Anda di halaman 1dari 2

Refleksi Diri dengan Masalah

Ini tentang sebuah perjalanan dengan banyak menentang dan melewati hiruk pikuk
hidup, penuh kerancuan, ketidak senangan dan ketidak nyamanan. Perjalanan kecil
menginjakan kaki di bumi ini menceritakan segudang warna-warni dan pernak-pernik
kehidupan mengisahkan kisah para manusia yang memiliki seribu masalah yang dihadapi,
sejarah membuktikan manusia paling sempurna dalam berpikir dan berakal di bandingkan
seisi mahluk hidup jagat raya ini. Sehingga hal apa lagi yang membuat kita bertanya ragu dan
tidak percaya diri dalam menyelesaikan sebauh masalah, se ekor unta gurun pasirpun seperti
tak pernah mengeluh mengarungi safana padang pasir yang gersang, panas dan tropis alam
yang keras. Dengan persediaan air di punduknya yang secara nalar dan logika manusia untuk
di ukur itu mungkin sangat mustahil mereka untuk bertahan hidup sejauh ini. Begitu juga
dengan sebuah masalah dan kesulitan, terkadang kita terlalu pede untuk mengadalkan diri
sendiri sehingga memungkinkan sifat lupa dengan orang lain dan sang pemiliki Hidup pun.
Butuh ruang untuk mengenal diri sendiri, entah itu kita disadarkan dengan masalah, kesulitan
atau hadirnya orang lain dalam kapasitasnya mengingatkan dan meluruskan kesalah-kesalah
atau kekeliruan yang sedang dihadapi.
Benang merahnya ialah bagaimana kita mampu bertahan dan menyelesaikan masalah
dengan tanpa memperkeruh diri, sikap lari dari kenyataan ialah sebuah tabir dimana manusia
menjawab dirinya sendiri dengan sikapnya menghadapi masalah. Mungkin saya pribadi juga
seperti itu, sikap arogansi dan inklusif diri terkadang membuat sebuah masalah sulit
menemukan titik temu masalah melainkan hanya akan menimbulkan masalah baru dari diri
sendiri maupun orang lain. Saya ingin menceritakan sedikit tentang keyakinan dari secuil
yang saya ketahui tenang ilmu baik dan buruk sisi agama, bahwa Tuhan mungkin tak pernah
mengajarkan langsung sebuah kesalah pada manusia. Hati kecil yang diciptakanNya selalu
bersuara tentang kebaikan dan sifat kritis terhadap lingkungan yang mampu kita baca sisi
baik dan buruk. Namun apa iya juga Tuhan tak mengajarkan Keburukan, mungkin Ia tak
mengajarkan namun ia menciptakannya dan bekal kita adalah suara hati kecil itu sebagai
iman bentuk untuk melawan dari sebuah keadaan buruk,khilaf dan salah itu sendiri. Sehingga
penulis percaya bahwa sifat kebaikan itu ialah datang dari Tuhan dan keburukan itu adalah
dari diri kita sendiri, dimana secara logika manusia secala langsung yang menentukan diri
untuk melakukan apa dan bagaimana membawa dirinya.
Penulis yakin setiap waktu yang diberikan Tuhan ke manusianya semua ada proporsi
dan quota nya, seperti halnya penulis menempuh perkulihan s1 dengan rentan waktu yang
cukup lama hampir 8 tahun. Itu mungkin proporsi kemampuan penulis, selama tidak
menyesali proses itu sendiri saya yakin kita akan mengambil banyak hal tentang sebuah
status yakni mahasiswa abadi. Meski pribadi ini akui banyak kesalahan dan khilaf yang
sering penulis lakukan sehingga akan berimbas ke penulis sendiri, namun apalah artinya
sebuah penyesalah andai itu itu tak mampu memperbaiki keadaan yang harus dilakukan ialah
menjalakan sebaik-sebaiknya dengan proporsi waktu dan quota yang dimiliki dengan hal-hal
yang positif dan terarah. Salah satu masalah saya sendiri ialah terkadang sikap kurang
menerima keadaan sehingga suka marah dengan diri sendiri sampai-sampai penulis sering
mengabaikan diri sendiri terlena dengan masalah dan terkadang juga lari dari masalah.
Pelajaran yang teramat tidak mampu penulis lupakan ialah saat mengenal seseorang dan

melakukan suatu kesalahan pada tingkat kesalahan yang sangat tidak mudah untuk
menghapus dari memori kehidupan, ini merupakan pelajaran mahal yang tidak ditemukan di
mata kuliah kampus. Pointnya ialah bagaimana sekarang menyikapi diri dari kesalah-kesalah
yang penah lewat untuk di jadikan cambuk dan cermin bahwa cukup sudah kesalahan itu kita
pelajari untuk dari diri kita sendiri dan harus banyak belajar dari kesalahan dan pengalaman
orang lain karena kita tidak punya waktu lebih untuk melakukan semua kesalahan dan
pengalaman itu sendiri.
Semua kembali ke diri penulis disini, bagaimana penulis bisa menasehati diri dengan
cerminan masalah yang sedang di alami. Pertama merasa jauh dari orang-orang terdekat
seperti keluarga khususnya sepertinya mulai menjauh karena sikap yang banyak
mengecewakannya mereka, yang pada akhirnya penulis harus memaksakan diri mampu
mandiri di kampung orang lain untuk bertahan hidup dan menyelesaikan amanah perkuliah
yang tinggal selangkah terselesaikan. Kedua tentang susahnya menemukan pola bagaimana
mengahasilkan uang untuk menopang selama di perkampungan orang lain, mencoba menulis
opini, resensi, puisi ke redaksi dengan harapan di public dan mendapatkan fee kecil untuk
bertahan sehari membeli nasi padang dengan harga 6000 ribu 1 porsi saja, namun masih
belum ada jawaban atau feed back. Disini saya mengambil kesimpulan menulis harusnya di
landasi dengan niat bukan dengan uang, dan tugas saya adalah menulis, menulis dan menulis
serta mengirimnya ke redaksi lagi. Ketiga masalah kuliah ditempat baru di sekolah politik
kerayakyatan merupakan momok yang pribadi penulis tunggu lama sekali, dunia diskusi,
opini, wanca public, relation ship, networking, public speaking hal yang saya sangan sukai
selama ini. Namun yang menjadi masalahnya ketika saya sudah fokus sesuatu selama
bertahun-tahun ada hal baru yang membuat saya tergoda dan zigzag kembali dalam
menentukan sesuatu suatu kemampuan diri. Tapi bismillah saja toh juga ini bagian dari
proses, dan juga kita tidak akan pernah tahu hari esok kita akan seperti apa selama kita
menjalan kan dengan serius dan suka hemat saya sah-sah saja untuk mencobanya. Dan yang
terakhir yang terpenting tentang spritual intelegency ini merupakan pribadi sekali untuk saya
tulis, tapi tidak apalah toh juga ini adalah media untuk berbagi dan koreksi pribadi entah
orang lain menilainya seperti apa segala sesuatu toh kita sendiri yang menentukan. Ke iman
seseorang sangat di pengaruhi oleh lingkungan seseorang, tepat nya penulis sedang
mengakaji sendiri lingkungan penulis yang dapat saya garis besarkan bahwa memang benar
di lingkungan terdekat sekarang ini belum benar-benar memperhatikan jauh tentang
bagaimana dia dengan Tuhan, apa apa saja kewajiban dengan Tuhannya dan bagaimana
mempertahakan akidah ke agamaannya.
Disini saya harus benar-benar kritis dengan diri sendiri dan harus tahu bagaimana
memprogram diri untuk bisa memperkuat keyakinan, iman dan spritual penulis. Pada
akhirnya semua masalah sebenarnya adalah cermin untuk kita mampu mengabil benar merah
dan putihnya untuk benar-benar kita tahu betapa penting sebuah kesalahan itu untuk benarbenar mampu memberikan pelajaran serta efek jera ke diri kita untuk tidak mengulangi serta
mudah bangkit kembali terhadap dampak terburuk dari sebuah masalah itu sendiri.
Mancasan Kidul, condong catur 29 Okt. 2013
Abdullah al Muzammi

Anda mungkin juga menyukai