Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

CHIKUNGUNYA

Oleh:
Kharisma Setya H

G99141082

Asih Anggraini

G99141083

Pembimbing

dr. Dhani Redhono H, Sp.PD-KPTI, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA

2015HALAMAN PENGESAHAN
Referat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

CHIKUNGUNYA

Oleh :
Kharisma Setya H

G99141082

Asih Anggraini

G99141083

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal :

Pembimbing,

dr. Dhani Redhono, Sp.PD-KPTI, FINASIM

BAB I
PENDAHULUAN
Demam chikungunya disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui
vektor yaitu nyamuk genus aedes, sehingga Chikungunya tergolong sebagai
Arthropodborne disease. Virus chikungunya ini merupakan alphavirus dari
keluarga Togaviridae. Chikungunya biasanya terjadi di daerah yang padat
penduduk dan yang beriklim tropis maupun subtropis. Chikungunya pertama
kali dilaporkan pada tahun 1952 penyebab wabah di Tanzania selatan.
Chikungunya berasal dari bahasa Makonde Tanzania berupa kata kerja berarti
"menjadi berkerut" atau "yang melengkung ke atas" yang menggambarkan
penampilan pada penderitanya yang terlihat membungkuk dengan nyeri sendi.
Penyakit ini biasanya juga disertai dengan demam tinggi mendadak, ruam
kulit. 1,2
Gejala chikungunya ditandai dengan demam tiba-tiba, sakit kepala,
mual, muntah, kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi, gejala perdarahan seperti
epistaksis atau perdarahan gusi, dan ruam. Sendi dapat sakit sekali akan tetapi
biasanya berakhir tidak lama, dapat dalam beberapa hari atau minggu.
Sebagian besar pasien sembuh sendiri tanpa gejala sisa dan memperoleh
kekebalan terhadap virus, namun dalam beberapa kasus dapat menjadi kronis,
nyeri sendi dapat bertahan selama beberapa bulan, atau bahkan bertahun-tahun
dan dapat menimbulkan manifestasi berat seperti meningoencephalitis,
hepatitis fulminan, dan manifestasi pendarahan yang dapat mengancam jiwa.
Kultur virus merupakan gold standar untuk demam chikungunya. 3,4,5
Pengobatan demam chikungunya untuk saat ini dengan pengobatan
simtomatik dan suportif. Cara pencegahan dengan melakukan pendekatan
terbaik dengan penyuluhan terhadap masyarakat dan petugas kesehatan
masyarakat untuk mengendalikan vektor sehingga dapat mengontrol demam
Chikungunya. 6,7,8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam Chikungunya adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus Chikungunya (CHIKV) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
(Arthropod borne virus/ mosquito-borne virus). Virus Chikungunya termasuk
genus Alphavirus, famili Togaviridae.7
Nama chikungunya ini berasal dari kata kerja dasar bahasa Kimakonde
dan Swahili dari Tanzania dan Mozambique yang bermaksud membungkuk,
mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat
(arthralgia).8
B. Epidemiologi
Virus chikungunya pertama kali diidentifikasi di Tanzania, Afrika
Timur tahun 1952. Merebak pertama kali di Asia mulai di Bangkok, Thailand
tahun 1958. Sejak itu dilaporkan di Kamboja, Vietnam, Laos, Myanmar,
Filiphina, dan Indonesia. Di Indonesia sendiri mulai merebak tahun 1972,
kemudian terjadi perebakan lagi di tahun 2001. Di Malaysia mulai tahun 1998
lalu merebak lagi tahun 2006. Di Singapura, walupun demam chikungunya
sudah endemis sejak tahun 1960, namun kasus yang terjadi tidak pernah
dilaporkan sampai akhir tahun 2006.8,9
Di Indonesia, KLB penyakit Chikungunya pertama kali dilaporkan dan
tercatat pada tahun 1973 terjadi di Samarinda dan DKI Jakarta, KLB
Chikungunya mulai banyak dilaporkan sejak tahun 1999 yaitu di Muara Enim,
Aceh, Jawa Barat yang menyerang secara bersamaan pada penduduk di satu
kesatuan wilayah (RW/Desa ).7
Pada tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di
pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah. Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di
Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Dari tahun 2007 sampai tahun

2012 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada beberapa provinsi dengan


149.526 kasus tanpa kematian.
Penyebaran penyakit Chikungunya biasanya terjadi pada daerah
endemis Demam Berdarah Dengue. Banyaknya tempat perindukan nyamuk
sering berhubungan dengan peningkatan kejadian penyakit Chikungunya. Saat
ini hampir seluruh provinsi di Indonesia potensial untuk terjadinya KLB
Chikungunya. KLB sering terjadi pada awal dan akhir musim hujan. Penyakit
Chikungunya sering terjadi di daerah sub urban.7
C. Etiologi
Virus Chikungunya adalah Arthopod borne virus yang ditransmisikan
oleh beberapa spesies nyamuk. Hasil uji Hemaglutinasi Inhibisi dan uji
Komplemen Fiksasi, virus ini termasuk genus alphavirus ( Group A
Arthropod-borne viruses) dan famili

Togaviridae. Sedangkan DBD

disebabkan oleh Group B arthrophod-borne viruses (flavivirus).9


D. Virus Chikungunya (CHIKV)
Virus Chikungunya (CHIKV) adalah alphavirus dari keluarga Togaviridae
memiliki genom yang terdiri garis linear, bagian positif, nukleokapsid
ikosahedral yang dikelilingi oleh envelop dengan glikoprotein virus tertanam
molekul RNA beruntai tunggal sekitar 11,8 kb serta kapsid berdiameter 60-70
nm.4,8,12
Envelop virion terdiri dari dua lapis lipid, berasal dari membran
plasma sel inang, di mana terdapat banyak salinan dari dua kode glikoprotein
El dan E2, serta peptida kecil 6K, yang berhubungan dengan partikel virus
hanya pada tingkat yang sangat rendah. Protein E1 dan E2 keduanya memiliki
massa molekul sekitar 50 kDa. Genom non-tersegmentasi, beruntai tunggal,
positif-RNA sense dengan methylguanylate 5'-terminal dan polyadenylation
transkripsi dan replikasi genom CHIKV sepenuhnya berlangsung di
sitoplasma dan virus memasuki sel-sel target dengan endositosis.4,8,12
E. Vektor
5

Demam Chikungunya ditularkan oleh gigitan nyamuk genus Aedes


(yang juga menularkan virus dengue) pada sebagian besar di Benua Asia dan
kawasan Samudera Hindia. Aedes aegypti dianggap vektor utama dan A.
Albopictus yang baru-baru ini muncul sebagai vektor penting. 8,12

Gambar 1. Siklus hidup nyamuk Aedes spp


Nyamuk Aedes spp seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami
metamorfosis sempurna, yaitu: telur - jentik (larva) - pupa - nyamuk. Stadium
telur, jentik dan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas
menjadi jentik/larva dalam waktu 2 hari setelah telur terendam air. Stadium
jentik/larva biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong (Pupa)
berlangsung antara 24 hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa
selama 9-10 hari. Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.7
Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang dapat
menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta tempat-tempat
umum seperti drum, tempayan, bak mandi/wc, ember, tempat minum burung,
vas bunga, barang-barang bekas, lubang pohon, dll.7

Nyamuk Aedes sp jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga


untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk
betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan (bersifat
antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur, agar dapat
menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur
mulai dari nyamuk mengisap darah sampai telur dikeluarkan, waktunya
bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu tersebut disebut dengan siklus
gonotropik.7
Aktivitas menggigit nyamuk Aedes sp biasanya mulai pagi dan petang
hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -10.00 dan 16.00 -17.00.
Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali dalam satu
siklus gonotropik, untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan
demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.7
Kemampuan terbang nyamuk Aedes spp betina rata-rata 40 meter,
namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat
berpindah lebih jauh. Aedes spp tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis,
di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah maupun di tempat umum.
Pada musim hujan populasi Aedes sp akan meningkat karena telur-telur yang
tadinya

belum

sempat

menetas

akan

menetas

ketika

habitat

perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan alamiah) mulai


terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan populasi nyamuk
sehingga dapat menyebabkan peningkatan penularan penyakit Demam
Chikungunya.7
F. Patofisiologi
Virus Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes spp Nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor
namun perlu penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes tersebut dapat
mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia yang sedang
mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari setelah
demam timbul. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak

dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan
kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 4-7 hari (intrinsic incubation period)
sebelum menimbulkan penyakit.7

Gambar 2. Mekanisme Penularan7

Gambar 3. Patofisiologi Chikungunya9

CHIKV bereplikasi di sel-sel fibroblas yang terdapat pada liver, otot,


sendi, kelenjar limfe dan otak. Pada permulaan penyakit ini ditemukan
karakteristik berupa demam yang sangat tinggi timbul mendadak. Demam
biasanya berdurasi pendek dan biasanya berlangsung selama 3 sampai 5 hari.
Pada beberapa pasien didapatkan pola bifase dengan periode demam 4 sampai
6 hari, diikuti oleh periode bebas demam beberapa hari diikuti dengan demam
yang kambuh lagi yang mungkin berlangsung beberapa hari.4,8
Bersamaan dengan demam muncul ruam dan arthralgia berat terutama
di sendi kecil tangan dan kaki. Karakteristik yang paling signifikan dari
CHIKV

adalah

sindrom

arthralgik

berkepanjangan

yang

terutama

mempengaruhi sendi kecil perifer yang sangat sakit. Penyakit umumnya tidak
fatal dan fase akut menghilang dalam waktu 3-5 hari yang meninggalkan
sindrom arthralgik yang bertahan untuk beberapa waktu. 4,8

Gambar 4. Perjalanan Penyakit Chikungunya9


Nyeri sendi terjadi antara 1 sampai 3 minggu pada sebagian penderita
merupakan tanda dari tahap kronis penyakit ini. Namun dari hasil penelitian
arthritis dapat bertahan selama 4 bulan pada sekitar 33% dari pasien, selama
20 bulan pada 15% pasien, dan selama 3-5 tahun pada 12% pasien. Tahap
kronis ditandai dengan demam yang kambuh mendadak, kelemahan,
eksaserbasi arthralgia, kekakuan, poliarthritis, tenosinovitis di tangan,
pergelangan tangan, dan eksaserbasi nyeri pada pergerakan di sendi
sebelumnya. Manifestasi rematik dapat menyebabkan kerusakan sendi. Dari

hasil penelitian didapatkan prevalensi antibodi IgM anti-CHIKV setelah 1


tahun tetap tinggi dan menunjang perjalanan kronis dari penyakit ini.8,12
F. Diagnosis
Diagnosis kasus Demam Chikungunya ditegakkan berdasarkan
kriteria sebagai berikut:
1. Kriteria Klinis
Demam mendadak > 38,5C dan nyeri persendian hebat (severe athralgia)
dan atau dapat disertai ruam (rash).7,14
2. Kriteria Epidemiologis
Bertempat tinggal atau pernah berkunjung ke wilayah yang sedang
terjangkit Chikungunya dengan sekurang-kurangnya 1 kasus positif RDT/
pemeriksaan serologi lainnya, dalam kurun waktu 15 hari sebelum
timbulnya gejala (onset of symptoms).7,14,15
3. Kriteria Laboratoris
Sekurang-kurangnya salah satu diantara pemeriksaan berikut:
a.

Isolasi virus

b.

Terdeteksinya RNA virus dengan RT-PCR

c.

Terdeteksinya antibodi IgM spesifik virus Chikungunya pada sampel


serum

d.

Peningkatan 4 kali lipat(four-fold) titer IgG pada pasangan sampel


yang diambil pada fase akut dan fase konvalesen (interval sekurangkurangnya 2-3 minggu).16

Berdasarkan kriteria di atas, Diagnosis Demam Chikungunya digolongkan


dalam 3 kategori yaitu 14:
1. Kasus Tersangka (Suspected case/ Possible case)
Penderita dengan kriteria klinis.
2. Kasus Probabel (Probable case)
Penderita dengan kriteria klinis + kriteria epidemiologis
3. Kasus Konfirm (Confirmed case)
Penderita dengan kriteria laboratoris.

10

G. Gejala Klinis
Gejala akut cikungunya yang paling sering dialami pasien adalah demam
diikuti nyeri sendi, sakit kepala, myalgia, rash, eritema, kelelahan, erupsi
makulopapular, meningoencephalitis, diare, gagal ginjal, gagal napas,
pericarditis, hepatitis dan hiperpigmentasi 14,15,16,17,18
1. Demam
Pada fase akut selama 2-3 hari selanjutnya dilanjutkan dengan
penurunan suhu tubuh selama 1-2 hari kemudian naik lagi membentuk
kurva Sadle back fever (Bifasik). Bisa disertai menggigil dan muka
kemerahan (flushed face). Pada beberapa penderita mengeluh nyeri di
belakang bola mata dan bisa terlihat mata kemerahan (conjunctival
injection).16,19
2. Sakit persendian

Gambar 4. Pembengkakan persendian


Nyeri persendian ini sering merupakan keluhan yang pertama
muncul sebelum timbul demam. Nyeri sendi dapat ringan (arthralgia)
sampai berat menyerupai artritis rheumathoid, terutama di sendi sendi
pergelangan kaki (dapat juga nyeri sendi tangan) sering dikeluhkan
penderita. Nyeri sendi ini merupakan gejala paling dominan, pada kasus
berat terdapat tanda-tanda radang sendi, yaitu kemerahan, kaku, dan
bengkak. Sendi yang sering dikeluhkan adalah pergelangan kaki,
pergelangan tangan, siku, jari, lutut, dan pinggul.12,19
Pada posisi berbaring biasanya penderita miring dengan lutut
tertekuk dan berusaha mengurangi dan membatasi gerakan. Artritis ini

11

dapat bertahan selama beberapa minggu, bulan bahkan ada yang sampai
bertahan beberapa tahun sehingga dapat menyerupai Rheumatoid
Arthritis.17,19
3. Nyeri otot
Nyeri otot (fibromyalgia) bisa pada seluruh otot terutama pada otot
penyangga berat badan seperti pada otot bagian leher, daerah bahu, dan
anggota gerak. Kadang kadang terjadi pembengkakan pada otot sekitar
sendi pergelangan kaki (achilles) atau sekitar mata kaki.20,21
4. Bercak kemerahan (rash) pada kulit

Gambar 5. Bercak kemerahan (rash) pada kulit


Kemerahan di kulit bisa terjadi pada seluruh tubuh berbentuk
makulo-papular (viral rash), sentrifugal (mengarah ke bagian anggota
gerak, telapak tangan dan telapak kaki). Bercak kemerahan ini terjadi pada
hari pertama demam, tetapi lebih sering muncul pada hari ke 4 - 5 demam.
Lokasi kemerahan di daerah muka, badan, tangan, dan kaki.17,22
5. Kejang dan penurunan kesadaran
Kejang biasanya pada anak karena demam yang terlalu tinggi, jadi
kemungkinan bukan secara langsung oleh penyakitnya. Kadang-kadang
kejang disertai penurunan kesadaran. Pemeriksaan cairan spinal (cerebro
spinal) tidak ditemukan kelainan biokimia atau jumlah sel.18,20
6. Manifestasi perdarahan
Tidak ditemukan perdarahan pada saat awal perjalanan penyakit
walaupun pernah dilaporkan di India terjadi perdarahan gusi pada 5 anak
dari 70 anak yang diobservasi.21,22

12

7. Gejala lain
Gejala lain yang kadang-kadang dapat timbul adalah kolaps pembuluh
darah kapiler dan pembesaran kelenjar getah bening.12,21
H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding penyakit Chikungunya yang paling mendekati adalah
Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue. 19,20

I. Pemeriksaan Penunjang
Untuk memastikan diagnosis perlu pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu: Isolasi virus dari inokulasi
serum fase akut, pemeriksaan serologis dengan cara ELISA, pemeriksaan IgG
dan IgM dengan metode Immuno Fluorescent Assay (IFA), pemeriksaan
materi genetik dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), pemeriksaan
antibodi dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (H.I Test) menggunakan serum
diambil pada masa akut ( hari ke 5 mulai demam ) dan serum konvalesen pada
minggu ke 2 sesudah demam serta sequencing.16

13

Gambar 6. Timeline antibodi 15


Interpretasi:
1. Bila IgM (-) dan IgG (-) dengan gejala klinis jelas, pemeriksaan diulang
10-14 hari kemudian. Bila hasil pemeriksaan ulang IgM (+) IgG(-)
berarti infeksi akut primer.
2. Bila IgM (-) IgG (+) dilakukan pemeriksaan ulang 10-14 hari kemudian.
Bila hasil pemeriksaan ulang IgG (+) dengan kenaikan titer >4X berarti
infeksi sekunder.
3. Bila IgM (+) IgG (+) berarti sedang terjadi infeksi sekunder

J. Penatalaksanaan
Chikungunya merupakan self limiting disease, sampai saat ini penyakit
ini belum ada obat ataupun vaksinnya, pengobatan hanya bersifat simtomatis
dan suportif. 7,9,24,25,
1. Simtomatis
-

Antipiretik : Parasetamol atau asetaminofen (untuk meredakan


demam)

Analgetik : Ibuprofen, naproxen dan obat Anti-inflamasi Non Steroid


(AINS) lainnya (untuk meredakan nyeri persendian/athralgia/arthritis)
Catatan: Aspirin (Asam Asetil Salisilat) tidak dianjurkan karena
adanya resiko perdarahan pada sejumlah penderita dan resiko
timbulnya Reyes syndrome pada anak-anak dibawah 12 tahun.

2. Suportif

14

Tirah baring (bedrest), batasi pergerakkan

Minum banyak untuk mengganti kehilangan cairan tubuh akibat


muntah, keringat dan lain-lain.

Fisioterapi
Pengobatan simtomatik dapat diberikan Anti-inflamasi nonsteroid,

walau hanya memberikan kesembuhan parsial untuk menghilangkan nyeri


sendi. Penggunaan AINS yang berlebihan dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan gastroinstentinal. Jadi pemberian dapat menggunakan Selektif COX
II

inhibitor

atau

menggunakan

AINS

dengan

penambahan

obat

gadtroprotektor. Terapi menggunakan AINS ditambah steroid dosis rendah


merupakan rejimen terbaik untuk mengatasi nyeri sendi selama fase akut,
tetapi pemeberian steroid ditakutkan akan menurunkan fungsi imun. Untuk
penyakit reumatoid arthritis, nyeri sendi dapat diobati dengan metrotrexat
dosis rendah.22,24
Demam chikungunya merupakan self limiting disease dan jarang
menimbulkan kondisi yang fatal. Akan tetapi, nyeri sendi yang hebat sangat
mengganggu dan menyebabkan seseorang menjadi tak berdaya. Akan tetapi
pada beberapa kondisi khusus seperti pada neonatus, orang dewasa dengan
penyakit rematik, dan lansia, infeksi CHIKV dapat menyebabkan komplikasi
berupa ensefalopati berat yang dapat menimbulkan kecacatan dan kematian.26
Akhir-akhir ini telah diupayakan pengembangan vaksinasi untuk
Chikungunya. Vaksinasi dengan virus Chikungunya yang diterapi dengan
formalin (strain Ross) dan ditumbuhkan pada sel ginjal monyet hijau Afrika
menimbulkan respon imun memuaskan bila diberikan sebanyak 3 dosis
terbagi pada monyet.26,27
Mortalitas yang disebabkan infeksi Chikungunya tergolong rendah,
mengakibatkan perkembangan vaksin Chikungunya mendapat prioritas yang
kurang dalam kesehatan masyarakat.26,27,28
K. Prognosis

15

Demam Chikungunya adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri,


prognosisnya baik dan jarang menimbulkan mortalitas. Jarang dilaporkan
secara ekslusif mengenai kejadian kematian, invasi ke susunan saraf pusat
dan kasus-kasus perdarahan berat pada demam Chikungunya. Pada beberapa
penelitian, kasus-kasus yang pernah didokumentasikan secara virologik
menunjukkan tidak adanya trombositopenia ataupun neutropenia hebat.
Namun, pernah dilaporkan kematian pada saat terjadinya wabah karena
penggunaan sembarangan dari kortikosteroid, NSAID (khususnya aspirin),
dan antibiotik yang dapat menyebabkan trombositopenia, perdarahan
gastrointestinal, mual, muntah, dan gastritis. Hal ini dapat menyebabkan
dehidrasi, gagal ginjal akut, gangguan elektrolit, dan kadang-kadang
hipoglikemia. Hal ini secara tidak langsung dapat menyebabkan kematian
karena demam Chikungunya.17
Atralgia dapat terjadi berminggu-minggu. Aktivitas berat mungkin
dapat memeperpanjang gejala ini. Secara tipikal, rasa sakit bergeser dari sendi
dan memburuk pada pagi hari dan berdasarkan pada sendi pertama yang
terkena. Pembengkakan di sekitar pergelangan kaki, tangan dan jari sering
terjadi. Pada pasien yang lebih tua, gejala sisa mungkin terjadi bersama-sama
dengan proses patologik lainnya. 17,28
L. Komplikasi
Chikungunya artropati sembuh dalam beberapa minggu, hanya 12%
yang memiliki gejala sisa untuk beberapa waktu (sampai 18 bulan). Salah
satu komplikasinya adalah reumatoid arthritis, manifestasi reumatikchikungunya:
(1) jari tangan dan kaki poliartritis dengan nyeri dan kekakuan pagi;
(2) tenosinovitis subakut parah pergelangan tangan, tangan dan pergelangan
kaki;
(3) eksaserbasi nyeri mekanik di cedera sebelumnya sendi dan tulang 27
Gejala sisa yang paling sering dimiliki oleh pasien chikungunya
adalah penyakit degeneratif pada tulang, rheumatoid arthritis, osteoarthritis

16

dan pasien dapat mengalami depresi akibat gejala sisa yang diakibatkan
chikungunya.28
M. Pencegahan
Melihat masih ada kematian karena chikungunya yang dilaporkan dan
tiada pengobatan spesifik dan vaksin yang sesuai, maka upaya pencegahan
sangat dititik beratkan. Upaya ini lebih menjurus ke arah pemberantasan sarang
nyamuk penular dengan cara membasmi jentik nyamuk. Individu yang
menderita demam chikungunya ini sebaiknya diisolasi sehingga dapat dicegah
penularannya ke orang lain. Tindakan pencegahan gigitan nyamuk bisa
dilakukan dengan menggunakan obat nyamuk dan repelan tetapi pencegahan
yang sebaiknya berupa pemberantasan sarang nyamuk penular (PSN).12,13
Pendekatan alternatif untuk pengendalian penyakit virus melibatkan
penggunaan vaksin. Masih belum ada vaksin yang efektif untuk mencegah
penyakit. Sudah dicoba berbagai sediaan vaksin, seluruh persiapan virus tidak
aktif, vaksin hidup dilemahkan, protein rekombinan atau virus partikel, dan
vaksinasi DNA.14
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN).
PSN ini bertujuan mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus sehingga penularan Chikungunya dapat dicegah atau
dibatasi. Sasaran bagi PSN ini adalah semua tempat perkembangbiakan
nyamuk penular Chikungunya seperti:
a. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA).
c. Tempat penampungan air alamiah.
Keberhasilan kegiatan PSN Chikungunya antara lain dapat diukur
dengan Angka Bebas Jentik (ABJ), apabila ABJ 95% diharapkan
penularan Chikungunya dapat dicegah atau dikurangi.23,30
2.

Kimiawi (Larvasidasi)
Larvasidasi adalah pemberantasan jentik dengan menaburkan
bubuk larvasida.. Kegiatan larvasidasi bisa meliputi: 1. Larvasidasi
Selektif. Larvasidasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat

17

penampungan air (TPA) baik di dalam maupun di luar rumah pada seluruh
rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadis serta
penaburan bubuk larvasida pada TPA yang ditemukan jentik dan
dilaksanakan 4 kali dalam 1 tahun (3 bulan sekali). Pelaksana larvasidasi
adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas. Tujuan larvasidasi
selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat
dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk. 2. Larvasidasi Massal. Larvasidasi
massal adalah penaburan bubuk larvasida secara serentak diseluruh
wilayah/daerah tertentu di semua tempat penampungan air baik terdapat
jentik maupun tidak ada jentik di seluruh bangunan termasuk rumah,
kantor-kantor dan sekolah. Kegiatan larvasidasi massal ini dilaksanakan di
lokasi terjadinya KLB Chikungunya. 13,28,29
3. Fisik
Pengendalian secara fisik ini dikenal dengan kegiatan 3M Plus
(Menguras, Menutup, Mengubur) yaitu :
a. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak
mandi, drum dan lain-lain seminggu sekali (M1).
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air ,
tempayan dan lain-lain (M2).
c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3) (3M).12,15

18

BAB III
PENUTUP
Demam chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang
ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk genus aedes, sehingga Chikungunya
tergolong sebagai Arthropodborne disease. Virus chikungunya ini merupakan
alphavirus dari keluarga Togaviridae. Chikungunya biasanya terjadi di daerah
yang padat penduduk dan yang beriklim tropis maupun subtropis.
Gejala chikungunya ditandai dengan demam tiba-tiba, sakit kepala,
mual, muntah, kelelahan, nyeri otot, nyeri sendi, gejala perdarahan seperti
epistaksis atau perdarahan gusi, dan ruam. Sendi dapat sakit sekali akan tetapi
biasanya berakhir tidak lama, dapat dalam beberapa hari atau minggu. Kultur
virus merupakan gold standar untuk demam chikungunya.
Pengobatan demam chikungunya untuk saat ini dengan pengobatan
simtomatik dan suportif. Cara pencegahan dengan melakukan pendekatan
terbaik dengan penyuluhan terhadap masyarakat dan petugas kesehatan
masyarakat untuk mengendalikan vektor sehingga dapat mengontrol demam
Chikungunya.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Simon, Dhamel Thiberville. 2013. Chikungunya Fever: Epidemiology,
Clinical Syndrome, Pathogenesis and Therapy. Elseiver Inc.
2. Mohd Zim, et al. 2012. Chikungunya infection in Malaysia: Comparison with
dengue infection in adults and predictors of persistent arthralgia. Elseiver
Inc.
3. Julian T. Hertz, et al. 2012. Chikungunya and Dengue Fever Among
Hospitalized Febrile Patients in Northern Tanzania. The American Society of
Tropical Medicine and Hygiene.
4. Maurice Demanou, et al. 2010. Chikungunya outbreak in a rural area of
Western Cameroon in 2006: A retrospective serological and entomological
survey. BMC Research Notes.
5. Katherine B Gibney, et al. 2010. Chikungunya Fever in the United States: A
Fifteen Year Review of Cases. Oxford University.
6. Alladi Mohan, et al. 2010. Epidemiology, Clinical Manifestations, and
Diagnosis of Chikungunya fever: Lesson Learned from The Re-Emerging
Epidemic. Indian Journal of Dermatology.
7. Kementerian

Kesehatan

RI.

2012.

Pedoman

Pengendalian

Demam

Chikungunya, Edisi 2. Jakarta.


8. Michelle M Thiboutot. 2010. Chikungunya: A Potentially Emerging
Epidemic?. PLOS Neglected Tropical Disease.
9. Simon, Djamel Thiberville. 2013. Chikungunya Fever: A Clinical and
Virological Investigation of Outpatients on Reunion Island, South West Indian
Ocean. PLOS Neglected Tropical Disease.
10. Sudarsanareddy, et al. 2009. Genetic predisposition to Chikungunya: a blood
group study in Chikungunya affected families. BioMed Central.
11. Wirack M, Udomsak S. 2009. Presence of Autoimmune Antibody in
Chikungunya Infection.

20

12. M Receveur, et al. 2010. Chikungunya infection in a French traveler


returning from Maldives. Eurosurveillance. Lucile Warter, et al. 2010.
Chikungunya Virus Envelope Spesific Human Monoclonal Antibodies with
Broad Neutralization Potency. The Journal of Immunology.
13. Penny A Rudd, et al. 2012. Interferon Response Factor 3 and 7 protect
against chikungunya virus hemorrhagic fever and shock. Journal of Virology
ASM.
14. Maguiraga LD, Noret M, Brun S, Grand RL, Gras G, Roques P(2012).
Chikungunya disease: Infection-associated markers from the acute to the
chronic phase of arbovirus-induced arthralgia. PLOS Negleted Tropical
Disease, 6(1): 1-10.
15. Caglioti C, Lalle E, Castilletti C, Carletti F, Capobianchi MR, Bordi L(2013).
Chikungunya virus infection: an overview. New Microbiologica, 36(1): 21127.
16. Dash M, Mohanty I, Padhi S (2011). Laboratory diagnosis of chikungunya
virus: Do we really need it?.Indian Journal Of Medical Sciences, 65(3): 8391.
17. Amirullah

dan

Astuti

EP

(2011).

Chikungunya:

Transmisi

dan

permasalahannya. Aspirator, 3(2): 100-6.


18. Staples

JE,Breiman RF,Powers AM(2009).

Chikungunya

fever: An

epidemiological reviewof a re-emerging infectious disease. Clinical Infection


Disease, 49(1): 942-8.
19. Hassan R, Rahman MM, Moniruzzaman M, Rahim A, Barua S, Biswas
R,Biswas P, Mowla SG, Chowdhury MJ (2014). Chikungunya an emerging
infection in Bangladesh: a case series. Journal of Medical Case Reports,
8(67):1-3.
20. Pulmanausahakul R, Roytrakul S, Auewarakul P, Smith DR (2011).
Chikungunya in Southeast Asia: understanding the emergence and finding
solutions. International Journal of Infectious Diseases, 15(1): 6716.

21

21. Weaver SC (2014).Arrival of chikungunya virus in the new world: Prospects


for spread and impact on public health. PLOS Negleted Tropical Disease,
8(6): 1-3.
22. Pincus LB,Grossman ME, Fox LP (2008). The exanthem of dengue fever:
Clinical features of two US tourists traveling abroad. J Am Acad Dermatol,
58(2): 30816.
23. Natasha Tilston, et al. 2009. Pan-European Chikungunya surveillance:
designing risk stratified surveillance zones. BioMed Central.
24. Pierre, Emmanuel Joubert, et al. 2012. Chikungunya virus induced autophagy
delay caspase dependent cell death. JEM.
25. Lee Ching Ning, et al. 2009. Entomologic and Virologic Investigation of
Chikungunya, Singapore. Emerging Infectious Disease.
26. Sarunyou Chusri, et al. 2014. Kinetics of Chikungunya Infections during an
Outbreak in Southren Thailand, 2008-2009. The American Society of
Tropical Medicine and Hygiene.
27. Elisabeth Couturier, et al. 2012. Impaired Quality of Life After Chikungunya
Virus Infection: A 2 Year Follow Up Study. Rheumatology Oxford University.
28. Kristin M Long, et al. 2013. Dendritic Cell Immunoreceptor Regulates
Chikungunya Virus Pathogenesis in Mice. Journal of Virology ASM.
29. J Erin Staples. 2009. Chikungunya Fever: An Epidemiological Review of a
Re-Emerging Infectious Disease. Oxford University.
30. Scott C Weaver. 2012. Chikungunya virus and prospects for a vaccine.
National Institutes of Helath.

22

Anda mungkin juga menyukai