penuh bila sudah di campuri, dan tidak berhak jika sebelum.
D. Sopak dan kusta
Imamiyah berpendapat bahwa, sopak dan kusta adalah dua penyakit yang dapat
menyebabkan seorang laki-laki boleh melakukan faskh, tetapi tidak boleh bagi kaum
wanita, dengan syarat bahwa hal itu terjadi sebelum akad nikah dan laki-laki tersubut tidak
mengetahuinya,. Sedangkan bagi istri, ia tidak mempunyai hak untuk melakukan faskh,
manakala dari salah satu penyakit tersebut terjadi pada suaminya.
SyafiI, maliki dan hambali berpendapat bahwa kedua penyakit tersebut merupakan
cacat bagi kedua belah pihak, laki-laki dan perepuan. Kedua belah pihak boleh melakukan
faskh manakala menemukan penyakit tersebut ada pada pasangannya, Orang yang
menderita penyakit tersebut, bagi syafiI, dan hambali, hukum nya sama dengan orangorang gila.
Sementara itu, maliki mengatakan bahwa kaum wanita boleh mem-faskh manakala
penyakit tersebut di temukan sebelum dan sesudah akad nikah. Sedangkan laki-laki boleh
melakukan faskh manakala penyakit kusta dalam diri wanita tersebut di temukan sebelum

atau ketika akad. Sedangkan sopak, manakala di temukan sebelum akad, maka kedua
belah pihak memilih hak faskh. Tetapi kalau sopak itu terjadi sesudah akad, maka hak
tersebut hanya bagi wanita dan tidak bagi laki-laki. Adapun sopak yang ringan yang di
temukan sesudah akad, tidak berpengaruh terhadap kelangsungan akad. Terhadap orang
yang menderita sopak atau kusta, hakim harus memberi masa tenggang setahun penuh
bila ada kemungkinan sembuh dalam jangka waktu ini.
E. Al-Ritq, Al-Qarn, Al-Afal, dan Al-Ifdha
Al-ritq adalah tersumbatnya lubang vagina yang menyebabkan terjadinya kesulitan
bersenggama. Al-qarn adalah benjolan yang tumbuh pada kelamin wanita yang mirip
dengan tanduk domba. Al-Afal adalah daging yang tumbuh pada kemaluan wanita yang
selalu mengeluarkan cairan, sedangkan. Al-Ifdha adalah menyatunya kedua saluran
pembuangan.
Keempat cacat ini, sebagai mana yang pembaca ketahui, adalah kasus pada kaum
wanita. Adanya salah satu dari keempat jeniscacat tersebut pada diri seorang wanita,
menyebabkan seorang suami, menurut Maliki dan Hambali, berhak membatalkan
perkawinan. Sedangkan Syafii mengatakan bahwa, yang menyebabkan terjadinya faskh
adalah al-ritq dan al-qarn saja, sedangkan al-ifdha dan al-afal, tidak berpengaruh terdapat
akad.
Menurut

Imamiyah,

al-qarn

dan

al-ifdha

mempunyai

efek

dalam

pembatalan

perkawinan, sedangkan al-ritq dan al-afal tidak mempunyai efeksama sekali. Mereka juga
menyatakan bahwa buta dan pincang yang terlihat jelas pada diri seorang wanita sebelum
akad. Sedangkan suaminya tidak tahu hal itu, maka si suami jika mau bisa mem-faskh
akad. Tetapi jika cacat tersebut ada pada diri suami, maka istri tidak boleh melakukan
faskh.
F. Kesegraan
Imamiyah mengatakan bahwa hak faskh berlaku segera. Artinya kalau seseorang lelaki
atau wanita tau danya cacat pada pasangannya, dan dia tidak segera meminta faskh,
maka akad yang terjadi dianggap sah dan mengikat demikian halnya bila terjadi penipuan.
BAB IV
TALAK
A. Pengertian Talak
Talak menurut bahasa arab adalah melepaskan ikatan yang dimaksud disini ialah
melepaskan

ikatan

pernikahan,

ulama

mendefinisikan

talak

ialah

melepaskan

menggunakan kemanfaatan pada seorang istri , yang manah istri adalah milik manfaat bagi
seorang suami yang menikahinya6[22].
Disyarat kan bagi orang yang menalak hal hal berikut ini
1. Baligh, talak yang dijatuhkan anak kecil tidak sah, sekalipun dia telah pandai, demikian
pendapat Ulama Mazhab kecuali mazhab Hambali mengatakan bahwa talak sah yang
dijatuhkan anak kecil yang mengerti sekalipun usia bbelum mencapai sepuluh tahun.
2. Berakal sehat. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang gila, dan orang yang
dalam keadaan tidak sadar, tetapi ulama Mazhab berbeda pendapat tentang talak yang
dijatuhkan oleh orang yang mabuk, Imamiyah mengatakan bahwa talak orang mabuk
sama sekali tidak sah. Sedangkan Maliki, Syafi, Hambali dan Hanafi berpendapat
bahwa talak yanng dijatuhkan orang yang mabuk sah manakala dia mabuk minum
minuman yang diharamkan atas dasar keinginan sendiri.
6

3. Atas kehendak sendiri. Dengan demikian talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa
itu tidak sah, menurut kesepakatan para Ulama Mazhab. Kecuali Mazhab Hanafi Talak yang
dijatuhkan orang yang dipaksa adalah sah.
4. Betul betul bermaksud menjatuhkan talak. Menurut mazahab imamiyah seorang laki-laki
yang mengucapkan talak karena lupa, keliru dan main-bahwa orang yang melakukan talak
dengan cara tersebut dikatakan sah7[23], kecuali Mazhab Hambali yang mengatakan talak
yang dilakukan diatas tidak sah8[24].
B. Redaksi Tolak
Talak dianggap tidak jatuh (sah) kecuali dengan mengunakan redaksi khusus, yaitu
( engkau adalah orang yang di ceraikan), ( menyebut nama istrinya), atau,
Hiya (Dia Perempuan) Thaliq, ( semuanya dalam bahasa Arab, ed.) . Kalau dia
mengunakan redaksi: al-thaliq (yang di ceraikan) , al-muthallaq, (yang tercerai)
thallaqtu, (kuceraikan) , al-thalaq, ( cerai) ,min al-muthallaqat, ( di antara
yang di cerai) dan sebagainya, selain yang di sebutkan di atas, tidak jatuh talaq, sekalipun
dia benar-benar berniat talaq. Sebab, sekalipun materi talaknya ada, tapi kata thaliq, tidak
ada. Selain itu, redaksi talak disyaratkan dalam harus dalam bahasa arab yang fasih, tidak
ada kesalahan gramatika atau pengucapannya, serta tidak di kaitkan dengan sesuatu apa
pun. Sekalipun hal itu pasti terjadi, misalnya mengaitkannya dengan terbitnya matahari
dan sebagainya.
C. Talak raj`I dan Talak bai`n
Talak terbagi menjadi dua: Talak raj`I dan talak bai`n. Para ulama mazhab sepakat
bahwa yang di namakan talak raj`I ialah talak yang suami masih memiliki hak untuk
kembali kepada istrinya (rujuk) sepanjang istrinya masih dalam massa `iddah, baik istri
tersebut bersedia dieujuk maupun tidak. Salah satu diantara syaratnya adalah bahwa si
istri sudah di campuri, tidak mempunyaa masa `iddah,
Juga termasuk syarat talak raj`I adalah bahwa

talak

tersebut

tidak

dengan

menggunakan uang (pengganti) dan tidak pula di maksudkan untuk melengkapi talak tiga.
Wanita yang ditalak raj`I hukumya seperti istri. Mereka masih keduanya (suami-istri)
manakala salah satu keduanya ada yang meninggal sebelum selesainya masa `iddah.
Sementara itu, mahar yang dijanjikan untuk dibayar, kecuali sesudah habisnya masa
`iddah dan si suami tidak mengambil kembali si istri kedalam pangkuanya. Singkatnya,
talak raj`I tidak menimbulkan ketentuan-ketentuan apapun kecuali `iddah dalam tiga talak.
Sedangkan talak bai`n adalah talak suami yang tidak memiliki hak untuk rujuk kepada
wanita yang di talaknya, yang mencakup berbagai jenis:
1. Wanita yang ditalak sebelum dicampuri (jenis ini di sepakati semua pihak)
2. Wanita yang di cerai tiga (juga ada kesepakatan pendapat)
3. Talak khulu`. Sebagian ulama mazhab mengatakn bahwa khulu` adalh faskh nikah, bukan
4.

talak
Wanita yang telah memasuki masa menopuse khususnya pendapat imamiyah , karena
mereka mengatakan bahwa, wanita menopuse yang ditalak tidak mempunya `iddah .

5.

hukumya sama dengan hukum wanita yang di campuri.


Hanafi mengatakan: khalwat dengan istri tanpa melakukan campuran, menyebabkan
adanya kewajiban `iddah . akan tetapi laki-laki yang menceraikannya tidak boleh rujuk
kepadanya pada saat wanita tersebut dalam masa `iddah, sebab talaknya adalah talak
bai`n
7
8

6. Hanafi mengatakan: Apabila suami mengatakan kepada istrinya, Engkau kutalak dengan
talak bai`n atau talak yang berat, atau talak segunung, talak yang paling buruk, atau talak
yang paling hebat, dan ungakapan-ungkapan lain sejenis itu, maka talak yang jatuh
adalah talak bai`n yang tidak memungkinkan lagi bagi laki-laki trsebut untuk merujuknya
kembali di saat wanita tersebut berada pada masa `iddahnya. Begitu pula halnya manakala
si suami menjatuhkan talaknya dengan perkataan-perkataan kiasan yang mengandung arti
perspisahan sama sekali, semisal, engkau ku lepaskan selepas-lepasnya, engkau putus
hubungan denganku, atau engkau kupisahkan sepenuhnya.
D. Keraguan dalam jumlah talak
Para ulama mazhab sepakat bahwa, manakala terjadi keraguan dalam jumlah talak,
apakah baru satu kali atau lebih, maka yang di tetapkan adalah jumlah yang sedikit,
kecuali maliki. Madzhab yang disebut terakhir ini mengatakan bahwa yang ditetapkan
adalah jumlah yang paling banyak diantara jumlah yang diragukan itu.
BAB V
KHULU
A. Pengertian Khulu`
Khulu ialah penyerahan harta yang di lakukan oleh istri untuk menebbus dirinya dari
(ikatan) suaminya. Dalam hal ini terdapat beberapa masalah berikut ini:
Apakah di dalam khulu` tersubut disyaratkan, dan si istri agar menyerahkan harta agar
si suaminya menalak dirinya, sedangkan keadaan mereka cuk up senang dan akhlak
mereka berdua pun sesuai, apakah khulu` tersebut sah?
Mazhab empat mengatakn khulu` tersebut sah dan berlaku konsekuensi-konsekuensi
dan akibat-akibat hukum yang dilahirkannya. Kendati demikian mereka menyatakan bahwa
khulu` seperti itu makruh (tidak di sukai) hukumya9[25]
B. Syarat-syarat penggantian khulu`
Mazhab empat mengatakan: khulu` boleh di lakukan selain istri. Apabila seorang lakilaki lain mengatak kepada suami (si wanita), Ceraikan istrimu dengan uang pengganti
seribu dirham yang saya bayarkan, lalu si suamni menalak istrinya atas dasar itu, makala
khulu` tersebut sah, ssekalipun istrinya tidak mengetahuinya, dan tidak pula rela
menerima khulu` tersebut sesudah dia mengetahuinya. Sedangkan laki-laki lain meminta
khulu` tersebut wajib membayar harta penebus yang di katakannya itu kepada suami yang
menalak istrinya tersebut.
C. Syarat bagi wanita yang mengajukan khulu`
Para ulama madzhab sepakat bahwa istri yang mengajukan khulu` kepada suaminya itu
wajib sudah baligh dan berakal sehat. Mereka juga sepakat istri yang safih (idiot) tidak
boleh mengajukan khulu` tanpa izin walinya, dan mereka berbeda pendapat tentang
keabsahan khulu-nya makala di izinkan oleh walinya.
Hanafi mengatakan: Apabila walinya yang melaksanakan pembayaran tebusan tersebut
dengan harta miliknya, sahkah khulu` tersebut, tapi bila tidak, maka salah satu dari dua
riwayat yang lebih kuat, penebusan batal dan talak jatuh atas istrinya.
Imamiyah dan Maliki mengatakan :Berdasarkan dari wali untuk membayar tebusan
khulu`, maka sahkah khukku tersebut, sepanjang tebusan itu di ambilkan dari hartanya
sendiri dan bukan harta walinya.
Syafi`I dan Hambali mengatakan : Khulu yang di ajukan oleh wanita yang safih sama
sekali tidak sah, baik dengan atau tanpa izin walinya, dan Syafi`I hanya member satu
9

pengecualian, yaitu manakala walinya khawatir bahwa suaminya akan menguasai harta
istrinya yang safih itu. Dalam kasus yang di bilang belakangan ini, wali boleh member izin
kepada wanita tersebut untuk mengajukan khulu` dengan maksud menjaga hartanya.
Selanjutnya syafi`I mengatakan khulu`-nya batal, tapi jatuh talak raj`i.
Sementara itu Hambali mengatakan: Tidak terjadi khulu` dan tidak pula jatuh talak bila
si suami berniat menjatuhkan talak ketika ia melakukan khulu`, atau khulu-nya diucapkan
dengan redaksi talak.
D. Syarat bagi suami yang melakukan khulu
Seluruh mazhab, kecuali Hambali sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat
yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan khulusedangkan Hambali mengatakan
Khulusebagaimana halnya dengan talak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang
mumayyiz.
E. Redaksi khulu
Mazhab Empat memperbolehkan khulu dengan menggunakan lafadz yang jelas,
misalnya khulu dan faskh, maupun dengan redaksi kiasan misalnya seperti lafadz saya
lepas dan jauhkan engkau dari sisiku.
Hanafi mengatakan khulu boleh digunakan dengan menggunakan redaksi jual beli,
misalnya suami mengatakan kepada istrinya. Saya jual dirimu dengan harga sekian, lalu
istri menjawab,saya beli itu. Atau sisuami mengatakan kepada istrinya. Belilah talak
dengan harga sekian lalu si istri mengatakan baik saya teri tawaranmu.
SyafiI juga mempunyai pendapat yang sama tentang kebolehan khulu dengan
menggunakan redaksi al bai.
BAB VI
ZHIHAR DAN ILA
A. Zhihar
Zhihar ialah apabila, apabila ada seorang laki-laki berkata kepada istrinya, bagiku
engkau seperti punggung ibu. Para Ulama Mazhab Sepakat bahwa, apabila seorang lakilaki mengatakan hal seperti itu kepada istrimnya, maka laki-laki itu haram mencampuri
istrinya sampai ia memerdekakan budak, kalau dia tidak mampu dia harus puasa dua bulan
berturut-turut, kalau dia tidak mampu pula maka harus member makan enam puluh orang
miskin.
Imamiyah mensyaratkan bagi sahnya zhihar, yaitu hadirnya dua orang yang adil yang
mendengarkan ucapan laki-laki tersebut dan istri dalam keadaan suci dan belum dicampuri
lagi semenjak sucinya.
B. Ila
Ila ialah sumpah seorang suami dengan nama Allah untuk tidak menggauli istrinya.
Seluruh mazhab sepakat bahwa iladipandang jatuh manakala suami bersumpah untuk
tidak mencampuri istrinya seumur hidupnya, atau masa lebih dari

empat bulan tetapi

mereka berbeda pendapat manakala waktunya selama empat bulan.


Hanafi mengatakan : ila tersebut jatuh, tetapi tidak jatuh menurut mazhab lain.
Mereka juga sepakat manakala suami mencapuri istrinya selama empat bulan itu (sesudah
dia bersumpah), maka ia harus membayar kafarat, dan hilanglah larangan untuk
melanjutkan perkawinan.
Imamiyah mensyaratkan (untuk sahnya ila) hendaknya istrinya sudah pernah di
campuri, apabila belum maka sumpah ila tersebut tidak sah.
10

[17]

10

Lihat Al-Allamah Ai Hilli, Tadzkirah, Juz II.

Asayyai Abd Rahman bin muhammad bin husain Bughyatul Mustasyidin Dar al Kutub
Ilmiyah, hal. 201, Bairut Libanon, dan Syaikh al Imam Ibnu Ziayad Ghoyatul Talkhisil
Murod Dar al Fikr, hal. 241.
12
[19] Al Syarqowi, juz II, hal. 219. Lihat Mughni Muhtaz, juz III, hal. 151. Lihat Al Mizan
Kubro, juz II, hal. 126.
13
[20] Lihat Ianatu Al Thalibin, juz III, hal. 355. Lihat Al Fatwa al Kubra, juz IV, hal. 111
14
[21] Lihat Ihya Ulumuddin, Juz IV, hal. 53
15
[22] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islami, Bandung:Sinar Baru Algensindo, Hal. 401
16
[23] Abu Zahrah Al Ahwal as Syakhshiyyah, dar Al-fikr, bairut lebanon, hal. 286
17
[24] Ibnu Rusy, Bidayah Al Mujtahid, Dar Al Maktabah Al Syamilah, Juz III, hal. 74
18
[25] Al-ustadz Al-Khafif, Firaq Al-Zawaj, halaman 159.
11

[18]

11
12
13
14
15
16
17
18

Anda mungkin juga menyukai