Anda di halaman 1dari 9

Penyakit yang tidak memilki gejala klinis namun berakhir pada

kematian atau kecacatan adalah keadan suatu penyakit yang tidak


menampakkan diri secara jelas dan nyata dalam bentuk gejala klinis yang
jelas sehingga tidak dapat didiagnosa tanpa cara tertentu seperti test
tuberkolin, kultur tenggorokkan pemeriksaan antibodi dalam tubuh, dll.
Contoh penyakit yang termasuk didalammnya adalah rabies, leptospirosis
dan tetanus neonatorum. Dibawah ini kami akan menjelaskan salah satu
dari tiga penyakit yang disebutkan tadi yaitu penyakit Leptospirosis
LEPTOSPIROSIS
Leptospira
Bakteri Leptospira menggunakan Mikroskop elektron tipe scanning.
Bakteri Leptospira menggunakan Mikroskop elektron tipe scanning.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan: Bacteria
Filum: Spirochaetes
Kelas: Spirochaeates
Ordo: Spirochaetales
Famili: Leptospiraceae
Genus: Leptospira
Serovar
Leptospira interogans
Lepstospira australis
Leptospira autumnalis
Leptospira ballum
Leptospira icterohemorrhagica
Leptospira canicola
Leptospira grippotyphosa
Leptospira pomona
Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat
ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis).
Leptospirosis dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam
Icterohemorrhage, Penyakit Swineherd's, Demam pesawah (Ricefield
fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur,
Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola , penyakit kuning
non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifus anjing
Infeksi dalam bentuk subakut tidak begitu memperlihatkan gejala klinis,
sedangkan pada infeksi akut ditandai dengan gejala sepsis, radang ginjal
interstisial, anemia hemolitik, radang hati dan keguguran. [2].
Leptospirosis pada hewan biasanya subklinis [5]. Dalam keadaan ini,
penderita tidak menunjukkan gejala klinis penyakit [5]. Leptospira
bertahan dalam waktu yang lama di dalam ginjal hewan sehingga bakteri

akan banyak dikeluarkan hewan lewat air kencingnya [5]. Leptospirosis


pada hewan dapat terjadi berbulan-bulan sedangkan pada manusia hanya
bertahan selama 60 hari[5]. Manusia merupakan induk semang terakhir
sehingga penularan antarmanusia jarang terjadi.
Sejarah Penyakit
Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil
dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta
pembesaran hati dan limpa. [6] Penyakit dengan gejala tersebut di atas
oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil's Disease.[butuh rujukan]
Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa "Weil's Disease"
disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. [6]
Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. [3][7][5].
Bakteri Leptospira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen
untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya
dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat [7]. Bakteri Lepstospira
berukuran panjang 6-20 m dan diameter 0,1-0,2 m[3]. Sebagai
pembanding, ukuran sel darah merah hanya 7 m [7]. Jadi, ukuran bakteri
ini relatif kecil dan panjang sehingga sulit terlihat bila menggunakan
mikroskop cahaya dan untuk melihat bakteri ini diperlukan mikroskop
dengan teknik kontras [7]. Bakteri ini dapat bergerak maju dan mundur
[3].
Leptospira mempunyai 175 serovar [2], bahkan ada yang mengatakan
Leptospira memiliki lebih dari 200 serovar [7]. Infeksi dapat disebabkan
oleh satu atau lebih serovar sekaligus [2]. Bila infeksi terjadi, maka pada
tubuh penderita dalam waktu 6-12 hari akan terbentuk zat kebal aglutinasi
[3]. Leptospirosis pada anjing disebabkan oleh infeksi satu atau lebih
serovar dari Leptospira interrogans [2]. Serovar yang telah diketahui dapat
menyerang anjing yaitu L. australis, L. autumnalis, L. ballum, L. batislava,
L. canicola, L. grippotyphosa, L. hardjo, L. ichterohemorarhagica, L.
pomona, dan L. tarassovi [2][5]. Pada anjing, telah tersedia vaksin
terhadap Leptospira yang mengandung biakan serovar L. canicola dan L.
icterohemorrhagica yang telah dimatikan [2]. Serovar yang dapat
menyerang sapi yaitu L. pamona dan L. gryptosa[5]. Serovar yang
diketahui terdapat pada kucing adalah L. bratislava, L. canicola, L.
gryppothyphosa, dan L. pomona [2]. Babi dapat terserang L. pamona dan
L. interogans, sedangkan tikus dapat terserang L. ballum dan L.
ichterohaemorhagicae [5].
Bila terkena bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps
menjadi bola berbentuk kubah dan tipis [7]. Pada kondisi ini, Leptospira

tidak memiliki aktifitas patogenik [7]. Leptospira dapat hidup dalam waktu
lama di air, tanah yang lembap, tanaman dan lumpur.[8]
Distribusi Penyakit
Leptospirosis terjadi di seluruh dunia,[9] [8] baik di daerah pedesaan
maupun perkotaan, di daerah tropis maupun subtropis [9]. Penyakit ini
terutama beresiko terhadap orang yang bekerja di luar ruangan bersama
hewan, misalnya peternak, petani, penjahit, dokter hewan, dan personel
militer [9]. Selain itu, Leptospirosis juga beresiko terhadap individu yang
terpapar air yang terkontaminasi [6][9]. Di daerah endemis, puncak
kejadian Leptospirosis terutama terjadi pada saat musim hujan dan banjir.
[9].
Iklim yang sesuai untuk perkembangan Leptospira adalah udara yang
hangat, tanah yang basah dan pH alkalis, kondisi ini banyak ditemukan di
negara beriklim tropis.[6] Oleh sebab itu, kasus Leptospirosis 1000 kali
lebih banyak ditemukan di negara beriklim tropis dibandingkan dengan
negara subtropis dengan risiko penyakit yang lebih berat. [10]. Angka
kejadian Leptospirosis di negara tropis basah 5-20/100.000 penduduk per
tahun
[11].
Organisasi
Kesehatan
Dunia
(World
Health
Oraganization/WHO) mencatat, kasus Leptospirosis di daerah beriklim
subtropis diperkirakan berjumlah 0.1-1 per 100.000 orang setiap tahun,
sedangkan di daerah beriklim tropis kasus ini meningkat menjadi lebih dari
10 per 100.000 orang setiap tahun.[9] Pada saat wabah, sebanyak lebih
dari 100 orang dari kelompok berisiko tinggi di antara 100.000 orang
dapat terinfeksi.[9]
Di Indonesia, Leptospirosis tersebar antara lain di Provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi
Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat [12].
Angka kematian Leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,516,45 persen [12]. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56
persen [12]. Di beberapa publikasi angka kematian dilaporkan antara 3
persen - 54 persen tergantung sistem organ yang terinfeksi [13].
Cara Penularan
Urin tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui air (water
borne disease)[9][3]. Urin (air kencing) dari individu yang terserang
penyakit ini merupakan sumber utama penularan, baik pada manusia
maupun pada hewan [5]. Kemampuan Leptospira untuk bergerak dengan

cepat dalam air menjadi salah satu faktor penentu utama ia dapat
menginfeksi induk semang (host) yang baru [7]. Hujan deras akan
membantu penyebaran penyakit ini, terutama di daerah banjir [8].
Gerakan bakteri memang tidak memengaruhi kemampuannya untuk
memasuki jaringan tubuh namun mendukung proses invasi dan
penyebaran di dalam aliran darah induk semang [7].
Di Indonesia, penularan paling sering terjadi melalui tikus pada kondisi
banjir [14] [15]. Keadaan banjir menyebabkan adanya perubahan
lingkungan seperti banyaknya genangan air, lingkungan menjadi becek,
berlumpur, serta banyak timbunan sampah yang menyebabkan mudahnya
bakteri Leptospira berkembang biak [15]. Air kencing tikus terbawa banjir
kemudian masuk ke tubuh manusia melalui permukaan kulit yang terluka,
selaput lendir mata dan hidung. [14]. Sejauh ini tikus merupakan reservoir
dan sekaligus penyebar utama Leptospirosis [14] karena bertindak
sebagai inang alami dan memiliki daya reproduksi tinggi [16]. Beberapa
hewan lain seperti sapi, kambing, domba, kuda, babi, anjing dapat
terserang Leptospirosis, tetapi potensi menularkan ke manusia tidak
sebesar tikus [14].
Bentuk penularan Leptospira dapat terjadi secara langsung dari penderita
ke penderita dan tidak langsung melalui suatu media [3][5]. Penularan
langsung terjadi melalui kontak dengan selaput lendir (mukosa) mata
(konjungtiva) [5], kontak luka di kulit, mulut, cairan urin [9], kontak
seksual dan cairan abortus (gugur kandungan) [3]. Penularan dari manusia
ke manusia jarang terjadi [9].
Penularan tidak langsung terjadi melalui kontak hewan atau manusia
dengan barang-barang yang telah tercemar urin penderita, misalnya alas
kandang hewan, tanah, makanan, minuman dan jaringan tubuh[5].
Kejadian Leptospirosis pada manusia banyak ditemukan pada pekerja
pembersih selokan karena selokan banyak tercemar bakteri Leptospira[5].
Umumnya penularan lewat mulut dan tenggorokan sedikit ditemukan
karena bakteri tidak tahan terhadap lingkungan asam [5].
Perjalanan Penyakit
Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau
selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (perbanyakan) di
dalam darah dan jaringan [14]. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia,
yakni penimbunan bakteri Leptospira di dalam darah sehingga bakteri
akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati [5].
Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular

lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan


nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal) [5]. Gagal ginjal biasanya terjadi
karena kerusakan tubulus, hipovolemia karena dehidrasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler [14]. Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular
dengan proliferasi sel Kupffer [14]. Pada konsisi ini akan terjadi
perbanyakan sel Kupffer dalam hati [5]. Leptospira juga dapat menginvasi
otot skeletal menyebabkan edema, vakuolisasi miofibril, dan nekrosis fokal
[14]. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas
kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi
[14].
Pada kasus berat akan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler dan
radang pada pembuluh darah [5]. Leptospira juga dapat menginvasi akuos
humor mata dan menetap dalam beberapa bulan, sering mengakibatkan
uveitis kronis dan berulang [14]. Setelah infeksi menyerang seekor hewan,
meskipun hewan tersebut telah sembuh, biasaya dalam tubuhnya akan
tetap menyimpan bakteri Leptospira di dalam ginjal atau organ
reproduksinya untuk dikeluarkan dalam urin selama beberapa bulan
bahkan tahun[5].
Gejala Klinis

Jaundis pada kucing: telinga dan mukosa mata menjadi kuning


Pada hewan
Pada hewan, Leptospirosis kadangkala tidak menunjukkan gejala klinis
(bersifat subklinis), dalam arti hewan akan tetap terlihat sehat walaupun
sebenarnya dia sudah terserang Leptospirosis [5]. Kucing yang terinfeksi
biasanya tidak menunjukkan gejala walaupun ia mampu menyebarkan
bakteri ini ke lingkungan untuk jangka waktu yang tidak pasti [2].
Gejala klinis yang dapat tampak yaitu ikterus atau jaundis, yakni warna
kekuningan, karena pecahnya butir darah merah (eritrosit) sehingga ada
hemoglobin dalam urin [3]. Gejala ini terjadi pada 50 persen kasus,
terutama jika penyababnya L. pomona [3]. Gejala lain yaitu demam, tidak
nafsu makan, depresi, nyeri pada bagian-bagian tubuh [3], gagal ginjal,
gangguan kesuburan, dan kadang kematian [5]. Apabila penyakit ini
menyerang ginjal atau hati secara akut maka gejala yang timbul yaitu
radang mukosa mata (konjungtivitis), radang hidung (rhinitis), radang
tonsil (tonsillitis), batuk dan sesak napas [2].
Pada babi muncul gejala kelainan saraf, seperti berjalan kaku dan
berputar-putar [3]. Pada anjing yang sembuh dari infeksi akut kadangkala
tetap mengalami radang ginjal interstitial kronis atau radang hati

(hepatitis) kronis [2]. Dalam keadaan demikian gejala yang muncul yaitu
penimbunan cairan di abdomen (ascites), banyak minum, banyak urinasi,
turun berat badan dan gejala saraf[2]. Pada sapi, infeksi Leptospirosis
lebih parah dan lebih banyak terjadi pada pedet (anak sapi) dibandingkan
sapi dewasa dengan gejala demam, jaundis, anemia, warna telinga
maupun hidung yang menjadi hitam, dan kematian (Bovine Leptospirosis).
[17]. Angka kematian (mortalitas) akibat Leptospirosis pada hewan
mencapai 5-15 persen, sedangkan angka kesakitannya (morbiditas)
mencapai lebih dari 75 persen [3].
Pada Manusia
Jaundis: kulit dan mukosa menjadi kuning
Masa inkubasi Leptospirosis pada manusia yaitu 2 - 26 hari [14]. Infeksi
Leptospirosis mempunyai manifestasi yang sangat bervariasi dan kadang
tanpa gejala, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosa [14]. Infeksi L.
interrogans dapat berupa infeksi subklinis yang ditandai dengan flu ringan
sampai berat [18], Hampir 15-40 persen penderita terpapar infeksi tidak
bergejala tetapi serologis positif [14]. Sekitar 90 persen penderita jaundis
ringan, sedangkan 5-10 persen jaundis berat yang sering dikenal sebagai
penyakit Weil [14]. Perjalanan penyakit Leptospira terdiri dari 2 fase, yaitu
fase septisemik dan fase imun [14][5]. Pada periode peralihan fase selama
1-3 hari kondisi penderita membaik [14]. Selain itu ada Sindrom Weil yang
merupakan bentuk infeksi Leptospirosis yang berat. [14]
Fase Septisemik
Fase Septisemik dikenal sebagai fase awal atau fase leptospiremik karena
bakteri dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinal dan sebagian besar
jaringan tubuh [14]. Pada stadium ini, penderita akan mengalami gejala
mirip flu selama 4-7 hari, ditandai dengan demam, kedinginan, dan
kelemahan otot [5]. Gejala lain adalah sakit tenggorokan, batuk, nyeri
dada, muntah darah, nyeri kepala, takut cahaya, gangguan mental,
radang selaput otak (meningitis), serta pembesaran limpa dan hati [14].
Fase Imun
Fase Imun sering disebut fase kedua atau leptospirurik karena sirkulasi
antibodi dapat dideteksi dengan isolasi kuman dari urin, dan mungkin
tidak dapat didapatkan lagi dari darah atau cairan serebrospinalis [14].
Fase ini terjadi pada 0-30 hari akibat respon pertahanan tubuh terhadap
infeksi [14]. Gejala tergantung organ tubuh yang terganggu seperti
selaput otak, hati, mata atau ginjal [14].
Jika yang diserang adalah selaput otak, maka akan terjadi depresi,
kecemasan, dan sakit kepala [5]. Pada pemeriksaan fungsi hati didapatkan

jaundis, pembesaran hati (hepatomegali), dan tanda koagulopati [14].


Gangguan paru-paru berupa batuk, batuk darah, dan sulit bernapas.[5]
Gangguan hematologi berupa peradarahan dan pembesaran limpa
(splenomegali). Kelainan jantung ditandai gagal jantung atau perikarditis
[14]. Meningitis aseptik merupakan manifestasi klinis paling penting pada
fase imun [14].
Leptospirosis dapat diisolasi dari darah selama 24-48 jam setelah timbul
jaundis [5]. Pada 30 persen pasien terjadi diare atau kesulitan buang air
besar (konstipasi), muntah, lemah, dan kadang-kadang penurunan nafsu
makan [5]. Kadang-kadang terjadi perdarahan di bawah kelopak mata dan
gangguan ginjal pada 50 persen pasien, dan gangguan paru-paru pada 2070 persen pasien [5].
Gejala juga ditentukan oleh serovar yang menginfeksi [14]. Sebanyak 83
persen penderita infeksi L. icterohaemorrhagiae mengalami ikterus, dan
30 persen pada L. pomona [14]. Infeksi L. grippotyphosa umumnya
menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Sedangkam L. pomona atau
L. canicola sering menyebabkan radang selaput otak (meningitis) [14].
Sindrom Weil
Sindrom Weil adalah bentuk Leptospirosis berat ditandai jaundis, disfungsi
ginjal, nekrosis hati, disfungsi paru-paru, dan diathesis perdarahan [5].
Kondisi ini terjadi pada akhir fase awal dan meningkat pada fase kedua,
tetapi bisa memburuk setiap waktu [14]. Kriteria penyakit Weil tidak dapat
didefinisikan dengan baik. Manifestasi paru meliputi batuk, kesulitan
bernapas, nyeri dada, batuk darah, dan gagal napas [5]. Disfungsi ginjal
dikaitkan dengan timbulnya jaundis 4-9 hari setelah gejala awal [14].
Penderita dengan jaundis berat lebih mudah terkena gagal ginjal,
perdarahan dan kolap kardiovaskular. Kasus berat dengan gangguan hati
dan ginjal mengakibatkan kematian sebesar 20-40 persen yang akan
meningkat pada lanjut usia. [14]
Diagnosa
Bakteri Leptospira secara mikroskopis pada jaringan ginjal menggunakan
metode pewarnaan perak
Untuk mendiagnosa Leptospirosis, maka hal yang perlu diperhatikan
adalah riwayat penyakit, gejala klinis dan diagnosa penunjang [5][19][14].
Sebagai diagnosa penunjang, antara lain dapat dilakukan pemeriksaan
urin dan darah [19]. Pemeriksaan urin sangat bermanfaat untuk
mendiagnosa Leptospirosis karena bakteri Leptospira terdapat dalam urin
sejak awal penyakit dan akan menetap hingga minggu ketiga [19]. Cairan
tubuh lainnya yang mengandung Leptospira adalah darah, serebrospinal

[19] tetapi rentang peluang untuk isolasi bakteri sangat pendek [14].
Selain itu dapat dilakukan isolasi bakteri Leptospira dari jaringan lunak
atau cairan tubuh penderita, misalnya jaringan hati, otot, kulit dan mata.
Namun, isolasi Leptospira termasuk sulit dan membutuhkan waktu
beberapa bulan [14].
Untuk mengukuhkan diagnosa Leptospirosis biasanya dilakukan
pemeriksaan serologis [19]. Antibodi dapat ditemukan di dalam darah
pada hari ke-5-7 sesudah adanya gejala klinis [19]. Kultur atau
pengamatan bakteri Leptospira di bawah mikroskop berlatar gelap
umumnya tidak sensitif [19]. Tes serologis untuk mengkonfirmasi infeksi
Leptospirosis yaitu Microscopic agglutination test (MAT) [5]. Tes ini
mengukur kemampuan serum darah pasien untuk mengagglutinasi bakteri
Leptospira yang hidup [18]. Namun, MAT tidak dapat digunakan secara
spesifik pada kasus yang akut, yakni kasus yang terjadi secara cepat
dengan gejala klinis yang parah [19]. Selain itu, diagnosa juga dapat
dilakukan melalui pengamatan bakteri Leptospira pada spesimen organ
yang terinfeksi menggunakan imunofloresen [19].
Pengobatan dan Pengendalian
Pada Hewan
Hewan, terutama hewan kesayangan, yang terinfeksi parah perlu
diberikan perawatan intensif untuk menjamin kesehatan masyarakat dan
mengoptimalkan perawatan.[20] Antibiotik yang dapat diberikan yaitu
doksisiklin, enrofloksasin, ciprofloksasin atau kombinasi penisillinstreptomisin.[20] Selain itu diperlukan terapi suportif dengan pemberian
antidiare, antimuntah, dan infus.[20]
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksin Leptospira.[20]
[3] Vaksin Leptospira untuk hewan adalah vaksin inaktif dalam bentuk cair
(bakterin) yang sekaligus bertindak sebagai pelarut karena umumnya
vaksin Leptospira dikombinasikan dengan vaksin lainnya, misalnya
distemper dan hepatitis.[3] Vaksin Leptospira pada anjing yang beredar di
Indonesia terdiri atas dua macam serovar yaitu L. canicola dan L.
ichterohemorrhagiae.[3] Vaksin Leptospira pada anjing diberikan saat
anjing berumur 12 minggu dan diulang saat anjing berumur 14-16
minggu.[20] Sistem kekebalan sesudah vaksinasi bertahan selama 6
bulan, sehingga anjing perlu divaksin lagi setiap enam bulan.[20]
Pada Manusia
Leptospirosis yang ringan dapat diobati dengan antibiotik doksisiklin,
ampisillin, atau amoksisillin. Sedangkan Leptospirosis yang berat dapat
diobati dengan penisillin G, ampisillin, amoksisillin dan eritromisin.[5]

Manusia rawan oleh infeksi semua serovar Leptospira sehingga manusia


harus mewaspadai cemaran urin dari semua hewan.[5] Perilaku hidup
sehat dan bersih merupakan cara utama untuk menanggulangi
Leptospirosis tanpa biaya.[3] Manusia yang memelihara hewan
kesayangan hendaknya selalu membersihkan diri dengan antiseptik
setelah kontak dengan hewan kesayangan, kandang, maupun lingkungan
di mana hewan berada.[5]
Manusia harus mewaspadai tikus sebagai pembawa utama dan alami
penyakit ini.[6] Pemberantasan tikus terkait langsung dengan
pemberantasan Leptospirosis.[15] Selain itu, para peternak babi dihimbau
untuk mengandangkan ternaknya jauh dari sumber air.[3] Feses ternak
perlu diarahkan ke suatu sumber khusus sehingga tidak mencemari
lingkungan terutama sumber air
Sumber : wikipedia mengenai leptospirosis

Anda mungkin juga menyukai