Anda di halaman 1dari 6

2.1.

Tujuan Praktikum
Mengetahui dan Memahami

cara

menentukan

fingerprint

dan

menetapkan kadar senyawa marker dalam ekstrak.


2.2. Tinjauan Pustaka
Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapatkan efek yang
dapat diulang (reproducible). Kandungan kimia yang dapat digunakan
sebagai standar adalah kandungan kimia yang berkhasiat, atau
kandungan kimia yang hanya sebagai petanda (marker), atau yang
memiliki sidik jari (fingerprint) pada kromatogram (Dewoto, 2007).
Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur, dan cara
pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait seperti
paradigma mutu yang memenuhi standar dan jaminan stabilitas produk
(BPOM RI, 2005). Persyaratan mutu simplisia dan ekstrak sejumlah
tanaman tertera dalam buku Farmakope Herbal Indonesia (FHI), Ekstra
Farmakope Indonesia, atau Materia Medika Indonesia. Materia Medika
Indonesia (MMI) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional yang memuat persyaratan baku mutu bahan alam meliputi
standarisasi simplisia dan ekstrak baik secara kualitatif (macam-macam
senyawa metabolit sekunder) maupun kuantitatif (jumlah kadar senyawa
metabolit sekunder).
Standarisasi dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan
keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan
kepercayaan terhadap manfaat obat yang berasal dari bahan alam. Salah
satu penelitian yang telah dilakukan adalah pembuatan ekstrak
tumbuhan berkhasiat obat yang dilanjutkan dengan standardisasi
kandungannya untuk memelihara keseragaman mutu, keamanan, dan
khasiatnya (BPOM, 2005). Profil kromatogram (finger print) obat
bahan alam adalah pola kromatografi dari aktivitas farmakologi atau
karakteristik kimia dari komponen yang terkandung dalam ekstrak
(Xie,2001). Profil kromatogram (finger print) direkomendasikan untuk
kontrol kualitas dari obat bahan alam karena profil kromatogram dapat
mewakili integritas kimia dari obat bahan alam oleh karena itu dapat
untuk identifikasi produk herbal. Berdasarkan pada konsep fitoekuvalen

maka profil kromatogram obat bahan alam dapat digunakan untuk


menjawab permasalahan dari kontrol kualitas obat bahan alam (Liang,
Yi-Zeng, Peishan Xie, Kelvin Chan, 2004).
Aplikasi profil kromatogram hanya dapat digunakan untuk tujuan
analisis secara kualitatif. profil kromatogram/finger print tanaman obat
bertujuan untuk mengumpulkan data tentang profil kromatogram
berbagai tanaman obat yang selanjutnya dapat digunakan untuk
standardisasi dan pengawasan mutu obat bahan alam. Suatu tanaman
mempunyai profil kromatogram yang khas, yang berbeda dengan
tanaman lainnya, sehingga data profil kromatogram dapat digunakan
sebagai referensi untuk konfirmasi keberadaan atau kebenaran suatu
tanaman dalam sediaan obat bahan alam. Data profil kromatogram
meliputi profil kromatogram hasil TLC, profil kromatogram hasil
HPLC, dan profil kromatogram hasil GC (BPOM RI,2011).
Untuk mengetahui kadar/kandungan ekstrak suatu tanaman obat
(analisis kuantitatif) diperlukan suatu senyawa pembanding/marker
yang sesuai. Senyawa marker dapat digunakan untuk analisis kualititatif
maupun kuantitatif. Senyawa marker merupakan senyawa khas dengan
kadar yang cukup tinggi pada suatu tanaman. Contohnya senyawa
marker

rimpang

kencur

dengan

senyawa

marker

etilparametoksisinamat (EPMS). Untuk dapat mengetahui kadar kencur


dalam suatu produk dapat dilakukan analisis dengan TLC atau HPLC
atau GC. EPMS digunakan sebagai senyawa pembanding/referensi
(BPOM RI,2011). Kromatografi lapis tipis adalah salah satu contoh
kromatografi planar. Fase diamnya (Stationary Phase) berbentuk lapisan
tipis yang melekat pada gelas/kaca, plastik, aluminium. Sedangkan fase
geraknya (Mobile Phase) berupa cairan atau campuran cairan, biasanya
pelarut organik dan kadangkadang juga air. Fase diam yang berupa
lapisan tipis ini dapat dibuat dengan membentangkan /meratakan fase
diam (adsorbent=penjerap=sorbent) diatas plat/lempeng kaca plastik
ataupun aluminium.
2.3. Alat dan Bahan
2.3.1. Bahan

n-heksana, etil asetat, asam formiat (90:10:1) ; standar EPMS 50g ; etanol
96% ; sampel.
2.3.2. Alat
Ultrasonik; timbangan analitik; gelas ukur; tabung reaksi; labu ukur; pipet
tetes; pipet volum; plat KLT; sinar UV; pipa kapiler; chamber; gelas ukur;
kertas saring; batang pengaduk; tisu; vial; densitometer; beker gelas 200
ml; corong; aluminium foil.
2.4. Prosedur Kerja
2.4.1. Pembuatan Eluen (Fase gerak)
Eluen yang digunakan adalah n-heksana:etil asetat:asam formiat
(90:10:1).Buatlah eluen sebanyak101 mL. Masukkan ke dalam chamber.
Homogenkan di dalam chamber dengan cara digoyang-goyang. Apabila
volume eluen terlalu banyak, maka dikurangi. Jangan sampai totolan
awal pada lempeng KLT tercelup di dalam eluen.
2.4.2. Pembuatan Larutan Baku
a. Pembuatan larutan baku induk (BI) 10.000 ppm
Ditimbang standar EPMS dengan seksama sebanyak 100,0 mg, ditambah
dengan 5 mL etanol 96%, diultrasonik selama 5 menit kemudian
ditambah dengan etanol 96% sampai tepat 10,0 mL.
b. Pembuatan baku kerja
Larutan
baku

Diambil
yang induk

larutan Tambahkan

pelarut

etanol

10.000 96%

akan dibuat
200 ppm

ppm sebanyak
100,0 L

ad 5,0 ml (dalam labu ukur 5,0

300 ppm

150,0 L

ml)
ad 5,0 ml (dalam labu ukur 5,0

200,0 L

ml)
ad 5,0 ml (dalam labu ukur 5,0

250,0 L

ml)
ad 5,0 ml (dalam labu ukur 5,0

300,0 L

ml)
ad 5,0 ml (dalam labu ukur 5,0

400,0 L

ml)
ad 5,0 ml (dalam labu ukur 5,0

400 ppm
500 ppm
600 ppm
800 ppm

ml)
2.4.3. Preparasi Sampel
a. Sampel untuk Penetapan Kadar
Ditimbang sampel sebanyak

mg masing-masing sebanyak tiga kali,

ditambah pelarut masing-masing sebanyak 5,0 mL. Diultrasonik selama


5 menit.
b. Sampel untuk Penentuan Recoveri
Ditimbang sampel sebanyak 25 mg masing-masing sebanyak tiga
kali,ditambah EPMS 500 ppm sebanyak 1 ml, kemudan ditambah
pelarutsampai 5,0 mL. Diultrasonik selama 5 menit.
c. Penotolan sampel dan standar pada lempeng KLT
-

Dilakukan pengenceran: ambil 1000 L larutan sampel ditambah


dengan etanol 96% sebanyak 2000 mikroliter (dalam vial bertutup).

Totolkan sampel dan sampel untuk recoveri sebanyak 2 L sedangkan


standar EPMS sebanyak 2 L pada plat KLT.

20 cm
0,5 cm

10 cm

1,5 cm

2 cm

S1

S2 3

S3

R1

R2

Keterangan :
Jarak antarnoda

: 1,5 cm

1, 2, 3 dst

: standar EPMS

S1, S2, S3

: Sampel 1, 2, dan 3

R1, R2, R3

: sampel recoveri 1, 2, dan 3

1,5
R3cm

2.5. Cara Kerja


2.5.1. Penentuan panjang gelombang maksimum
Lempeng KLT yang sudah di-scan pada panjang gelombang 254 dan 365
nm, kemudian di-scan pada panjang gelombang 200-400 nm. Dari sini
dapat diketahui pada panjang gelombang berapa EPMS memberikan
absorbanmaksimum.Panjang gelombang maksimum tersebut yang
akan digunakan untuk pengukuran.
2.5.2. Penentuan linearitas
Linearitas menentukan dari larutan standart EPMS pada lempeng KLT,
kemudian dianalisis dengan menggunakan KLT-densitometer pada
panjang gelombang maksimum. Dihitung berapa regresi linear antara
kadar dan luas area noda.
2.5.3. Penentuan presisi
Untuk menghitung presisi, ditotolkan sampel masing-masing 2uL dan
larutan standar EPMS masing-masing 2 uL pada lempeng KLT.Lempeng
ini kemudian dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan
KLT-densitometer pada panjang gelombang maksimum.Sehingga dapat
dihitung berapa standart deviasi (SD) dan koefisien variasinya (KV).
2.5.4. Penentuan akurasi
Untuk menentukan % recovery, ditotolkan sampel recovery masingmasing 2 uL (lihat preparasi sampel untuk recovery) dan larutan standar
EPMS masing-masing 2 uL pada lempeng KLT. yLempeng ini kemudian
dieluasi dengan fase gerak dan dianalisis menggunakan KLT-densitometer
pada panjang gelombang maksimum.
recovery =

Kadar yang diperoleh


Ct
=
x 100
Kadar yang sebenarnya Cp+Cst

Dimana CT
Cp
Cst

= Kadar EPMS yang diperoleh


= Kadar EPMS dalam sampel
= Kadar standar EPMS yang ditambahkan

Hasil yang telah diperoleh kemudian dihitung standar deviasi (SD) dan
koefisen variasinya (KV).

Anda mungkin juga menyukai