Anda di halaman 1dari 26

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

FAKULTAS KEDOKTERAN

Referat
Karsinoma Nasofaring
Pembimbing :
Dr. Benhard Sp.THT
Disusun Oleh :
Rosy Remalya Tambunan

112014256

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT FAMILY MEDICAL CENTER
Periode 8 Juni 2015 s/d 11 juli 2015

Pendahuluan
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala leher terbanyak di
temukan di Indonesia. Dibandingkan keganasan di daerah kepala dan leher umumnya, KNF
mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda. Tumor ini sifatnya menyebar secara cepat ke
kelenjar limfe leher dan organ jauh, seperti paru, hati, dan tulang. KNF banyak diketemukan
pada ras Mongoloid. Insiden tertinggi penyakit ini didapatkan di Negara Cina bagian selatan
terutama di propinsi Guangdong, Guangxi dan di daerah yang banyak dihuni oleh imigran
Cina di Asia Tenggara (Hongkong, Singapura), Taiwan dan USA (California). Insiden yang
lebih rendah dibandingkan dengan tempat tersebut diatas dijumpai pada orang Eskimo di
Greenland, penduduk yang hidup di Kanada, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia.
Meningkatnya angka kasus kejadian karsinoma nasofaring terjadi pada usia 40 sampai 50
tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Angka perbandingan (rasio)
laki-laki dan perempuan pada karsinoma nasofaring adalah 3:1. Radioterapi merupakan terapi
utama untuk karsinoma nasofaring yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan
diharapkan dapat memperbaiki kuailitas hidup dan memperpanjang kelangsungan hidup
penderita.1,2
Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk di
jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang hidung.
Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai
dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan melawati
pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang melapisi
nasofaring. Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.3
Epidemiologi
Epidemiologi karsinoma nasofaring sangat unik, yaitu sangat jarang ditemukan pada
populasi Eropa, namun banyak ditemukan di China (terutama China bagian selatan), Asia
Tenggara, dan Afrika. Insiden tertinggi penyakit ini didapatkan di Negara Cina bagian selatan
terutama di propinsi Guangdong, Guangxi dan di daerah yang banyak dihuni oleh imigran
Cina di Asia Tenggara (Hongkong, Singapura), Taiwan dan USA (California). Insiden yang
lebih rendah dibandingkan dengan tempat tersebut diatas dijumpai pada orang Eskimo di

Greenland, penduduk yang hidup di Kanada, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Indonesia.
Meningkatnya angka kasus kejadian karsinoma nasofaring terjadi pada usia 40 sampai 50
tahun, tetapi dapat juga terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Di Indonesia angka insidens
KNF sebesar 4,7/100.000 penduduk pertahun dengan perbandingan antara pria dan wanita
sebesar 3:1. Di Indonesia hampir 80% penderita KNF terdiagnosis pada usia produktif 30-59
tahun, dengan kecenderungan peningkatan insidensi dengan bertambahnya umur. Insidensi di
Makassar propinsi Sulawesi Selatan periode Januari 2004-Juni 2007, didapatkan 33% dari
keganasan di bagian telinga, hidung dan tenggorok.1,4
Etiologi
Meskipun penelitian untuk mengetahui penyebab penyakit ini telah dilakukan
diberbagai negara dan telah memakan biaya yang tidak sedikit, namun sampai sekarang
penyebab pasti belum diketahui. Dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga
akhirnya disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Keganasan ini
berhubungan dengan infeksi EBV (Epstein Barr Virus) karena titer anti EBV yang lebih
tinggi didapatkan pada hampir semua pasien. Kaitan antara virus Epstein-Barr dan konsumsi
ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit ini. Virus tersebut dapat
masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal disana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam
jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Sebagai
contoh, kebiasaan untuk mengkonsumsi ikan asin secara terus-menerus mulai dari masa
kanak kanak, merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan virus ini sehingga
menimbulkan karsinoma nasofaring. Mediator yang dianggap berpengaruh untuk timbulnya
karsinoma nasofaring ialah:1
1.

Zat Nitrosamin. Didalam ikan asin terdapat nitrosamin yang ternyata merupakan
mediator penting. Nitrosamin juga ditemukan dalam ikan atau makanan yang
diawetkan di Greenland juga pada Quadid yaitu daging kambing yang dikeringkan
di Tunisia, dan sayuran yang difermentasi (asinan) serta taoco di Cina.

2.

Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup. Dikatakan
bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina,
Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus. KNF di Hongkong, pembakaran
dupa rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan KNF.

3.

Sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat karsinogen yaitu zat yang dapat
menyebabkan kanker, antara lain Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis Hidrokarbon

dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak
tumbuhan-tumbuhan.
4.

Ras dan keturunan. Kejadian KNF lebih tinggi ditemukan pada keturunan Mongoloid
dibandingkan ras lainnya. Di Asia terbanyak adalah bangsa Cina, baik yang negara
asalnya maupun yang perantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk
yang banyak terkena.

5.

Radang kronis di daerah nasofaring. Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa


nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan.

Anatomi
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang dan lateral.
Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah os sphenoid dan sebagian prosessus
basilaris, batas anterior adalah koana dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra
servikal dan batas inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan
orofaring.1
Batas nasofaring:

Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, bersifat
subjektif karena tergantung dari palatum durum.

Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.

Posterior : - vertebra cervicalis I dan II

Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

Mukosa lanjutan dari mukosa atas

Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang


-

Muara tuba eustachii

Fossa rosenmulleri

Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian belakang konka nasal
inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian belakang atas muara tuba eustachius
terdapat penonjolan tulang yang disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu
lekukan dari fossa Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.
Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang menyempitkan muara
tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi udara telinga tengah. Dinding lateral
nasofaring merupakan bagian terpenting, dibentuk oleh lamina laringobasilaris dari fasia

faringeal dan otot konstriktor faring superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago
yang menutupi foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus.
Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor ke intrakranial.
Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena dindingnya dari
tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila
paltum molle melekat ke dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan katakata tertentu. Struktur penting yang ada di nasopharing adalah ostium faringeum tuba
auditiva muara dari tuba auditiva, torus tubarius yaitu penonjolan di atas ostium faringeum
tuba auditiva yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva, torus levatorius yaitu
penonjolan di bawah ostium faringeum tuba auditiva yang disebabkan karena musculus
levator veli palatini, plica salpingopalatina yaitu lipatan di depan torus tubarius, plica
salpingopharingea yaitu lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan dari
musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba
auditiva terutama ketika menguap atau menelan, recessus pharingeus disebut juga fossa
rossenmuller yang merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring. tonsila pharingea
yang terletak di bagian superior nasopharynx disebut adenoid jika ada pembesaran,
sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis. Selain itu juga ada tonsila tuba yang
terdapat pada recessus pharingeus, isthmus pharingeus yang merupakan suatu penyempitan di
antara nasopharing dan oropharing karena musculus sphincterpalatopharing dan muskulus
constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raffae pharingei.1,4
Histologi
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type. Setelah 10 tahun
kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing
squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone). Mukosa mengalami invaginasi
membentuk kripta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan
limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang
limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous
dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.1
Patofisiologi
Infeksi laten EBV sangat penting dalam perkembangan menuju displasia yang berat
pada KNF. Seperti yang ditemukan pada keganasan umumnya, terdapat beberapa tahap

gambaran histologi yang mencerminkan perubahan genetik pada KNF. Displasia merupakan
lesi awal yang dapat terdeksi, yang diperkirakan dipengaruhi oleh beberapa karsinogen
lingkungan. Hal ini berkaitan dengan kehilangan alel pada lengan pendek kromosom 3 dan 9
yang menyebabkan inaktivasi beberapa tumor suppressor genes, terutama p14, p15, dan p16.
Karsinogen yang berkaitan belum ditemukan namun terdapat hubungan antara konsumsi ikan
asin pada masyarakat Cina dan makanan asin lain dengan perkembangan KNF. Area displasia
ini merupakan asal dari tumor namun belum cukup untuk menyebabkan perkembangan yang
progresif. Pada stadium laten ini, infeksi EBV dapat mengacu pada perkembangan displasia
yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen pada kromosom 12 dan kehilangan alel pada 11q,
13q dan 16q dapat memicu terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan
dengan mutasi p53 dan ekspresi cadherin yang menyimpang.1
Patologi pada KNF dapat ditinjau secara makroskopis dan mikroskopis
Secara makroskopis, pertumbuhan KNF dibedakan menjadi 3 bentuk:1
a. Ulseratif
Biasanya berupa lesi kecil disertai jaringan nekrotik. Terbanyak dijumpai di dinding
posterior nasofaring atau fossa Rossenmuller yang lebih dalam dan sebagian kecil dinding
lateral. Tipe ini sering tumbuh progresif infiltatif, meluas pada bagian lateral, atap nasofaring
dan tulang basis kranium. Lesi ini juga sering merusak foramen laserum dan meluas pada
fossa serebralis media melibatkan beberapa saraf kranial (II.III,IV,V,VI) yang menimbulkan
kelainan neurologik.
b. Nodular
Biasanya berbentuk anggur atau polipoid tanpa adanya ulserasi tetapi kadang-kadang
terjadi ulserasi kecil. Lesi terbanyak muncul di area tuba eustachius sehingga menyebabkan
sumbatan tuba. Tumor dapat meluas pada retrospenoidal dan tumbuh disekitar saraf kranial
namun tidak menimbulkan gangguan neurologik. Pada stadium lanjut tumor dapat meluas
pada fossa serebralis media dan merusak basis kranium atau meluas ke daerah orbita melalui
fossa orbitalis inferior dan dapat menginvasi sinus maksilaris melalui tulang ethmoid.
c. Eksofitik
Biasanya non-ulseratif, tumbuh pada satu sisi nasofaring, kadang-kadang bertangkai
dan permukaan licin. Tumor muncul dari bagian atap, mengisi kavum nasi dan menimbulkan
penyumbatan hidung. Tumor ini mudah nekrosis dan berdarah sehingga menyebabkan
epistaksis. Tumor bentuk ini cepat mencapai sinus maksilaris dan rongga orbita sehingga
menyebabkan eksoftalmus unilateral. Tipe ini jarang melibatkan saraf kranial.

Secara mikroskopis:1
a. Perubahan pra keganasan
Perubahan ini merupakan sebagai kondisi dari jaringan atau organ yang tumbuh
menjadi ganas secara perlahan. Penelitian yang dilakukan Teoh (1957) mendapatkan bahwa
metaplasia skuamosa merupakan keadaan yang paling bermakna untuk terjadinya KNF.
Ditemukan juga adanya hiperplasia dari sel-sel nasofaring yang berkembang kearah
keganasan. Dari berbagai penelitian diatas menyokong bahwa metaplasia dan hiperplasia
nasofaring merupakan perubahan pra keganasan dari karsinoma nasofaring.
b. Perubahan patologik pada mukosa nasofaring
Radang akut dan kronis sering dijumpai pada mukosa nasofaring. Bentuk perubahan
ini biasanya dihubungkan dengan tukak mukosa yang mengandung sejumlah leukosit PMN,
sel plasma dan eosinofil. Pada peradangan kronis akan dijumpai limfosit dan jaringan
fibrosis. Ada anggapan yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara proses regenerasi
pada ulserasi epitel nasofaring dengan perubahan metaplasia dan displasia dari epitel tersebut.
Hiperplasia yang sering terlihat pada lapisan sel mukosa kelenjar dan salurannya maupun
pada jaringan limfoid. Hiperplasia kelenjar sering dihubungkan dengan proses radang.
Sedang hiperplasia jaringan limfoid dapat terjadi dengan atau tanpa proses radang.
Metaplasia sering terlihat pada epitel kolumnar nasofaring berupa perubahan kearah epitel
skuamosa bertingkat. Ditemukan bahwa neoplasia mulai tumbuh di bagian basal lapisan sel
epitel. Lapisan basal ini yang mulanya sangat kecil akan bertambah besar, jumlah sel
bertambah banyak dan bentuknya akan menjadi bulat atau pleomorfik.
Gejala Klinis
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini
KNF dimana tumor masih terbatas di rongga nasofaring.1,2,5
Gejala telinga :
1.

Sumbatan tuba eutachius/kataralis. Pasien mengeluh rasa penuh di telinga, rasa


berdengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini
merupakan gejala yang sangat dini.

2.

Radang telinga tengah sampai perforasi membran timpani. Keadaan ini merupakan
kelainan lanjutan yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga

tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga
akhirnya terjadi perforasi membran timpani dengan akibat gangguan pendengaran.
Gejala hidung:
1. Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi
perdarahan hidung atau epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya
sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna kemerahan.
2. Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga
hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan
gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan
merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada infeksi biasa,
misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain lainnya. Epistaksis juga sering terjadi pada anak yang
sedang menderita radang. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring sering tidak terdeteksi
pada stadium dini.
Gejala lanjutan:
Pembesaran kelenjar limfe leher, tidak semua benjolan leher menandakan penyakit
ini. Yang khas jika timbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga dan
tidak nyeri. Benjolan biasanya berada di level II-III dan tidak dirasakan nyeri, karenanya
sering diabaikan oleh pasien. Sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan
mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulit digerakan.
Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut. Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan
gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. Gejala akibat perluasan tumor ke
jaringan sekitar, karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi, seperti penjalaran tumor melalui
foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat juga mengenai saraf otak
ke-V, sehingga dapat terjadi penglihatan ganda (diplopia). Proses karsinoma nasofaring yang
lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen
jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut
dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral.
Dapat juga disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian,
biasanya prognosisnya buruk. Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah,

mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis
jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi menandakan suatu stadium
dengan prognosis sangat buruk.
Pemeriksaan Penunjang1
1. Pemeriksaan radiologi konvensional. Pada foto tengkorak potongan anteroposterior
dan lateral, serta posisi waters tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto
dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang daerah fossa serebri media.
2. Pemeriksaan tomografi, CT Scan nasofaring. Merupakan pemeriksaan yang paling
dipercaya untuk menetapkan stadium tumor dan perluasan tumor. Pada stadium dini
terlihat asimetri dari resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior nasofaring.
3. Scan tulang dan foto torak untuk mengetahui ada tidaknya metastasis jauh.
4. Pemeriksaan serologi, berupa pemeriksaan titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr
(EBV) yaitu IgA anti VCA (Viral Capsid Antigen) dan IgA anti EA (Early Antigen).
5. Pemeriksaan aspirasi jarum halus (FNAB), bila tumor primer di nasofaring belum
jelas dengan pembesaran kelenjar leher yang diduga akibat metastasis karsinoma
nasofaring.
6. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal untuk mendeteksi adanya metastasis.
Diagnosis
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol
dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor:1,5
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF).
Pemeriksaan nasofaring, pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan
cara

rinoskopi

posterior

(tidak

langsung)

dan

nasofaringoskop

(langsung)

serta

fibernasofaringoskopi15.Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa


dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau
massa yang menggantung dan infiltratif. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada
nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan sitologi.
Manifestasi klinis
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan
jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring.

Tabel 1 Formula Digsby


Gejala

Nilai

Massa terlihat pada Nasofaring

25

Gejala khas di hidung

15

Gejala khas pendengaran

15

Sakit kepala unilateral atau bilateral

Gangguan neurologik saraf kranial

Eksoftalmus

Limfadenopati leher

25

Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi
tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga
menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan
pengobatan dan prognosis.6
Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan
diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila
dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring
umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam
biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui
hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersamasama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya,
sehingga palatum

mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah

nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai
nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
Sitologi dan histopatologi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing squamous
cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge atau keduanya. (2)
Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas
(pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan
syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang
menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit.1,2,3,4 Sedangkan klasifikasi
WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell
carcinoma, Non keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan
undifferentiated dan Basaloid Carcinoma. Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi
mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi
tidak begitu radiosensitif.1,5
Sitologi1
Squamous Cell Carcinoma
Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang dengan
khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti dan membran inti
lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat khromasia di antara
inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih
padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan
nukleolus adalah inti lebih kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat
dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratinisasi tidak
terlihat maka dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma
pada bagian pinggir sel merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi
tersebut sebagai squamous cell carcinoma.
Undifferentiated Carcinoma
Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma berupa
kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang membesar dan
khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang
sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. 19,20,21 Dijumpai gambaran mikroskopis yang

sama dari aspirat yang berasal dari lesi primer dan metastase pada kelenjar getah bening
regional.
Histopatologi1
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki kesamaan
bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya. 5,13 Dijumpai adanya diferensiasi dari sel
squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi.2,6 Tumor tumbuh dalam bentuk pulaupulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal
dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada
bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak mengindikasikan
keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.
Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma
memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. 2,12 Sel-sel menunjukkan
batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar.
Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma
lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol.
Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial dengan
batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel
tumor sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel.
Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga
sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma,
eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang
terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan
ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik
tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large
cell malignant lymphoma. Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan
antara karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma
nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu,

dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya
pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik
atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau
spindle.
Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell
carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous.
Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan
sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa
kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau
invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk
mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T
Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa
tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan
dilakukan.1
Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada
daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

Pemeriksaan neurologis
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.1
Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium
lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan

titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya
100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menetukan prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan
terbanyak 160.1
Diagnosis Banding
Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak
hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa
jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya simetris serta
struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti tampak pada
karsinoma.7,8
Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF.
Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltrative. Pada foto polos akan
didapat suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti
pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja
karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang
sinus maksilarisyang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka
arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik.
Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto
polos.8
Tumor sinus sphenooidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor
sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.8
Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai
keganasan dinding lateral nasofaring. Secara C.T. Scan, pendesakan ruang para faring ke arah
medial dapat membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.8
Tumor kelenjar parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam
mengenai ruang parafaring dan menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagian besar
kasus terlihat pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada pemeriksaan
C.T.Scan.7,8

Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun
sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya.
Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat
membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervikal bagian atas karena chordoma
umumnya tidak memperlihatkan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.7,8
Meningioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang meyerupai KNF
dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma cukup
karakteristik yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi
sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga
sangat membantu diagnosis tumor ini.7,8
Stadium
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union
Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :1
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan / atau orofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan / sudah mengenai saraf otak
N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar


N1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral / bilateral yang masih dapat digerakkan
N3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah
melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauh


M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.2,3,9-13
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium I

: T1 N0 M0

Stadium II

: T2 N0 M0

Stadium III

: T3 N0 M0
T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IV

: T4 N0,N1 M0

Tiap T, N2,N3 M0
Tiap T, Tiap N, M12
Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis

: Carcinoma in situ

T1

: Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor yang tak dapat
dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil biopsi.

T2

: Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-superior dan


dinding lateral.

T3

: Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.

T4

: Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf cranial


(atau keduanya).

Prognosis

Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi
karena pada karsinoma nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara
keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa
faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh

Komplikasi1
Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang
selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang
bermanifestasi dalam bentuk :
Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus
menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan kelainan :

Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri


pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang
terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus.

Ptosis palpebra ( N. III )

Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan
retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI,
N. XII dengan manifestasi gejala :

N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta


gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah

N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai


gangguan respirasi dan saliva

N XI : kelumpuhan / atrofi oto trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum


mole

N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.

Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan


fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati dan paru. Hal ini
merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-paru dan tulang, masingmasing 20 %, sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %, ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %.7
Penatalaksanaan
Radioterapi2,6
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah radiasi,
karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.

Radioterapi

dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan
akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan dapat menimbulkan
ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra maupun ekstra seluler, sehingga timbul
ion H+ dan OH- yang sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom, sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel kanker lebih rendah dari
sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap
rusak dibandingkan dengan sel-sel normal.
Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi kerusakan DNA-nya
sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel normal lebih baik dan lebih cepat dari sel
kanker. Keadaan ini dipakai sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal
serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah seerta klasikula. Radiasi daerah getah
bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran
kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga
nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer
tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini
diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi
masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi
pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada
daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang
disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion Therapy ) telah digunakan
dibeberapa negara maju.
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1) RNA Ribose
Nucleic Acid dan (2) DNA Desoxy Ribose Nucleic Acid . DNA terutama terdapat paa
khromosom ionizing radiation menghambat metabolisme DNA dan menghentikan
aktifitas enzim nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel menjadi
granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat sel akan mati dan menghilang.
Pada suatu keganasan ditandai oleh mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis
merupakan stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan sekitarnya
yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah parafaring sepertiga leher bagian atas.
Daerah-daerah lainnya yang dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral
kanan dan kiri, kecuali bila ada penyerangan kerongga hidung dan sinus paranasal maka perlu
penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita dengan stadium yang masih
terbataas (T1,T2), maka luas lapangan radiasi harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai
4000 rad , terutama dari atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat .
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai mencapai dosis seluruh
antara 6000- 7000 rad . pada penderita dengan stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap
dipertahankan sampai dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi

sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula.
Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik
dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan
dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan
penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan
supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah
leher tengah.
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap penyinaran sangat
tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya.
Untuk stadium I dan II, diperoleh respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi.
Sedangkan stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh
yang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring
tergantung beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.

Tujuan radioterapi
1. Radiasi Kuratif
Diberikan kepada semua tingkatan penyakit, kecuali pada penderita dengan metastasis
jauh. Sasaran radiasi adalah tumor primer, KGB leher dan supra klavikular. Dosis total radiasi
yang diberikan adalah 6600-7000 rad dengan fraksi 200 rad, 5 x pemberian per minggu.
Setelah dosis 4000 rad medulla spinalis di blok dan setelah 5000 rad lapangan penyinaran
supraklavikular dikeluarkan.6
2. Radiasi Paliatif
Diberikan untuk metastasis tumor pada tulang dan kekambuhan lokal. Dosis radiasi
untuk metastasis tulang 3000 rad dengan fraksi 300 rad, 5 x per minggu. Untuk kekambuhan
lokal, lapangan radiasi terbatas pada daerah kambuh.6
Bagian Radiologi FK UI / RSCM memberikan dosis per fraksi 200 cGy yang diberikan 5 x
dalam seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Setelah dosis mencapai 4000 cGy
penderita mendapat istirahat selama 2-3 minggu, pada akhir istirahat dilakukan penilaian
respon terhadap tumor untuk kemungkinan mengecilkan lapangan radiasi dan penilaian ada
tidaknya metastasis jauh yang manifes. Setelah itu radiasi dilanjutkan 10-13 x 200 cGy lagi
untuk tumor primer sehingga dosis total adalah 6000-6600 cGy. Bila tidak didapatkan

pembesaran kelenjar regional maka radiasi efektif pada kelenjar leher dan supraklavikular
cukup sampai 4000 cGy.6
Di bagian Radiologi FK USU / RS.Dr. Pirngadi Medan, radiasi diberikan secara
bertahap dengan dosis 200 cGy dosis tumor 5 x per minggu untuk tumor primer dan KGB
leher sampai mencapai dosis total 6000 cGy, dengan menggunakan pesawat megavoltage dan
menggunakan radioisotop Cobalt60.6
Respon radiasi
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi.
Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO:
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar
- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih
- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap
- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih
Komplikasi radiasi
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
-

Xerostomia - Mual-muntah

Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum

Anoreksia

Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar


parotis yang terkena radiasi)

Eritema

b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
-

Kontraktur

Penurunan pendengaran

Gangguan pertumbuhan

Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan
sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien
mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi
keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens, misalnya
bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak tanda-tanda moniliasis
diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan yang mengandung anestesi
local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea,
anorexia dan sebagainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan tersebut.
Kemoterapi1,2
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh.
Indikasi kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
-

kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif

kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.

pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan
metastasis jauh).
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi
menjadi
1. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului
pembedahan dan radiasi)
2. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan
dengan penyinaran atau operasi)
3. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi)
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sumsum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah

anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan
rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang, folikel
rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika. Untungnya sel
kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi
oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,
yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada paru.
Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar
dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian
kemoterapi. Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival
pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.
Manfaat kemoterapi
Manfaat pemberian kemoterapi adjuvan antara lain :
1

Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil
terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan
radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa
tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.

Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.

Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap
radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki

manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi. Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal
mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II IV dilaporkan
overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat
mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation). Secara
sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA

akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi
sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi
dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi.
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah resistensi,
membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat recovery DNA pada sel
kanker yang sublethal.
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan
sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat
fatal. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan dengan
radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak
diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal
pemberian. Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi
tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering
digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.
Operasi2
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal
dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi
paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring
yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
Imunoterapi2
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr (EBV), maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi,
yaitu dengan mengambil sampel darah tepi dari penderita, yang kemudian melalui suatu
proses imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan kembali ke tubuh
pasien di mana diharapkan melalui injeksi vaksin tersebut, tubuh akan memberikan reaksi

imunitas baru terhadap EBV. Namun teknik ini masih dalam pen elitian sehingga belum dapat
digunakan dalam terapi kanker nasofaring.
Pencegahan

Edukasi pada pasien mengenai kebiasaan hidup yang baik misalnya makan buah dan
sayuran setiap hari, mengurangi daging dagingan dan olahraga rutin. Mengubah cara
mengolah makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya misalnya tidak mengolah makanan dengan cara dibakar atau digoreng
melainkan diganti dengan dikukus atau direbus.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang
akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini.

Kesimpulan
Karsinoma Nasofaring kini menjadi keganasan nomor 1 di bidang THT. Saat ini
Karsinoma Nasofaring juga tidak hanya menyerang usia dewasa muda, tetapi anak-anakpun
sudah mulai terserang penyakit ini. Deteksi dini akan karsinoma nasofaring serta penyuluhan
guna meningkatkan kewaspadaan publik akan penyakit ini diyakini akan membantu
menurunkan jumlah penderita penyakit ini.
Daftar Pustaka
1. Firdaus MA, Prijadi J. Kemoterapi neoadjuvan pada karsinoma nasofaring. Padang:
Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. 2011.
2. Kentjono WA. Perkembangan terkini penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Majalah
Kedokteran Tropis Indonesia 2013; 14(2)
3. Rasyid A. Karsinoma nasofaring penatalaksanaan radioterapi. Maj Kedokt Indon.
2011; 60(12)
4. Savitri E, Haryana SM. Hubungan kadar IL-8 dan IL-10 yang berpengaruh terhadap
progresifitas karsinoma nasofaring. ORLI 2014; 44(1)

5. Adham M, Rohdiana D, Mayangsari ID, Musa Z. Delayed diagnosis of


nasopharyngeal carcinoma in a patient with early signs of unilateral ear disorder. Med
J Indones February 2014; 23(1)
6. Hariwiyanto B, Indrasari SR, Herdini C, Tan IB. Photodynamic Therapy As an
Adjuvant Therapy for Local-Partial Remission of Nasopharyngeal Carcinoma After
Standard Therapy in Sardjito Hospital Yogyakarta A Five-Year-Overall Survival Rate
Analysis Study. M Med Indones. 2012.
7. Cottrill CP, Nutting CM. Tumours of The Nasopharynx. United Kingdom: MartinDunitz. 2003.
8. McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC. The Aetiology of Nasopharyngeal
Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Ed. 2001.

Anda mungkin juga menyukai