TONSILITIS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kedokteran Klinik
di RSUD Blambangan Banyuwangi
Oleh:
Fatkhur Rizqi 101611101088
Marda Agung 091611101067
Luthfiya Nur Imami 091611101041
Nastiti Dewanti P 091611101010
Iradatul Hasanah 101611101015
Pembimbing:
dr. Mashari, Sp.THT
RINOSINUSITIS
IDENTITAS
Nama
: Lila Susanti
Usia
: 36 tahun
: Islam
Pekerjaan
: Wiraswasta
ANAMNESA
Keluhan utama
Riwayat penyakit
Riwayat sosial
PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
-
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 78x/menit
Respirasi
: 18x/menit
Suhu
: tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
DIAGNOSA : Rhinosinusitis
TERAPI
Pre Operasi:
R/Paracetamol 500mg 3x1
(mengurangi demam)
R/Amoxan 3x1
(untuk nyeri)
Puasa jam 22.00 WIB
BAB I
KATA PENGANTAR
Rinosinusitis merupakan istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan
mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan
yang mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi
pengeluaran finansial masyarakat.1,2 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi
bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang lebih diterima adalah
rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut, dan kronik.2
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4
% penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam
jangka waktu 12 bulan.3 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka
prevalensi rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16
%, dengan kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis
kronik.1-4 Dengan demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu penyakit
kronik yang paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit jantung,
diabetes dan sefalgia.2,4 Kennedy melaporkan pada tahun 1994 adanya
peningkatan jumlah kunjungan pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi
total 24 juta pertahun antara tahun 1989 dan 1992. 5 Dari Kanada tahun 2003
diperoleh angka prevalensi rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita
berbanding pria yaitu 6 berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita). 1,3
Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 1996,
dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik. 6 Dampak
yang diakibatkan rinosinusitis kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek
kualitas hidup ( Quality of Life / QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-4
Sejumlah konsensus, guidelines dan position papers yang mencakup
epidemiologi, diagnosis
kronik mulai
berkembang pada dekade ini.1 Pada tahun 2005 European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) pertama kali dipublikasikan, dipelopori
oleh European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI).1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diagnosis rinosinusitis kronik dibuat oleh berbagai bidang ilmu terkait
termasuk didalamnya antara lain allergologist, otolaryngologist, pulmonologist,
dokter umum dan lainnya, namun keseragaman definisi dan standar diagnosis
rinosinusitis kronik belum tercapai.1 Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait dengan
rinosinusitis kronik, besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama bagi
kelompok penduduk dewasa usia produktif namun disertai keterbatasan data yang ada,
maka perlu dipelajari lebih jauh tentang rinosinusitis kronik tanpa polip nasi. Tujuan
makalah ini dibuat adalah untuk menguraikan tentang patofisiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi khususnya pada orang dewasa
dengan berdasarkan pada makalah EP3OS 2007.
Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi
dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang
terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus
paranasal.7 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai
sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum
nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa
kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi bersama-sama. 8
Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang
sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman
ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.9 Fakta tersebut menunjukkan bahwa
sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep one airway
disease yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung
berkembang ke bagian yang lain.9 Sejumlah kelompok konsensus menyetujui
pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah
rinosinusitis daripada sinusitis.7-11 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi
secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1.
Sejak tahun 1984 sampai saat ini telah banyak dikemukakan definisi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi oleh para ahli, masing-masing dengan kriterianya,
antara lain :5,7
1. Menurut Kennedy tahun 1993 (pada Konferensi Internasional Penyakit Sinus,
Princeton New Jersey), sinusitis kronik adalah sinusitis persisten yang tidak
dapat disembuhkan hanya dengan terapi medikamentosa, disertai adanya
hiperplasia mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Pada orang dewasa,
keluhan dan gejala berlangsung persisten selama delapan minggu atau terdapat
empat episode atau lebih sinusitis akut rekuren, masing-masing berlangsung
minimal sepuluh hari, berkaitan dengan perubahan persisten pada CT-scan
setelah terapi selama empat minggu tanpa ada pengaruh infeksi akut
2. Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 1996 disponsori oleh American
Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-HNS), disebut
rinosinusitis kronik bila rinosinusitis berlangsung lebih dari dua belas minggu
dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor
dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Tabel 1 menunjukkan
faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis
kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai
dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila
hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu
menjadi diferensial diagnosa.
Tabel 1.
Minor factors
Headache
Fever
(all nonacute)
Halitosis
Fatigue
Dental pain
Cough
Ear pain/pressure/
fullness
Gambar 2.
2,14
Berdasarkan ketiga
kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi
berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.2,14 James
Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab
rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular
yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan
penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian
dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan
kelompok lain.15
Tabel 2.
Genetic/PhysiologicFactors
Environmental Factors
Structural Factors
Airway hyperreactivity
Allergy
Septal deviation
Immunodeficiency
Smoking
Concha bullosa
Aspirin sensitivity
Irritants/pollution
Ciliary dysfunction
Viruses
Haller cells
Cystic fibrosis
Bacteria
Frontal cells
Autoimmune disease
Fungi
Scarring
Granulomatous disorders
Stress
Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
complex) kelas II, selanjutnya akan dikenal oleh sel limfosit T yang kompatibel dan
dimulailah respon inflamasi.8,14 Superantigen mempunyai kemampuan memintas
proses diatas, langsung berikatan dengan permukaan domain HLA-DR alpha pada
MHC kelas II dan domain V beta pada reseptor sel T. Selanjutnya terjadi stimulasi
ekspresi masif IL-2, kemudian IL-2 menstimulasi produksi sitokin lainnya seperti
TNF-, IL-1, IL-8 dan PAF (platelet activating factor) yang memicu terjadinya respon
inflamasi.14 Selain itu, superantigen juga bertindak sebagai antigen tradisional yang
menstimulasi
produksi
antibodi
superantigen.8,14 Hipotesis
Schubert
(2001)
inflamatori dan
mediator rinosinusitis kronik.1,9,13 Dibawah ini akan dijabarkan berbagai sel inflamasi
dan mediator yang ditemukan
pada rinosinusitis kronik.
Gambar 3.
perubahan
sel
Skema
epitel
berbagai proses yang melibatkan sel limfosit TH1 dan TH2, menghasilkan pelepasan
sitokin dan mempengaruhi sel-sel fagosit.17
Sel inflamasi rinosinusitis kronik :1,13,17
1. Limfosit
Sel T terutama CD4+ sel T helper, berperan pada proses inisiasi dan regulasi
inflamasi
2. Eosinofil
Level eosinofil marker (eosinofil, eotaksin, eosinofil kationik protein / ECP)
pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi lebih rendah bila dibandingkan
dengan pada polip nasi, juga infiltrasi sel eosinofil dan sel plasma pada
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi berbeda dengan pada polip nasi.
3. Makrofag (sel CD68+)
Peningkatan makrofag pada rinosinusitis dengan polip nasi dan tanpa polip
nasi menunjukkan perbedaan dalam bentuk fenotip yang ada.
4. Mastosit
Peningkatan mastosit berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi pada
rinosinusitis kronik.
5. Neutrofil
Peningkatan neutrofil terjadi melalui pengaktifan IL-8 pada proses inflamasi
rinosinusitis kronik.
Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR 1996,
terdapat
faktor
klinis/
gejala
mayor
dan
minor
yang
diperlukan
untuk
Tabel 3. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan
fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis
lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.2
REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS (2003 TASK FORCE)
Duration
>12 weeks of continuous
2.
physical findings
3.
4.
MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan
pemeriksaan laboratorium.1
Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai
gejala-gejala yang ada pada kriteria
kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya
latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.18 Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi,
faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah
dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat
dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang
dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya) 1,2,18
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip),
Pemeriksaan Penunjang
Gambar 4.
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin
menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar
belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan
terapi yang berlainan juga.20
Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis
kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu
dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka
cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar
kesuksesan operasi yang dilakukan.20,21,22 Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui
terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung.20,21
a.
3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
5.
KOMPLIKASI
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi
diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.1 Komplikasi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita,
oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.1
3. Komplikasi orbita :
a)
b)
c)
d)
Selulitis periorbita
Selulitis orbita
Abses subperiosteal
Abses orbita
BAB III
PEMBAHASAN
BAB IV
KESIMPULAN
Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa merupakan salah
satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dan memberikan dampak bagi kualitas
hidup penderita. Patofisiologi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
bersifat multifaktorial dan faktor predisposisi terjadinya dapat dibedakan menjadi
faktor fisiologik/genetik, faktor lingkungan dan faktor struktural. Diagnosis
ditetapkan berdasarkan kombinasi kriteria obyektif dan subyektif serta ditunjang oleh
pemeriksaan endoskopi nasal dan CT-scan (bila diperlukan). Modalitas terapi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dibedakan menjadi terapi
medikamentosa dan terapi pembedahan.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.
10. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American
Family Physician, 2001; 63:69-74.
11. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody
FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New
York: Informa, 2007;1-12.
12. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani
AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology head and neck
surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281.
13. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current reviews of allergy and clinical
immunology, 2000; 106: 213-226.
14. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;109-129.
15. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al eds.
Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier
Mosby, 2005; 1-4.
29