Anda di halaman 1dari 19

ASMA BRONKHIALE DALAM KEHAMILAN

PENDAHULUAN
Sampai sekarang belum ada kesepakatan tentang definisi asma yang dapat
diterima semua ahli. Definisi yang banya dianut saat ini adalah yang dikemukakan
oleh The American Thoracic Societyyaitu asma adalah suatu penyakit dengan cirri
meningatnya respon trakhea dan bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan napas yang luas dan derajatnya dapat berubahubah baik secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan. 1,2
Asma adalah penyakit paru yang heterogen dengan obstruksi saluran
pernapasan yang sembuh sebagian atau total, spontan atau dengan terapi. Serangan
umumnya singkat, walaupun jarang, asma dapat berakibat fatal. Secara tradisional
asma dapat diklasifikasikan dua kelompok yaitu alergi ( ekstrinsik ) dan idiosinkrasi
(intrinsik). Asma ekstrinsik merupakan asma yang dipicu oleh alergen atau mediator
IgE. Umumnya terdapat pada orang dan / atau riwayat keluarga dengan penyakit
alergi. Sedangkan asma intrinsik jika tidak ditemukan alergen spesifik sebagai
pemicunya, dan terdapat pada pasien tanpa riwayat alergi dalam keluarganya 2,3
Prevalensi asma terjadi pada 4-8% populasi umum. Pada kehamilan
prevalensinya 1-4%. Di Indonesia prevalensi asma berkisar 5-7 %.

3,4,5

Kepustakaan

lain menyatakan asma berpengaruh pada 1-9% wanita atau pada 200.000 - 376.000
kehamilan di Amerika setiap tahunnya. Rata - rata morbiditas dan mortalitas pada
wanita hamil sebanding dengan populasi umum. Rata - rata mobilitas asma di

Amerika adalah 2,1 per 100.000. 3


Asma bronkial merupakan salah satu penyakit saluran napas yang sering
dijumpai kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya
serangan asma selalu sama terhadap setiap penderita, bahkan pada seorang penderita
asma, serangan tidak sama pada kehamilan pertama dan berikutnya. Penyakit ini
menimbulkan yang serius pada wanita hamil. Asma yang tidak terkontrol dengan
baik, dapat berpengaruh terhadap ibu dan janin.6,7
Terdapat risiko yang jelas baik pada ibu maupun janin, bila gejala asma
memburuk. Pada penelitian menyatakan asma dihubungkan dengan meningkatnya
kematian perinatal dua kali lipat. Selain itu juga meningkatkan risiko komplikasi
berupa hiperemesis, preeklampsia, dan perdarahan pada pasien yang mengidap asma,
begitupula halnya terjadi peningkatan angka kematian neonatal dan persalinan
prematur. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya penanganan aktif pasien hamil
untuk menghindari eksaserbasi akut asma bronkhial.2

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Sampai saat ini patogenesis maupun etiologi asma belum diketahui dengan
pasti. Berbagai teori tentang patogenesis telah diajukan, tetapi yang paling disepakati
oleh para ahli adalah yang berdasarkan gangguan saraf autonom dan sistem imun. 1
Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Adanya
inflamasi hiperaktivitas saluran napas dijumpai pada asma baik pada asma alergi
maupun non-alergi. Oleh karena itu dikenal dua jalur untuk mencapai keadaan

tersebut. Jalur imunologi utama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada
jalur IgE , masuknya allergen kedalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen
Presenting Cells), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th (T penolong). Sel ini akan memberikan instruksi melalui interleukin
atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk serta sel- sel radang lain seperti mastosit,
makrofag, sel epitel, eosinifil, neotrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan
mediator-mediator inflamasi seperti histamin prostaglandin (PG), leukotrin (LT),
platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan
mempengaruhi organ sasaran menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus, dan fibrosis
sub epitel sehingga menimbulkan hiperreaktivitas saluran napas (HSN). Jalur nonalergi selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf otonom dengan
hasil akhir berupa inflamasi dan hiperreaktivitas saluran napas.5
Hiperreaktivitas saluran napas diduga sebagian didapat sejak lahir. Berbagai
keadaan dapat meningkatkan hiperreaktivitas saluran napas yaitu : inflamasi saluran
napas, kerusakan epitel, mekanisme neurologis, gangguan intrinsik, dan obstruksi
saluran napas.5

PATOFISIOLOGI
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,
penyumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi bertambah
berat selama ekspirasi karena secara fisioiogis saluran napas menyempit pada fase

tersebut. Hal ini menyebabkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak
bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu
fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang tinggi mendekati
kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran napas
tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk mempertahankan hiperinflasi
ini diperlukan otot bantu napas.5
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara obyektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak
Ekspirasi), sedang penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan
derajat

hiperinflasi

paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi, baik pada

saluran napas besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi (wheezing) menandakan
adanya penyempitan disaluran napas besar, sedangkan penyempitan pada saluran
napas kecil gejala batuk dan sesak lebih dominan dibanding mengi.5
Perubahan fungsi paru pada kehamilan meliputi 20% karena peningkatan
kebutuhan oksigen dan metabolisme ibu, 40% peningkatan ventilasi semenit dan
peningkatan tidal volume.3 Terdapat sejumlah perubahan fisiologik dan struktural
terhadap fungsi paru selama kehamilan. Hiperemia, hipersekresi dan edema mukosa
dan saluran pernapasan merupakan akibat dari meningkatnya kadar estrogen. Pada
uterus gravid terjadi peningkatan ukuran lingkar perut, diafragma meninggi, dan
semakin dalamnya sudut antar kosta. Wanita hamil mengalami peningkatan tidal
volume, volume residu, serta kapasitas residu fungsional, penurunan volume balik
ekspirasi, sementara kapasitas vital tidak berubah. Hiperventilasi alveolar terjadi

bila PCO2 menurun dari 34-40 mmHg menjadi 27-34 mmHg, yang biasanya terlihat
pada umur kehamilan 12 minggu. Seperti yang diperkirakan, frekuensi terjadinya
serangan eksaserbasi asma puncaknya pada umur kehamilan sekitar enam bulan,
gejala yang berat biasanya terjadi antara umur kehamilan 24 minggu - 36 minggu.2
Jelasnya patofisiologi asma adalah sebagai berikut:2
1. Kontraksi otot pada saluran napas meningkatkan resistensi jalan napas
2. Peningkatan sekresi mukosa dan obstruksi saluran napas
3. Hiperinflasi paru dengan peningkatan volume residu
4. Hiperaktivitas bronkial, yang diakibatkan oleh histamin, prostaglandin
dan leukotrin.
Degranulasi sel mast menyebabkan terjadinya asma dengan cara pelepasan
mediator kimia, yang memicu peningkatan resistensi jalan napas dan spasme bronkus.
Pada kasus kehamilan alkalosis respiratori tidak bisa dipertahankan diawal
berkurangnya ventilasi, dan terjadilah asidosis. Akibat perubahan nilai gas darah
arteri pada kehamilan (penurunan PCO2 dan peningkatan pH). Pasien dengan
perubahan nilai gas darah arteri secara signifikan merupakan faktor risiko terjadinya
hipoksemia maternal, hipoksia janin yang berkelanjutan. dan gagal napas.2
GEJALA KLINIS
Pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis,
sedangkan pada waktu serangan tampak penderita bernapas cepat dan dalam, gelisah
duduk dengan tangan menyangga kedepan. 5

Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi. dan sesak
napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas, seperti rasa berat didada, dan
pada asma alergi mungkin disertai pilek atau bersin, Meskipun pada mulanya batuk
tanpa disertai sekret. tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan
mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulent.5
Wanita hamil dengan eksaserbasi asma akan mengeluh dispnu. batuk yang
produktif atau tidak. atau rasa tertekan di dada. Gejala yang ada bisa bertambah
buruk pada malam hari dan didahului sebelumnya rinitis alergi atau penyakit yang
disebabkan oleh virus. Pada pemeriksaan fisis biasanya frekuensi pernapasan pasien
biasanya meningkat, nadi yang cepat dan peningkatan tekanan darah.
auskultasi,

Pada

suara pernapasan berkurang, terdengar ronki, wheezing, dan waktu

pernapasan memanjang. Sebagai tambahan biasanya pasien menggunakan otot bantu


napas.2
Pada tahun 1993, The National Asthma Education Program ( NAEP ), membagi
dalam tiga kategori atau kelompok yaitu ringan, sedang, dan berat, berdasarkan
eksaserbasi gejala (wheezing. batuk, dispne atau ketiganya). Pembagian ini juga
berdasarkan pada episode perlangsungan asma tiap minggu, fungsi paru-paru,
frekuensi serangan asma pada malam hari, dan gangguan terhadap aktivitas seharihari. 1,8
Sedangkan menurut berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi empat
tahap yaitu: 5

1. Asma intermitten
Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu), serangan singkat (beberapa jam
sampai beberapa hari), gejala asma pada malam hari kurang dari 2 kali sebulan,
diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal, nilai APE dan
KVP1 > 80% dari hasil prediksi, vanabilitas <20%
2. Asma persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali seminggu, tetapi kurang dari 1 kali per hari, serangan
mengganggu aktifitas dan tidur, serangan asma pada malam hari lebih dari 2
kali /bulan, nilai APE atau KVP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%
3. Asma persisten sedang
Gejala setiap hari, serangan mengganggu aktifltas dan tidur, serangan asma pada
malam hari lebih dari 1 kali seminggu, nilai APE atau KVP, antara 60-80% nilai
prediksi, variabilitas >30%
4. Asma persisten berat
Gejala terus menerus. sering mendapat serangan, gejala asma malam sering,
aktifitas fisik terbatas karena gejala asma, nilai APE atau KVP 1 60% nilai
prediksi, variabilitas > 30%.
DIAGNOSIS
Diagnosis asma tergantung pada informasi yang didapatkan dari beberapa
sumber lain dari anamnesis pasien asma, pemeriksaan fisis, tes laboratorium, dan tes
fungsi paru. Walaupun tidak ada tes laboratorium yang dapat memastikan diagnosis,

tes fungsi paru penting mengetahui reversibilitas penyakit, progresifitasnya dan


sebagai petunjuk pelaksanaan.1
Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak, mengi, atau rasa
berat di dada. Tetapi kadang- kadang pasien hanya mengeluh batuk-batuk saja yang
umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit
alergi yang lain nada pasien maupun keluarganya, dapat membantu diagnosis. Yang
perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus terjadinya asma. 5
EFEK KEHAMILAN PADA ASMA
Walaupun keadaan hiperresponsif bronkus berkurang selama kehamilan,
penelitian terhadap perubahan beratnya asma selama kehamilan menunjukkan hasil
yang jauh berbeda. Gejala asma bervariasi berdasarkan beratnya penyakit selama
kehamilan. Dilaporkan sekitar 1/3 wanita dengan gejala asma yang memberat dari
sebelum hamil, 1/3 mengalami perbaikan atau dengan gejala minimal, dan 1/3
lainnya mengatakan gejala asma tidak berubah selama kehamilan.9,10
Pasien asma memasuki kehamilan dengan masalah napas dan fungsi paru
yang terbatas. Pada semua wanita hamil terjadi perubahan kapasitas dan fungsi paru,
dan tekanan pada dinding toraks yang disebabkan oleh ekspansi dari uterus.
Faktor yang berperan terhadap variasi berat ringannya asma pada kehamilan
adalah meliputi peningkatan kadar kortisol bebas dalam darah, penurunan tonus
bronco motor, dan peningkatan konsentrasi cAMP (cyclic adcnosin monophosphate)
serum. Perubahan-perubahan yang terjadi ini dapat memperbaiki keadaan asma,

tetapi pada kehamilan dimana faktor-faktor lainnya meningkat seperti paparan


terhadap antigen fetus dan perubahan imunitas yang diperantarai cell--mediated
immunity. dapat memperburuk gejala asma. Asma dapat terjadi akibat komplikasi
sinusitis dan rinitis yang terjadi pada sekitar 35% wanita hamil, tetapi dilatasi
pembuluh darah dan edema mukosa saluran pernapasan bagian atas (rinitis vasomotor
pada kehamilan) tidak mempengaruhi saluran napas bagian bawah.9
Perubahan

fisiologis

saluran

pernapasan

selama

kehamilan

dapat

mempengaruhi keadaan asma. Perubahan kadar gas darah akibat asma akut dapat
menyebabkan alkalosis respirarori fisiologis pada kehamilan, sehingga kadar PCO :2
yang normal atau meningkat akibat asma akut menunjukkan efek yang lebih
membahayakan saluran pernapasan pada keadaan hamil dibanding keadaan tidak
hamil.9
Dispnu pada kehamilan harus dibedakan dengan dispnu akibat asma. Dan
tentu saja, penderita asma selama kehamilan akan mengalami dispnu yang lebih berat
selama kehamilan, yang dapat mengakibatkan hipoksia berat pada ibu dan janin.9
Merupakan hal yang sulit untuk memprediksi wanita mana yang penyakit
asmanya memburuk selama hamil, namun ada beberapa hal yang dapat digunakan
untuk memprediksi keadaan ini, antara lain beratnya keluhan asma sebelum hamil,
tidak ditemukannya penurunan konsentrasi IgE selama kehamilan. Pada sebagian
besar wanita, keluhan asma biasanya menyerupai pada keadaan sebelum hamil, tetapi
pada beberapa kasus dapat menjadi lebih buruk dibanding sebelum hamil.

EFEK ASMA PADA KEHAMILAN


Pengeluaran janin merupakan saat penting yang membutuhkan oksigenasi
segera dan hal ini bergantung pada suplai oksigen dan arteri ibu, venous return,
cardiac output, dan arkulasi uteroplasenter. Mekanisme kompensasi bagi janin untuk
melawan kondisi kekurangan oksigen adalah mempertahankan kadar Hb 16g/dL dan
PO2 22 mmHg.9
Asma yang tidak terkontrol baik atau asma yang berat dapat mengancam janin
oleh karena mengakibatkan hipoksia yang berat pada ibu dan penurunan sirkulasi
darah ke uterus.

Kelompok wanita ini mempunyai risiko tinggi melahirkan bayi

berat Janin rendah (BBLR) dan bayi prematur, hipoksia neonatal, komplikasi selama
persalinan, dengan tingkat mortalitas perinatal dan maternal yang tinggi pula. Yang
termasuk dalam kelompok ini

antara lain hiperemesis gravidarum. perdarahan

maternal, dan preeklampsia.1,9,10,11


Oleh karena akibat yang ditimbulkan asma selama kehamilan, maka dianggap
yang disertai asma adalah kehamilan risiko tinggi. Namun bayi yang lahir dan dari
wanita yang menderita asma (misalnya dari wanita dengan asma yang terkontrol)
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam hal berat bayi, nilai apgar, dan tingkat
kelainan kongenital, dibandingkan dengan wanita yang tidak menderita asma. 9
PENANGANAN
Penanganan asma pada kehamilan harus dilakukan secara cepat, dengan tujuan
menghilangkan gejala dan menjaga fungsi normal paru. Prinsip penanganan penderita

10

inpartu disertai asma sama dengan penanganan asma pada penderita yang tidak
harmil. Beberapa aspek penting dalam penanganan asma meliputi pencegahan.
monitoring fungsi paru, dan terapi farmakologi.1,9
Pencegahan dan tes fungsi paru
Pencegahan yang dianjurkan meliputi menghindari rangsangan potensial atau
faktor pencetus, imunoterapi yang teratur sebelum kehamilan, dan memperoleh
vaksin influenza. Tes fungsi paru khususnya VEP1 ( Volume Ekspirasi Paksa detik
pertama), merupakan tes terbaik untuk menilai beratnya penyakit. APE ( Arus Puncak
Ekspirasi ) berkaitan dengan VEP1 dan indikator ini mudah diukur dengan spirometer.
Pada penderita asma berat yang inpartu dianjurkan untuk memeriksa APE dua kali
sehari di rumah. Hal ini membantu penanganan dengan membandingkan nilai balas
sebelum menggunakan agonis dan untuk mendeteksi secara jelas perubahan kearah
kekambuhan asma.1
Penilaian untuk janin berupa:1,2
1. Ultrasonografi : untuk mengetahui pertumbuhan janin lebih dini
2. Monitoring jantung janin
3. Non Stress Test : digunakan untuk meyakinkan bahwa janin dalam keadaan baik
4. Kartu gerak janin harian: memonitor gerakan janin. dengan mencatat setiap
gerakan janin

11

Perawatan darurat
Pasien yang hamil dengan eksaserbasi berat penyakit asma membutuhkan
perhatian karena kegawatan janin akibat hipoksia ibu. Lakukan ABC, dan tempatkan
pasien dengan monitor jantung dan oximetry pulse. Lakukan intubasi bila ada indikasi
untuk mencegah hipoksia pada fetus. Intubasi dan ventilasi mekanik dilakukan pada
pasien yang hampir atau telah mengalami gagal napas atau pada penderita yang tidak
mempunyai respon terhadap pengobatan dan bemanifestasi terjadinya gagal napas
dan asidosis.3
Penanganan asma pada wanita hamil termasuk pemberian oksigen untuk
mempertahankan kadar PaO2 > 60 mmHg, atau saturasi oksigen sebesar 95%.
Ketidakmampuan mempertahankan PaO2 > 60 mmHg merupakan indikasi untuk
melakukan intubasi, dan kemungkinan persalinan darurat jika bayi belum aterm. Pada
semua pasien dengan gejala yang jelas, pemeriksaan gas darah arteri dan penggunaan
oximetry pulse harus dilakukan. Pada pasien dengan gejala yang nyata dan dengan
kehamilan yang viabel, dianjurkan melakukan fetal monitoring (untuk pemantauan
denyut hitung janin secara berkelanjutan). Adanya gambaran denyut jantung
abnormal >160 x/menit atau <120 x/ menit), membutuhkan konsultasi obstetri
secepatnya.2
Persalinan biasanya dapat berlangsung spontan akan tetapi bila penderita
masih dalam serangan dapat diberi tindakan ekstraksi vakum atau forceps. Tindakan
seksiosesarea atas indikasi asma jarang dilakukan. Penderita asma yang melahirkan
secara seksiosesarea lebih berisiko mengalami komplikasi post partum dibandingkan

12

dengan penderita asma yang melahirkan pervaginam. 1,7


Obat- Obat Umum
Semua obat anti asma dapat digunakan secara luas, termasuk steroid sistemik.
aman buat kehamilan dan menyusui. Terapi yang kurang merupakan masalah utama
dalam penanganan wanita hamil dengan asma. Bahan inhalasi merupakan terapi
utama untuk pengobatan asma. -agonis menyebabkan relaksasi otot pernapasan.
Anti inflamasi inhalasi dapat mengurangi pelepasan mediator radang yang diyakini
sebagai penyebab sekresi dan bronkospasme.3
Terapi standar konservatif yaitu -adrenergik agonis direkomendasikan untuk
asma ringan. adrenergik -agonis inhalasi atau oral ditambah dengan anti inflamasi
inhalasi disarankan untuk asma sedang, dan -agonis dan kortikosteroid oral
direkomendasikan untuk asma yang berat. Saat ini kortikosteroid inhalasi meningkat
penggunaannya untuk asma yang ringan dan sedang.3
Kategori Obat 3
A. Bronkodilator
Kerja cepat dan sangat efektif, meningkatkan diameter jalan napas dan
merelaksasikan otot polos jalan napas. 2 reseptor agonis lebih luas penggunaannya
dan mempunyai efek sistemik yang kurang. Efektifitas sesudah inhalasi atau oral
mempunyai masa kerja obat yang lebih lama. Albuterol, terbutaline, metaproterenol,
dan bitolterol digunakan sebagai patokan dosis inhalasi. Salmetrol, juga

adrenoreseptor agonis, mempunyai masa kerja yang panjang ( sekurang - kurangnya

13

12 jam ). Jadi efektif untuk pengobatan asma nokturnal.


1. Nama obat: Albuterol ( Proventil, Ventolin ), kategori C
-agonis untuk bronkospasme seperti epinefrin. Merelaksasikan otot polos
bronkus melalui aksi 2 reseptor dengan efek minimal pada kontraksi otot
jantung.
Dosis : 2-3 puffs setiap 4-6 jam (90mcg/ inhalasi); tidak melebihi 12 inhalasi/hari
2. Nama obat: Salmeterol ( Serevent ), kategori C
Merelaksasikan otot polos bronkiolus pada kondisi yang berhubungan
dengan bronkitis, emfisema, asma, atau bronkiektasis. Efeknya dapat juga
difasilitasi dengan ekspektoran.
Dosis : 2 puffs ( 42 mcg ) dua kali/hari
B. Antikolinergik
Nama obat: Ipatropium ( Atrovent ) kategori B
Secara kimiawi sama dengan atropin. Mempunyai efek anti sekresi dan bekerja
lokal. Menghambat sekresi glandula sereus dan seromukus pada mukosa hidung.
Dosis : 2-3 puffs tiap 4-6 jam ( 1 8 mcg/Inhalasi)

14

C. Methylxanthine
Manfaat Theophyllin sebagai anti asma berkurang sejak adrenoreseptor agonis
dan obat anti inflamasi digunakan. Theophyllin mempunyai batas terapeutik yang
sempit.
Nama obat: Teophyllin ( Theo - Dur, Aminophylline ), kategon C
Menghasilkan katekolamin eksogen dan menstimulasi pelepasan katekolamin
endogen dan relaksasi muskulus diafragma, serta menyebabkan bronkodilatasi.
Dosis : 600-900 mg/ hr dalam dua atau tiga kali/hari
D. Kortikosteroid
Meliputi kortikosteroid oral (prednison), kortikosteroid inhalasi ( beclamethasone,
flunisolide, triamcinolone), cromolyn dan nedocromil. Penelitian menunjukkan
efek yang stabil dengan penggunaan kortikosteroid. Penggunaan aerosol lebih
efektif untuk mengurangi efek sistemik pada terapi kortikosteroid. Penggunaan
yang lama akan mengurangi gejala dan meningkatkan fungsi paru pada pasien
dengan asma ringan. Jika bronkodilator inhalasi tidak berhasil, maka
kortikosteroid iragulasi dapat dimulai.
1. Nama obat: Prednison ( Deltason ), kategori B
Immunosupresan

untuk terapi pada gangguan autoimun dapat mengurangi

inflamasi dengan meningkatkan permeabilitas kapiler dan mengurangi


aktivitas PMN.
Dosis : 5-60 mg/hr per oral dalam dua atau tiga kali/'hari.

15

2. Nama obat: Beclomethasone ( Beclovent, Beconase, Vancenase). kategori C


Menghambat bronkokonstriksi, menyebabkan
mungkin

relaksasi

dapat mengurangi jumlah dan aktivitas sel

otot

polos,

inflamasi dan

mengurangi hiperresponsif jalan napas.


Dosis : 2-5 puffs dalam empat kali/hari (42 mcg/puffs)
3. Cromolyn (Intal), kategori B
Menghambat degranulasi pada sensitasi sel mast
Dosis : 1-4 puffs dalam empat kali/hari (0,8 mcg/spray)

Perawatan lanjut di rumah sakit


Kriteria rawat rumah sakit :3
1. Respon tidak adekuat terhadap terapi
2. PO2 kurang dari 70 mmHg, adanya tanda gawat janin (penurunan gerakan,
kardiotokodinamometri abnormal, kontraksi uterus)
3. Penggunaan pengobatan multipel (membutuhkan tiga atau lebih pengobatan
secara bersamaan)
4. Penderita dengan riwayat asma berat yang memerlukan intubasi atau
perawatan ICU dan kondisi transportasi yang kurang baik dan tempat tinggal
ke rumah sakit.
Kriteria rawat ICU :3
1. Kesadaran menurun
2. Terdapatnya aliran udara pernapasan yang kurang

16

3. Terdapat tanda-tanda kelemahan,

keadaan

bertambah

buruk

atau

memerlukan ventilasi mekanik


4. APE/VEP1, kurang dari 25% nilai prediksi atau PCO2 lebih dari 35 mmHg.
Perawatan lanjut di luar rumah sakit3
1. Kriteria untuk perawatan di rumah:
Gejala dan pemeriksaan fisik mengalami perbaikan
Pasien dapat berjalan tanpa gangguan
APE/VEP1 lebih dari 70%
Tidak ada gangguan pada janin
2. Disarankan untuk follow - up 2-4 hari dengan berkunjung ke RS
3. Berkunjung ke spesialis asma
PROGNOSIS

Pada

suatu

penelitian

asma

dan

kehamilan,

sebagian

pasien

tidak

mengalami perubahan, dimana terdapat keadaan menjadi buruk atau mengalami


perbaikan dari keadaan sebelumnya.

Wanita dengan penyakit ringan tidak mempunyai masalah

Pasien dengan asma berat mempunyai risiko menjadi buruk

Adanya bukti yang tidak tetap pada wanita dengan asma, dimana terjadi
peningkatan insiden:
Kehamilan yang menginduksi hipertensi

17

Bayi kecil dan preterm (kejadian ini dapat diperkecil dan dikurangi dengan
kontrol asma yang baik)
Partus preterm.
RINGKASAN

Asma merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan inflamasi pada jalan
napas, obstruksi saluran pernapasan yang reversibel dan respon berlebihan dari
jalan napas, yang dapat sembuh sebagian atau total, spontan atau dengan terapi.
Diagnosis asma tergantung pada informasi yang didapatkan dari beberapa sumber
antara lain dari anamnesis pasien asma, pemeriksaan fisis, tes laboratorium, dan
tes fungsi paru.

Gejala asma selama kehamilan yaitu sekitar 1/3 wanita dengan gejala asma yang
memberat dari sebelum hamil, 1/3 mengalami perbaikan atau dengan gejala
minimal, dan 1/3 lainnya mengatakan gejala asma tidak berubah selama
kehamilan. Penderita asma selama kehamilan akan mengalami dispnu yang lebih
berat selama kehamilan, yang dapat mengakibatkan hipoksia berat pada ibu dan
janin.

Wanita yang menderita asma yang berat mempunyai risiko tinggi melahirkan bayi
berat lahir rendah (BBLR) dan bayi prematur. hipoksia neonatal, komplikasi
selama persalinan, dengan tingkat mortalltas perinatal dan maternal yang tinggi
pula.

Prinsip penanganan penderita inpartu disertai asma sama dengan penanganan


asma pada penderita yang tidak hamil. Beberapa aspek penting dalam penanganan

18

asma meliputi pencegahan, monitoring fungsi paru, dan terapi farmakologi.


DAFTAR PUSTAKA

1.

Krohner
RG.
Asthma
and
Pregency.
Available
from:
http://www..ramanathaus.com/ASTHMA %20 AND PREGENCY.htm.
Accessed on: 15/12/2006
2.
Halls G, Crump T. Medical disorder in the pregrant patient. Available from
http://www.thrombosis.consult.com . Accessed on: 15/12/2006
3.
Kazzi
AA.
Pregrency,
asthma.
Available
from
http://www.emedicine.com/linkus.htm. Accessed on: 15/12/2006
4.
Elkayam U. Pulmonary disease, In: Gleicher N,Gall SA, Sibai BM,
Elkayam U, Galbarth RM, Sarto GE, Eds. Principales and Practice of
medical therapy in pregnancy. 2 nd. California Appleton & Lange; 1992, p
733-56
5.
Sundaru H, Asma Bronkial. Dalam: Suyono S, Waspadji S, Lesmana
L,Alwi I Setiani S, Sundaru H, Djojoningrat D, Suhardjono, Sudoyo AW,
Bahar A, Mudjadid E. Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi 2.
Jakarta : Balai Penerbit UI; 2001. hal. 21-32.
6.
Carroll P. Asthma and Pregnancy. Available from http://www.rtmagizine
.com/articiles.ASP?. Accessed on: 15/12/2006
7.
Yunizaf. Penyakit saluran napas. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T. Eds. Ilmu kebidanan edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1999. Hall.488-93
8.
DombrowskI MP. Asthma in Pregnancy. In: Ransom SB, DombrowskiMP,
McNeeley SG, Moghissi KS, Munkarah AR. Eds. Practical strategies in
obstetrics and gynecology. Philadelphia: W.B. Saunders Company; p. 369-79.
9. Frezzo T,McMahon CL, Pergament e. Asthma and pregnancy. 2002; 9
Available from http://www.fetal-exposure.org/ASTHMA. Accessed on:
15/12/2006
10. Canadian medical asociatiton. Asthma in pregnancy. 1999; 161 (90111)
Available from http://www.cmaj.ca/cgi/content/ full/ 161/ 11-suppl-s51.
Accessed on: 15/12/2006
11. The lung asociation. Asthma and pregnancy. Available from
http://www.lung.ca/asthma/pregnancy. Accesed on: 15/12/2006

19

Anda mungkin juga menyukai