Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

TONSILITIS
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kedokteran Klinik
di RSUD Blambangan Banyuwangi

Oleh:
Fatkhur Rizqi 101611101088
Marda Agung 091611101067
Luthfiya Nur Imami 091611101041
Nastiti Dewanti P 091611101010
Iradatul Hasanah 101611101015

Pembimbing:
dr. Mashari, Sp.THT

ILMU KEDOKTERAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2015

RINOSINUSITIS

IDENTITAS
Nama

: Lila Susanti

Usia

: 36 tahun

Jenis kelamin : Perempuan


Agama

: Islam

Suku bangsa : WNI


Alamat

: Jalan Tukangkayu 3/2 Banyuwangi

Pekerjaan

: Wiraswasta

ANAMNESA
Keluhan utama

: Keluar darah dari hidung sbelah kiri

Riwayat penyakit

: Pasien datang ke Poli THT RSUD Blambangan


Banyuwangi dengan keluhan keluar darah dari
hidung sebelah kiri sejak 2 minggu yang lalu,
Sebelumnya pasien sering menderita pilek sejak
3 tahun yang lalu, ingus cair, hidung kanan-kiri
kadang-kadang buntu, serta sering bersin-bersin.

Riwayat penyakit keluarga

: Tidak ditanyakan (tidak ada anggota keluarga yang


sakit seperti ini)

Riwayat sosial

: Tidak ditanyakan (bekerja sebagai wiraswasta)

PEMERIKSAAN FISIK

Vital Sign
-

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 78x/menit

Respirasi

: 18x/menit

Suhu

: tidak dilakukan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan lanjutan dapat dianjurkan seperti berikut ini :


1. Foto rontgen : foto dengan posisi Waters (posteroanterior/PA) dan lateral.

2. Tes pendengaran : Jika diduga adanya kehilangan pendengaran.


3. Tes laboratorium : Perlu jika pasien memiliki tanda-tanda keterlibatan
sistemik
Kesimpulan : Dari anamnesis ditemukan keluhan pasien yakni mengeluhkan
keluar darah dari hidung sebelah kiri, dulunya pasien pilek
lama, ingus cair, hidung kanan dan kiri kadang-kadang buntu,

serta sering bersin-bersin. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik


dan pemeriksaan penunjang didapatkan gangguan pada rhinus
dan sinus. Gangguan yang dialami yaitu terdapat benjolan pada
daerah rhinus.

DIAGNOSA : Rhinosinusitis

TERAPI
Pre Operasi:
R/Paracetamol 500mg 3x1
(mengurangi demam)
R/Amoxan 3x1
(untuk nyeri)
Puasa jam 22.00 WIB

BAB I
KATA PENGANTAR
Rinosinusitis merupakan istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan
mukosa hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan
yang mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi
pengeluaran finansial masyarakat.1,2 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi
bersamaan, sehingga terminologi saat ini yang lebih diterima adalah
rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut, subakut, dan kronik.2
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4
% penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam
jangka waktu 12 bulan.3 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka
prevalensi rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16
%, dengan kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis
kronik.1-4 Dengan demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu penyakit
kronik yang paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit jantung,
diabetes dan sefalgia.2,4 Kennedy melaporkan pada tahun 1994 adanya
peningkatan jumlah kunjungan pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi
total 24 juta pertahun antara tahun 1989 dan 1992. 5 Dari Kanada tahun 2003
diperoleh angka prevalensi rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita
berbanding pria yaitu 6 berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita). 1,3
Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 1996,
dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik. 6 Dampak
yang diakibatkan rinosinusitis kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek
kualitas hidup ( Quality of Life / QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-4
Sejumlah konsensus, guidelines dan position papers yang mencakup
epidemiologi, diagnosis

dan penatalaksanaan rinosinusitis

kronik mulai

berkembang pada dekade ini.1 Pada tahun 2005 European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) pertama kali dipublikasikan, dipelopori
oleh European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI).1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Diagnosis rinosinusitis kronik dibuat oleh berbagai bidang ilmu terkait
termasuk didalamnya antara lain allergologist, otolaryngologist, pulmonologist,
dokter umum dan lainnya, namun keseragaman definisi dan standar diagnosis
rinosinusitis kronik belum tercapai.1 Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait dengan
rinosinusitis kronik, besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama bagi
kelompok penduduk dewasa usia produktif namun disertai keterbatasan data yang ada,
maka perlu dipelajari lebih jauh tentang rinosinusitis kronik tanpa polip nasi. Tujuan
makalah ini dibuat adalah untuk menguraikan tentang patofisiologi, diagnosis dan
penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi khususnya pada orang dewasa
dengan berdasarkan pada makalah EP3OS 2007.
Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum nasi
dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi yang
terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus
paranasal.7 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai
sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum
nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa mukosa
kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi bersama-sama. 8
Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang
sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman
ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.9 Fakta tersebut menunjukkan bahwa
sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang mendukung konsep one airway
disease yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian saluran napas akan cenderung
berkembang ke bagian yang lain.9 Sejumlah kelompok konsensus menyetujui
pernyataan tersebut sehingga terminologi yang lebih diterima hingga kini adalah
rinosinusitis daripada sinusitis.7-11 Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi
secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1.

Hubungan antara sinus paranasal dan kavum nasi dan struktur


yang terdapat pada kompleks ostiomeatal meatus medius.12

Sejak tahun 1984 sampai saat ini telah banyak dikemukakan definisi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi oleh para ahli, masing-masing dengan kriterianya,
antara lain :5,7
1. Menurut Kennedy tahun 1993 (pada Konferensi Internasional Penyakit Sinus,
Princeton New Jersey), sinusitis kronik adalah sinusitis persisten yang tidak
dapat disembuhkan hanya dengan terapi medikamentosa, disertai adanya
hiperplasia mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Pada orang dewasa,
keluhan dan gejala berlangsung persisten selama delapan minggu atau terdapat
empat episode atau lebih sinusitis akut rekuren, masing-masing berlangsung
minimal sepuluh hari, berkaitan dengan perubahan persisten pada CT-scan
setelah terapi selama empat minggu tanpa ada pengaruh infeksi akut
2. Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 1996 disponsori oleh American
Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-HNS), disebut
rinosinusitis kronik bila rinosinusitis berlangsung lebih dari dua belas minggu
dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor
dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Tabel 1 menunjukkan
faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis
kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai
dua atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila

hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu
menjadi diferensial diagnosa.
Tabel 1.

Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik,


terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).7
Major factors

Minor factors

Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive

Headache
Fever
(all nonacute)
Halitosis
Fatigue
Dental pain
Cough
Ear pain/pressure/
fullness

history for rhinosinusitis in absence of another major


symptom)
Facial congestion, fullness
Nasal obstruction/blockage
Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage
Hyposmia/anosmia
Purulence in nasal cavity on examination
Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone
does not constitute a strongly supportive history for acute in
the absence of another major nasal symptom or sign

3. Definisi rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah EP3OS tahun


2007 yaitu suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal,
berlangsung selama dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala
dimana salah satunya adalah buntu hidung (nasal blockage / obstruction /
congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip) :1
nyeri fasial / pressure
penurunan / hilangnya daya penciuman
dan dapat di dukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain
1. Endoskopik, dimana terdapat : polip atau sekret mukopurulen yang berasal
dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus medius
2. CT scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus
paranasal.
Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rinosinusitis dapat
dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip nasi.
EP3OS 2007 menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan kelompok primer
sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik.5,7,11 Alasan
rasional rinosinusitis kronik dibedakan antara dengan polip dan tanpa polip nasi
berdasarkan pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran patologi
jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.11

Pembahasan pada makalah ini akan dikhususkan pada rinosinusitis kronik


tanpa disertai polip nasi yang terjadi pada orang dewasa.

ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI, DAN HISTOPATOLOGI


Senior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa: Kesehatan sinus setiap
orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume
dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan
kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan
drainase dan aerasi 13,14.
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi
transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup untuk
mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor
predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik.14 Namun
demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan mempengaruhi faktor lainnya
dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang berkembang menjadi rinosinusitis
kronik dengan perubahan patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti
yang tergambar pada gambar 2 dibawah ini.14

Gambar 2.

Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu


faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan
dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.14

Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara mendalam.


Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah ditetapkan sebagai
penyebab utama.2,14 Namun sebaliknya, etiologi dan patofisiologi rinosinusitis kronik
bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik
merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada
beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan
EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi yaitu ciliary impairment, alergi, asma, keadaan immunocompromised,
faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis,
faktor lingkungan, faktor iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal.1
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor yaitu
faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan.

2,14

Berdasarkan ketiga

kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi menjadi
berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.2,14 James
Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan patofisiologi penyebab
rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular
yang predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural dan
penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian
dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan
kelompok lain.15
Tabel 2.

Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing


berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.2

Genetic/PhysiologicFactors

Environmental Factors

Structural Factors

Airway hyperreactivity

Allergy

Septal deviation

Immunodeficiency

Smoking

Concha bullosa

Aspirin sensitivity

Irritants/pollution

Paradoxic middle turbinate

Ciliary dysfunction

Viruses

Haller cells

Cystic fibrosis

Bacteria

Frontal cells

Autoimmune disease

Fungi

Scarring

Granulomatous disorders

Stress

Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease

Mechanical trauma
Barotrauma

Faktor Genetik / Fisiologik


Hipereaktivitas saluran napas (asma) merupakan faktor yang berperan bagi
rinosinusitis kronik, banyak penelitian menemukan ada asosiasi yang kuat antara asma
dengan rinosinusitis kronik.1,2 Identifikasi gen ADAM-33 (disintegrin dan
metaloprotease 33) pada pasien asma semakin memperkuat kemungkinan adanya
hubungan tersebut.2
Imunodefisiensi (bawaan atau dapatan) juga berperan terhadap rinosinusitis
kronik. Penelitian Chee dkk (2001) menunjukkan bahwa pada keadaan level
imunoglobulin (IgG, IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit T,
maka kejadian sinusitis yang refrakter cenderung meningkat. 1,2 Defisiensi IgG adalah
yang paling sering menjadi penyebab bagi rinosinusitis kronik. 2,14 Pada individu
dengan HIV, rinosinusitis sering terjadi (38-68 %) dengan klinis yang lebih berat
namun resisten terhadap terapi.1,2,16 Garcia-Rodriques dkk (1999) melaporkan adanya
korelasi kuat antara jumlah sel CD4 + dengan probabilitas rinosinusitis.1 Juga
disebutkan bahwa organisme atipikal seperti Aspergilus spp, Pseudomonas
aeruginosa dan mikrosporidia sering diisolasi dari sinus penderita dan neoplasma
seperti Limfoma Non Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat menjadi faktor penyebab
gangguan sinonasal pasien HIV-AIDS.1,16 Keadaan hiperimun seperti pada sindroma
vaskulitis Churg-Strauss dan sindroma Job dapat juga menjadi predisposisi bagi
rinosinusitis kronik.2,14
Keadaan autoimun lain yang juga berhubungan dengan rinosinusitis kronik
adalah sistemik lupus eritematosus, polikondritis relaps dan sindroma Sjogren.
Sindroma Samter dimana terdapat polip nasi, asma bronkial dan intoleransi aspirin
merupakan suatu kondisi dengan etiologi yang tidak jelas namun mempunyai
hubungan dengan rinosinusitis onset dini.1,2,14 Kelainan bawaan seperti kistik fibrosis,
sindroma Young, sindroma Kartagener atau diskinesia siliar primer, berkaitan dengan
klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga menyebabkan timbulnya
rinosinusitis kronik. Wang dkk (2000) menemukan adanya mutasi gen pada pasien
kistik fibrosis yang mengarah pada terjadinya rinosinusitis kronik. 2 Pada diskinesia
siliar primer dan sindroma Kartagener, terjadi disfungsi siliar yang menjadi faktor
penyebab rinosinusitis. 1,2,14,16

Rinosinusitis juga sering ditemukan pada kelainan granulomatosis seperti


sarkoidosis dan granulomatosis Wegener. Pada keadaan ini, terjadi respon inflamasi
kronik diikuti dengan perubahan jaringan lokal yang bervariasi tingkat berat
ringannya dari destruksi silia dan kelenjar mukus sampai destruksi jaringan lokal.1,2,14
Faktor Lingkungan
Hubungan antara rinitis alergi dengan rinosinusitis telah banyak dipelajari dan
tercatat walaupun hubungan kausal belum dapat ditegakkan secara pasti.2 Pada pasien
dengan rinosinusitis kronik, prevalensi rinitis alergi berkisar antara 25-50 %. 2 Pada
pasien yang menjalani operasi sinus, prevalensi hasil test kulit positif berkisar antara
50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas multipel. 1,2,14 Namun bagaimana alergi
bisa mengakibatkan rinosinusitis kronik, hingga hari ini belum diketahui secara jelas.
Stammberger 1991 menyatakan bahwa: udem mukosa nasal pada pasien rinitis alergi
yang terjadi pada ostium sinus dapat mengurangi ventilasi bahkan mengakibatkan
obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan retensi mukus dan infeksi. 1 Namun
hal ini lebih mengarah kepada rinosinusitis akut sedangkan sejauh mana
perkembangan dan persistensi keadaan ini memberikan pengaruh bagi rinosinusitis
kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.1,16
Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi perkembangan
rinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur dioksida, komponen
volatil organik, dll.1,2,14 Bahan polutan ini bertindak sebagai iritan nasal
mengakibatkan kekeringan dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil. Sebagai
tambahan, asap rokok juga menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek
mikrotubular primer.14
Peranan virus dalam menyebabkan rinosinusitis kronik belum sepenuhnya jelas.
Pada studi epidemiologik skala besar, Gable dkk (1994) menemukan peningkatan
insiden rinosinusitis kronik selama musim infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan
studi yang melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan bahwa virus menyebabkan
perubahan morfologis dan fungsional multipel pada sel epitel nasal, termasuk
peningkatan pelepasan sel epitel, pemendekan silia, berkurangnya frekuensi gerakan
silia serta penurunan klirens mukosiliar.2 Adenovirus dan RSV (respiratory syncytial
virus) didapatkan pada pasien rinosinusitis kronik yang menjalani operasi sinus
endoskopik.16,17
Walau ada hipotesis bahwa rinosinusitis kronik berkembang dari rinosinusitis
akut, namun sejauh ini hal tersebut belum dapat dibuktikan.1 Gambaran bakteriologi
rinosinusitis kronik pada kenyataannya berbeda dengan rinosinusitis akut. 2,13 Pada

rinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah S.aureus, Stafilokakus koagulase


negatif, bakteri anaerob dan gram negatif. Sedangkan pada rinosinusitis akut, kuman
predominan antara lain S.pneumoniae, H.influenzae dan M.catarrhalis.1,13,15 Beberapa
penelitian retrospektif dan prospektif telah dilakukan untuk menilai bakteri penyebab
rinosinusitis kronik baik pada orang dewasa maupun anak.14 Pada orang dewasa,
gambaran kuman umumnya polimikrobial baik gram positif maupun gram negatif,
aerob dan anaerob.1,14,17 Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100 %
sedangkan kuman anaerob berkisar antara 0-100 %.1,17 Kuman anaerob banyak
terdapat pada infeksi sekunder akibat masalah gigi.1
Bakteri biofilm diperkirakan juga menjadi salah satu penyebab persistensi
rinosinusitis kronik.2,14 Biofilm merupakan suatu matriks kompleks polisakarida yang
disintesis oleh bakteri dan bertindak sebagai protektor lingkungan mikro bagi koloni
bakteri. Keberadaan biofilm membantu menjelaskan adanya bentuk rinosinusitis
kronik yang refrakter walaupun telah diberi terapi antimikroba poten. 2,14 Cryer dkk
(2004) berhasil mengidentifikasi bakteri biofilm dari mukosa sinus yang terinfeksi
Pseudomonas aeruginosa, dengan mikroskop elektron.2,14 Biofilm juga ditemukan
pada otitis media, kolesteatoma dan tonsilitis.1
Peranan bakteri anaerob pada rinosinusitis kronik telah ditunjukkan pada
berbagai studi yang dilakukan oleh Nord (1995).17 Kemampuan potensial bakteri
aerob dan anaerob memproduksi beta laktamase untuk melindungi organisme yang
suseptibel terhadap penisilin ditunjukkan oleh Brook dkk (1996).13,17 Resistensi kuman
Streptocossus pneumoniae penghasil protein pengikat penisilin berkisar antara 28
hingga 44 %.9,13
Para peneliti berpendapat bahwa bakteri dapat secara langsung bertindak
mengaktifkan kaskade inflamatori, disamping fungsi tradisional mereka yang berlaku
sebagai agen infeksius.2,8,14 Pada individu yang suseptibel, bakteri superantigen seperti
staphylococcal enterotoxin dapat langsung mengaktifkan sel limfosit T melalui jalur
aktivasi sel T dengan mekanisme antigen presenting cell.2,8,14 Istilah superantigen
digunakan untuk menjelaskan kemampuan bakteri (S.aureus dan S.pyogenes)
memproduksi partikel yang dapat mengaktifkan sejumlah besar suppopulasi sel T
(berkisar antara 530 %) yang kontras dengan antigen topikal konvensional (kurang
dari 0,01 %).8,14 Pada jalur tradisional, antigen difagosit oleh APC (antigen presenting
cell), terdegradasi menjadi sejumlah fragmen peptida yang kemudian diproses pada
permukaan sel setelah berikatan dengan reseptor MHC (major histocompatibility

complex) kelas II, selanjutnya akan dikenal oleh sel limfosit T yang kompatibel dan
dimulailah respon inflamasi.8,14 Superantigen mempunyai kemampuan memintas
proses diatas, langsung berikatan dengan permukaan domain HLA-DR alpha pada
MHC kelas II dan domain V beta pada reseptor sel T. Selanjutnya terjadi stimulasi
ekspresi masif IL-2, kemudian IL-2 menstimulasi produksi sitokin lainnya seperti
TNF-, IL-1, IL-8 dan PAF (platelet activating factor) yang memicu terjadinya respon
inflamasi.14 Selain itu, superantigen juga bertindak sebagai antigen tradisional yang
menstimulasi

produksi

antibodi

superantigen.8,14 Hipotesis

Schubert

(2001)

menyatakan bahwa potensi bakteri superantigen disertai persistensi mikroba, produksi


superantigen dan respon sel limfosit T merupakan komponen fundamental yang
menyatukan berbagai kelainan kronik mukosa respiratorik tipe eosinofilik-limfositik
pada patogenesis rinosinusitis kronik.8
Ponikau dkk (1999) mendapatkan 96 % kultur jamur positif pada 210 pasien
rinosinusitis kronik.1,2 Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa
spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi pada rinosinusitis kronik, dari yang
non invasif sampai yang invasif.1,12,14,16 Bentuk rinosinusitis karena jamur antara lain:
sinusitis fungal invasif baik dalam bentuk acute-fulminant maupun chronic-indolent
(biasanya terjadi pada penderita immunocompromized), fungal ball (pembentukan
massa berbentuk bola) dan rinosinusitis alergi fungal / AFS (allergic fungal
rhinosinusitis) sebagai bentuk reaksi hipersensitivitas terhadap antigen fungal.1,12,14,16,17
AFS ditandai dengan pembentukan musin, reaksi inflamasi tanpa diperantarai IgE,
eosinofilia disertai peningkatan IL-5 dan IL-13.1,2,12,14,16,17
Faktor Struktural
Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter mukus
per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus KOM
akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang
lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen. 1,2
Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti deviasi
septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus
horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial.1,2,9,13,14,16
Perubahan tulang (ethmoid dan maksila) yang terjadi pada rinosinusitis kronik
telah lama diamati secara klinis, radiografik dan histologik. 8 Beberapa studi
menunjukkan bahwa perubahan osteitis dimulai dari meningkatnya vaskularisasi,
infiltrasi proses inflamasi dan selanjutnya terjadi fibrosis pada sistem kanal

Haversian.1,2,8,13,14 Histomorfometri menunjukkan peningkatan jumlah sel inflamatori


dan turnover tulang, seperti yang terdapat pada osteomielitis. Pada CT-scan terlihat
adanya peningkatan densitas tulang dan penebalan tulang iregular. Penebalan tulang
iregular yang terjadi merupakan tanda adanya proses inflamasi pada tulang yang
berpengaruh pada inflamasi mukosa.1,2,8,13,14
Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis kronik.13
Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya rinosinusitis kronik adalah iritasi
mukosa.17 Gambaran skematik dibawah (gambar 3) menunjukkan alterasi potensial
pada mukosa nasal yang terjadi setelah terpapar oleh bakteri, virus, alergen, polusi
udara, superantigen maupun jamur. Semua itu mengakibatkan peningkatan ICAM-1
(intercellullar adhesion molecule 1) dan sitokin lainnya. Molekul HLA-DR (human
leukocyte antigen DR) pada permukaan epitelial ikut meningkat, selanjutnya
memegang peranan pada respon imun spesifik melalui sel TH1 dan TH2 untuk
kemudian melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF (granulocyte-macrophagecolony stimulating factor), IL-8 dan TNF- (tumor necrosing factor alpha) ikut
dilepaskan yang kemudian memberikan efek kepada sel makrofag, mastosit, eosinofil
dan neutrofil. Interferon gamma yang dilepaskan sel TH1 juga ikut meningkatkan
produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel respiratorik.17

Gambaran histopatologi mukosa rinosinusitis kronik menunjukkan adanya


penebalan dasar membran sel, hiperplasia sel goblet, udem subepitelial dan infiltrasi
sel mononuklear.1,13 Proses inflamasi pada rinosinusitis dibagi menjadi golongan
inflamasi infeksius dan golongan inflamasi noninfeksius.13 Inflamasi infeksius
umumnya terjadi pada rinosinusitis akut sedangkan pada rinosinusitis kronik terjadi
inflamasi noninfeksius.13
Pada berbagai penelitian yang dilakukan ditemukan sel-sel

inflamatori dan

mediator rinosinusitis kronik.1,9,13 Dibawah ini akan dijabarkan berbagai sel inflamasi
dan mediator yang ditemukan
pada rinosinusitis kronik.
Gambar 3.
perubahan

sel

Skema
epitel

respiratorik yang terjadi setelah


terpapar benda asing, diikuti

berbagai proses yang melibatkan sel limfosit TH1 dan TH2, menghasilkan pelepasan
sitokin dan mempengaruhi sel-sel fagosit.17
Sel inflamasi rinosinusitis kronik :1,13,17
1. Limfosit
Sel T terutama CD4+ sel T helper, berperan pada proses inisiasi dan regulasi
inflamasi
2. Eosinofil
Level eosinofil marker (eosinofil, eotaksin, eosinofil kationik protein / ECP)
pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi lebih rendah bila dibandingkan
dengan pada polip nasi, juga infiltrasi sel eosinofil dan sel plasma pada
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi berbeda dengan pada polip nasi.
3. Makrofag (sel CD68+)
Peningkatan makrofag pada rinosinusitis dengan polip nasi dan tanpa polip
nasi menunjukkan perbedaan dalam bentuk fenotip yang ada.
4. Mastosit
Peningkatan mastosit berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi pada
rinosinusitis kronik.
5. Neutrofil
Peningkatan neutrofil terjadi melalui pengaktifan IL-8 pada proses inflamasi
rinosinusitis kronik.

Mediator inflamasi rinosinusitis kronik :1,8,13,14,17


a. Sitokin
IL-3, IL-5, IL-6, IL-8 menunjukkan peningkatan pada rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi. Kadar IL-5 pada kelompok tanpa polip nasi masih lebih
rendah bila dibandingkan dengan kelompok dengan polip nasi. Rinosinusitis
tanpa polip nasi mempunyai karakteristik yaitu polarisasi TH1 dengan level
IFN- dan TGF- yang tinggi; sedangkan pada rinosinusitis kronik dengan
polip nasi menunjukkan polarisasi TH2 dengan level IL-5 dan IgE yang
meningkat. Peningkatan TLR2 (toll-like receptor 2) dan sitokin proinflamatori
(RANTES / Regulated on Activation, normal T-cell expressed and secreted
dan GM-CSF / granulocyte-monocyte colony stimulating factor) juga
ditemukan pada keadaan ini.
b. Kemokin

Ekspresi kemokin berbeda pada rinosinusitis kronik atopi (peningkatan sel


CCR4+ dan EG2+) dan yang non atopi (penurunan sel CCR5 +). Kemokin lain
yang meningkat yaitu GRO- (growth-related oncogene alpha) dan GCP-2
(granulocyte chemotactic protein-2).
c. Molekul adhesi
Meningkatnya ligan L-selektin endotelial berkorelasi dengan tingkat
keparahan inflamasi yang terjadi.
d. Eicosanoid
Terdapat peningkatan: COX-2 mRNA, PGE2, 15-Lipooksigenase, LipoksinA,
LTC4 sintase, 5-Lipooksigenase mRNA, peptida-LT, EP1 dan EP3.
e. Metaloproteinase dan TGF-
Level TGF-1 meningkat signifikan dibanding dengan kelompok polip nasi,
disertai dengan peningkatan MMP-9 dan TIMP-1.
f. Imunoglobulin
IgE meningkat pada pasien rinosinusitis kronik alergik, fungal dan eosinofilik.
IgG antibodi terhadap golongan fungal juga menunjukkan peningkatan. IgG
spesifik fungal (IgG3) dan IgA menunjukkan peningkatan pada kondisi
sinusitis alergik fungal.
g. Nitrit oksida (NO)
Sel epitel pada rinosinusitis kronik menunjukkan ekspresi TLR-4 dan iNOS
yang kuat dibandingkan kontrol, sedangkan pada kelompok rinosinusitis
kronik yang telah mendapat terapi kortikosteroid nasal menunjukkan
peningkatan nNO.
h. Neuropeptida
Inflamasi neurogenik memegang peranan bagi manifestasi klinis rinosinusitis
kronik. Level CGRP (sensoris trigeminal) dan VIP (parasimpatis) pada saliva
meningkat signifikan pada pasien rinosinusitis kronik alergik.
i. Musin
Musin merupakan komponen utama dari mukus, jenis musin yang meningkat
pada rinosinusitis kronik antara lain MUC5AC, MUC5B dan MUC8.
j. Mediator lain :
1. VEGF (vascular endothelial-cell growth factor), diproduksi oleh
mukosa hidung dan sinus paranasal, berkaitan dengan kondisi hipoksia
yang terjadi pada rinosinusitis.
2. SP-A (surfactant protein A), juga meningkat pada mukosa pasien
rinosinusitis kronik..
DIAGNOSIS

Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR 1996,
terdapat

faktor

klinis/

gejala

mayor

dan

minor

yang

diperlukan

untuk

diagnosis.1,2,12,17,18 Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada


tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik, berdasarkan
penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 3. 2 Diagnosis klinik
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya.

Tabel 3. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan pemeriksaan
fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis
lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.2
REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS (2003 TASK FORCE)

Duration
>12 weeks of continuous

Physical findings (on of the following must be present)


1.

Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid swelling on


anterior rhinoscopy (with decongestion) or nasal endoscopy

symptoms (as described


by 1996 Task Force) or

2.

Edema or erythema in middle meatus on nasal endoscopy

physical findings

3.

Generalized or localized edema, erythema, or granulation tissue


in nasal cavity. If it does not involve the middle meatus, imaging is
required for diagnosis

4.

Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or computerized


tomography)b

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan


EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.1 Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan,
berlangsung lebih dari 12 minggu:1
1) Buntu hidung, kongesti atau sesak
2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior.1 Yang
menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip
adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi
anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi
dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan dan

MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi penciuman dan
pemeriksaan laboratorium.1
Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam menilai
gejala-gejala yang ada pada kriteria

diatas, mengingat patofisiologi rinosinusitis

kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun virus, adanya
latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga hidung dapat
dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.18 Informasi lain yang perlu
berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi,
faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang sudah
dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui anamnesis dapat
dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS 2007, keluhan subyektif yang
dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan /
tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat digunakan


untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini berguna bagi
penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang dapat digunakan
untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita, namun lebih sering

digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan SNOT-20 (sinonasal


outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31 (rhinosinusitis outcome
measure)1,2,11

Pemeriksaan Fisik

Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya) 1,2,18
Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan
dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip),

krusta, deviasi septum, tumor atau polip.18


Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga
hidung.18

Pemeriksaan Penunjang

Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai


kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat

perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.18


Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba,
hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,13 Indikasi endoskopi nasal
yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami kegagalan. 18 Untuk
rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat sensitivitas sebesar

46 % dan spesifisitas 86 %.18


Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan, meliputi
X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan modalitas
pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta untuk evaluasi
rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak memberikan
respon.1,18 Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang akan dilakukan
pembedahan.1,2,18 Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip

nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 4.


Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,13,18
1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi

3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar, mikroskop


elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory peakflow,
rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)

Gambar 4.

CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik


akibat konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan
KOM.19

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan mungkin
menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar
belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan
terapi yang berlainan juga.20
Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan rinosinusitis
kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita, membantu
dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa gagal maka
cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu memperlancar
kesuksesan operasi yang dilakukan.20,21,22 Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui
terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung.20,21

Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik tanpa


polip nasi pada orang dewasa antara lain:1,2,20,21,22
1.
Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan
adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2.
Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau
sistemik.

a.

Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason


Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis
kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.

3.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Terapi penunjang lainnya meliputi:


Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis -adrenergik
Antihistamin
Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
Mukolitik
Antagonis leukotrien
Imunoterapi
Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap

iritan dan nutrisi yang cukup


Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan sederhana
dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan canggih
endoskopi.23 Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi ialah:1,23
1.
Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2.
Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3.
Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4.
Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal

5.

FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama


kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

KOMPLIKASI
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring berkembangnya teknologi
diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.1 Komplikasi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi dibedakan menjadi komplikasi orbita,
oseus/tulang, endokranial dan komplikasi lainnya.1
3. Komplikasi orbita :
a)
b)
c)
d)

Selulitis periorbita
Selulitis orbita
Abses subperiosteal
Abses orbita

4. Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)


5. Komplikasi endokranial:
a)
b)
c)
d)
e)

Abses epidural / subdural


Abses otak
Meningitis
Serebritis
Trombosis sinus kavernosus

6. Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis,


perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel,
septikemia.

BAB III
PEMBAHASAN

BAB IV
KESIMPULAN

Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa merupakan salah
satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dan memberikan dampak bagi kualitas
hidup penderita. Patofisiologi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa
bersifat multifaktorial dan faktor predisposisi terjadinya dapat dibedakan menjadi
faktor fisiologik/genetik, faktor lingkungan dan faktor struktural. Diagnosis
ditetapkan berdasarkan kombinasi kriteria obyektif dan subyektif serta ditunjang oleh
pemeriksaan endoskopi nasal dan CT-scan (bila diperlukan). Modalitas terapi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dibedakan menjadi terapi
medikamentosa dan terapi pembedahan.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1.

Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis and


nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.

2.

Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis


and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck
Surgery Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &

3.

Wilkins, 2006; 406-416.


Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to

4.

management. New York: Taylor & Francis,2006; 1-13.


Lund VJ. Impact of chronic rhinosinusitis on quality of life and health care
expenditure. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis

5.

pathogenesis and medical management. New York: Informa,2007; 15-21.


Gosepath J, Mann WJ. Current concepts in therapy of chronic rhinosinusitis and

6.

nasal polyposis. ORL,2005; 67: 125-136.


NN. Sinusitis termasuk penyakit mahal. Waspada Online.2007 Agustus 9.

7.

http://www.waspada.co.id. Accessed at 20th September 2008.


Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from

8.

microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.


Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of

9.

chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.


Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-

KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.
10. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American
Family Physician, 2001; 63:69-74.
11. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody
FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New
York: Informa, 2007;1-12.
12. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani
AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology head and neck
surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281.
13. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current reviews of allergy and clinical
immunology, 2000; 106: 213-226.
14. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;109-129.
15. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al eds.
Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia: Elsevier
Mosby, 2005; 1-4.

16. Naclerio RM, Gungor A. Etiologic factors in inflammatory sinus disease. In


Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and
management. Hamilton: BC Decker Inc, 2001;47-53.
17. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In Brook
I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;371-398.
18. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA,
Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23.
19. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB, Heidelberg
KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. New York :
Springer, 2005; 68.
20. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THTKL Univ.Airlangga,2004; 59-65.
21. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW, Bolger
WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and management.
Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-165.
22. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook I,
eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006; 219-229.
23. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan
terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THTKL Univ.Airlangga,2004; 67-74.

29

Anda mungkin juga menyukai